
Ia bercerita banyak kejadian seputar kehidupan sekolah. Salah
satunya, nasib apes “Seorang Ketua” Organisasi Intra Sekolah, yang terancam
dirudah paksa, digulingkan oleh otoritas sekolah--tanpa alasan rasional. Seorang ketua yang dipilih
secara demokratis oleh seluruh siswa, terancam dilengserkan oleh otoritas tanpa
persetujuan siswa sebagai pemilik suara. Logika yang dipaksakan jelas menyalahi
prinsip berdemokrasi yang benar.
Organisasi Intra Sekolah, atau, akrab dikenal OSIS, yang seharusnya menjadi wadah berkumpulnya siswa, tempat para siswa megorganisir diri, memperjuangkan kepentingannya, pada kenyataan menjadi sekadar perpanjangan tangan otoritas sekolah. sehingga, peran bottom to up, bergeser menjadi up to bottom.
Organisasi Intra Sekolah, atau, akrab dikenal OSIS, yang seharusnya menjadi wadah berkumpulnya siswa, tempat para siswa megorganisir diri, memperjuangkan kepentingannya, pada kenyataan menjadi sekadar perpanjangan tangan otoritas sekolah. sehingga, peran bottom to up, bergeser menjadi up to bottom.
Mirisnya, sepertinya tak sedikit pun pikiran kritis terbetik dalam benak Sang
Ketua, kecuali sekadar rasa kecewa, dan tak secuil pun kesadaran yang muncul
dari ratusan siswa dan pengurus, dalam melihat hal tersebut sebagai sebuah kebijakan
janggal, yang tersisa hanya pengwajaran. Menerima kenyataan yang tak lebih
seperti takdir yang jatuh dari langit, menimpa.
Muncul pertanyaan, lantas, kemana kesadaran pengetahuan-pengetahuan
siswa terkait pelajaran PPKn, tentang prinsip berdemokrasi?, kemana
pengetahuan: Undang-Undang, pemilu dan segenap hak-hak politik yang melekat
pada pemilih, yang dihafal menjelang ujian?. Kemana pula pengetahuan sejarah
kebangsaan, yang penuh pernak-pernik politik dan berdemokrasi, yang didengar
seperti lagu dalam kelas?
Nyatanya, produk pendidikan yang dihasilkan dalam proses
belajar panjang tersebut, sama sekali tak membuahkan hasil internalisasi
pengetahuan yang sesungguhnya dalam ranah praktis. Ini seperti, seorang siswa
yang belajar rumus perhitungan lewat software
canggih otomatis, tapi menghitung manual dengan tangan saat berhadapan dengan
realitas. Belajar tentang hak dan kewajiban dalam kelas, tapi terlena dalam
ketaksadaraan saat hak-hak politiknya terampas tanpa jejak.
Kesadaran palsu?
Berkaca pada kasus tersebut, kita memahami, saat ini
pendidikan yang didaku sebagai lembaga “pencipta” kesadaran, terkadang tak
lebih hanya menciptakan kesadaran yang palsu. Kontradiksi-kontradiksi terus
terjadi di sekolah. Prinsip berdemokrasi diajarkan dengan cara-cara yang sangat
tidak demokratis, diterima dengan lapang dada atas nama etika. Alih-alih
mendekatkan pelajar pada realitas yang ideal dan yang sebenarnya, yang terjadi justru
mengasingkannya dari realitas ideal dan yang sebenarnya.
Terjadi proses pembungkaman kolektif, suara-suara yang harus
meringkih saat ditekan, terselip dalam-ketakberdayaan. Ilmu disuguhkan telah
bercampur dengan pil jahat yang menenangkan, menghilangkan kesadaran yang
nyata, menyisakan halusinasi kesenangan sesat tentang mimpi dan cita-cita. Cita-cita,
yang tak bisa dinalar dan ditemukan dasar berpikirnya, selain sekadar impian
yang muncul begitu saja. "Mimpi" satu-satunya produk yang ditawarkan sekolah untuk tetap bisa menarik perhatian--mempertahankan kredo tentang sekolah.
Mimpi memang adalah alat otoritas, sekaligus adalah jawaban yang paling mudah menguasai, dari realitas tekanan yang melembaga sebagai nilai.
Mimpi memang adalah alat otoritas, sekaligus adalah jawaban yang paling mudah menguasai, dari realitas tekanan yang melembaga sebagai nilai.
Struktur yang membungkam
Kita patut prihatin, produk pendidikan yang hanya bisa diam,
adalah gambaran buruk potret generasi akan
datang. Struktur pendidikan, sepertinya bertahan karena pembungkaman. Kemarin
(6/1), salah seorang ketua BEM Universitas Negeri di Jakata, karena sikap
kritisnya atas penyimpangan yang terjadi di kampusnya, dihadiahi dengan surat
DO (Drop Out) dari sang rektor.
Sungguh sangat mengkhawatirkan, lembaga ilmu sekalipun
memperlihatkan sikap bernasnya yang anti-kritik. Pertanyaannya, sampai kapan
produk pendidikan yang lahir dari pembungkaman terus menerus akan membungkam. Membungkam
suara-suara manusia yang datang untuk bertanya?
Apa yang harus diperbuat, selain terus bertaruh, memperjuangkan kondisi-kondisi pengkondisian yang memungkinkan kesadaran kritis bisa muncul. “Konflik” kampus/sekolah versus birokrasi otoritas
kampus/sekolah, maupun mahasiswa versus pemerintah, adalah gambaran nyata yang memang
harus terus ada. Ketika itu hilang, justru patut dipertanyakan. Kutukan pantas
dilontarkan kalau organisasi mahasiswa/pelajar justru berbulan madu dengan
birokrasi dan pemeritnah, di tengah kondisi sosial, pendidikan dan masa depan
bangsa yang tidak menentu sekarang ini.
Romantika hanya menjadi pertanda buruk pembungkaman sudah
diambang stadium kronis, dampaknya adalah mempercepat lahirnya bangsa yang
tejerat dalam budaya bisu, dibisukan oleh otoritas yang membungkam. Dan celakanya,
kita tak berharap, kalau diam yang tak lain adalah bisu, suatu saat sudah
dianggap sebgai nilai yang harus dijunjung tinggi.
Muhammad Ruslan
0 komentar:
Posting Komentar