Menengok sejarah-sejarah dunia, kebangkitan peradaban lampau, memperlihatkan
dengan jelas pertautan kuat antara kebangkitan suatu peradaban dengan
buku. Beberapa percikan sejarah menceritakan, kehancuran/penghancuran
suatu peradaban yang berjalan seiring dengan sejarah tentang ‘pemusnahan
buku’ yang terjadi.
Nah, bagaimana dengan sekarang? Sepertinya kita selalu terlambat
memahami hal-hal penting, dan kadang ‘gagal’ belajar dari sejarah,
tentang rendahnya budaya baca di masyarakat sepertinya belum mendapat
perhatian serius hingga hari ini.
Beberapa bulan silam, media kembali mengetuk akal kita untuk berefleksi,
menyajikan data rendahnya minat baca masyarakat, yang terus berada
diambang krisis baca. Data survei dari UNESCO, memperlihatkan, tingkat
minat baca Indonesia berada di angka 0,01. Jauh lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara lain yang sudah berada diangka
0,45-0,65, negara terdekat misalnya Malaysia dan Singapura.
Jogjakarta saja yang dikenal sebagai kota pendidikan, hanya berada
diangka 0,049, juga merupakan tertinggi di antara daerah lain. Angka itu
menggambarkan suatu realitas bahwa, rata-rata jumlah buku yang dibaca
masyarakat Indonesia per orang dalam setahun tidak cukup 1 buku, berbeda
dengan Malaysia 3 buku, Jepang hingga 10 buku per orang dalam setahun.
Atau paling ekstrim disebut bahwa, dari 10.000 orang Indonesia, hanya
satu orang saja yang dianggap ‘serius’ membaca.
Dan ironis, ketika realitas itu, justru tidak mendapatkan respon yang
serius. Sebuah gambaran bangsa seperti apa yang kita bayangkan ke depan,
dari generasi yang lahir dari keterasingan terhadapbuku? kita terlalu
serius memperkecil makna ‘pembangunan’ pada hal yang bersifat struktur
tapi cenderung melupakan perbaikan kultur (kesadaran/kebiasaan)
masyarakat itu sendiri, padahal kita tahu struktur tidak bisa berjaan
sempurna tanpa diimbangi dengan kesadaran penerimaan di tingkat kulutur.
Bagaimana dengan sekolah/kampus?
Rendahnya minat baca, tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat secara
umum, tapi juga terjadi di lingkungan-lingkungan pendidikan seperti
sekolah dan kampus. Padahal, lembaga pendidikan inilah yang seharusnya
menjadi mesin roda penggerak perubahan, merombak dan mencairkan budaya
beku membaca masyarakat, tapi justru keburu terinfeksi dengan penyakit
yang sama.
Hal ini menjadi kontradiksi, dengan kebijakan Dikti yang ingin mendorong
peningkatan publisitas karya ilmiah di kampus yang selama ini rendah.
Rendahnya publisitas karya ilmiah, tidak bisa lepas dari rendahnya
budaya baca kita, dibandingkan dengan Malaysia saja publisitas kita
tertinggal jauh, dengan perbandingan 1:4.
Dengan kondisi seperti ini, sekolah dan kampus, sepertinya lambat kalau
tidak ingin dikatakan ‘gagal’, membangkitkan budaya baca
siswa/mahasiswa. Proses birokratisasi formal penyelenggaran pendidikan,
meneggelamkan hal-hal substansial pendidikan. Saat proses pendidikan,
justru tak mampu menumbuhkan curusiotas, apalagi menciptakan rasa haus
akan ilmu bagi pelajar.
Apa lagi, di zaman media sosial sekarang, perangkat informasi instan
dengan penyajian informasi seefisien (sesedikit) mungkin, cukup
memanjakan nalar baca pembaca, yang berpotensi semakin mengasingkannya
terhadap buku. Terlepas apa yang menjadi sebab desain medsos dengan
karakter efisiensi baca itu, mungkin adalah jawaban dari kebutuhan akan
realitas rendahnya minat baca masyarakat, anak muda pada khususnya.
Hanya saja, kegandrungan terhadap bacaan medsos yang tidak seimbang
terhadap buku, berpotensi kontraproduktif. Dalam arti, kalau kita
menempatkan bahwa informasi medsos adalah informasi permukaan, sedangkan
buku adalah pendalaman, konsep dan landasan nilai. Kontraproduktif
yang dimaksud, adalah berpotensi lahirnya generasi yang berpemahaman
permukaan, hingga dengan peran aktifnya menyebar informasi/data semata,
tanpa pemahaman memadai terhadap pokok persoalan, akibatnya informasi
tanpa dasar yang kadang berujung ’kebencian/fitnah’, memenuhi beranda
medsos, disebar dari tangan anak muda yang ‘miskin’ bacaan buku.
Mengingat bahwa pengguna medsos, juga tergolong banyak dari kalangan
anak muda, yang umumnya berstatus sebagai pelajar/mahasiswa. Miskinnya
bacaan buku yang melanda pelajar/mahasiswa, semua saling terkait,
termasuk dengan realitas sekolah/kampus yang kadang lamban
memperlihatkan kepedulian terhadap buku dan budaya baca, hal itu cukup
mudah dilihat saat buku-buku perpustakaan perguruan tinggi sekalipun
jarang diupdate, buku-buku yang sebenarnya sudah ‘kadarluarsa’ dari sisi
perkembangan, tidak menarik sama sekali curosiotas siswa/mahasiswa.
Fenomena medsos di tengah rendahnya minat baca, kemunculannya seperti
sebuah anomali perkembangan adaptasi kebudayaan dalam masyarakat yang
mengalami satu lompatan tahap, dari budaya bertutur lisan, gagal masuk
dalam budaya literasi (bertutur tulis-baca), justru jatuh dalam
‘perangkap’ teknologi dengan karakter instan.
Gerakan sipil volunter
Di tengah persoalan tersebut, saat ini munculnya banyak
komunitas-komunitas baca dan literasi, seolah menjadi secercah cahaya
tersendiri, di tengah rendahnya budaya baca masyarakat. Kehadiran
komunitas-komunitas gerakan sipil yang berbasis volunter ini, digerakkan
oleh anak-anak muda energik dengan penuh kepedulian akan pentingnya
melek baca. Suatu langkah kecil yang kehadirannya seperti melucuti
kemapanan sekolah/kampus yang selama ini belum mampu menjadi motor
penggerak revolusi budaya baca.
Upaya para komunitas sipil tadi untuk mendekatkan masyarakat dengan
buku, sekaligus masyarakatkan buku, dengan mendistribusikan buku-buku
dari pusat kota ke daerah, dan dari kota ke desa, adalah jalan keluar
dari ketimpangan akses buku antar pusat-daerah dan kota-desa selama ini.
Ini adalah jawaban saat UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang
mengamanatkan pemassifan pembangunan perpustakan desa, seperti menemui
jalan berliku, kalau bukan jalan buntu. Dan juga menjadi alternatif di
tengah gempuran produksi buku yang kian mahal.
Fenomena gerakan sipil volunter ini, menjadi suatu babak baru, yang
patut didorong bersama. Saat program ‘Gemar Membaca’ pemerintah tidak
memperlihatkan lompatan-lompatan pencapaian, maka sipil pun harus
bergerak sendiri, ‘mengambil alih’ sebagian fungsi pemerintah yang
selama ini lamban dalam mendorong budaya baca, demi tujuan bernegara:
mencerdaskan kehidupan berbangsa!
Muhammad Ruslan
Re-post, Sumber : http://www.kompasiana.com/2220/krisis-baca-dan-peran-gerakan-sipil-volunter_56ed6a80f07a611f1ed24032
0 komentar:
Posting Komentar