| one article - one struggle |

Senin, 08 Agustus 2016

Full Day School

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. sumber foto: www.blajar.co.id

Full day school, begitulah istilah sekaligus kebijakan yang diperkenalkan dan direcanakan Menteri Pendidikan yang baru pasca resufle, Muhadjir Effendy. Apa arti, tak lain adalah upaya untuk menambah durasi sekolah hingga satu hari full. Katanya, berlaku untuk SD dan SMP.
Apakah karena tuntutan kecerdasan yang mendesak? Tentu tidak. Alasannya sederhana, "orang tua anak sibuk kerja, anak tidak terawasi pasca sekolah", begitu kurang lebih jawaban Pak Menteri baru. Agar lebih ilmiah, dibubuhinya dengan lagu lama: "Kualitas pendidikan kita masih sangat lemah, untuk meningkatkan, ya tambah jam sekolah". Kalau masalah ini jangan tanya Pak Menteri tentang data apalagi hasil kajian (?).
"Tidak terawasinya anak pasca sekolah berpotensi terjadi tindakan yang tidak diinginkan". Begitulah gambaran potret buram, gambaran buruk masyarakat di kepala Pak Menteri. Karena itu, full day school semacam safety bagi anak.
Terus, kalau lembaga pendidikan disetting sudah jadi tempat penitipan anak seperti itu, maka apa arti dari proses belajar yang sebenarnya? Sekolah sudah dipersepsi sebagai lingkungan suci untuk terhindar dari realitas luar yang penuh penyimpangan--- dengan menafikan secara total keberadaan sekolah yang juga kadang-kadang menjadi perangkat yang menindas. Atas nama moralitas, ia mengkonstruk pendidikan untuk benar-benar berpisah dari realitasnya. Bagaimana dengan anak, yang orang tuanya bukan pekerja kantoran? Kenapa kebijakan ini seperti hanya mengakomodir pola dan rutinitas hidup kelompok masyarakat tertentu saja?
Bahkan, digadang-gadang oleh Pak Menteri untuk mengatakan bahwa inilah kurang lebih gambaran "restorasi pendidikan" yang ia kata. Suatu ide-ide romantik, yang tak lebih merupakan retorika baru dengan ide lama yang dikonstruksi ulang. Ini hanya menebalkan pesimisme akan nasib pendidikan di tangan produk sistem lama. Bahwa ide-ide lama, seperti full day school tak lebih merupakan ide-ide yang notabene seharusnya lahir dari masyarakat 1 abad lampau. Yang tak senafas lagi dengan tuntutan pendidikan abad kekinian.
Kenapa? Apa yang kita pahami tentang sekolah hari ini? Selain bahwa sekolah harus bekerja secara mekanik, seperti sebuah mesin produksi. Menyerap nilai-nilai pasar, dengan mengukur efektivitas lewat jam produksi yang panjang. Dengan menempatkan target pencapaian sebagai arah dan tujuan, target yang tak lebih merupakan kebutuhan pemerintah bukan kebutuhan anak.
Tapi ada hal yang lupa untuk dilihat, bahwa, kita tidak bisa lagi terus berorientasi hanya melihat pendidikan dari sudut pandang hasil, yakni seprangkat target pengetahuan yang distandardisasi untuk diraih secara paksa. Tapi juga melihat sisi proses: sisi manusiawi dari proses pendidikan yang ada. Dengan realitas pendidikan yang semakin pengap hari ini, dengan setumpuk target dan aturan yang membelenggu anak hari ini, bukankah dengan ide-ide full day school hanya akan menambal belenggu "pengkandangan" anak yang justru memperlebar tergerusnya sisi manusiawi anak. Pendidikan semakin tampak dengan wajah tidak manusiawi dalam konteks ini.
Di tengah kondisi pendidikan kita yang sangat kaku sekarang ini: penuh dengan tuntutan, target, standar, aturan, hingga paksaan yang berujung belenggu, kita justru menambah jam lebih lama untuk menjalani hal itu. Coba, Pak Menteri bertanya: berapa sih anak yang merasa senang dengan jam belajar terlalu lama hari ini? Bahkan Indonesia yang tergolong sebagai negara dengan jam belajar yang lama di dunia, pun tidak juga menghasilkan anak dengn kecerdasan luar biasa. Justru kemungkinan dengan hal itu, sebaliknya ikut menumpulkan kreativitas anak, karena salah satunya ia kehilangan ruang untuk berinteraksi secara luas, karena sistem persekolahan demikian.
Saat ini, arah perjalanan pendidikan, tak melulu harus dilihat dari pencapaian mercusuar atasnya, apalagi kalau hanya dilihat dari target pencapaian positivistik yang diraih. Tetapi juga harus dilihat dan dikonstruksi pada ranah kemanusiaan: "Apakah proses dan sistem pendidikan yang dikonstruk, sudah benar-benar mengakomodasi sisi- sisi manusiawi sang anak?"
Selain itu, karena sekolah dalam konteks ini sudah berfungsi sebagai tempat penitipan anak, maka tak heran kalau Pak Menteri punya ide brilian akan hal itu: Naikkan iuran! "Masyarakat harus tetap berpartisipasi dalam pendidikan," ujarnya bersemangat. Memang ide Pak Menteri sangat demokratis: tak ada yang menyanggah hal itu. Kata "partisipasi" menggambarkan hal itu. Meskipun kata " partisipasi" ini, tak lebih tak kurang bermakna pelibatan masyarakat dalam membiayai pendidikan! Ane buat konsep: lu yang biayai!

penulis
Muhammad Ruslan

repost: catatan facebook (mohammed roeslank)

0 komentar:

Posting Komentar