| one article - one struggle |

Selasa, 26 Juli 2016

Catatan




Catatan ini kuketik kurang lebih 10 menit, sebelum keluar dari suatu ruang belajar, saat itu juga: saat saya diminta untuk mengisi sebuah ruang belajar. Saya masuk disambut dengan salam, lantas diserbu dengan pembicaraan-pembicaraan yang bising. Saya duduk, pura-pura membuka laptop, sambil sekali-kali menyimak pembicaraan mereka. Pembicaraan-pembicaraan yang tak terstruktur itu, melompat dari satu tema ke tema yang lain. 

Hujan yang turun menerpa genteng menyatu dalam pembicaraan anak muda-mudi itu. Tak ada sedetik kesempatan yang aku bisa rasakan untuk memulai pembicaraan. Hingga waktu terus berlanjut dan berakhir begitu saja. Apa yang ia bicarakan memang kadang-kadang menarik, juga kadang-kadang membosankan. 
“Aku gak mau lanjut, kata mamaku ngapain kuliah tinggi-tinggi?” ujar salah satunya. Yang lain menimpali, “Aku mau kuliah”, ujar yang lain. Beberapa mengangguk, beberapa pula diam sambil mencari celah untuk juga berbicara. Dalam pembicaraan itu, taulah saya bahwa anak muda-mudi itu berbicara tentang impian, masa depan yang ia maksud sebagai sumber kebahagiaan. 

Terdengar, ada yang ingin ke Bali, ada yang ke Singapura dan Tiongkok. Ada yang ingin buka restoran, ada dan ada lainnya….. dan banyak lagi. “Mimpi memang tak ada batasnya,” gumamku dalam hati.

Memang, apa yang paling menarik untuk dibicarakan anak sekolahan selain masa depan dengan banyak impian. Apalagi kalau bukan “KERJA”. Kerja? Hah? Kerja kok jadi mimpi, bukan kebutuhan?. Mungkin ia belum tahu dan memang belum merasakan dunia seperti itu. Aku mahfum, karena aku juga pernah seperti mereka. Kisaran umur untuk anak SMA/SMK, memang pembicaraannya tak pernah jauh dari hal-hal itu. Impian dan harapan yang berbinar-binar, setali dengan ide-ide romantik mereka terhadap hidup.

“Memang, hidup itu harus bekerja. Tapi ingat, kita hidup bukan untuk kerja, melainkan kita kerja untuk hidup. Berharap hal itu tidak terbolak-balik,” Begitu harapku dalam hati.

Apapun itu, tak ada hal yang bisa saya lakukan selain menyertaimu dengan do’a. Semoga apa yang kamu impikan tercapai!

Tapi ingat, dunia ini bekerja, kadang-kadang berjalan diluar khendak kita. Banyak hal dimana kita tidak punya khendak dalamnya. Siapkan mental untuk itu! 

Aku sebenarnya, ingin ada di antara mereka yang berbicara atau juga mengimpikan pilihan-pilihan hidup yang lain: di luar dari sekadar kebahagiaan individu yang ia ingin capai. Memang, sampai saat ini saya belum pernah melihat dan mendengar dan menemukan ada murid saya yang berkata, “Pak, impianku adalah merubah kehidupan orang lain, ingin ikut berkontribusi memecahkan persoalan-persoalan yang menderita masyarakatku kini!”. Ah, kadang aku menganggap itu hanya utopia. Karena aku merasa hidup dalam dunia pendidikan yang memisahkan muridku dengan realitas sebenarnya. Ia kehilangan ruang untuk merasa. Aku teralienasi, di saat yang sama mereka juga terasing dengan dunianya. Apa yang tersisa, selain ide-ide romantik yang membelenggu!

Bel baru saja berbunyi, itu artinya: sekian.



Muhammad Ruslan

0 komentar:

Posting Komentar