| one article - one struggle |

Jumat, 27 Januari 2017

Apa yang Hilang dari Sekolah Teknik Kita?

sumber gambar: https://bumirakyat.files.wordpress.com
Terhitung sejak terpilih sebagai presiden, Jokowi kini terbilang gencar mendorong penguatan sekolah kejuruan. Bukan hanya dari target penambahan sekolah kejuruan hingga 300-an lebih, juga September yang lalu, Presiden menandatangani Inpres bernomor 9 tahun 2016, yang isinya mendorong dan mendukung percepatan revitalisasi sekolah kejuruan yang berorientasi kebutuhan pasar.

Persoalan ketenagakerjaan yang menjadi persoalan bangsa menurutnya harus diseleseikan dengan penguatan revitalisasi sekolah menengah kejuruan yang ada. Tentu saja asumsi yang mendasarinya adalah, karena kapasitas sumber daya manusia kita yang masih rendah, sehingga sulit diserap dalam dunia industri. Bahkan dalam Inpres tersebut, Presiden juga menginstruksikan kepada Kemenristek agar memprioritaskan (pembukaan) program-program kejuruan terapan di perguruan tinggi.

Alasan untuk itu semua adalah, bahwa pendidikan yang ada sekarang ini dianggap kurang tanggap terhadap perkembangan kebutuhan-kebutuhan pasar akan tenaga kerja. Semangat yang mendasari prospek kebijakan ini adalah, pendidikan harus mampu menjadi penyalur tenaga kerja mumpuni ke depan. Sekolah maupun perguruan tinggi harus lebih mampu bersinergi dengan dunia usaha, agar bisa melahirkan generasi dengan ilmu terapan dan keterampilan yang memadai.

Perspektif kebiajakan pendidikan yang berorientasi pasar ini pula yang membuat Unhas, sebagai salah satu perguruan tinggi terbesar di kawasan Indonesia Timur, beberapa hari yang lalu disahkan keberadaan statusnya sebagai PTN-BH oleh Kemenristek. Dengan Imajinasi target sirkulasi modal yang diharapkan dapat menghasilkan pendapatan hingga 450 milyar. Dengan menjadikan pendidikan sebagai instititusi modal seperti ini, pendidikan diharapkan bisa lebih adaptif terhadap tuntutan-tuntutan pembangunan, begitu harapan Presiden. Dalam konteks ini paradigma pembangunan Jokowi, bisa dibilang tidak berbeda jauh dari pendahulu-pendahulu sebelumnya, yakni terciptanya suatu road map pendidikan yang tanggap dan berorientasi deveplomentalisme.

Apa yang salah? Tentu saja kita akan mudah berkata bahwa tidak ada yang salah dengan konsep ini. Mengingat  kenyataan akan rendahnya kecakapan penguasaan ilmu terapan di kalangan pelajar memang patut kita akui. Namun, tentu saja bahwa ada beberapa hal mendasr yang mesti kita kritisi. Tentang bagimana menempatkan, dan atau menjembatani antara kepentingan pendidikan itu sendiri dengan kepentingan pasar itu sendiri. Kapitalisasi pendidikan memang seperti gunung es, yang tampak indah di atas permukaan, namun kadang-kadang menyembunyikan hal-hal lain yang berkontradiksi dengan itu semua.

Pendidikan, pasar dan kapitalisme
Jauh sebelum kita membicangkan relasi pendidikan dan pasar hari ini. Karl Marx, sudah berbicara di masanya, dua abad yang lalu. Marx bahkan memberi tanda, bahwa sekolah harus mendapatkan concern lebih ketimbang agama untuk dianalisis. Meski kedua-duanya sangat syarat dengan kepentingan kelas. Sama-sama bagi Marx bisa menjadi pranata untuk menanamkan kesadaran borjuis, tapi sekolah memberikan kontribusi lebih dari itu semua. Sebab ia (sekolah) menyuplai kontribusi praktis dan material dalam melanggengkan modus produksi kapitalisme. Sebabnya dalam konteks ini, pendidikan menghasilkan kemampuan kerja. Kemampuan-kemampuan yang ketika tidak dilakukan periodisasi ideologi, bisa dengan sendirinya menjadi sekrup-sekrup pion dari sistem kapitalisme itu sendiri lewat mobilisasi kelas sosial secara individual, melahirkan kelas menengah yang diuntungkan dari keberadaan sekolah. Suatu kelas sosial yang menurut banyak orang, menjadi gambaran dari wujud pengkaburan kelas-kelas sosial yang ada. Yang ikut melanggengkan surplus value lewat jabatan-jabatan kerah putih yang ia miiki.

Menggunakan analisa Marxis untuk meihat perkembangan sekolah hari ini, membuat kita sampai pada kesimpulan, bahwa penguatan revitalisasi sekolah berbasiskan pasar dan penyediaan tenaga kerja hari ini adalah wujud dari kemenangan kapitalisme dalam mengkooptasi pendidikan. Ia (kapitalisme) bahkan tak perlu mengeluarkan biaya untuk sekadar bisa mendapatkan tenaga kerja murah dan cuma-cuma siap pakai. Para orang tua pelajar lah yang membayarkannya, bahkan tak sedikit dari kalangan orang tua-orang tua proletarlah yang kembali mengongkosi siklus ini dengan membayar ongkos pendidikan yang tak murah. Mereka-mereka para orang tua yang sudah diperas habis-habisan di dalam pabrik oleh majikannya, namun juga kembali diperas oleh sekolah/kampus yang tak lain adalah perpanjang tanganan kapitalisme itu sendiri.

Bahkan di tingkat sekolah menengah kejuruan, para kapitalis-kapitalis tanpa merasa malu, berlomba-lomba mendapatkan tenaga kerja siap pakai yang masih di bawah umur (untuk kategori pekerja) untuk dipekerjakan dengan cuma-cuma, atas nama tututan kurikulum pendidikan? Ya, mereka-mereka siswa-siswa kita yang PKL (Praktik Kerja Lapangan), atau mereka para mahasiswa yang melakukan KKN Industri. Dalam rentang masa kerja yang dipersamakan dengan orang dewasa, para kapitalis menikmati pasokan tenaga kerja sekolahan ini dengan cuma-cuma. Ada semacam sebuah persegongkolan sadar antara pemerintah, sekolah dan modal yang terjadi di lingkaran ini, menjerat sekolah tanpa daya kritis. Mereka-mereka tanpa rasa berdosa dengan sendirinya melemparkan anak dalam ruang-ruang penyiksaan psikologis, beban kerja ganda antara sekolah dengan tuntutan-tuntutan pekerjaan industri yang ia laui.

Apakah hal-hal ini, tak bisa kita definisikan sebagai suatu kekerasan struktural dalam dunia pendidikan berbasis pasar hari ini? Tentu saja kita mahfum, bahwa toh, kapitalisme memang tak bisa jauh-juh dari hal-ihwal tentang kekerasan. Jamil Salmi (1983) dalam bukunya Kekerasan dan Kapitalisme (terj), bahkan menyebut kapitalisme berkembang dan bertahan karena kekerasan. Ia membuktikan itu dengan meneliti pola-pola penyebaran kapitalisme di dunia. Tak perlu jauh untuk memahami penelitian Jamil, cukup kembali menegok di sekitar kita. Puncak kapitalisasi pendidikan Unhas kemarin yang berujung kekerasan adalah contoh paling nyata di pelupuk mata, bahwa kekerasan adalah alat paling sahih untuk menegakkan kapitalisme.

Alienasi dan kapitalisasi pengetahuan
Di perguruan-perguran tinggi, inilah paling mengancam kita. Yakni kapitalisasi perguruan tinggi akan benar-benar memisahkan kampus dengan persoalan hidup rakyat kecil. Harapan Soekarno agar pendidikan yang ada  tidak boleh memunggungi persoalan rakyat menjadi termentahkan lewat kapitalisai perguruan tinggi yang marak belakangan ini. Kapitalisasi pendidikan, ujung-ujungnya menciptakan privatisasi dan kapitalisasi pengetahuan, yang akhirnya membuat rakyat kecil teralienasi dari keberadaan kampus-kampus. Logika pendidikan yang diharuskan untuk adaptif terhadap pembangunan adalah logika kapitalisasi pendidikan itu sendiri yang diperhalus.

Dengan semangat mengedepankan parodi/jurusan teknik seperti arahan Presiden, disertai dengan semangat pengkapitalisasian pendidikan. Persekutuan pendidikan dan dunia industri menemukan momentum perkawinannya yang pas. Jadi, jangan heran dan terkatup-katup, ketika kita lebih mudah mendapati para intelektual kampus lebih sibuk melegitimasi reklamasi atau pendirian pabrik semen, di banding berpihak pada petani, nelayan dan rakyat kecil. Jangan heran, ketika penelitian-penelitian mahasiswanya lebih banyak diarahkan berorientasi pada upaya menemukan dan mengembangkan produk-produk yang bisabersinergi dengan korporasi-korporasi, ketimbang mengangkat tema-tema persoalan yang menjerat rakyat kecil. Ini adalah kenyataan-kenyataan yang kita saksikan sekaligus menunggu di depan mata.

Ini adalah salah satu konsekensi dari kampus yang resmi berorientasi diri sebagai institusi modal. Ia harus secara terus menerus harus memandang bahwa aktivitas keilmuan sebagai sebuah komoditi untuk mencapai target pendapatan kampus yang milyaran itu. Sehingga benarlah kata orang, bahwa penemuan itu pada dasarnya ideal pada tataran teori, tapi ia menjadi bisnis pada tataran praktik. Sebab kita berhadapan dengan kenyataan bahwa produk intelektual menjadi perkara bisnis. Benar kata Marx dalam Robin Small (2014--terj.), bahwa kemajuan secara umum dan akumulasi pengetahuan masyarakat (dalam konteks inipen.) dikuasai dengan gratis oleh kapital.

Kondisi lain yang menjadi dampak dari ini semua adalah kembalinya persoalan pendidikan kita pada ranah klasik, yakni ketimpangan distribusi ilmu pengetahuan yang tidak adil. Dikarenakan bahwa kapital telah mengkooptasi pendidikan terlebih dahulu, maka bentuk peminggiran terhadap rakyat kecil akan terus terjadi. Ini adalah proses pemborjuisan lembaga pendiidkan. Tidak hanya akan mengasingkan rakyat kecil untuk mengakses pendidikan, juga pada tataran cakupan keilmuan, dominasi sudut pandang keilmuan akan menyesaki kesadaran pelajarnya dengan satu sudut pandang penuh batasan. Kooptasi tentu saja tidak hanya berada dalam ambang batas akses terhadap pendidikan yang timpang, namun juga pada batasan-batasan keilmuan yang harus sesuai dengan kepentingan kapital.

Inilah resiko, sekaligus pergeseran fatal yang bakal terjadi ketika pendidikan benar-benar tumbuh sebagai institusi modal. Dimana moralitas-moralitas beserta segenap kesadaran yang menyertainya tak lain merupakan moralitas pasar semata. Ia benar-benar akan membunuh segala bentuk jalan dari munculnya kesadaran-kesadaran kritis yang bertentangan dengan kepentingan pasar. Dan tidak berlebihan ketika kita benar-benar mengatakan bahwa pendidikan dalam konteks seperti ini telah dibunuh, dibunuh perlahan-perlahan lewat kooptasi kesadaran pasar?

Apa yang hilang dari sekolah teknik kita?
Ketika pendidikan berjalan sebagai institusi modal, maka itu artinya telah terjadi pengkurusan kenyataan pendidikan sebagai institusi ideologi. Dan inilah yang terjadi. Pembukaan SMK ataupun jurusan-jurusan teknik di perguruan tinggi, hampir dipastikan bahwa ia lahir semata-mata sebagai jawaban atas tuntutan pasar semata, bukan tuntutan ideologi. Karena itu agak sulit untuk bisa melihat para lulusan sekolah teknik kita bisa lahir dengan kepribadian seperti Soekarno misalnya yang juga seorang insinyur teknik. Pun ketika ada hanya sedikit, ketimbang produk-produk pendidikan dengan kesadaran pasar yang pure.

Sekolah teknik kita, hanya mentok bisa melahirkan ‘tukang’. Tukang dalam arti sekadar pekerja yang kering dengan konsepsi-konsepsi ideologi. Paling banter kita temukan adalah kenyataan ketidakmampuan untuk membangun keterhubungan antara ilmu teknik yang mereka kuasai dengan hal-hal yang bersifat ideologis lainnya. Inilah yang pernah disebut Marx sebagai bentuk pemutusan kesadaran ideologis. Dalam pandangan Marx, bahwa seorang individu yang terspesialisasi dan terdidik secara sempit akan menjadi seseorang yang terputus dari seluruh umat manusia. Dan ini sangat mudah kita temui, seorang sarjana teknik atau lulusan sekolah yang tidak mampu menemukan keterkaitan antara keilmuan dan tugasnya sebagai seorang manusia.

Maka tidak heran ketika, kita melihat seorang sarjana teknik, bisa membangun gedung-gedung tinggi, sembari menggusur ladang dan rumah rakyat-rakyat kecil, tanpa sedikitpun merasa berdosa. Mereka-mereka para pekerja teknik ini, lulusan sekolah dan perguruan tinggi pasar hanya melihat bangunan dengan teras dan besi yang kuat sebagai pencapaian keilmuan, tanpa menganggap bahwa membangun dengan menginjak manusia lain sebagai persoalan yang terkait dengn keilmuan mereka. Sebagian mungkin abai dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, bahkan yang paling memalukan dari itu semua, adalah mereka yang justru lahir dengan kredo, menganggap bahwa menggusur untuk mebangun adalah keharusan. Ini yang paling gila! Ini sama gilanya ketika seorang sarjana pertanian, lebih pro pabrik baja dan pabrik semen ketimbang sawah dan perkebunan.

Apa yang menyebabkan itu semua? Lagi-lagi, pengetahuan yang berkembang, di tengah pendidikan yang telah terindustrialisasi oleh kepentingan pasar, akan mudah kita lihat kemana pengetahuan itu berpihak. Modal telah mensekulerkan kita dari persoalan-persoalan ideologi dalam ranah pendidikan. Ia benar-benar merenggutnya. Sama halnya yang terjadi terhadap agama. Kita selalu berkata bahwa komunis itu anti-agama, tapi kita lupa menganalisis bahwa yang membunuh agama sejak lahirnya adalah kapitalisme itu sendiri, menggantinya dengan imaji-imaji kekuasaan modal.

Saya sendiri, percaya bahwa kita butuh sekolah teknik. Tapi pertanyaannya, sekolah teknik yang mana? Sekolah teknik yang berpihak kepada siapa?

Disni saya teringat dengan analisis Rendra beberapa tahun silam dalam sebuah wawancara di media sebelum kepergian beliau. Mudah-mudahan saya tidak salah ingat. Ia mengurai persoalan substansi pendidikan kita yang melompat mengikuti ritme desain pendidikan kolonial. Saat Belanda menjajah nenek moyang kita, ilmu-ilmu yang diperkenalkan Belanda memang hanyalah ilmu-ilmu teknik. Tentu saja yang seturut dengan kepentingan belanda itu sendiri. Ada dua kepentingan Belanda, kenapa Belanda lebih memilih memperkenalkan ilmu teknik di sekolah-sekolah yang mereka ampuh saat itu. Yakni pertama, untuk mendapatkan tenaga kerja murah dalam mendukung pembangunan dan eksploitasi gula dan pabrik-pabrik mereka (kepentingan pasar mereka). Yang kedua, untuk menghalau muncul dan berkembangnya ilmu-ilmu humaniora dan sosial, yang bisa mengancam keberadaan mereka sebagai bangsa penajajah. Singkatnya, ilmu teknik diperkenalkan untuk itu.

Apa konsekuensi dari perkembangan pendidikan dengan desain seperti itu, yang diwarisi sekarang ini? Itu tadi, kembali lagi kepada persoalan sebelumnya. Lahirnya produk pendidikan yang mentok bermental pekerja toh saja, yang sama sekali tidak mengerti persoalan masyarakatnya. Atau bahasa lainnya intelektual-intelektual teknik yang tak memiliki keterkaitan kemanusiaan dengan masyarakatnya (terasing dari kehidupan kemanusiaannya sendiri). Karena itu tidak heran ketika produk-produk teknik dari pendidikan kita memang mengarah pada kepentingan pasar bukan kepentingan masayarakat. Dalam arti kita dijejalkan dengan pengetahuan teknik untuk mencipta tanpa didasari oleh landasan ideologi sosial yang kuat. Kita mencipta tidak dilandasi oleh riset tentang kebutuhan rakyat, melainkan disetting terlebih dalam pada kebutuhan-kebutuhan koorporasi.

Ilmu-ilmu sosial yang seharusnya bisa bersinergi dengan ilmu teknik justru dipisahkan menjauh dari kesadaran keilmuan kita. Seolah-olah mengafirmasi kenyataan bahwa ilmu teknik itu ya untuk teknik, tidak ada keterkaitan dengan persoalan sosial masyarakat. Di sekolah menengah kejuruan saja, ilmu sosiologi sebagai ilmu sosial dasar pun tidak ada dalam kurikulum. Saya tidak tahu apakah ini bentuk keblingeran atau apa?

Kembali lagi ke pernyataan sebelumnya. Saya sendiri, percaya bahwa kita butuh sekolah teknik. Tapi pertanyaannya selanjutnya, sekolah teknik yang mana? Sekolah teknik yang berpihak kepada siapa?




Penulis
Muhammad Ruslan

0 komentar:

Posting Komentar