| one article - one struggle |

Rabu, 30 Desember 2015

SDK, Bertahan dalam Kekumuhan dan Keterbatasan



sources: google


Kampung Walang (Ancol, Jakarta Utara), tempat Sekolah Darurat Kartini (SDK) berdiri. Kampung yang yang seolah hidup dalam kematian, dan mati dalam kehidupan. Hidup pun tak mau mati pun tak segan. Tak pula ia disebut ‘’anak tiri’’. Pasalnya, dari ratusan warga yang hidup selama bertahun-tahun, keberadaan RT dan RW yang merupakan simbol pengakuan eksistensi pemukiman belum ada. Kekhawatiran akan penggusuran selalu menghantui penghuninya.


Dari arah jalan raya, tepat di bawah jalan tol, tak tampak tanda untuk dapat menyebutnya pemukiman. Hanya tumpukan materil yang mengisi ruang bawah jalan tol. Dari tumpukan pasir, kerikil, tumpukan kayu bekas, besi bekas, kardus bekas, koran hingga plastik bekas berjejer layaknya pagar, seolah menyembunyikan keberadaan bahwa ada kehidupan yang berlangsung di dalamnya. Kehidupan yang enggan untuk dijamah otoritas. Mereka para yang termarginalkan, yang terus hidup dalam kekhawatiran akan penertiban kota. 


Hanya petak-petak kecil yang tersekati dinding seng, sebagian tripleks  yang beratap beton jalan tol untuk dapat menyebutnya sebagai rumah. Ketika masuk, hanya empat meter, barulah tampak bahwa lokasi tersebut adalah pemukiman. Beberapa anak tampak berlalu-lalang, bermain dengan genangan air di jalan-jalan setapak. Riuh suara anak kadang-kadang tenggelam ketika kereta yang hanya berkisar lima meter dari arah permukiman lewat dengan bunyinya yang nyaring. Kampung ini berada dalam jepitan antara jalan raya dan rel kereta api.


Sekolah darurat

Di permukiman inilah, berdiri sekolah darurat, yang menyandang nama Sekolah Darurat Kartini. Dengan luas sekolah yang hanya berkisar 9X6 meter, dilebur dalam satu ruangan. Sekolah ini rela berbagi kesempitan ruang dengan warga, setelah enam kali berpindah tempat, terusir atas alasan penertiban kota. Dari tempat ke tempat lain, sekolah ini terus bertahan, berkat asuhan pendirinya, Sri Irianingsih dan Sri Rosyati, yang dikenal ‘’Ibu Kembar’’, hingga akhirnya sejak 2013 yang lalu baru mendapat pengakuan.


‘’Ini satu-satunya sekolah yang kami miliki sejak puluhan tahun kami tinggal disini. Seperti halnya rumah kami, kami menolak digusur,’’ ucap D, Kepala Kelompok Masyarakat Kampung Walang Blok B, Sabtu (17/1). 


Meskipun D mengakui bahwa tanah yang ia pijati bersama warganya (termasuk sekolah) berada dalam kewenangan PT KAI (Kereta Api Indonesia), dan Jasa Marga (pengelola jalan tol). Ia tetap tak berharap mimpi buruknya akan penggusuran terjadi ke depannya, seperti yang terjadi diberbagai tempat di Jakarta. 


Bertahan dalam keterbatasan

Meski hidup dalam keterbatasan, sekolah ini memiliki murid ratusan dari berbagai kampung yang ada disekitarnya. Hal tersebut menurut penuturan  R (37), warga yang bermukim di depan sekolah, yang anaknya mengenyam pendidikan di sekolah tersebut. 


‘’Disini gratis, tidak ada biaya, makan pun gratis. Kadang-kadang juga diberi susu tiap-tiap rumah. Tiap hari sekolah, ibu kembar selalu memasakkan anak-anak makanan,’’ ujar B (53), warga Kampung Walang. 


Terlihat di dalam ruangan setumpuk bahan makanan dalam bungkusan kardus mi bertumpuk di sudut ruangan. Di depan pintu juga terlihat alat-alat masak seperti panci, dan kuali. Dan alat-alat makan seperti piring dan gelas. Di bagian belakang ruangan terdapat tiga buah tungku yang terbuat dari tanah liat, tempat untuk memasak dengan menggunakan kayu bakar. 


Kursi yang bertumpuk sekitar 70 unit, dan meja sekitar 35 unit, tampaknya tak mencukupi untuk menampung jumlah murid. ‘’Tiap hari, sebagian siswanya belajar di luar (pekarangan, dekat pinggir jalan), pakai tikar,’’ ujar T (29), ibu dari Ta (4), salah seorang siswa TK di sekolah tersebut.
Menurut T, hanya ‘’Ibu Kembar’’ yang menjadi guru utama yang mengajar semua murid. Sedangkan yang membantunya adalah siswanya sendiri yang sudah di atas tingkat. ‘’Kalau TK  dan SD biasanya diajar sama yang SMP atau SMA,’’ ujarnya. 


Penulis
Muhammad Ruslan 

*tulisan ini (setelah disesuaikan kembali), mentahnya ditulis Januari 2015, hasil pengalaman belajar jurnalistik (penulis) di salah satu media cetak. tulisan tidak diterbitkan di media manapun, dan diterbitkan disini untuk tujuan pendidikan. 
**nama narasumber dirubah dalam bentuk inisial

0 komentar:

Posting Komentar