| one article - one struggle |

Jumat, 08 Januari 2016

Saat Sang Ketua Terancam Digulingkan



Beberapa menit yang lalu, percakapan dengan seorang kawan, masih terngiang. Ia seorang guru SMA di salah satu sekolah formal, di daerah yang tergolong pinggiran. 

Ia bercerita banyak kejadian seputar kehidupan sekolah. Salah satunya, nasib apes “Seorang Ketua” Organisasi Intra Sekolah, yang terancam dirudah paksa, digulingkan oleh otoritas sekolah--tanpa alasan rasional. Seorang ketua yang dipilih secara demokratis oleh seluruh siswa, terancam dilengserkan oleh otoritas tanpa persetujuan siswa sebagai pemilik suara. Logika yang dipaksakan jelas menyalahi prinsip berdemokrasi yang benar. 

Organisasi Intra Sekolah, atau, akrab dikenal OSIS, yang seharusnya menjadi wadah berkumpulnya siswa, tempat para siswa megorganisir diri, memperjuangkan kepentingannya, pada kenyataan menjadi sekadar perpanjangan tangan otoritas sekolah. sehingga, peran bottom to up, bergeser menjadi up to bottom.

Mirisnya, sepertinya tak sedikit pun pikiran kritis terbetik dalam benak Sang Ketua, kecuali sekadar rasa kecewa, dan tak secuil pun kesadaran yang muncul dari ratusan siswa dan pengurus, dalam melihat hal tersebut sebagai sebuah kebijakan janggal, yang tersisa hanya pengwajaran. Menerima kenyataan yang tak lebih seperti takdir yang jatuh dari langit, menimpa.

Muncul pertanyaan, lantas, kemana kesadaran pengetahuan-pengetahuan siswa terkait pelajaran PPKn, tentang prinsip berdemokrasi?, kemana pengetahuan: Undang-Undang, pemilu dan segenap hak-hak politik yang melekat pada pemilih, yang dihafal menjelang ujian?. Kemana pula pengetahuan sejarah kebangsaan, yang penuh pernak-pernik politik dan berdemokrasi, yang didengar seperti lagu dalam kelas?

Nyatanya, produk pendidikan yang dihasilkan dalam proses belajar panjang tersebut, sama sekali tak membuahkan hasil internalisasi pengetahuan yang sesungguhnya dalam ranah praktis. Ini seperti, seorang siswa yang belajar rumus perhitungan lewat software canggih otomatis, tapi menghitung manual dengan tangan saat berhadapan dengan realitas. Belajar tentang hak dan kewajiban dalam kelas, tapi terlena dalam ketaksadaraan saat hak-hak politiknya terampas tanpa jejak. 

Kesadaran palsu?

Berkaca pada kasus tersebut, kita memahami, saat ini pendidikan yang didaku sebagai lembaga “pencipta” kesadaran, terkadang tak lebih hanya menciptakan kesadaran yang palsu. Kontradiksi-kontradiksi terus terjadi di sekolah. Prinsip berdemokrasi diajarkan dengan cara-cara yang sangat tidak demokratis, diterima dengan lapang dada atas nama etika. Alih-alih mendekatkan pelajar pada realitas yang ideal dan  yang sebenarnya, yang terjadi justru mengasingkannya dari realitas ideal dan yang sebenarnya. 

Terjadi proses pembungkaman kolektif, suara-suara yang harus meringkih saat ditekan, terselip dalam-ketakberdayaan. Ilmu disuguhkan telah bercampur dengan pil jahat yang menenangkan, menghilangkan kesadaran yang nyata, menyisakan halusinasi kesenangan sesat tentang mimpi dan cita-cita. Cita-cita, yang tak bisa dinalar dan ditemukan dasar berpikirnya, selain sekadar impian yang muncul begitu saja. "Mimpi" satu-satunya produk yang ditawarkan sekolah untuk tetap bisa menarik perhatian--mempertahankan kredo tentang sekolah

Mimpi memang adalah alat otoritas, sekaligus adalah jawaban yang paling mudah menguasai, dari realitas tekanan yang melembaga sebagai nilai.

Struktur yang membungkam

Kita patut prihatin, produk pendidikan yang hanya bisa diam, adalah gambaran buruk potret generasi  akan datang. Struktur pendidikan, sepertinya bertahan karena pembungkaman. Kemarin (6/1), salah seorang ketua BEM Universitas Negeri di Jakata, karena sikap kritisnya atas penyimpangan yang terjadi di kampusnya, dihadiahi dengan surat DO (Drop Out) dari sang rektor. 

Sungguh sangat mengkhawatirkan, lembaga ilmu sekalipun memperlihatkan sikap bernasnya yang anti-kritik. Pertanyaannya, sampai kapan produk pendidikan yang lahir dari pembungkaman terus menerus akan membungkam. Membungkam suara-suara manusia yang datang untuk bertanya?

Apa yang harus diperbuat, selain terus bertaruh, memperjuangkan kondisi-kondisi pengkondisian yang memungkinkan kesadaran kritis bisa muncul. “Konflik” kampus/sekolah versus birokrasi otoritas kampus/sekolah, maupun mahasiswa versus pemerintah, adalah gambaran nyata yang memang harus terus ada. Ketika itu hilang, justru patut dipertanyakan. Kutukan pantas dilontarkan kalau organisasi mahasiswa/pelajar justru berbulan madu dengan birokrasi dan pemeritnah, di tengah kondisi sosial, pendidikan dan masa depan bangsa yang tidak menentu sekarang ini. 

Romantika hanya menjadi pertanda buruk pembungkaman sudah diambang stadium kronis, dampaknya adalah mempercepat lahirnya bangsa yang tejerat dalam budaya bisu, dibisukan oleh otoritas yang membungkam. Dan celakanya, kita tak berharap, kalau diam yang tak lain adalah bisu, suatu saat sudah dianggap sebgai nilai yang harus dijunjung tinggi. 


Muhammad Ruslan

0 komentar:

Posting Komentar