![]() |
sumber foto: www.medihoki.net |
Isu SARA dan konflik politik yang terjadi akhir-akhir ini
cukup membuat kita pengap dan jenuh. Di beranda media sosial, prevalensi
informasi mengenai kasus DKI Ahok misalnya, bisa dikata hampir memadati
perbincangan, share, dan komentar. Beberapa
di antaranya justru bersifat destruktif. Pro-kontra berlangsung dalam
pembelaan-pembelaan, dan saling serang. Masing-masing berusaha untuk
mengcounter siapa yang benar, siapa yang salah, dan siapa yang berbohong.
Politik konspiratif kemudian muncul sebagai jawaban atas semakin rumitnya untuk
untuk mendudukkan persoalan dengan jernih.
Karena media sosial merupakan perangkat informatika tanpa
batas. Tak mengherankan ketika perbincangan-perbincangan ini pun menghinggapi
para pelajar. Di sekolah-sekolah para pelajar tak luput membincangkan persoalan
ini. Pemahaman dan kesadarannya akan apa yang terjadi, murni sangat bergantung
pada media sosial sebagai satu-satunya sumber informasi mereka. Beberapa pelajar
bahkan memperlihatkan ke saya video-video kerusuhan ataupun gambar-gambar
kesimpulan yang sangat sulit dipercayai kebenaranya. Dalam konteks ini, pelajar
menjadi objek informasi HOAX yang memprihatinkan. Baik lewat Facebook maupun Whatsapp, informasi yang sulit dipertanggungjawabkan itu menyebar
dari gadget pelajar ke pelajar
lainnya.
Sebab tak sedikit pula di antara para pelajar itu, bukan
hnaya menjadi subjek pengonsumsi informasi. Tapi juga pelaku yang ikut
‘mencipta’ lewat informasi-informasi yang ia share. Euforia panas perbedabatan, berseliweran antara fakta dan HOAX
ikut mempengaruhi cara mereka memandang kenyataan. Bahkan beberapa di antaranya hanya menyisakan
kebingungan bahkan ketakutan ikut menghantui beberapa anak akibat peristiwia-peristiwa
belakangan ini. Apalagi ketika proses identifikasi akan identitas mereka ikut
menghantui pikiran-pikirannya, identitas mereka yang memiliki pertautan akan
isu-isu SARA yang akhir-akhir ini dihembuskan.
Kita tentu prihatin akan hal itu semua. Kebingungan dan
ketakutan yang tak menemui jawaban dalam pikiran pelajar. Menjadi lahan subur
tumbuh kembanganya streotipe. Suatu bentuk rasa curiga yang tak berdasar.
Akibat gagalnya mereka menempatkan akar-akar persoalan dengan segenap fakta
sebagai sebuah fenomena yang terjadi.
Namun, ditengah kebingungan-kebingungan itu, kita justru
lebih banyak melihat fenomena sekolah yang bisu akan realitas-realitas seperti
itu. Bahkan beberapa (sekolah) justru menfatwakan agar para pelajar ini
mengabaikan realitas apapun yang terjadi di luar (khususnya fenomena Ahok, dll).
Dengan memandang fenomena di luar sebagai fenomena gelap, buruk, sedang anak
sebagai subjek yang tidak bisa berpikir kritis dalam konteks ini, mudah
dipengaruhi oleh informasi-informaisi gelap yang berseliweran. Intinya pelajar
hanya harus boleh fokus pada sekolahnya! Abaikan realitas! Begitu fatwa sekolah
memandang realitas.
Tak ada salah dengan itu sebenarnya. Hanya saja
menginstruksikan pelajar untuk fokus mengejar impian pribadinya saja sembari
memisahkan ia dengan realitas, dan atau mengabaikan kurosiotas ia akan realitas
luar justru menimbulkan kontradiksi-kontradiksi sendiri. Membiarkan kebingungan
itu menubuh, yang pada akhirnya akan terIalu sulit untuk menerka arah
kebingungan dan kebuntuan itu akan mengarah nantinya. Pola-pola ‘pendiaman’
ini, pada kenyataannya sama halnya
ketika kita juga justru ikut bertanggung jawab melahirkan generasi yang nantinya
tidak mengerti sama sekali kondisi-kondisi sosial yang terjadi. Yang
ujung-ujungnya menciptakan generasi yang bukan hanya tidak mengerti akan realitas
sosialnya, tapi juga abai, bahkan nantinya menjadi generasi yang apatis. Atau
yang paling buruk akan itu semua adalah generasi yang lahir dengan kesadaran-kesdaran
SARA yang terpendam.
Kita sudah terlalu banyak menyaksikan kenyataan itu. Para
keluaran sekolah-sekolah atau pendidikan-pendidikan yang tidak mengerti
persoalan masyarakatnya. Yang hanya sibuk memikirkan kepentingan-kepentingan
pribadinya semata. Sembari menafikan bahwa pada hakikatnya ia punya tanggung
jawab intelektual nantinya karena keterpelajaran yang ia miliki. Bahkan dalam
konteks SARA, kita tak bisa menutup mata bahwa beberapa pelajar memendam hal
ini, bahkan beberapa justru ikut ditingkat praksis sebagai pelaku SARA.
Di atas itu semua, lagi-lagi penyakit kronis yang melanda
konsep-konsep pendidikan kita secara umum kembali lagi pada hal-hal yang
sifatnya kontekstual. Kita menyaksikan bahkan ikut merayakan ‘kematian’ sekolah,
akibat terpisahnya atau memisahkan dirinya (sekolah) terhadap realitas-realitas
sosial politik yang terjadi. Dalam konteks tadi, membiarkan sekolah menjadi
abai akan realitas, bukan hanya menyisakan kebingungan-kebingungan atas diri
pelajar yang mau tak mau sudah terlanjur melihat kenyataan dengan samar-samar
ewat media sosial. Tapi juga merayakan pembekuan nalar, yang pada kenyataannya
ikut bertanggung jawab atas terpeliharanya kesadaran-kesadaran pelajar yang penuh
dengan kesimpang siuran dalam memahami realitas.
Aku, begitu mudah melihat, kesadaran pelajar yang menyimpang
benih-benih kebencian berselubung kebingungan terhadap segala sesuatu ketika ia memandang ke luar dari identitas mereka. Ketergantungan mereka terhadap media sosial ikut membentuk hal
itu. HOAX dikonsumsi tanpa sadar bahwa apa yang ia konsumsi adalah informasi
yang di dalamnya telah terkontaminasi kebencian dengan segenap absurditas atas
informasi. Baik kebencian yang di satu pihak maupun oleh pihak yang lain.
Kita bisa
merasakan, kenyataan bahwa mereka yang kita sebut ‘mayoritas’ lebih mudah
terlihat mengeskpresikan kebencian itu (apakah itu dalam bentuk frontal bahkan
dalam bentuk paling ringan sekalipun seperti candaan, dll), sedang bukan
berarti yang kita sebut ‘minoritas’ tidak memendam respon kebencian yang sama. Bedanya satu yang mudah mengeskpresikan, satu
yang lebih memilih memendam, karena kondisi-kondisi lain yang mengkondisikannya.
Dan hal-hal ini tak lepas terjadi di dunia pelajar sekalipun. Apalagi
ketika peristiwa-peristiwa politik yang terjadi akhir-akhir ini yang banyak
menbocengi isu-isu SARA. Dari kasus Ahok di Jakarta, Tanjung Balai baru-baru
ini, dan beberapa kasus yang
sama di beberapa tempat yang lainnya.
Dalam konteks ini
apa yang ingin saya katakan adalah bahwa sekolah dengan segenap kehidupan para
pelajar kita juga sangat dekat dengan SARA.
Apa sebenarnya yang harus dilakukan oleh sekolah, adalah
seharusnya ia memainkan perannya sebagai pranata intelektual itu sendiri.
Sekolah seharusnya ikut menjernihkan persoalan yang sebenarnya di hadapan para
pelajar (khususnya sekolah-sekolah menengah). Mendudukkan dan membentangkan
segala persoalan yang terjadi pada tempat yang jernih di hadapan para pelajar.
Melampaui isu-isu SARA yang mendominasi sumber informasi.
Hanya dengan begitu kita bisa berharap bahwa mata rantai
kebencian dan isu SARA bisa diretas di tingkat paling kultur bernama sekolah.
Segala persoalan-persoalan harus dibedah, dan dibawa dalam ruang-ruang belajar.
Agar kesadaran ambigu yang menguasai pikiran-pikiran pelajar benar-benar bisa
ditepis. Sehingga harapan kita: kita benar-benar bisa berharap lahirnya
generasi-generasi yang memiliki kesadaran sosial yang tepat akan
persoalan-persoalan yang terjadi. Lagi-lagi melampaui kesadaran-kesadaran SARA,
fasis, dan semi kesadaran intransifit kebencian lainnya.
Karena lagi-lagi membiarkan sekolah terperangkap dalam
budaya bisu seperti itu. Bukannya membuat suasana menjadi kondusif, justru sebaliknya
sama saja dengan membiarkan kebingungan-kebingungan pelajar akan realitas, terakumulasi
yang akhirnya membusuk berpotensi melahirkan atau mungkin menyambung kebencian-kebencian
yang laten, akibat gagalnya ia memahami, mendudukan dan memahami persoalan yang
sebenarnya.
-Muhammad Ruslan-
0 komentar:
Posting Komentar