| one article - one struggle |

Rabu, 30 Desember 2015

SCHOLAE, In Loco Parentis

SCHOLAE, In Loco Parentis[1]

Ia yang membiarkan waktu berlari, berjauh, duduk disebuah kursi duplikat borju, menatap dengan mata letih diselimuti rasa kantuk yang tak tertahan. Hanya ada satu hal yang terlintas, berharap waktu berlari sekencang-kencangnya meinggalkan dirinya yang beku nan jenuh. Sesekali mata terpejam, dipaksa membelalak di siang bolong. 

Pikiran serasa buntu, tak ada ide yang terbetik, aktivitas yang tak menggugah semangat terus menghantui. Dalam proses waktu yang berputar membawanya melanglang buana melintasi ruang, melangkahi waktu. Hanya satu hal yang pasti bahwa masa tak mengenal siapa-siapa dan apa-apa, seperti benda mati yang keberadaannya hadir dengan sendirinya dan akan terus hadir dalam keabadian. 

Pikiran melayang, sesekali meredup pertanda kejenuhan bercampur rasa kantuk. Angin pun tak sudi membelainya, cahanya pun tak rela meneranginya.  Dari bilik sebelah tepat disatu ruang para intelektual teknis berbual, yang terdengar hanya keramaian yang tak beraturan, ekspresi kebosanan yang massif bahwa ini bukan surga yang diimpikan. 

Tak ada kicauan burung, yang ada hanya deru kendaraan yang melaju saling silang. 
-----
Sebuah pemandangan kontras terus nampak, etika menjadi kenyataan yang dibincangkan dalam ruang dan waktu yang terbatas, yang berpisah dari pembincangan lainnya. Saat kesadaran ke-manusia-an di perdengarkan ditempat yang berbeda kesadaran sebagai hewan yang mengakumulasi terus distimulusisasi dengan dogma-dogma imajiner. Personalitas ganda secara tak langsung terus diproduksi, dalam ruang-ruang yang memaksakan. Ironisnya semua orang berpikir bahwa itu adalah ‘’sekolah’’. 

Scholae terkadang tak berbeda dengan penjara, dibangun diatas dinding tembok tebal, dengan pagar besi yang apit dan runcing. Pintu gerbang dijaga oleh sipir yang diproduksi lewat latihan paramilter yang sistematis. 

‘’ini bukan tempat bermain’’, ketusnya, saat yang sama ia menyebut ini sebagai tempat yang suci layaknya surga. Tapi jauh dari lubuk kesadaran kemanusiaan yang dalam, pikiran dan hati tak bisa berpaling untuk memahaminya sebagai neraka—ruang-ruang penyiksaan psikologis yang akut.

Scholae sudah seperti agama manusia modern hari ini. Ia adalah jalan instan yang menjanjikan manusia mencapai tiket surga dunia, yang tak lain adalah doktrin-doktrin akumulasi kapital.  Apa yang membuatnya bertahan tiada lain adalah bentuk pentaqlikan setianya pada kekuasaan dan modal.
-----
Bel akhir berdering, pertanda waktu bebas telah datang, bunyi itu mengandung kekuatan ‘’magic’’ membangunkan mereka yang kehilangan kesadaran beralaskan meja. Seperti burung yang keluar dari sangkar, ekspresi kesenangan terlepas dari belenggu sipir. Meski dalam benak ini tak lebih sebagai sebuah konsensi kebebasan semu. 

Ekspresi kebebasan meletup-letup seperti letupan bedil kemenangan yang terjajah. Layaknya 350 tahun dijajah Belanda, derita yang sama saat sepertiga sisa hidup dihabiskan dalam ruang sempit, tatapan garang penuh kebingungan dan keputusasaan melahap bualan teori yang tak jelas rimbanya. 

Tak ada seni yang (sejatinya) membebaskan, yang ada hanya perintah dan ancaman mengunci pikiran dan jiwa, menjadi belenggu yang mematikan nalar dan rasa. Kedisiplinan dan moralitas menjadi angin suci yang dihembuskan. Dalam ruang-ruang yang tidak demokratis, para tekhnokrat dicipta dengan karakter yang penuh dengan kalkulasi pragmatis. Dan itulah yang dibanggakan pemangku kuasa sebagai generasi masa depan !

Buku-buku dengan segenap isinya yang kaku, beberapa diantaranya penuh ‘’kebohongan’’ menghantui pikiran dan mengusik tidurnya. Dalam diam ia berkata: ‘’Apa guna semua ini?’’. Sambil berlari meninggalkan gedung tinggi itu ia bergumam ‘’Apakah ini yang menjadi standar untuk menyebut diriku sebagai manusia, saat rasanya aku diperlakukan tidak  layaknya manusia ?’’.

Penulis
Muhammad Ruslan

source: catatan https://www.facebook.com/notes/mohammed-roeslank/scholae-in-loco-parentis/956085767784148


[1]  Scola in loco parentis, istilah yunani, untuk melihat bentuk lain pola pedagogi, yang awalnya berpusat pada ibu (scola matterna) sebagai lembaga sosialisasi tertua. Scola in loco parentis, dipahami sebagai lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu (Lihat: Roem T,2013: 6-7). 


0 komentar:

Posting Komentar