| one article - one struggle |

Kamis, 14 Januari 2016

Sayap Patah Zun


source picture: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=753380801451742&set=a.426142184175607.1073741825.100003394888897&type=3&theater




Zun, panggilan akrabnya. 


Zunnn….!!!, panggilan spontan yang sering ia dengar. Jeritan “emosi” sang pendidik dalam kelas, di sela-sela pengajaran berlangsung. 


Mata bulat berdiameter sempit itu tiba-tiba membelalak terkejut. Spontan berhenti, selang, cerita yang tak jelas berlanjut. Atmosfer kelas yang sama kembali berlangsung. Atmosfer yang penuh kebisingan, lalu-lalang cerita, dan ekspresi suara-suara sumbang yang terselip “menuntut” kebebasaan, ekspresi khendak untuk keluar dari belenggu suci yang bernama sekolah. 


Di ujung tengah baris meja-kursi, tempat Zun bersama segerombol rekannya, asyik dan selalu asyik dengan dunianya, dunia penuh cerita, seperti tak ada akhir. Dalam benak, baginya rutinitas ini tidak rill (false), hanya sarana untuk menghabiskan waktu. Cerita menjadi sarana untuk berkompromi dengan belenggu dan waktu disaat yang sama. 


Deru kata yang selalu meluncur dari lisan Sang Pendidik, mengalir seperti air yang tak menemui sela untuk berhenti, berlalu begitu saja. Kalimat-kalimat bijak yang meluncur tak mampu menyentuh sedikitpun keluaasan hati Sang Murid untuk mendengar. Seperti dengan Zun, Bukan karena ia tuli, tetapi petuah-petuah yang selalu bercampur dengan emosi, mewujud dalam ancaman dan peringatan, membuat dirinya kebal untuk mendengar. Dalam benaknya, waktu 16 tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk mendengar, ‘’Saatnyalah untuk berlisan,” ujarnya tiba-tiba, spontan dan insidentil dalam hati.  


Namun saat masa-masa puberitas bicara itu kuncup,  tak pula terakomodasi, maka bicara itu menjadi tak beraturan, tereskpresi lewat cerita liar, sekadar untuk mengakui eksistensinya. Potensi yang tak terwadahi, atau salah dimaknai, seperti pertumbuhan pohon yang terhambat dalam pot sempit. Akibat dari perkembangan kemanusiaan yang  tidak sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan sistem yang terbangun. 


Ekspresi yang muncul terkadang meletup-letup tanpa sebab yang nampak. Ekspresi natural, respon dari pembungkaman struktural bertahun-tahun ia alami, mengubahnya menjadi pribadi yang tak mudah berdamai dengan realitas persekolahan. Sikap apatis menjadi jawaban baginya, “melawan” tradisi klasik lewat pembangkangan kultural. 


Ia sadar betul, rumah dan sekolah, dipenuhi dengan target. Beban untuk memenuhi harapan orang tua dan guru, agar dapat menjadi ‘’pekerja mumpuni’’, merenggut kodrat dasar kemanusiaannya sebagai manusia. Ia perlahan-lahan kehilangan sifat manusiawinya, terkadang larut dalam pengkondisian kehidupan yang penuh kompetisi dan semangat individualistik, yang terkondisikan dalam ring kelas. 

Pikiran terasa disetting dengan paksa, dengan fitur-fitur teknis yang kaku yang bekerja otomatis. “Itulah yang dibutuhkan dunia sekarang ini!”, ujar gurunya, berulang-ulang, saat ia mempertanyakan realitas itu berulang-ulang.


Ada rasa pengap ia rasakan dalam benak dan pikirannya. Nilai-nilai angka yang dipertuankan dalam sekolah, sama sekali tak menarik perhatiaannya. Hatinya pun terasa dikunci dengan gembok rapat dengan moralitas kepatuhan dan pengtaqlikan terhadap otoritas. Kadang ia perihatin melihat rekannya merangkak-rangkak dan merengek demi sebilah pengakuan kepandaian dalam wujud angka. Bagi Zun, ia akui, kalau kepercayaannya terhadap penilaian orang terhadp orang lain sangat tipis. Baginya itu subjektif, dan manusia yang mempertuankan otoritas untuk menjinakkan, takkan bisa menilai objektivitas kemanusiaan yang sesungguhnya.


Saat ia menyadari hal itu, mulailah dunianya berubah. Terjadi tarik-menarik antara eksistensinya dengan sistem yang mengancamnya kehilangan dirinya, berujung pada persinggungan antara khendaknya dan khendak sistem nilai dan norma sekolah. Apa boleh buat kekuatan struktur jauh lebih kuat dari dirinya, “pelanggaran dan sanksi” selalu menjadi hadiah permanen sebelum pulang.


Sang pendidik, sebenarnya mengerti. Hanya saja, sebagai produk penddidikan yang lahir dari zaman lampau, membuatnya seperti kikuk, tak mampu menyelami zaman terkini untuk berinteraksi. Sebagai sarjana pendidik, yang dididik lewat penataran P4, dan doktrin-doktrin “Pagar Besi” Orde Baru, tak ada yang ia warisi secara natural dari gelar kesarjanaannya, selain melihat persoalan dengan kacamata militer. Penuh dengan penentraman dan penertiban!


----


Menjelang sore, waktu pulang. Hanya dalam hitungan menit setelah bel pulang berbunyi, keramaian sekolah cepat seperti kilat  berubah sunyi dan sepi. Batang hidup Zun pun sudah tak nampak. Mungkin ia sudah mengepakkan sayapnya yang “patah” dengan bebas. 




Muhammad Ruslan

0 komentar:

Posting Komentar