SCHOLAE, In Loco
Parentis[1]
Ia yang membiarkan waktu berlari, berjauh, duduk disebuah
kursi duplikat borju, menatap dengan mata letih diselimuti rasa kantuk yang tak
tertahan. Hanya ada satu hal yang terlintas, berharap waktu berlari
sekencang-kencangnya meinggalkan dirinya yang beku nan jenuh. Sesekali mata
terpejam, dipaksa membelalak di siang bolong.
Pikiran serasa buntu, tak ada ide yang terbetik, aktivitas
yang tak menggugah semangat terus menghantui. Dalam proses waktu yang berputar
membawanya melanglang buana melintasi ruang, melangkahi waktu. Hanya satu hal
yang pasti bahwa masa tak mengenal siapa-siapa dan apa-apa, seperti benda mati
yang keberadaannya hadir dengan sendirinya dan akan terus hadir dalam
keabadian.
Pikiran melayang, sesekali meredup pertanda kejenuhan
bercampur rasa kantuk. Angin pun tak sudi membelainya, cahanya pun tak rela
meneranginya. Dari bilik sebelah tepat
disatu ruang para intelektual teknis berbual, yang terdengar hanya keramaian
yang tak beraturan, ekspresi kebosanan yang massif bahwa ini bukan surga yang
diimpikan.
Tak ada kicauan burung, yang ada hanya deru kendaraan yang
melaju saling silang.
-----
Sebuah pemandangan kontras terus nampak, etika menjadi
kenyataan yang dibincangkan dalam ruang dan waktu yang terbatas, yang berpisah
dari pembincangan lainnya. Saat kesadaran ke-manusia-an di perdengarkan
ditempat yang berbeda kesadaran sebagai hewan yang mengakumulasi terus
distimulusisasi dengan dogma-dogma imajiner. Personalitas ganda secara tak
langsung terus diproduksi, dalam ruang-ruang yang memaksakan. Ironisnya semua
orang berpikir bahwa itu adalah ‘’sekolah’’.
Scholae terkadang tak berbeda dengan penjara, dibangun
diatas dinding tembok tebal, dengan pagar besi yang apit dan runcing. Pintu
gerbang dijaga oleh sipir yang diproduksi lewat latihan paramilter yang
sistematis.
‘’ini bukan tempat bermain’’, ketusnya, saat yang sama ia
menyebut ini sebagai tempat yang suci layaknya surga. Tapi jauh dari lubuk
kesadaran kemanusiaan yang dalam, pikiran dan hati tak bisa berpaling untuk
memahaminya sebagai neraka—ruang-ruang penyiksaan psikologis yang akut.
Scholae sudah seperti agama manusia modern hari ini. Ia
adalah jalan instan yang menjanjikan manusia mencapai tiket surga dunia, yang
tak lain adalah doktrin-doktrin akumulasi kapital. Apa yang membuatnya bertahan tiada lain
adalah bentuk pentaqlikan setianya pada kekuasaan dan modal.
-----
Bel akhir berdering, pertanda waktu bebas telah datang,
bunyi itu mengandung kekuatan ‘’magic’’ membangunkan mereka yang kehilangan
kesadaran beralaskan meja. Seperti burung yang keluar dari sangkar, ekspresi
kesenangan terlepas dari belenggu sipir. Meski dalam benak ini tak lebih
sebagai sebuah konsensi kebebasan semu.
Ekspresi kebebasan meletup-letup seperti letupan bedil
kemenangan yang terjajah. Layaknya 350 tahun dijajah Belanda, derita yang sama
saat sepertiga sisa hidup dihabiskan dalam ruang sempit, tatapan garang penuh
kebingungan dan keputusasaan melahap bualan teori yang tak jelas rimbanya.
Tak ada seni yang (sejatinya) membebaskan, yang ada hanya
perintah dan ancaman mengunci pikiran dan jiwa, menjadi belenggu yang mematikan
nalar dan rasa. Kedisiplinan dan moralitas menjadi angin suci yang dihembuskan.
Dalam ruang-ruang yang tidak demokratis, para tekhnokrat dicipta dengan karakter
yang penuh dengan kalkulasi pragmatis. Dan itulah yang dibanggakan pemangku
kuasa sebagai generasi masa depan !
Buku-buku dengan segenap isinya yang kaku, beberapa
diantaranya penuh ‘’kebohongan’’ menghantui pikiran dan mengusik tidurnya.
Dalam diam ia berkata: ‘’Apa guna semua ini?’’. Sambil berlari meninggalkan
gedung tinggi itu ia bergumam ‘’Apakah ini yang menjadi standar untuk menyebut
diriku sebagai manusia, saat rasanya aku diperlakukan tidak layaknya manusia ?’’.
Penulis
Muhammad Ruslan
source: catatan https://www.facebook.com/notes/mohammed-roeslank/scholae-in-loco-parentis/956085767784148
[1] Scola
in loco parentis, istilah yunani, untuk melihat bentuk lain pola pedagogi,
yang awalnya berpusat pada ibu (scola
matterna) sebagai lembaga sosialisasi tertua. Scola in loco parentis, dipahami sebagai lembaga pengasuhan anak
pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu (Lihat: Roem T,2013:
6-7).
0 komentar:
Posting Komentar