| one article - one struggle |

Rabu, 25 Januari 2017

Titik Balik Pengetahuan dan Stagnasi Kita


Kalau di media sosial muncul sarkasme yangmengatakan orang Indonesia kearab-araban, sedangkan Arab kebarat-baratan, maka dalam perkembangan ilmu pengetahuan kita juga memperlihatkan siklus terbalik. Ilmu pengetahuan kita menjadi kebarat-baratan saat yang sama Barat justru diam-diam mempelajari ketimuran.

Gagasan back to nature ala JJ Roessau, atau gagasan pensejajaran fisika modern dan mistisisme ketimuran dari Fritjof Chapra memperlihatkan dinamika perkembangan pengetahuan Barat yang berputar itu. Upaya menggali dan kembali membongkar naskah-naskah kuno ketimuran yang selama ini diabaikan, seperti menemukan kembali apa yang hilang bagi mereka. Apa yang mereka sebut takhayul dan mitos-mitos ketimuran itu justru diam-diam dikaji kembali. Chapra bahkan menyebut fenomena ini sebagai titik balik peradaban.

Sedang apa yang terjadi di Timur, Indonesia khususnya? Kita seperti baru saja terasa mengakhiri masa merangkak menjadi baligh. Baru saja memamah masa gelap kita sembari mengutuk segala bentuk apa yang kita definisikan sebagai mitos sebagai sesuatu yang kolot, yang tak lain dalah peradaban nenek moyang kita sendiri. Sembari mengalihkan pandang pada peradaban Barat yang gemilang karena pencapaian akal dan segenap antroposentrisme pengetahuannya yang maskulin. Teknologi yang diciptakan Barat semakin membuat kredo ketakjuban kita menjadi-jadi.

Gagasan-gagasan yang pernah mengguncang pencapaian peradaban Barat dua hingga tiga abad lampau, baru saja menghampiri kita. Sekularisasi dan positivisme pengetahuan seperti sebuah sabda bagi orang timur sekarang ini. Ia seperti bodhi, kredo jalan dari perkembangan adopsi corak pengetahuan Barat yang diinteranalisasi dalam berbagai perangkat intitusi pendidikan kita hari ini.

Sangat mudah mengidentifikasi hal ini. Generasi-generasi tua yang masih mendominasi aktivitas kampus hari ini masih menjadi pertanda bahwa tradisi keilmuan abad ke-18 ini, masih menguasai lalu-lintas intelektual kita sekarang ini. Bagi Anda yang masih berkutat dengan aktivitas kampus, sangat mudah merasakan atmosfer ini. Khususnya saat ingin penelitian, dan mendapatkan pembimbing yang tua-tua. Hehe (meskipun tidak semunya).

Terlebih lagi di lingkup pendidikan dasar hingga menengah. Bidang ekonomi misalnya, coba kita lihat teori-teori ekonomi yang diajarkan sampai hari ini misalnya. Teori-teori ekonomi yang sudah seharusnya kadarluarsa, namun masih terus direproduksi saat ini tanpa pernah direvisi, apalagi dikritisi. Dari jaman nenek moyang keturunan XVI sampai sekarang. Yang diajarkan sebagai pokok dasar persoalan ekonomi hanyalah itu-itu saja: What, How dan Whom. Ini tak lain merupakan masalah pokok ekonomi paling klasik, yang muncul saat pertama kali meletus revolusi industri. Saat manusia masih kebingungan dalam memanfaatkan teknologi industri untuk kepentingan pasar. Antara apa yang diproduksi, bagaimana memproduksinya hingga pertanyaan untuk siapa barang itu diproduksi.

Tak jauh berbeda ketika misalnya teori-teori ekonomi abad ke-18 ini masih menjadikan isu kelangkaan karena faktor alam sebagai simpul pokok persoalan ekonomi. Isu-isu kelangkaan yang didefinisikan dalam persepktif akumulasi modal dan eksploitasi alam. Kelangkaan barang yang mengharuskan manusia mendekati persoalan ekonomi lewat penigkatan produksi secara massif, yang berarti eksploitasi, akumulasi, dan surplus value.

Padahal, saat ini kita justru berhadapan dengan suatu persoalan ekonomi yang terbalik 180 derajat dari konsepsi itu semua. Bukan tentang kelangkaan yang kadang menjadi persoalan ekonomi, tapi justru sebaliknya, kita berhadapan dengan fenomena overproduksi. Overproduksi yang berpangkal pada eksploitasi alam dan buruh yang sangat cepat akibat teknologi yang tak terkontrol. Namun, Overprduksi ini selain telah berhasil membuat sebagian kecil manusia kekenyangan, namun justru tetap membuat sebagian besar manusia yang lain tetap kelaparan. Ada apa? Justru hal-hal ini tidak pernah dikonsepsi sebagai persoalan ekonomi.

Begitupun halnya, bahwa persoalan ekonomi yang kita hadapi saat ini tidak lagi sekadar berhulu pada persoalan produksi semata. Kita berhadapan dengan persoalan ekonomi yang kompleks dari hulu ke hilir. Dari produksi, hingga distribusi dan konsumsi. Persoalan distribusi adalah persoaan ketimpangan dan ketidakadilan dalam mengakses sumber daya ekonomi, yang melahirkan kejahatan struktural berupa pemiskinan dan penghancuran ekologis.

Alih-alih ingin mengatasi kelangkaan dengan produksi, kita justru mengalami suatu proses penambalan masalah ‘kecil’ menuju masalah yang lebih besar. Seperti kata Illich, kita mengatasi kelangkaan relatif menuju kelangkaan absolut. Masa depan sumber daya alam dengan karkater yang tidak mudah diperbarui itu terancam punah terlebih dahulu ketimbang bisa memenuhi kebutuhan manusia jangka panjang.

Peningkatan konsumsi akan modal, tenaga kerja, sumber daya alam untuk kepentingan produksi, justru pada kenyataannya tidak membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik. Atas nama efisiensi dan logika akumulatif, barang-barang justru sengaja diproduksi dengan kualitas yang rendah. Untuk tetap bisa mempertahankan siklus akumulasi modal kapitalisme bertahan. Dampaknya cukup serius, akumulasi laba meningkat tajam, konsumsi meningkat drastis, namun angka harapan hidup rakyat kecil semakin mengenaskan. Dan apakah semua hal-hal ini telah disbutitusikan sebagai persoalan pokok ekonomi sekarang ini?

Saat ini, di Barat sendiri, perkembangan pemikiran dan paradigma pengetahuan sudah jauh melampaui apa yang justru terus menerus menjadi objek pengetahuan kita saat ini. Paradigma antorposentrisme dan positivisme pengetahuan yang menjadi corak pengetahuan pasca Rennaisans justru dianggap sebagai biang keladi persoalan kemanusiaan yang inheren melanda peradaban Barat itu sendiri. Krisis sosial yang terjadi, dan krisis ekologi yang mengguncang Barat, adalah ekses dari paradigma pengetahuan yang mndewakan manusia dengan segenap kekuasaan pasar yang ada. Kapitalisme benar-benar menampakkan wajahnya dengan vulgar dengan segala bentuk kekejaman dan penindasan yang menyertainya.

Sebagai kritik akan realitas itu, di Barat sendiri ada banyak paradigma-paradimga pengetahuan yang muncul dengan karakternya yang holistik. Salah satunya adalah paradigma pengetahuan hijau, yang mencoba merangkul sisi-sisi ekologis, spritualitas alam dan sosial dalam melakukan rekonsepsi ulang terhadap ilmu pengetahuan. Lebih dikenal dengan istilah ekonomi hijau. Misalnya, dengan mensubtitusi faktor-faktor lain dalam merumuskan ulang pendefinisian-pendefinisian tentang ukuran-ukuran kesejahteraan dalam ranah kualitas, dengan melibatkan faktor-faktor alam dan manusianya. Dll.

Penguatan paradigma hijau, bahkan tidak hanya menginspirasi lahirnya rekonstruksi teoritis pada berbagai ranah pengetahuan, tapi juga di ranah praktis. Ia bahkan muncul sebagai sebuah paradigma gerakan, seperti dengan munculnya partai-partai politik progressif yang menamakan diri partai hijau (termasuk di Indonesia).

Saat ini, kita sebenarnya bisa dikatakan mengalami dua persoalan serius dalam melihat dinamika perkembangan pemikiran yang ada saat ini. Yang pertama adalah pentaglikan berlebihan kita terhadap produk pengetahuan Barat yang membuat kita kehilangan sikap kritis dan unsur kreativitas dalam mencipta pengetahuan sendiri. Membuat tidak hanya produk duplikasi pengetahuan tetapi juga dengan segenap dampak-dampaknya. Dalam konteks ini, saya teringat salah satu sajak Rendra yang berkata: “Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing | tekad-tekad hanya boleh membeli metode | tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan | kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa |menghayati sendiri semua persoalan yang nyata”.

Persoalan yang kedua adalah sebagian justru berlindung di balik segala fundamentalisme doktrin anti-asing, kembali ke lokalitas, namun justru gagap dalam melakukan reinterpretasi atas kebudayaan lama. Akibatnya gagasan-gagasan yang ada hanya bisa membeku, diterima layaknya mantra suci penuh dogma. Kegagalan dalam melakukan rasionalisai dan sinkronisasi kemajuan terhadap segala bentuk kebudayaan lama yang membuat kita stagnan.

Dan yang paling ironis dari itu semua, adalah bahwa kita dilanda stagnasi intelektual yang akut. Agama dengan segala bentuk penafsiran konservatis atasnya justru seringkali menjadi penyebab dari menjamurnya kesadaran-kesdaran fatalisme berpengetahuan. Akibatnya disksursus-diskursus pengetahuan tidak pernah berkembang dengan dinamis dan serius.

Alih-alih untuk bisa memikirkan diskursus pengetahuan alternatif, kita lebih memilih melemparkan diri ke dalam klise fatalisme-fatalisme moral. Ini sangat mudah diidentifikasi, saat lembaga-lembaga pendidikan yang ada misalnya, lebih dominan menjadi polisi moral ketimbang upaya untuk membangun dan membangkitkan kesadaran kritis pelajar.  

Sepertinya deman agama dan gila moralitas yang melanda lembaga pendidikan kita saat ini, mengingatkan saya pada gila agama yang melanda Eropa di abad-abad kegelapan (dark age) dua/tiga abad yang lampau. Gila agama yang muncul dengan wajah dogma yang anti terhadap segala bentuk pengetahuan yang tidak bersumber dari (penafsiran otoritas agama) terhadap kitab-kitab suci. Dan itu menjangkiti tidak hanya lembaga agama, tapi juga lembaga-lembaga pengetahuan yang ada saat itu.

Dan saya merasa kenyataan-kenyataan ini pun hingga akirnya terbawa di masyarakat. Apa yang paling terus menerus membuat kita ribut akhir-akhir ini? Diskurus pengetahuan baru? Bukan. Isunya selalu berputar pada hal-hal itu saja. Agama! dengan segala bentuk penafsiran konservatisme atasnya.




Penulis
Muhammad Ruslan

0 komentar:

Posting Komentar