![]() |
source picture: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=753380801451742&set=a.426142184175607.1073741825.100003394888897&type=3&theater |
Zun, panggilan akrabnya.
Zunnn….!!!, panggilan spontan yang sering ia dengar. Jeritan
“emosi” sang pendidik dalam kelas, di sela-sela pengajaran berlangsung.
Mata bulat berdiameter sempit itu tiba-tiba membelalak
terkejut. Spontan berhenti, selang, cerita yang tak jelas berlanjut. Atmosfer kelas
yang sama kembali berlangsung. Atmosfer yang penuh kebisingan, lalu-lalang
cerita, dan ekspresi suara-suara sumbang yang terselip “menuntut” kebebasaan, ekspresi
khendak untuk keluar dari belenggu suci yang bernama sekolah.
Di ujung tengah baris meja-kursi, tempat Zun bersama
segerombol rekannya, asyik dan selalu asyik dengan dunianya, dunia penuh cerita,
seperti tak ada akhir. Dalam benak, baginya rutinitas ini tidak rill (false), hanya sarana untuk menghabiskan
waktu. Cerita menjadi sarana untuk berkompromi dengan belenggu dan waktu disaat
yang sama.
Deru kata yang selalu meluncur dari lisan Sang Pendidik, mengalir
seperti air yang tak menemui sela untuk berhenti, berlalu begitu saja. Kalimat-kalimat
bijak yang meluncur tak mampu menyentuh sedikitpun keluaasan hati Sang Murid untuk
mendengar. Seperti dengan Zun, Bukan karena ia tuli, tetapi petuah-petuah yang selalu
bercampur dengan emosi, mewujud dalam ancaman dan peringatan, membuat dirinya
kebal untuk mendengar. Dalam benaknya, waktu 16 tahun adalah waktu yang terlalu
lama untuk mendengar, ‘’Saatnyalah untuk berlisan,” ujarnya tiba-tiba, spontan
dan insidentil dalam hati.
Namun saat masa-masa puberitas bicara itu kuncup, tak pula terakomodasi, maka bicara itu menjadi
tak beraturan, tereskpresi lewat cerita liar, sekadar untuk mengakui eksistensinya.
Potensi yang tak terwadahi, atau salah dimaknai, seperti pertumbuhan pohon yang
terhambat dalam pot sempit. Akibat dari perkembangan kemanusiaan yang tidak sejalan dengan perkembangan dan
pertumbuhan sistem yang terbangun.
Ekspresi yang muncul terkadang meletup-letup tanpa sebab yang
nampak. Ekspresi natural, respon dari pembungkaman struktural bertahun-tahun ia
alami, mengubahnya menjadi pribadi yang tak mudah berdamai dengan realitas
persekolahan. Sikap apatis menjadi jawaban baginya, “melawan” tradisi klasik
lewat pembangkangan kultural.
Ia sadar betul, rumah dan sekolah, dipenuhi dengan target. Beban
untuk memenuhi harapan orang tua dan guru, agar dapat menjadi ‘’pekerja mumpuni’’,
merenggut kodrat dasar kemanusiaannya sebagai manusia. Ia perlahan-lahan
kehilangan sifat manusiawinya, terkadang larut dalam pengkondisian kehidupan
yang penuh kompetisi dan semangat individualistik, yang terkondisikan dalam
ring kelas.
Pikiran terasa disetting dengan paksa, dengan fitur-fitur
teknis yang kaku yang bekerja otomatis. “Itulah yang dibutuhkan dunia sekarang
ini!”, ujar gurunya, berulang-ulang, saat ia mempertanyakan realitas itu
berulang-ulang.
Ada rasa pengap ia rasakan dalam benak dan pikirannya. Nilai-nilai
angka yang dipertuankan dalam sekolah, sama sekali tak menarik perhatiaannya. Hatinya
pun terasa dikunci dengan gembok rapat dengan moralitas kepatuhan dan
pengtaqlikan terhadap otoritas. Kadang ia perihatin melihat rekannya
merangkak-rangkak dan merengek demi sebilah pengakuan kepandaian dalam wujud angka.
Bagi Zun, ia akui, kalau kepercayaannya terhadap penilaian orang terhadp orang
lain sangat tipis. Baginya itu subjektif, dan manusia yang mempertuankan otoritas
untuk menjinakkan, takkan bisa menilai objektivitas kemanusiaan yang
sesungguhnya.
Saat ia menyadari hal itu, mulailah dunianya berubah. Terjadi
tarik-menarik antara eksistensinya dengan sistem yang mengancamnya kehilangan
dirinya, berujung pada persinggungan antara khendaknya dan khendak sistem nilai
dan norma sekolah. Apa boleh buat kekuatan struktur jauh lebih kuat dari
dirinya, “pelanggaran dan sanksi” selalu menjadi hadiah permanen sebelum
pulang.
Sang pendidik, sebenarnya mengerti. Hanya saja, sebagai
produk penddidikan yang lahir dari zaman lampau, membuatnya seperti kikuk, tak mampu menyelami zaman terkini
untuk berinteraksi. Sebagai sarjana pendidik, yang dididik lewat penataran P4,
dan doktrin-doktrin “Pagar Besi” Orde Baru, tak ada yang ia warisi secara
natural dari gelar kesarjanaannya, selain melihat persoalan dengan kacamata
militer. Penuh dengan penentraman dan penertiban!
----
Menjelang sore, waktu pulang. Hanya dalam hitungan menit
setelah bel pulang berbunyi, keramaian sekolah cepat seperti kilat berubah sunyi dan sepi. Batang hidup Zun pun
sudah tak nampak. Mungkin ia sudah mengepakkan sayapnya yang “patah” dengan
bebas.
Muhammad Ruslan
0 komentar:
Posting Komentar