| one article - one struggle |

Rabu, 04 Oktober 2017

"DO"



Matanya berkaca-kaca. Saya melihat persis. “Ingin rasanya menangis, sedih, kecewa, dan marah, semua bercampur,” keluhnya padaku sebelum benar-benar menghilang. Saat ia mengatakan hal itu kepadaku, ia terlihat begitu berat untuk menahan agar ia tak menangis. Bukan karena hadiah surat DO yang tiba-tiba datang seperti kabar buruk langit tentang akhir ia mengenakan pakaian yang lebih sepuluh tahu ia kenakan sejak masih kanak-kanak. bukan. Hanya saja pikirannya tak mampu membendung, nuraninya tersentak mengingat ibunya yang lagi berduka akan kepulangan keluarga dekatnya yang cintai, ditimpali lagi dengan kabar buruk darinya sebagai anak bungsu yang dirudah paksa dari tempat ia menuntut ilmu bertahun-tahun. Lebih mengoyaknya lagi, bahwa ia ditimpali kenyataan itu untuk alasan sepele. Tanpa diberi hak untuk membela diri. Apalagi ujian akhir yang ia tunggu tinggal hitungan bulan pun. Sungguh terlalu rasanya, menyaksikan  kekuasaan, selalu datang di saat yang tidak dibutuhkan, namun kadang lalai di saat-saat genting.

“Tak bisakah kita semua bertahan atas amarah sedikitpun?” Tanyaku dalam hati. Mengingat bahwa di saat waktu keterbebasan mereka yang ia tunggu-tunggu yang tak lama lagipun akan datang jua. Saat itu tiba, entah kita atau siapapun yang menagis darah untuk menahannya pun takkan lagi bermakna apa-apa. Ia tetap akan pergi. Ya pergi, pergi untuk selamanya. Tak bisakah kita sedikit menunggu sedikit saja, waktu itu tiba? Saat dimana lambang seragam ia pakai lebih sepuluh tahun pun ia akan lepaskan untuk selamanya dalam keadaan sebagai orang yang berhasil dalam berjuang? Sekarang, berpuluh tahun ia habiskan usianya dalam sangkar itu, akhirnya harus dipaksa pergi sebelum waktunya, sembari membawa kenangan buruk;  satu hari mengubur sepuluh tahun kenangan, yang tersisa hanya rasa pahit dan beban kekecewaan yang menumpuk datang tiba-tiba.

Saya tak bisa berpikir, bagaimana lembaga yang disucikan secara moral bisa menimpali beban berat yang begitu besar kepada orang lemah. Psikologi sebagai orang terbuang, itu menyakitkan. Persis ketika Chairil menyebut hal demikian sebagai binatang jalang yang terbuang, dalam konteks ini lebih tepat menyebtunya binatang jalang yang dibuang dari kumpulannya dengan cara-cara paksaan. Mereka yang terbuang adalah mereka yang menanggung keburaman jalan dalam godaan kekandasan. Surat sakti itu tidak hanya menggerogoti sang korban, bahkan ikut menjadi racun bagi keluarga sendiri untuk berpikir sama. Mengafirmasi bahwa seolah tidak ada tempat yang layak diberikan pada orang yang dituduh “nakal, bodoh, amoralis” di dunia ini?

Saya melihat, bahwa pelajaran agama, kebijaksanaan, pancasila, demokrasi, dan segala rasionalitas dan nurani pengetahuan benar-benar tidak bermakna apa-apa. Apa arti berpuluh tahun mendengarkan cermah langit tentang pengetahuan dan wejangan moralitas? Ketika kekritisan untuk bertanya dibungkam lalu dituduh subversif atas nama moralitas, sembari menimpakan segala dosa kepada mereka yang kita akui sebagai “anak didik sendiri”? Sembari mengafirmasi diri untuk cuci tangan sebagai orang suci yang memiliki hak tunggal legitimasi untuk menghakimi dan menghukum? Tapi memang aku akui, bahwa sudah menjadi tabiat manusia yang selalu menuntut ketimbang melakukan. Manusia punya kecenderungan naluri menuntut akan kebajikan, kearifan orang lain, namun sulit untuk mengafirmasi ke diri untuk melakukan serupa. Itulah kenyataannya.

Inilah saat-saat dimana apa yang paling menakutkan itu datang. Yakni bercampurnya antara amarah, kekuasaan, otoritas, bersekutu dalam ruang-ruang ketika demokrasi untuk berpendapat kehilangan ruang. Itu menakutkan kawan. Ia tidak hanya mewakili gambaran dimana lidah orang berbicara dipotong dengan pisau kekuasaan, lebih dari itu, ruang untuk berbicara itu memang hilang lebih tepatnya dihilangkan. Kita semua patut menangisi hal demikian. Aku berkali-kali menemukan banyak situasi demikian di masyarakat bahkan sudah mual dengan demikian. Ketika demokrasi, kebajikan, dikoyak-koyak oleh otoritas yang berdiri dalam penafsiran subjektif atas kebenaran. Ironisnya bahwa kondisi demikian selalu menuntut adanya korban. Ada tangis dan derita bahkan mungkin titipan rasa benci yang kita tanam kepada korban. Dan kita semua ditempat dimana ilmu pengetahuan dan moralitas disembah, telah melakukan praktik demikian. Saya tak ingin mengatakan kalau kita telah ikut meneruskan dan mewariskan cara berpikir demikian kepada banyak anak. Lewat sistem yang kita bangun, kita telah ikut menanggung dosa sosial sejak dalam pikiran!

Rest in peace. Damailah dalam ketiadaan. Engkau beruntung telah menyadari hal penting dalam hidup mendahului banyak orang sezamanmu. Aku menulis ini sebagai bentuk pengakuan dosa sebagai orang lemah yang tidak bisa berbuat banyak. Kata-kata adalah perlawanan terakhir orang-orang lemah seperti kita. Nyo, engkau telah berjuang, sehormat-hormatnya!

x

0 komentar:

Posting Komentar