| one article - one struggle |

Selasa, 29 Desember 2015

Mengajar itu Tentang Bertanya, bukan Menjawab



source: resist book, 2007
Sulit untuk menafikan kenyataan bahwa, salah satu esensi yang terus tergerus dari potret pendidikan kita hari ini adalah hilangnya konteks ‘’bertanya’’ dalam ruang belajar (sekolah/kampus). Bertanya, ditanya, menanya, dan mempertanyakan. Apa yang ditanyakan (apa yang dibedah dalam pengajaran), bagaimana ia dibedah (ditanyakan), serta relasi yang dibangun, adalah pertanyaan-pertanyaan untuk melihat dimensi normatif pendidikan. 

Saat ini pendidikan terus mengalir dalam rupa ‘’menjawab’’, menawarkan jawaban dalam kepastian-kepastian, kebenaran seperti dipasung dalam kepastian-kepastian yang keramat. Guru/dosen adalah satu-satunya pihak yang ‘’sahih’’ untuk menjawab—memberi dan melegitimasi kepastian-kepastian kebenaran

Menentukan, mendikte, memerintah dan mengancam adalah alatnya. Kalaupun ada yang kita sebut ‘’pertanyaan’’, maka menjadi kebiasaan kalau pertanyaan tersebut memutlakkan jawaban berdasarkan persepektif si Empunya ilmu atau sesuai yang tertulis dalam buku. Dalam konteks ini otoritas menguasai di atas dari nalar sekalipun.

Perspektif pendidikan seperti ini, meniscayakan otoritas memangku pengetahuan, kebenaran terkerdilkan, nalar berpikir tersumbat, dan hanya akan menghasilkan ketergantungan kebenaran pada otoritas, hingga suatu saat pemahaman tercaplok bahwa kebenaran bersumber dari otoritas akan menjadi pola pikir tersendiri bagi pelajar. Inilah salah satu dimensi politik dalam pendidikan di luar dari eksistensi kurikulum yang nyata. 

Banyak instrumen yang muncul sebagai wadah yang mewadahi persepektif  tersebut, sebut saja: salah  satunya pertanyaan-pertanyaan pada ujian yang selalu berporos pada pilihan berganda. Pilihan ganda tidak hanya membatasi ruang berpikir, juga sama sekali tidak memperlihatkan ada dimensi intelektual yang terkandung di dalamnya, selain sekadar menyajikan pilihan terbatas. Kalaupun ada ruang berpendapat dalam bentuk essai, tetap saja jawaban yang dituntut bukan refleksi kejujuran dan pemikiran otonom pelajar, melainkan kesamaan dari apa yang tertulis dalam buku. Sehingga ujian tak lebih seperti momen untuk menguji kemampuan memindahkan isi buku ke dalam lembar jawaban—tak lebih dari itu. Ironis dan mirisnya, di perguruan tinggi sekalipun pola yang pendidikan kolonial seperti ini masih lazim dijumpai.

Pendidikan/pengajaran yang berorientasi menawarkan kepastian-kepastian ini, bukan saja menjadi penghambat inovasi, juga mencederai lahirnya perspektif-perspektif baru dalam pendidikan. Dampak yang ditimbulkan pun tidak biasa, yakni lahirnya produk pendidikan yang lihai dan cepat mengadili dan menghakimi ketimbang memahami---seperti kerap terjadi di masyarkat baik atas nama individu maupun ormas. Persepktif hitam-putih ini, hanya melahirkan wajah pendidikan yang anti-kemajemukan.

Persoalan ini dapat dilacak, saat pertama kali kita jujur mempertanyakan dan membandingkan ‘’apa tujuan pendidikan yang sebanarnya dan bagaimana yang berjalan sekarang?’’. Untuk melahirkan manusia, atau untuk melahirkan ‘’pekerja yang baik’’ dengan segenap karakter kepatuhan yang mumpuni?. Begitupun saat kita mempertanyakan objek pendidikan: realitas kemanusiaan atau realitas pasar?. Tanpa ingin memaksakan kseimpulan, rasanya kita pun bisa mengmbil kesimpulan atas pertanyaan tersebut. 

Sepertinya, kita harus mengajar-belajar bertanya dan berani mempertanyakan banyak hal. Bertanya dalam pendidikan/pengajaran bukan untuk menuntut jawaban yang mutlak, sebagaimana pertanyaan tak selalu mensyaratkan jawaban pasti. Sebab pelajar ideal bukanlah penjawab tercepat, tetapi mereka yang mampu mengkonsepkan suatu realitas pemahaman sendiri, refleksi dari pengalaman masing-masing. 

Pendidikan harusnya mengajarkan untuk bertanya bukan sekadar menjawab. Sebab kita lahir untuk bertanya dan mempertanyakan realitas yang terjadi di sekeliling kita. Hal ini sebagai bentuk normatif dari jalan pendidikan mendekatkan pelajar dan pengajar pada kehidupan itu sendiri, termasuk memahami persoalan nyata yang terjadi. Bertanya tanpa menuntut keragaman, adalah wujud pemahaman bahwa realitas hanyalah kumpulan dari tafsir-menafsir yang dinamis dan berkembang.

Ya…! Mengajar dengan bertanya dan mempertanyakan. Sebab siapa tahu dalam bertanya dan mempertanyakan,  terselip suara sumbang untuk menuntut..!


Penulis
Muhammad Ruslan

1 komentar: