| one article - one struggle |

Rabu, 30 Desember 2015

Kekerasan Horizontal di Sekolah, ekspresi kepengapan dan kegagapan sekolah?


sumber gambar: http://poskotanews.com/cms/wp-content/uploads/2015/09/smac.jpg

Belum redah ‘’kehebohan’’ pratik amoral (asusila) dilingkungan sekolah yang melibatkan guru hingga siswa. Kini publik kembali terhenyak praktik kekerasan horizontal ditingkatan sekolah dasar diperankan oleh seorang siswa (diupload youtube, 12/10) dengan menendang secara brutal temannya sendiri yang notabene seorang perempuan (sumatera barat). Yang jelas praktik asusila dan kekerasan akhir-akhir ini selalu saja muncul kepermukaan, yang ironisnya itu terjdi didunia anak yang berada dalam batas tembok tebal yang bernama sekolah. Publik tentu belum lupa kekerasan yang sama pernah terjadi di tingkat SD berujung tragis dengan hilangnya nyawa salah satu korban yang tiada lain teman sekolah sendiri.

Ekspresi kepengapan dan kegagapan sekolah?
Menimpalikan semua sebab kepada siswa sebagai tempat ‘’pelampiasan’’ amarah dengan tuduhan-tuduhan implisit yang tidak mendidik (blaming victims), hanya justru memperlihatkan ketidakdewasaan kita (segenap pihak) terhadap persoalan. Setidaknya ini menjadi gambaran dari wajah ‘’persekolahan’’ kita hari ini, seharusnya ‘’memaksa’’ kita untuk merefleksikan ulang tatanan dan kondisi sistem persekolahan yang telah berjalan selama ini. Evaluasi harus melibatkan semua pihak baik masyarakat sebagai orang tua siswa maupun yang lebih penting ditingkatan birokrasi pemerintah hingga pejabat-pejabat ditingkat sekolah-yang akhir-akhir ini lebih terlena utopianitas kurikulum 2013

Sebuah ekspresi kepengapan ditengah kegagapan sekolah yang terus menerus terjebak pada spiral paradigma mainstream dalam pengelolaan sekolah hanya akan terus mereproduksi kekerasan-kekerasan frontal terjadi, yang ironisnya ikut merembes ditingkat horizontal (siswa-siswa), yang sebelumnya hanya berkutat diwilayah vertikal (guru-siswa). Tak kurang dan tak lebih ketika kekerasan dalam makna sejatinya tak hanya dipandang secara fisik juga secara psikologik, keduanya sebenarnya memiliki akar yang sama dalam tampakan yang berbeda. 

Kalaulah kekerasan fisik disekolah telah ‘’dihakimi’’ sebagai realitas yang sudah tidak relevan dengan kebutuhan, nyatanya kekerasan psikologik yang muncul dalam proses maupun secara simbolik belum dilihat secara mendalam-apatah lagi untuk melihat batas polanya dan menilai secara normatif. Padahal domain ini jauh lebih berbahaya dari sekadar apa yang kita sebut kekerasan fisik, salah satunya memungkinkan menjadi sebab munculnya kekerasan fisik sebagai wujud dari apa yang disebut ekpresi kepengapan dan kegagapan sekolah. Dan ketika itu berbentur dengan dogma-dogma nilai secara vertikal maka ia akan mencari celah secara horizontal, seperti yang marak terjadi.

Kelihatannya sekolah secara umum masih belum bisa berlepas kendali dari pola-pola pedagogik ala-militeristik, dengan menjadikan hukuman dan ancaman satu-satunya literasi dalam berinteraksi dengan siswa. Pola-pola apa yang ia sebut penjinakan dikontrol dan dikendalikan lewat  rasa takut disamping beban yang seolah menggunung, sehingga apa yang Neil Postman sebut bahwa ‘’anak didik masuk sekolah dengan tanda tanya keluar dengan tanda titik’’- seolah merepresentasikan sebagai sumber ‘’penyakit’’ dari berbagai wujud ekspresi kepengapan sekolah.

Bias nilai
Kekerasan horizontal yang mengemuka dapat dipandang sebagai pergeseran model kekerasan vertikal yang bersifat klasik dalam sekolah. Ini seharusnya menjadi spektrum persoalan yang serius harus dikaji oleh pengambil kebijakan. Kalau kita meminjam istilah Durkheim yang memandang sekolah layaknya miniatur masyarakat, maka kekerasan-kekersan yang bersifat horizontal dimasyarakat yang juga terus terjadi, seolah memperlihatkan sinergi yang sama dengan sekolah. Upaya penyadaran kolektif (kerjasama) dalam satu kebajikan bersama sebagai nilai dalam sekolah kelihatannya lenyap–tenggelam dari nuansa kompetitif individual yang akut dipertahankan sebagai nilai. 

Seperti yang Neil Postman sebut bahwa ‘’yang cukup mengherankan dari produk sekolah (siswa) adalah ketiadaan rasa gelisah apalagi ‘’mengamuk’’ melihat kedzaliman atau anomali nilai di lingkungan sekitarnya’’ telah menjadi sisi ironis untuk terus mempertanyakan model sistem nilai apa sebenarnya yang berjalan selama ini?. Semakin banyak kasus penganiayaan secara horizontal, seolah hanya menjadi sandiwara dan hiburan bagi siswa yang lainnya, bahkan diantara mereka lebih banyak mengabadikan dari pada menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk dalam makna praktis. 

Dimana Pemerintah?
Kita (semua pihak) harus gelisah dengan kondisi pendidikan kita hari ini, selain setumpuk prestasi yang menjadi klaim atas keberhasilan sekolah menyulap orang menjadi manusia, tetap kita tak dapat menutup mata sebagian dari anak didik kita justru ‘’tersesat’’ dijalan yang ‘’memungkinkan’’ menjadi ranah lembaga-lembaga pemasyarakatan. Di makassar sendiri, kasus kekerasan yang melibatkan pelajar harus patut menjadi perhatian serius, baik kekerasan dalam wujud rupa nyata maupun yang beranomali dalam komunitas-komnitas sosial seperti gen motor  yang ikut meresahkan masyarakat. 

Kekerasan horizontal apapun bentuknya harus diakhiri dalam sekolah. Disebabkan persoalan ini adalah persoalan komprehensif, tentu harus dilihat dan dipandang secara komprehensif pula. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan besar dalam pendidikan tentunya tidak boleh terus menerus terjebak dalam berbagai upaya meng-tekhnikalisasi persoalan-persoalan pendidikan yang mencuat, sebab persoalan substansi tidak tepat direduksi sebagai sebuah persoalan tekhnis. Tentu kita tidak berharap apa yang ada dalam pikiran para elit pengambil kebijakan hari ini melihat persoalan tersebut hanya memandangnya sebagai dinamika saja dalam pendidikan, seperti ia memandnag ‘’kericuhan dan kekisruhan’’ pemilihan anggota DPR sebelumnya sebagai sebuah dinamika politik semata, yang seolah dipandang sebagai sesuatu yang ‘’lazim, biasa-biasa saja’’ menunggu berlalu begitu saja, ataupun kalaupun menindaklanjuti hanya sampai pada hal-hal yang bersifat administratif-birokratis semata.

Penulis
Muhammad Ruslan
Tulisan ini terbit di Harian Pagi Fajar edisi Rabu 15 Oktober 2014, dipublish untuk tujuan pendidikan

0 komentar:

Posting Komentar