![]() |
sumber gambar: http://poskotanews.com/cms/wp-content/uploads/2015/09/smac.jpg |
Belum redah ‘’kehebohan’’ pratik
amoral (asusila) dilingkungan sekolah yang melibatkan guru hingga siswa. Kini
publik kembali terhenyak praktik kekerasan horizontal ditingkatan sekolah dasar
diperankan oleh seorang siswa (diupload youtube, 12/10) dengan menendang secara
brutal temannya sendiri yang notabene seorang perempuan (sumatera barat). Yang jelas
praktik asusila dan kekerasan akhir-akhir ini selalu saja muncul kepermukaan,
yang ironisnya itu terjdi didunia anak yang berada dalam batas tembok tebal
yang bernama sekolah. Publik tentu belum lupa kekerasan yang sama pernah
terjadi di tingkat SD berujung tragis dengan hilangnya nyawa salah satu korban
yang tiada lain teman sekolah sendiri.
Ekspresi kepengapan dan kegagapan sekolah?
Menimpalikan semua sebab kepada
siswa sebagai tempat ‘’pelampiasan’’ amarah dengan tuduhan-tuduhan implisit
yang tidak mendidik (blaming victims), hanya justru memperlihatkan
ketidakdewasaan kita (segenap pihak) terhadap persoalan. Setidaknya ini menjadi
gambaran dari wajah ‘’persekolahan’’ kita hari ini, seharusnya ‘’memaksa’’ kita
untuk merefleksikan ulang tatanan dan kondisi sistem persekolahan yang telah
berjalan selama ini. Evaluasi harus melibatkan semua pihak baik masyarakat
sebagai orang tua siswa maupun yang lebih penting ditingkatan birokrasi pemerintah
hingga pejabat-pejabat ditingkat sekolah-yang
akhir-akhir ini lebih terlena utopianitas kurikulum 2013.
Sebuah ekspresi kepengapan
ditengah kegagapan sekolah yang terus menerus terjebak pada spiral paradigma mainstream dalam pengelolaan sekolah
hanya akan terus mereproduksi kekerasan-kekerasan frontal terjadi, yang
ironisnya ikut merembes ditingkat horizontal (siswa-siswa), yang sebelumnya
hanya berkutat diwilayah vertikal (guru-siswa). Tak kurang dan tak lebih ketika
kekerasan dalam makna sejatinya tak hanya dipandang secara fisik juga secara
psikologik, keduanya sebenarnya memiliki akar yang sama dalam tampakan yang
berbeda.
Kalaulah kekerasan fisik
disekolah telah ‘’dihakimi’’ sebagai realitas yang sudah tidak relevan dengan
kebutuhan, nyatanya kekerasan psikologik yang muncul dalam proses maupun secara
simbolik belum dilihat secara mendalam-apatah lagi untuk melihat batas polanya
dan menilai secara normatif. Padahal domain ini jauh lebih berbahaya dari
sekadar apa yang kita sebut kekerasan fisik, salah satunya memungkinkan menjadi
sebab munculnya kekerasan fisik sebagai wujud dari apa yang disebut ekpresi
kepengapan dan kegagapan sekolah. Dan ketika itu berbentur dengan dogma-dogma
nilai secara vertikal maka ia akan mencari celah secara horizontal, seperti
yang marak terjadi.
Kelihatannya sekolah secara umum
masih belum bisa berlepas kendali dari pola-pola pedagogik ala-militeristik, dengan menjadikan hukuman dan ancaman
satu-satunya literasi dalam berinteraksi dengan siswa. Pola-pola apa yang ia
sebut penjinakan dikontrol dan dikendalikan lewat rasa takut disamping beban yang seolah
menggunung, sehingga apa yang Neil Postman sebut bahwa ‘’anak didik masuk
sekolah dengan tanda tanya keluar dengan tanda titik’’- seolah
merepresentasikan sebagai sumber ‘’penyakit’’ dari berbagai wujud ekspresi
kepengapan sekolah.
Bias nilai
Kekerasan horizontal yang
mengemuka dapat dipandang sebagai pergeseran model kekerasan vertikal yang
bersifat klasik dalam sekolah. Ini seharusnya menjadi spektrum persoalan yang
serius harus dikaji oleh pengambil kebijakan. Kalau kita meminjam istilah Durkheim
yang memandang sekolah layaknya miniatur masyarakat, maka kekerasan-kekersan
yang bersifat horizontal dimasyarakat yang juga terus terjadi, seolah
memperlihatkan sinergi yang sama dengan sekolah. Upaya penyadaran kolektif
(kerjasama) dalam satu kebajikan bersama sebagai nilai dalam sekolah
kelihatannya lenyap–tenggelam dari nuansa kompetitif individual yang akut
dipertahankan sebagai nilai.
Seperti yang Neil Postman sebut
bahwa ‘’yang cukup mengherankan dari produk sekolah (siswa) adalah ketiadaan
rasa gelisah apalagi ‘’mengamuk’’ melihat kedzaliman atau anomali nilai di
lingkungan sekitarnya’’ telah menjadi sisi ironis untuk terus mempertanyakan
model sistem nilai apa sebenarnya yang berjalan selama ini?. Semakin banyak
kasus penganiayaan secara horizontal, seolah hanya menjadi sandiwara dan
hiburan bagi siswa yang lainnya, bahkan diantara mereka lebih banyak mengabadikan
dari pada menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk dalam makna praktis.
Dimana Pemerintah?
Kita (semua pihak) harus gelisah
dengan kondisi pendidikan kita hari ini, selain setumpuk prestasi yang menjadi
klaim atas keberhasilan sekolah menyulap orang menjadi manusia, tetap kita tak
dapat menutup mata sebagian dari anak didik kita justru ‘’tersesat’’ dijalan
yang ‘’memungkinkan’’ menjadi ranah lembaga-lembaga pemasyarakatan. Di makassar
sendiri, kasus kekerasan yang melibatkan pelajar harus patut menjadi perhatian
serius, baik kekerasan dalam wujud rupa nyata maupun yang beranomali dalam
komunitas-komnitas sosial seperti gen motor yang ikut meresahkan masyarakat.
Kekerasan horizontal apapun
bentuknya harus diakhiri dalam sekolah. Disebabkan persoalan ini adalah
persoalan komprehensif, tentu harus dilihat dan dipandang secara komprehensif
pula. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan besar dalam pendidikan
tentunya tidak boleh terus menerus terjebak dalam berbagai upaya
meng-tekhnikalisasi persoalan-persoalan pendidikan yang mencuat, sebab
persoalan substansi tidak tepat direduksi sebagai sebuah persoalan tekhnis.
Tentu kita tidak berharap apa yang ada dalam pikiran para elit pengambil
kebijakan hari ini melihat persoalan tersebut hanya memandangnya sebagai
dinamika saja dalam pendidikan, seperti ia memandnag ‘’kericuhan dan
kekisruhan’’ pemilihan anggota DPR sebelumnya sebagai sebuah dinamika politik
semata, yang seolah dipandang sebagai sesuatu yang ‘’lazim, biasa-biasa saja’’
menunggu berlalu begitu saja, ataupun kalaupun menindaklanjuti hanya sampai
pada hal-hal yang bersifat administratif-birokratis semata.
Penulis
Muhammad Ruslan
Tulisan ini terbit di Harian Pagi Fajar edisi Rabu 15
Oktober 2014, dipublish untuk tujuan pendidikan
0 komentar:
Posting Komentar