source: resist book, 2007 |
Sulit untuk menafikan kenyataan
bahwa, salah satu esensi yang terus tergerus dari potret pendidikan kita hari
ini adalah hilangnya konteks ‘’bertanya’’ dalam ruang belajar (sekolah/kampus).
Bertanya, ditanya, menanya, dan mempertanyakan. Apa yang ditanyakan (apa yang dibedah
dalam pengajaran), bagaimana ia dibedah (ditanyakan), serta relasi yang
dibangun, adalah pertanyaan-pertanyaan untuk melihat dimensi normatif pendidikan.
Saat ini pendidikan terus
mengalir dalam rupa ‘’menjawab’’, menawarkan jawaban dalam kepastian-kepastian,
kebenaran seperti dipasung dalam kepastian-kepastian yang keramat. Guru/dosen
adalah satu-satunya pihak yang ‘’sahih’’ untuk menjawab—memberi dan melegitimasi kepastian-kepastian kebenaran.
Menentukan,
mendikte, memerintah dan mengancam adalah alatnya. Kalaupun ada yang kita sebut
‘’pertanyaan’’, maka menjadi kebiasaan kalau pertanyaan tersebut memutlakkan
jawaban berdasarkan persepektif si Empunya ilmu atau sesuai yang tertulis dalam
buku. Dalam konteks ini otoritas menguasai di atas dari nalar sekalipun.
Perspektif pendidikan seperti
ini, meniscayakan otoritas memangku pengetahuan, kebenaran terkerdilkan, nalar
berpikir tersumbat, dan hanya akan menghasilkan ketergantungan kebenaran pada
otoritas, hingga suatu saat pemahaman tercaplok bahwa kebenaran bersumber dari
otoritas akan menjadi pola pikir tersendiri bagi pelajar. Inilah salah satu
dimensi politik dalam pendidikan di luar dari eksistensi kurikulum yang nyata.
Banyak instrumen yang muncul
sebagai wadah yang mewadahi persepektif
tersebut, sebut saja: salah satunya
pertanyaan-pertanyaan pada ujian yang selalu berporos pada pilihan berganda. Pilihan
ganda tidak hanya membatasi ruang berpikir, juga sama sekali tidak memperlihatkan
ada dimensi intelektual yang terkandung di dalamnya, selain sekadar menyajikan
pilihan terbatas. Kalaupun ada ruang berpendapat dalam bentuk essai, tetap saja
jawaban yang dituntut bukan refleksi kejujuran dan pemikiran otonom pelajar,
melainkan kesamaan dari apa yang tertulis dalam buku. Sehingga ujian tak lebih
seperti momen untuk menguji kemampuan memindahkan isi buku ke dalam lembar
jawaban—tak lebih dari itu. Ironis
dan mirisnya, di perguruan tinggi sekalipun pola yang pendidikan kolonial seperti
ini masih lazim dijumpai.
Pendidikan/pengajaran yang
berorientasi menawarkan kepastian-kepastian ini, bukan saja menjadi penghambat
inovasi, juga mencederai lahirnya perspektif-perspektif baru dalam pendidikan.
Dampak yang ditimbulkan pun tidak biasa, yakni lahirnya produk pendidikan yang
lihai dan cepat mengadili dan menghakimi ketimbang memahami---seperti kerap terjadi di masyarkat baik atas
nama individu maupun ormas. Persepktif hitam-putih ini, hanya melahirkan
wajah pendidikan yang anti-kemajemukan.
Persoalan ini dapat dilacak, saat
pertama kali kita jujur mempertanyakan dan membandingkan ‘’apa tujuan
pendidikan yang sebanarnya dan bagaimana yang berjalan sekarang?’’. Untuk
melahirkan manusia, atau untuk melahirkan ‘’pekerja yang baik’’ dengan segenap
karakter kepatuhan yang mumpuni?. Begitupun saat kita mempertanyakan objek
pendidikan: realitas kemanusiaan atau realitas pasar?. Tanpa ingin memaksakan
kseimpulan, rasanya kita pun bisa mengmbil kesimpulan atas pertanyaan tersebut.
Sepertinya, kita harus mengajar-belajar
bertanya dan berani mempertanyakan banyak hal. Bertanya dalam
pendidikan/pengajaran bukan untuk menuntut jawaban yang mutlak, sebagaimana
pertanyaan tak selalu mensyaratkan jawaban pasti. Sebab pelajar ideal bukanlah
penjawab tercepat, tetapi mereka yang mampu mengkonsepkan suatu realitas
pemahaman sendiri, refleksi dari pengalaman masing-masing.
Pendidikan harusnya mengajarkan
untuk bertanya bukan sekadar menjawab. Sebab kita lahir untuk bertanya dan mempertanyakan
realitas yang terjadi di sekeliling kita. Hal ini sebagai bentuk normatif dari
jalan pendidikan mendekatkan pelajar dan pengajar pada kehidupan itu sendiri, termasuk
memahami persoalan nyata yang terjadi. Bertanya tanpa menuntut keragaman,
adalah wujud pemahaman bahwa realitas hanyalah kumpulan dari tafsir-menafsir
yang dinamis dan berkembang.
Ya…! Mengajar dengan bertanya dan
mempertanyakan. Sebab siapa tahu dalam bertanya dan mempertanyakan, terselip suara sumbang untuk menuntut..!
Penulis
Muhammad Ruslan
test
BalasHapus