| one article - one struggle |

Kamis, 24 Maret 2016

Sampulnya Kartini, Isinya Song Ji Hyo



source  picture: google


 Habis gelap terbitlah terang, setelah terang terbitlah kembali gelap!

Saya mengenal Kartini, sebagai seorang pejuang perempuan yang pernah dimiliki bangsa ini. Gagasan-gagasannya menjadi cermin, sekaligus dijadikan tonggak kebangkitan perempuan Indonesia untuk ikut mendobrak dan melabrak tatanan sosial yang menindas perempuan. Tapi, Song Ji Hyo, sama sekali saya tidak mengenalnya, selain tahu dari namanya sebagai artis Korea, setelah mencarinya di internet. 

Kartini tenar di masa pra kemerdekaan, beberapa windu yang lalu, ia seperti api yang menerangi. Pikiran-pikirannya hinggap di benak, mengganggu pikiran bangsa saat itu. Tapi itu dulu! Sekarang, berbeda, Kartini sudah seperti simbol peradaban kuno masa lampau, sedang Song Ji Hyo adalah simbol modernitas zaman terkini. Dalam benak muda-mudi, apalah artinya Kartini di zaman Song Ji Hyo? Kartini hanya menjdi nama jalan, dalam imajinasi yang ada hanya Song Ji Hyo. Kok bisa? Ya itulah realitasnya!

Beberapa menit yang lalu, saya singkapkan waktu untuk menengok mading, salah satu sekolah, berharap mendapatkan informasi menarik, atau setidaknya ingin melihat dinamika kepenulisan di sekolah bersangkutan. Tapi sungguh mencengangkan, isinya semua berisi profil dan lika-liku artis KOREA! Dari laki-laki hingga perempuan—penuh gambar dengan gaya necisnya yang khas!

Ini seperti ekspresi gejala hedonisme yang menumpuk dalam imajinasi pelajar, seperti terwadahi dalam ruang sekolah. Sekolah/kampus, tidak mapu mengambil peran counter, hanya karena counter terhadap ide-ide ‘modernitas’ mungkin dianggap sebagai hal yang kolot, seperti kolotnya orang yang melawan arus modernitas itu sendiri. Definisi tentang kemajuan, menjadi sarat dengan nilai-nilai hedonisme.

Kita seperti tak berdaya untuk merepersepsi ide-ide tentang modernitas itu, sekolah dengan banyaknya plus-plusnya itu, mulai berbentuk Boarding School, plus kurikulum international, dll, tidak mampu menghadirkan budaya intelektual yang kritis, selain sekadar ‘menyemai’ dan melayani budaya global yang dominan, yang sama sekali tidak mengandung dimensi intelektualitasnya yang berpihak pada nilai. Kurikulum yang semakin mengglobal tersebut, seperti semakin mengasingkan kehidupan sekolah terhadap nilai-nilai lokalitas, yang justru semakin mendekatkannnya dengan kultur hedon global.

Jangan tanya di sekolah ataupun kampus sekalipun, biografi Tan Malaka, Kartini, Soekarno dikenal baik, apalagi berharap gagasan-gagan tokoh tersebut dikenal. Tak pernah terjadi ada “deman Tan Malaka” atau “deman Kartini” melanda para pelajar, selain tiap hari bergelut dengan “deman Korea”.

Korea? Apa yang ia tahu tentang Korea, selain kehidupan para artisnya, sikap hedon para artis, sama sekali ia tidak tau dinamika politik korea hingga hari ini. Sehingga imajinasi tentang yang idealpun di mata pelajar adalah idea-idea seperti yang terlukis dalam sinetron Korea yang hedon. Mereka akan menatap hidup dengan cara seperti itu, sibuk dengan insting dan hal remeh-temeh, seolah-olah hidup hanya terbatas pada hubungan antara laki-laki dan perempuan semata! Dalam romantisme artifisial, ia terbuai pemahaman dangkal tentang arti cinta.

Pertanyaannya, Apa yang kita harapkan di masa depan atas generasi masa depan yang asing terhadap gagasan  Kartini, Tan Malaka, Soekarno, saat imajinasi dipenuhi dengan pola pikir hidup hedon semata? Suatu imajinasi palsu yang disetting di atas kesepaktan-kesepakatan bisnis lewat media, dihembuskan untuk diterima, di atas ladang subur, yakni kesadaran paling polos, kesadaran para pelajar yang belum mengerti banyak tentang kehidupan. Dengan satu tujuan, menciptakan kesadaran materialistik terhadap kehidupan ‘manusia’ itu sendiri. 

Dalam imajinasi palsu disemai, pabrik media lewat eksploitasi diri sang artis, terus menerus memanen pundi-pundi kapital, menyisakan anak-anak muda/mudi yang terhisap secara kesadaran, kurus secara imajinasi akibat tereksploitasi sejak dini. 

Para pelajar ini, semakin teralienasi dengan kehidupan nyata itu sendiri, ide-ide dipenuhi dengan hal- hal mengambang yang sama sekali tak memiliki pijakan pada kehidupan. Beberapa bulan silam, seorang pelajar meminta pendapat/saran saya secara kosep atas film pendek yang sementara ia gagas. Sebelum saya berpendapat, terlebih dahulu saya meminta mereka menjelaskan konsep yang ia miliki, dan isinya: penuh dengan imajinasi romantisme kekanak-kanakan, tak satupun hal yang saya dapatkan bahwa ide-ide itu mewakili kehidupan yang sesungguhnya. 

Apakah itu belum cukup menjadi tanda, bahwa, sekolah betul-betul mengasingkan pelajarnya pada kehidupan yang sebenarnya? Imajinasi yang menjadi ide, betul-betul terpisah dari kenyataan!

Dan fenomena apa pula yang terjadi, saat pelajara-pelajaran tentang Soekarno dibahas dalam ruang belajar, tapi keluar dengan imajinasi idola sang artis hedon? Tugas-tugas profil Kartini dibuat di atas lembar kusam, pulang dengan tempelan foto Song Ji Hyo di kamar penuh, hingga di buku-buku? Lantas apa arti dari pelajaran-pelajaran akan tokoh tersebut bagi pelajar?

Tak heran, ketika para pelajar lebih gandrung dan lebih banyak mengenal artis Korea, ketimbang tokoh-tokoh bangsa maupun tokoh dunia yang banyak memiliki sumbangsih kemanusian bagi kehidupan. Realitas sekolah tidak mampu mengkondisikan kesadaran penokohan itu terhadap pelajar.

Fenomena “Habis gelap terbitlah terang, hingga kembalilah gelap” menjadi karang kehidupan pelajar, ditengah sekolah yang kehilangan daya sebagai pranata budaya. Potret Kartini semakin asing dalam benak para penerusnya. Saat Kartini memproklamirkan wacana otonomi tubuh perempuan dan kesetaraan perempuan yang bermartabat, sekarang penerus Kartini semakin terbuai dengan Song Ji hyo, simbol komersialisasi tubuh dan pemameran ‘kelemahan’ perempuan di hadapan laki-laki atas nama cinta sesat dan romantisme materialistik. Budaya patriarkar menyusup lewat kesadaran terdalam, secara hegemonik disemai dan diterima secara pasif.  Sebuah simulacra ‘egalitarinisme ruang publik hedon’ yang materialistik, diperrealitaskan!



Muhammad Ruslan

0 komentar:

Posting Komentar