| one article - one struggle |

Rabu, 25 Januari 2017

Isu SARA, Apa yang harus Sekolah Lakukan?

sumber foto: www.medihoki.net
Isu SARA dan konflik politik yang terjadi akhir-akhir ini cukup membuat kita pengap dan jenuh. Di beranda media sosial, prevalensi informasi mengenai kasus DKI Ahok misalnya, bisa dikata hampir memadati perbincangan, share, dan komentar. Beberapa di antaranya justru bersifat destruktif. Pro-kontra berlangsung dalam pembelaan-pembelaan, dan saling serang. Masing-masing berusaha untuk mengcounter siapa yang benar, siapa yang salah, dan siapa yang berbohong. Politik konspiratif kemudian muncul sebagai jawaban atas semakin rumitnya untuk untuk mendudukkan persoalan dengan jernih.

Karena media sosial merupakan perangkat informatika tanpa batas. Tak mengherankan ketika perbincangan-perbincangan ini pun menghinggapi para pelajar. Di sekolah-sekolah para pelajar tak luput membincangkan persoalan ini. Pemahaman dan kesadarannya akan apa yang terjadi, murni sangat bergantung pada media sosial sebagai satu-satunya sumber informasi mereka. Beberapa pelajar bahkan memperlihatkan ke saya video-video kerusuhan ataupun gambar-gambar kesimpulan yang sangat sulit dipercayai kebenaranya. Dalam konteks ini, pelajar menjadi objek informasi HOAX yang memprihatinkan. Baik lewat Facebook maupun Whatsapp, informasi yang sulit dipertanggungjawabkan itu menyebar dari gadget pelajar ke pelajar lainnya.

Sebab tak sedikit pula di antara para pelajar itu, bukan hnaya menjadi subjek pengonsumsi informasi. Tapi juga pelaku yang ikut ‘mencipta’ lewat informasi-informasi yang ia share. Euforia panas perbedabatan, berseliweran antara fakta dan HOAX ikut mempengaruhi cara mereka memandang kenyataan. Bahkan  beberapa di antaranya hanya menyisakan kebingungan bahkan ketakutan ikut menghantui beberapa anak akibat peristiwia-peristiwa belakangan ini. Apalagi ketika proses identifikasi akan identitas mereka ikut menghantui pikiran-pikirannya, identitas mereka yang memiliki pertautan akan isu-isu SARA yang akhir-akhir ini dihembuskan.

Kita tentu prihatin akan hal itu semua. Kebingungan dan ketakutan yang tak menemui jawaban dalam pikiran pelajar. Menjadi lahan subur tumbuh kembanganya streotipe. Suatu bentuk rasa curiga yang tak berdasar. Akibat gagalnya mereka menempatkan akar-akar persoalan dengan segenap fakta sebagai sebuah fenomena yang terjadi.

Namun, ditengah kebingungan-kebingungan itu, kita justru lebih banyak melihat fenomena sekolah yang bisu akan realitas-realitas seperti itu. Bahkan beberapa (sekolah) justru menfatwakan agar para pelajar ini mengabaikan realitas apapun yang terjadi di luar (khususnya fenomena Ahok, dll). Dengan memandang fenomena di luar sebagai fenomena gelap, buruk, sedang anak sebagai subjek yang tidak bisa berpikir kritis dalam konteks ini, mudah dipengaruhi oleh informasi-informaisi gelap yang berseliweran. Intinya pelajar hanya harus boleh fokus pada sekolahnya! Abaikan realitas! Begitu fatwa sekolah memandang realitas.

Tak ada salah dengan itu sebenarnya. Hanya saja menginstruksikan pelajar untuk fokus mengejar impian pribadinya saja sembari memisahkan ia dengan realitas, dan atau mengabaikan kurosiotas ia akan realitas luar justru menimbulkan kontradiksi-kontradiksi sendiri. Membiarkan kebingungan itu menubuh, yang pada akhirnya akan terIalu sulit untuk menerka arah kebingungan dan kebuntuan itu akan mengarah nantinya. Pola-pola ‘pendiaman’ ini, pada kenyataannya  sama halnya ketika kita juga justru ikut bertanggung jawab melahirkan generasi yang nantinya tidak mengerti sama sekali kondisi-kondisi sosial yang terjadi. Yang ujung-ujungnya menciptakan generasi yang bukan hanya tidak mengerti akan realitas sosialnya, tapi juga abai, bahkan nantinya menjadi generasi yang apatis. Atau yang paling buruk akan itu semua adalah generasi yang lahir dengan kesadaran-kesdaran SARA yang terpendam.

Kita sudah terlalu banyak menyaksikan kenyataan itu. Para keluaran sekolah-sekolah atau pendidikan-pendidikan yang tidak mengerti persoalan masyarakatnya. Yang hanya sibuk memikirkan kepentingan-kepentingan pribadinya semata. Sembari menafikan bahwa pada hakikatnya ia punya tanggung jawab intelektual nantinya karena keterpelajaran yang ia miliki. Bahkan dalam konteks SARA, kita tak bisa menutup mata bahwa beberapa pelajar memendam hal ini, bahkan beberapa justru ikut ditingkat praksis sebagai pelaku SARA.

Di atas itu semua, lagi-lagi penyakit kronis yang melanda konsep-konsep pendidikan kita secara umum kembali lagi pada hal-hal yang sifatnya kontekstual. Kita menyaksikan bahkan ikut merayakan ‘kematian’ sekolah, akibat terpisahnya atau memisahkan dirinya (sekolah) terhadap realitas-realitas sosial politik yang terjadi. Dalam konteks tadi, membiarkan sekolah menjadi abai akan realitas, bukan hanya menyisakan kebingungan-kebingungan atas diri pelajar yang mau tak mau sudah terlanjur melihat kenyataan dengan samar-samar ewat media sosial. Tapi juga merayakan pembekuan nalar, yang pada kenyataannya ikut bertanggung jawab atas terpeliharanya kesadaran-kesadaran pelajar yang penuh dengan kesimpang siuran dalam memahami realitas.

Aku, begitu mudah melihat, kesadaran pelajar yang menyimpang benih-benih kebencian berselubung kebingungan terhadap segala sesuatu ketika ia memandang ke luar dari identitas mereka. Ketergantungan mereka terhadap media sosial ikut membentuk hal itu. HOAX dikonsumsi tanpa sadar bahwa apa yang ia konsumsi adalah informasi yang di dalamnya telah terkontaminasi kebencian dengan segenap absurditas atas informasi. Baik kebencian yang di satu pihak maupun oleh pihak yang lain.

Kita bisa merasakan, kenyataan bahwa mereka yang kita sebut ‘mayoritas’ lebih mudah terlihat mengeskpresikan kebencian itu (apakah itu dalam bentuk frontal bahkan dalam bentuk paling ringan sekalipun seperti candaan, dll), sedang bukan berarti yang kita sebut ‘minoritas’ tidak memendam respon kebencian yang sama.  Bedanya satu yang mudah mengeskpresikan, satu yang lebih memilih memendam, karena kondisi-kondisi lain yang mengkondisikannya. Dan hal-hal ini tak lepas terjadi di dunia pelajar sekalipun. Apalagi ketika peristiwa-peristiwa politik yang terjadi akhir-akhir ini yang banyak menbocengi isu-isu SARA. Dari kasus Ahok di Jakarta, Tanjung Balai baru-baru ini, dan beberapa kasus yang sama di beberapa tempat yang lainnya.

Dalam konteks ini apa yang ingin saya katakan adalah bahwa sekolah dengan segenap kehidupan para pelajar kita juga sangat dekat dengan SARA.

Apa sebenarnya yang harus dilakukan oleh sekolah, adalah seharusnya ia memainkan perannya sebagai pranata intelektual itu sendiri. Sekolah seharusnya ikut menjernihkan persoalan yang sebenarnya di hadapan para pelajar (khususnya sekolah-sekolah menengah). Mendudukkan dan membentangkan segala persoalan yang terjadi pada tempat yang jernih di hadapan para pelajar. Melampaui isu-isu SARA yang mendominasi sumber informasi.

Hanya dengan begitu kita bisa berharap bahwa mata rantai kebencian dan isu SARA bisa diretas di tingkat paling kultur bernama sekolah. Segala persoalan-persoalan harus dibedah, dan dibawa dalam ruang-ruang belajar. Agar kesadaran ambigu yang menguasai pikiran-pikiran pelajar benar-benar bisa ditepis. Sehingga harapan kita: kita benar-benar bisa berharap lahirnya generasi-generasi yang memiliki kesadaran sosial yang tepat akan persoalan-persoalan yang terjadi. Lagi-lagi melampaui kesadaran-kesadaran SARA, fasis, dan semi kesadaran intransifit kebencian lainnya.

Karena lagi-lagi membiarkan sekolah terperangkap dalam budaya bisu seperti itu. Bukannya membuat suasana menjadi kondusif, justru sebaliknya sama saja dengan membiarkan kebingungan-kebingungan pelajar akan realitas, terakumulasi yang akhirnya membusuk berpotensi melahirkan atau mungkin menyambung kebencian-kebencian yang laten, akibat gagalnya ia memahami, mendudukan dan memahami persoalan yang sebenarnya.


-Muhammad Ruslan-

0 komentar:

Posting Komentar