“Kalian sebenarnya adalah orang-orang kesepian yang
menjadikan sekolah sebagai tempat pelarian. Bukan begitu? Karena itu, terlalu
sulit untuk berbicara hal-hal serius dihadapan kalian,” begitulah pendeta ilmu
berujar sebelum menutup ruang belajar yang ia mampu, disambut tawa dengan
berbagai ekspresi oleh muridnya.
Ada yang mungkin menganggap kata-kata itu hanya lelucon
menyembunyikan amarah sang pendeta ilmu melihat tingkah laku sang murid. Ada juga
yang mungkin merasa baru kali ini mendengar kata yang terlalu puitis untuk
ukuran telinga mereka. Sang pendeta ilmu tidak yakin kalau satu kalimat yang ia
sampaikan tersebut terpahami. Yang jelas bagi sang pendeta ilmu, lebih baik
mengkonversi amarah lewat untaian kata yang lebih bijak ketimbang
mengekspresikan begitu saja secara frontal.
Tapi aku melihat dari muka mereka bahwa ia mengamini itu
benar. Mereka memang adalah kumpulan orang-orang kesepian yang selalu mencari
cara untuk melawan hal itu. Kebisingan adalah hasilnya. Karena itu ada hal
dimana sang pendeta ilmu akan meletimasi pengwajaran lalu-lalang kebisingan
kelas itu dengan mempersepsi bahwa murid-murid di depannya ini adalah kumpulan
orang-orang terpaksa mengikuti autran yang ia tak ingini. Mereka sebenarnya adalah orang-orang tertindas
oleh struktur, lalu larut dalam doktrin-doktrin imajinasi ancaman akan masa
depan untuk berdamai dengan kenyataan buruk yang mengikatnya.
Mereka adalah manusia yang telah berhasil dirubah menjadi
orang-orangan. Dikontrol dengan mudah lewat apa saja, selama itu terkait dengan
nilai yang bagi mereka sangat penting itu. Mereka menghabiskan waktunya dengan
basa-basi yang tak penting. Mengerjakan sesuatu yang sama sekali tidak terikat
oleh kebutuhan mereka.
Benar-benar, hampir 12 tahun kesadaran mereka dikoyak-koyak
oleh sistem yang bernama sekolah, kehilangan unsur kekritisan selain sekadar
mengikuti apa yang sudah pakem. Mereka adalah orang-orang yang tak butuh alasan
untuk melakukan sesuatu selama itu adalah perintah. Ini benar-benar
menyedihkan. Bagaimana mungkin kita menganggap ada tujuan manusiawi yang ingin
dicapai oleh sistem demikian?
“Waktu saya sudah habis. Tugas yang
kamu kerjakan tadi tak usah dikumpul,” kata sang pendeta ilmu. Sang murid diam,
bingung, dalam pikir ia berkata: gila! Capek-capek bikin tak dinilai pulak! Dari
ekspresinya nampak kalau ia menuntut alasan, kenapa?
“Menurut kalian tugas demikian
itu penting atau tidak?” tanya sang pendeta ilmu.
“Penting pak…. .,” jawabnya.
“Penting untuk apa?” Untuk nilai
pak.
“Ada yang menganggap tugas
demikian tidak penting?” tanya sang pendeta. Suasana jadi hening. Tak ada yang
bersuara. Dari ekspresinya ia takut.
“Kalau begitu menurut saya itu
sama sekali tidak penting!”, simpul sang Pendeta memancing. Mereka tampak sumringah mengangguk mengafirmasi
sepakat. “Kami sebenarnya berpikir demikian, cuma takut bilang tidak penting,”
sanggahnya.
Begitulah basa-basi dilakukan. Para murid yang diklaim
seabgai kaum terpelajar tak perlu butuh alasan untuk mengetahui, cukup melakukan.
Bagaimana mungkin ada sesuatu yang penting ketika ia menulis ulang sesuatu yang
ia pindahkan dari buku paketnya sendiri, tanpa ia tahu apa yang ia tulis? Demi sekadar
untuk memenuhi keinginan sang empunya otoritas?
Ada hal yang terasa gila, ketika kita melihat bagaimana
mungkin orang bisa menikmati basa-basi yang tidak perlu demikian? Persis seperti
gambar di atas. Para murid yang kita sebut pelajar demikian berada dalam
lingkaran absurditas seperti itu. Ia adalah kumpulan-kumpulan orang-orang yang
menikmati basa-basi dan ketertindasan mereka sendiri demi sebongkah otoritas
kecil yang menindih mereka dari atas sembari tersenyum-senyum.
Mereka-mereka yang seperti dikatakan oleh Tan Malaka, adalah
pelajar-pelajar inlader yang dicipta laku penakut oleh politik pendidikan
kolonial. Penakut bahkan untuk sekdar bertanya sekalipun. Tepat, ketika Tan menyebut
pendidikan pendiaman demikian adalah racun bagi kesadaran anak bangsa.
Yang tersisa dari aktivitas yang diklaim belajar demikian hanyalah rutinitas sembari menunggu waktu berlalu, menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja dengan sia-sia. Tak ada yang lebih berguna sekolah bagi mereka selain tempat untuk mengobrol. Hal yang mereka tak dapatkan di luar. Pada titik tertentu mereka adaah orang-orang kesepian yang terselamatkan oleh sekolah, namun juga kembali ditindih oleh budaya pendiaman yang sistematis yang datang dari sekolah itu sendiri.*
Yang tersisa dari aktivitas yang diklaim belajar demikian hanyalah rutinitas sembari menunggu waktu berlalu, menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja dengan sia-sia. Tak ada yang lebih berguna sekolah bagi mereka selain tempat untuk mengobrol. Hal yang mereka tak dapatkan di luar. Pada titik tertentu mereka adaah orang-orang kesepian yang terselamatkan oleh sekolah, namun juga kembali ditindih oleh budaya pendiaman yang sistematis yang datang dari sekolah itu sendiri.*
0 komentar:
Posting Komentar