Matanya berkaca-kaca. Saya melihat persis. “Ingin rasanya
menangis, sedih, kecewa, dan marah, semua bercampur,” keluhnya padaku sebelum
benar-benar menghilang. Saat ia mengatakan hal itu kepadaku, ia terlihat begitu
berat untuk menahan agar ia tak menangis. Bukan karena hadiah surat DO yang
tiba-tiba datang seperti kabar buruk langit tentang akhir ia mengenakan pakaian
yang lebih sepuluh tahu ia kenakan sejak masih kanak-kanak. bukan. Hanya saja pikirannya
tak mampu membendung, nuraninya tersentak mengingat ibunya yang lagi berduka
akan kepulangan keluarga dekatnya yang cintai, ditimpali lagi dengan kabar
buruk darinya sebagai anak bungsu yang dirudah paksa dari tempat ia menuntut
ilmu bertahun-tahun. Lebih mengoyaknya lagi, bahwa ia ditimpali kenyataan itu
untuk alasan sepele. Tanpa diberi hak untuk membela diri. Apalagi ujian akhir
yang ia tunggu tinggal hitungan bulan pun. Sungguh terlalu rasanya, menyaksikan kekuasaan, selalu datang di saat yang tidak
dibutuhkan, namun kadang lalai di saat-saat genting.
“Tak bisakah kita semua bertahan atas amarah sedikitpun?” Tanyaku
dalam hati. Mengingat bahwa di saat waktu keterbebasan mereka yang ia
tunggu-tunggu yang tak lama lagipun akan datang jua. Saat itu tiba, entah kita
atau siapapun yang menagis darah untuk menahannya pun takkan lagi bermakna
apa-apa. Ia tetap akan pergi. Ya pergi, pergi untuk selamanya. Tak bisakah kita
sedikit menunggu sedikit saja, waktu itu tiba? Saat dimana lambang seragam ia
pakai lebih sepuluh tahun pun ia akan lepaskan untuk selamanya dalam keadaan
sebagai orang yang berhasil dalam berjuang? Sekarang, berpuluh tahun ia
habiskan usianya dalam sangkar itu, akhirnya harus dipaksa pergi sebelum
waktunya, sembari membawa kenangan buruk; satu hari mengubur sepuluh tahun kenangan, yang
tersisa hanya rasa pahit dan beban kekecewaan yang menumpuk datang tiba-tiba.
Saya tak bisa berpikir, bagaimana lembaga yang disucikan
secara moral bisa menimpali beban berat yang begitu besar kepada orang lemah. Psikologi
sebagai orang terbuang, itu menyakitkan. Persis ketika Chairil menyebut hal
demikian sebagai binatang jalang yang terbuang, dalam konteks ini lebih tepat menyebtunya
binatang jalang yang dibuang dari kumpulannya dengan cara-cara paksaan. Mereka yang
terbuang adalah mereka yang menanggung keburaman jalan dalam godaan kekandasan.
Surat sakti itu tidak hanya menggerogoti sang korban, bahkan ikut menjadi racun
bagi keluarga sendiri untuk berpikir sama. Mengafirmasi bahwa seolah tidak ada
tempat yang layak diberikan pada orang yang dituduh “nakal, bodoh, amoralis” di
dunia ini?
Saya melihat, bahwa pelajaran agama, kebijaksanaan, pancasila,
demokrasi, dan segala rasionalitas dan nurani pengetahuan benar-benar tidak
bermakna apa-apa. Apa arti berpuluh tahun mendengarkan cermah langit tentang
pengetahuan dan wejangan moralitas? Ketika kekritisan untuk bertanya dibungkam
lalu dituduh subversif atas nama moralitas, sembari menimpakan segala dosa
kepada mereka yang kita akui sebagai “anak didik sendiri”? Sembari mengafirmasi
diri untuk cuci tangan sebagai orang suci yang memiliki hak tunggal legitimasi
untuk menghakimi dan menghukum? Tapi memang aku akui, bahwa sudah menjadi
tabiat manusia yang selalu menuntut ketimbang melakukan. Manusia punya kecenderungan
naluri menuntut akan kebajikan, kearifan orang lain, namun sulit untuk mengafirmasi
ke diri untuk melakukan serupa. Itulah kenyataannya.
Inilah saat-saat dimana apa yang paling menakutkan itu
datang. Yakni bercampurnya antara amarah, kekuasaan, otoritas, bersekutu dalam
ruang-ruang ketika demokrasi untuk berpendapat kehilangan ruang. Itu menakutkan
kawan. Ia tidak hanya mewakili gambaran dimana lidah orang berbicara dipotong
dengan pisau kekuasaan, lebih dari itu, ruang untuk berbicara itu memang hilang
lebih tepatnya dihilangkan. Kita semua patut menangisi hal demikian. Aku berkali-kali
menemukan banyak situasi demikian di masyarakat bahkan sudah mual dengan
demikian. Ketika demokrasi, kebajikan, dikoyak-koyak oleh otoritas yang berdiri
dalam penafsiran subjektif atas kebenaran. Ironisnya bahwa kondisi demikian
selalu menuntut adanya korban. Ada tangis dan derita bahkan mungkin titipan
rasa benci yang kita tanam kepada korban. Dan kita semua ditempat dimana ilmu
pengetahuan dan moralitas disembah, telah melakukan praktik demikian. Saya tak
ingin mengatakan kalau kita telah ikut meneruskan dan mewariskan cara berpikir
demikian kepada banyak anak. Lewat sistem yang kita bangun, kita telah ikut
menanggung dosa sosial sejak dalam pikiran!
Rest in peace. Damailah dalam ketiadaan. Engkau beruntung
telah menyadari hal penting dalam hidup mendahului banyak orang sezamanmu. Aku menulis
ini sebagai bentuk pengakuan dosa sebagai orang lemah yang tidak bisa berbuat
banyak. Kata-kata adalah perlawanan terakhir orang-orang lemah seperti kita. Nyo,
engkau telah berjuang, sehormat-hormatnya!
x
0 komentar:
Posting Komentar