![]() |
Para pelajar bersiap eskul di salah satu sekolah di Batam |
Kemendikbud telah
mengeluarkan Permendikbud No. 23 Tahun 2017 di tengah pro-kontra
yang tak usai. Peraturan yang nantinya mengatur secara teknis pelaksanaan
sekolah 5 hari/sekolah 8 jam sehari atau lazim kita kenal Full Day
School (FDS). Sampai sebelum peraturan ini dilaksanakan tuntutan agar
penolakan FDS ini masih belum usai, bahkan semakin menggelinding. Penolakan
datang tidak hanya dari kota-kota besar, tapi juga dari masyarakat di banyak
daerah.
Kita tentu saja tidak
ingin melihat praktik otoriter dan bebal anti-aspirasi ditunjukkan oleh Menteri
Pendidikan kita. Mengingat (dalam pengamatan saya), jumlah penolakan terhadap
ide ini (FDS) jauh lebih banyak ketimbang mereka yang bersepakat. Sebagai
Menteri Pendidikan sungguh tak elegan kelihatan ketika sikap anti-demokrasi
justru ingin diperlihatkan aparat institusi pendidikan, dengan mengabaikan
suara (khendak) masyarakat?
Dialog?
Hampir di setiap perkara
kebijakan publik, para pemangku kebijakan selalu mengulang kebiasaan buruk yang
sama yang selalu menjadi sumber persoalan nantinya, yakni dilahirkannya
kebijakan publik tanpa dilalui dialog terlebih dahulu, tak terkecuali terhadap
ide FDS ini. Padahal esensi dari setiap kebijakan yang terpaut dengan publik, semestinya
harus melibatkan publik itu sendiri untuk ikut menentukan apa yang baik dan apa
yang tidak mesti dilakukan. Bukan justru mengandalkan imajinasi satu orang yang
dijadikan satu-satunya sumber keputusan untuk melahirkan kebijakan publik yang
mesti dipaksakan kepada publik.
Melihat rentang histori
ide FDS ini, kita melihat hal itu. Hanya menjelang beberapa hari setelah
pelantikan menteri baru (hasil resuffle), tanpa ada proses dialog
terlebih dahulu, kita justru sudah disodorkan dengan ide ini, Full Day
School. Seolah-olah terkesan bahwa ide ini adalah produk instan dari
ketiadaan kesiapan yang memadai. Yang penting baru, dengan prinisip “menteri
baru kebijakan baru”, agar terlihat berbeda. Yang akhirnya, mengabaikan
hal-hal substansial. Dibanding dengan FDS, saya rasa ada banyak persoalan
pendidikan lain saat ini yang menuntut reformasi kebijakan pendidikan yang
mestinya diprioritaskan.
Pangkal dari
ketidakdalaman asumsi atau pemahaman terhadap apa yang mesti diprioritaskan
sebenarnya berpangkal pada keengganan pemangku kebijakan untuk memulai proses
perumusan kebijakan publik dengan dialog. Pengabaian keberadaan masyarakat,
hingga mengabaikan khendak siswa yang seharusnya menjadi pihak utama yang
berkepentingan terhadap kebijakan pendidikan ini. Kepada Freire kita boleh
belajar. Salah seorang aktivis pendidikan Brazil yang pada saat diangkat
menjadi Sekertaris Pendidikan Nasional Brazil (1986). Apa yang dilakukan
pertama kali Freire ketika kekuasaan itu berada di tangannya? Dialog! Dialog
sebagai awal mula untuk merumuskan kebijakan publik.
Ia berkeliling bukan
sekadar datang secara ceremony untuk menggunting pita-pita
acara lalu pergi. Tidak. Tidak pula ia datang sebagai supervisi, datang untuk
menunjukkan kesalahan lalu menunjukkan di publik untuk mencari popularitas. Ia
(Freire) datang sebagai seorang peneliti untuk berdialog, berdiskusi, serta
ingin memahami sudut pandang masyarakatnya tentang pendidikan, yang nantinya ia
serap dalam bentuk kebijakan.
Menariknya, subjek yang
ia ajak berdialog oleh Freire, di tingkat internal bukan hanya pengawas
sekolah, kepala sekolah, orang tua murid, bahkan siswa hingga petugas-petugas
kantin dan kebersihan pun diajak berdialog. Di tingkat eksternal pun demikian,
Freire sangat memprioritaskan berdialog dengan gerakan-gerakan akar rumput di
setiap daerah yang bergerak di bidang pendidikan untuk memahami ide-ide mereka
tentang bagaimana persoalan pendidikan dan model-model pendidikan yang ideal
dari sudut pandang aktivis. Melibatkan publik dalam merumuskan
gagasan adalah kuncinya. Kalau saja sebelum ditelurkannya kebijakan sekolah 5
hari ini dilakukan dialog, saya yakin kekisruhan ini tidak bakal terjadi.
Bahkan mungkin sebaliknya, pemangku kebijakan bisa menemukan prioritas
persoalan-persoalan fundamental yang mendesak mesti diselesaikan di tingkat
persekolahan.
Untuk siapa?
Kita masih berharap agar
rencana kebijakan ini sebaiknya dipertimbangkan ulang untuk diterapkan dengan
memperhatikan secara cermat aspirasi dan kritik-kritik yang lahir dari kalangan
publik. Ada kesan yang sangat kuat bahwa ide FDS ini sangat mengabaikan
kepentingan siswa. Tampak bahwa yang paling dirugikan dari kebijakan ini adalah
siswa.
Sejak awal ide ini
diperkenalkan, alasan yang dijadikan back up argumen hanya
berkutat pada alasan orang tua (pekerja kantoran) sedang bekerja. Karena itu
FDS praktis bisa menjadikan juga sekolah sebagai tempat pentipan anak sementara
hingga orang tua yang segmennya pekerja kantoran itu pulang kerja. Begitupun
alasan lain, yang kemudian diutarakan menjelang dikeluarkannya aturan tersebut
adalah alasan dari sudut pandang keberadaan guru. Sekolah 5 hari ini yang
sebenarnya ingin menyasar guru-guru yang sudah bersertifikasi/yang mendapat
tunjangan profesi agar lebih lama melakukan pengajaran di sekolah, dengan menetapkan
batas minimal mengajar dalam seminggu sebanyak 40 jam.
Tentu saja alasan-alasan
ini benar-benar menegaskan bahwa kebijakan ini tidak digagas dari sudut pandang
kepentingan siswa. Tapi justru hanya mentok pada kepentingan pemerintah yang
diframing dari sudut pandang kepentingan guru dan orang tua. Dan disinilah
persoalan utamanya, pengabaian kepentingan siswa dalam konteks ini adalah
bentuk cacat pikir yang paling dasar dari sebuah kebijakan publik. Sebab
praktis kita paham bahwa siswalah yang menjadi stakeholders paling
sentral dalam dunia persekolahan. Merekalah yang paling utama dan pertama yang
akan merasakan dampak dari kebijakan persekolahan.
Dengan kecakapan
pedagogi guru kita yang masih rendah hingga saat ini, di tengah jam panjang
sekolah yang terlalu lama, apa yang dihasilkan dari kenyataan ini? Alih-alih
ingin menghasilkan lulusan yang penuh keajaiban, paling dekat adalah depresi
dan stress yang menghantui siswa. Memang dikatakan bahwa waktu yang ada tidak
mesti dihabiskan dalam ruang kelas, namun bisa dalam bentuk ekstrakurikuler.
Tetap saja bahwa ekstrakurikuler maupun intrakurikuler tidak bisa dipisahkan
dari kecakapan pedagogis itu sendiri. Pertanyaan sudahkah kita memiliki
kecakapan pedagogi yang membebaskan itu di kalangan guru?
Ada banyak hal yang
dibentur dari kebijakan ini dari meningkatnya rentan beban kerja guru yang
nantinya juga berpengaruh pada anak, hingga direnggutnya waktu bermain anak
dengan lingkungannya (khususnya untuk anak bukan dari kalangan pekerja
kantoran). Praktis bahwa kebijakan ini hanya akan berakhir pada anak yang akan
menjadi korban kebijakan pendidikan yang tak berpihak pada mereka. Lantas
sekolah sebenarnya untuk siapa?
-Muhammad Ruslan-
*untuk tujuan arsip dan pendidikan
*untuk tujuan arsip dan pendidikan
0 komentar:
Posting Komentar