| one article - one struggle |

Selasa, 10 Oktober 2017

Orang-Orang Kesepian Berseragam


“Kalian sebenarnya adalah orang-orang kesepian yang menjadikan sekolah sebagai tempat pelarian. Bukan begitu? Karena itu, terlalu sulit untuk berbicara hal-hal serius dihadapan kalian,” begitulah pendeta ilmu berujar sebelum menutup ruang belajar yang ia mampu, disambut tawa dengan berbagai ekspresi oleh muridnya.

Ada yang mungkin menganggap kata-kata itu hanya lelucon menyembunyikan amarah sang pendeta ilmu melihat tingkah laku sang murid. Ada juga yang mungkin merasa baru kali ini mendengar kata yang terlalu puitis untuk ukuran telinga mereka. Sang pendeta ilmu tidak yakin kalau satu kalimat yang ia sampaikan tersebut terpahami. Yang jelas bagi sang pendeta ilmu, lebih baik mengkonversi amarah lewat untaian kata yang lebih bijak ketimbang mengekspresikan begitu saja secara frontal.

Tapi aku melihat dari muka mereka bahwa ia mengamini itu benar. Mereka memang adalah kumpulan orang-orang kesepian yang selalu mencari cara untuk melawan hal itu. Kebisingan adalah hasilnya. Karena itu ada hal dimana sang pendeta ilmu akan meletimasi pengwajaran lalu-lalang kebisingan kelas itu dengan mempersepsi bahwa murid-murid di depannya ini adalah kumpulan orang-orang terpaksa mengikuti autran yang ia tak ingini.  Mereka sebenarnya adalah orang-orang tertindas oleh struktur, lalu larut dalam doktrin-doktrin imajinasi ancaman akan masa depan untuk berdamai dengan kenyataan buruk yang mengikatnya.

Mereka adalah manusia yang telah berhasil dirubah menjadi orang-orangan. Dikontrol dengan mudah lewat apa saja, selama itu terkait dengan nilai yang bagi mereka sangat penting itu. Mereka menghabiskan waktunya dengan basa-basi yang tak penting. Mengerjakan sesuatu yang sama sekali tidak terikat oleh kebutuhan mereka.

Benar-benar, hampir 12 tahun kesadaran mereka dikoyak-koyak oleh sistem yang bernama sekolah, kehilangan unsur kekritisan selain sekadar mengikuti apa yang sudah pakem. Mereka adalah orang-orang yang tak butuh alasan untuk melakukan sesuatu selama itu adalah perintah. Ini benar-benar menyedihkan. Bagaimana mungkin kita menganggap ada tujuan manusiawi yang ingin dicapai oleh sistem demikian?

“Waktu saya sudah habis. Tugas yang kamu kerjakan tadi tak usah dikumpul,” kata sang pendeta ilmu. Sang murid diam, bingung, dalam pikir ia berkata: gila! Capek-capek bikin tak dinilai pulak! Dari ekspresinya nampak kalau ia menuntut alasan, kenapa?

“Menurut kalian tugas demikian itu penting atau tidak?” tanya sang pendeta ilmu.

“Penting pak…. .,” jawabnya.

“Penting untuk apa?” Untuk nilai pak.

“Ada yang menganggap tugas demikian tidak penting?” tanya sang pendeta. Suasana jadi hening. Tak ada yang bersuara. Dari ekspresinya ia takut.

“Kalau begitu menurut saya itu sama sekali tidak penting!”, simpul sang Pendeta memancing. Mereka tampak sumringah mengangguk mengafirmasi sepakat. “Kami sebenarnya berpikir demikian, cuma takut bilang tidak penting,” sanggahnya.

Begitulah basa-basi dilakukan. Para murid yang diklaim seabgai kaum terpelajar tak perlu butuh alasan untuk mengetahui, cukup melakukan. Bagaimana mungkin ada sesuatu yang penting ketika ia menulis ulang sesuatu yang ia pindahkan dari buku paketnya sendiri, tanpa ia tahu apa yang ia tulis? Demi sekadar untuk memenuhi keinginan sang empunya otoritas?

Ada hal yang terasa gila, ketika kita melihat bagaimana mungkin orang bisa menikmati basa-basi yang tidak perlu demikian? Persis seperti gambar di atas. Para murid yang kita sebut pelajar demikian berada dalam lingkaran absurditas seperti itu. Ia adalah kumpulan-kumpulan orang-orang yang menikmati basa-basi dan ketertindasan mereka sendiri demi sebongkah otoritas kecil yang menindih mereka dari atas sembari tersenyum-senyum.

Mereka-mereka yang seperti dikatakan oleh Tan Malaka, adalah pelajar-pelajar inlader yang dicipta laku penakut oleh politik pendidikan kolonial. Penakut bahkan untuk sekdar bertanya sekalipun. Tepat, ketika Tan menyebut pendidikan pendiaman demikian adalah racun bagi kesadaran anak bangsa.

Yang tersisa dari aktivitas yang diklaim belajar demikian hanyalah rutinitas sembari menunggu waktu berlalu, menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja dengan sia-sia. Tak ada yang lebih berguna sekolah bagi mereka selain tempat untuk mengobrol. Hal yang mereka tak dapatkan di luar. Pada titik tertentu mereka adaah orang-orang kesepian yang terselamatkan oleh sekolah, namun juga kembali ditindih oleh budaya pendiaman yang sistematis yang datang dari sekolah itu sendiri.*



0 komentar:

Posting Komentar