| one article - one struggle |

Kamis, 23 Juni 2016

Dosa Sekolah dan Radikalisasi Agama

sumber gambar:



Radikalisasi agama yang marak terjadi belakangan ini, tentu membuat kita semua prihatin. Sebab radikalisasi ini tidak mengarah pada semagat militansi agama dalam menjawab persoalan sosial dan menubuhkan kesalehan sosial, tetapi sebaliknya justru mengarah pada semangat fundamentalisme yang sektarian. Penghakiman-penghakiman sepihak karena perbedaan pikiran, pendapat, agama maupun madzhab, hingga beberapa di antaranya berujung kekerasan.

Tahun yang lalu pembakaran masjid dan pembakaran gereja cukup menyita perhatian, belum kasus diusir dan dibakarnya perkampungan warga Syiah di Sampang. Melihat lebih belakang lagi hanya membuat kita semakin miris. Setali dengan hal itu, tindakan-tindakan intimidasi dan penutupan paksa diskusi hingga warung makan, bahkan pengusiran Ibu Sinta, Istri Almarhum Gusdur, lusa (17/6) tak luput dari seperangkat ironi intoleransi yang terjadi. Kejadian-kejadian ini semuanya berakar dari satu persoalan yakni: model keberagamaan yang fundamentalis anti-kemajemukan, melanda seperti penyakit (pseudo beragama). Ini adalah suatu ironi intoleransi yang selau berpotensi menyulut tragedi.

Bagi siapapun – termasuk penulis – yang terbiasa berinteraksi lintas agama, akan merasakan atmosfer kekesalan yang terpendam. Ruang-ruang sosial yang sedianya sudah seharusnya mencair justru selalu saja ada pihak yang menginginkannya membeku dalam suatu kotak-kotak simbolitas keberagamaan. Hal ini hanya justru berkontribusi dalam memupuk ketidakharmonisan dalam bermasyarakat. 

Dalam tulisan ini, saya hanya ingin melihat skop lingkup persoalan ini dari sudut padang pendidikan. Dan mencoba melihat isu fundamentalisme dalam skop yang lebih  luas dari sekadar agama. Dengan menarik suatu hipotesa bahwa pendidikan yang ada saat ini ikut berkontribusi dalam menyuplai energi bagi lahirnya semangat fundamentalisme dan menyemai benih intoleransi sejak dalam pikiran. Kenapa bisa?

Karl Henrich Marx, atau lebih lazim dikenal Marx, pernah mengatakan bahwa keseluruhan persoalan-persoalan ‘agama’ yang ada saat ini (saat itu, yang masih relevan dengan kekinian), haruslah dilihat sebagai persoalan-persoalan sosial itu sendiri. Itu berarti persoalan agama khususnya yang berpangkal pada isu sektarian ini, berakar pada persoalan sosial struktur yang ada. Tak terkecuali dalam hal ini adalah pendidikan sebagai salah satu elemen dari struktur sosial yang dimaksud. Meski pendidikan bukanlah penyebab primer, tetapi secara tidak langsung kultur pendidikan yang ada saat ini ikut andil untuk hal itu.

Pengkotak-kotakan sekolah

Kondisi kultur persekolahan yang terkotak-kotak oleh semangat primordialisme suku dan simbolitas agama saat ini ikut bertanggung jawab. Saat ini kita tidak sulit untuk melihat banyaknya sekolah yang bermunculan dengan ciri dan simbolitas kelompoknya yang khas. Baik simbolitas itu bersumber dari semangat kesukuan, agama, bahkan semangat madzhab sekalipun. Terlalu langka untuk melihat adanya sekolah yang betul-betul lahir dari cara padang majemuk melihat realitas majemuk sebagi sesuatu yang ideal. 

Saat ini kita hanya melihat dan mendorong isu persekolahan dalam kerangka keramahan sekolah terhadap anak/pelajar, agar ruang kekerasan fisik tidak terjadi. Tetapi masih meninggalkan hal lain, yakni keramahan sekolah terhadap perbedaan horizontal. Masih terlalu langka untuk melihat sekolah yang benar-benar lahir dari cara pandang majemuk. Sekolah yang ada justru dikondisikan dengan wataknya yang eksklusif.

Ada sekolah berbasis agama A, B, C, bahkan adapula sekolah dengan basis agama tapi khusus untuk madzhab tertentu saja. Selain itu, terdapat pula sekolah yang terlalu elitis untuk golongan tertentu saja, bahkan sekolah yang ‘dihuni’ oleh suku tertentu pun ada. 

Secara hukum tak ada yang salah dengan hal itu. Tapi secara sosial, kita mencoba meraba bahwa produk-produk sekolah yang lahir dari keterasingan berinteraksi secara majemuk akan membawa potensi-potensi lain, tak terkecuali bagi tersemainya kesadaran anti-kemajemukan. Secara politik pendidikan, desain sekolah yang seperti di atas, sebenarnya bertentangan dengan visi kemajemukan yang harus dirajut.

Semangat ketertutupan sekolah justru disemai. Padahal keberbauran itulah yang seharusnya dipupuk. Keberbauran bisa menangkal segala bentuk gejala radikalisme bersuku dan beragama secara sektarian.  

Saya pikir, tindakan sektarian yang lahir dari cara berpikir dogmatis, yang mengganggap diri dan keyakinannyalah paling benar atau mungkin satu-satunya yang benar di dunia, lahir bukan karena kurang piknik, atau kurang beribadah, tetapi karena kurangnya bergaul lintas agama. Semua orang memang lahir berpotensi terradikalisasikan oleh dogma agama, saya yakin dengan pergaulan akan membuka ruang kita untuk berpikir terbuka, hingga menemukan dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa kebaikan itu sangat universal. Kebaikan lahir dan muncul dari kalangan siapa saja, seperti halnya dengan keburukan itu sendiri.

Karena itu, para pengusung gerakan lintas iman atau lintas agama, sangat menekankan keterbukaan itu dan dialog sebagai salah satu alternatif dalam meredam isu sektarian ini. Dan ironisnya ketika sekolah yang justru seharusnya menjadi pranata sosial paling depan untuk membuka ruang itu, justru keburu terkena penyakit fundamen ketertutupan. Terlalu mudah melihat sekolah dengan karakter yang sangat eksklusif. Bahkan pengalaman penulis, pernah ditolak oleh salah satu sekolah agama, hanya karena saya berasal dari organisasi keagamaan yang dikenal sangat moderat (hehe).

Ini menjadi ironi yang cenderung diabaikan dalam kultur persekolahan yang ada. Salah seorang cendekiawan muslim, Cak Nur sudah memperkenalkan konsep keberagamaan inklusif ini, ide yang dikaji dari kondisi sosial masyarakat kita, sebenarnya telah mengingatkan kita akan hal itu. Hanya saja sepertinya kita terlambat untuk menindaklanjutinya di tingkat operasional sekolah.

Membiarkan pengkotak-kotakan dengan semangat ketertutupan yang ada dalam kultur persekolahan yang ada saat ini, sama halnya dengan mengkondisikan benih-benih fundamentalisme dan intoleransi tumbuh di lahan yang subur. Saat sekolah yang seharusnya berperan mencairkan perbedaan-perbedaan sosial yang ada, justru ikut mengungkung perbedaan-perbedaan itu dalam sangkar-sangkar simbolitas yang sempit. 

Ketertutupan hanya akan melahirkan streotipe, rasa curiga yang terus berangsur-angsur, hingga terlalu mudah dipolitisir, hingga berpotensi meledak dalam gesekan-gesekan horiozntal. Dan hal itu sudah sering kita alami sejak zaman kolonial hingga sekarang. Bahwa ketertutupan memudahkan segala bentuk kepentingan bisa menyulut konflik. Kita dengan mudah bisa berkaca pada kebijakan politik deivide et impera kolonial Belanda beberapa ratus tahun silam. Kebijakan pengkotak-kotakan dalam dunia pendidikan memang diciptakan untuk memangkal isu-isu solidaritas, persatuan dan sejenisnya.

Apalagi  saat ini, ketika negara justru ikut dalam proses pengkotak-kotakan sekolah itu. Sebagian sekolah di bawah kendali Kementerian Pendidikan, sebagian pula di bawah kendali Kementerian Agama. Ini seperti pemerintah juga gagal untuk mensinkronkan antara pembelahan itu dengan kurikulum 2013 yang ia susun sendiri yang menekankan keterpaduan. Belum lagi, perbedaan sekolah antara negeri dan swasta yang justru melahirkan pembedaan perlakuan pemerintah. Ini menjadi sebuah contoh dari wajah ganda perlakuan negara, serupa dengan kasus-kasus intoleransi yang ada: yang justru lebih banyak mengamankan korban daripada menghukum pelaku. 

Kurikulum pendidikan agama yang memalukan

Bukan hanya kualitas buku-buku sekolah yang kadang-kadang memalukan, tapi juga kurikulumnya. Di tingkat sekolah menengah misalnya, pelajaran-pelajaran agama sepertinya tidak pernah naik ke kelas yang lebih tinggi. Pelajaran agama diajarkan dibangku sekolah menegah, tidak ada bedanya dengan yang diajarkan dibangku menengah pertama dan sekolah dasar. Seolah-olah agama itu terlalu sempit untuk dibahas, dan pembahasannya seolah-olah hanya itu-itu saja. Agama dalam konteks ini diajarkan sebagai hal yang teknis semata, seperti tata cara beribadah, tata cara berdoa, dll.

Pelajaran agama hanya menjadi seperangkat paket doa-doa yang dijarkan secara dogmatis. Doa-doa yang harus dihafal dan dilafalakan seperti mantra untuk mendapatkan nilai praktik. Padahal kalau kita merujuk gagasan Bapak Pendidikan -- Ki Hadjar Dewantara  -- misalnya, sudah seharusya pendidikan agama di tingkat menengah haruslah menyesuaikan dengan tuntutan kodrat perkembangan psikologi dan kedewasaan pelajar.

Kalau saja pendidikan kita saat ini diframing dari kondisi-kondisi sosial masyarakat, maka seyogyanya pendidikan agama yang ada seharusnya membincangkan persoalan-persoalan intoleransi dan radikalisasi agama yang terjadi akhir-akhir ini. Seperti kata Ki Hadjar Dewantara: sistim pengajaran haruslah berfaedah, lahir dari kehidupan dan penghidupan sosial masyarakat, untuk kepentingan berbangsa!

Seyogyanya pendidikan agama ditingkat sekolah menengah memang haruslah berpradigma lebih luas dari sekadar pengteknikalisasian agama semata. Mengingat kondisi pikiran pelajar sudah memenuhi syarat untuk membincangkan agama dengan pendekatan yang lebih universal. Pemerintah khususnya lewat kementerian agama, harus mengambil tupoksi yang lebih besar akan hal ini: meramu pelajaran agama yang terpadu secara universal. Mengingat bahwa menangkal radikalisasi agama bukanlah proyek jangka pendek, melainkan jangka panjang karena terkait dengan pikiran manusia. Sebab pseudo beragama anti-kemajemukan ini, bukanlah suatu kenyataan insenditil dan personal, tetapi sebuah persoalan sosial yang mendaur lewat alam pikiran: mewarisi dan diwarisi yang berpotensi beranak-pinak lewat proses sosial pendidikan itu sendiri.

Melihat banyaknya kejadian  konflik sektarian yang pernah terjadi dalam catatan gelap sejarah bangsa kita ini hingga terus terjadi saat ini pun, baik yang berkarakter suku maupun agama, sudah seharusnya mendorong kita memikirkan bahwa virus anti-kamajemukan itu tidak terwarisi ke generasi selanjutnya. Proses waris mewarisi ini memang lebih tepat dan seharusnya dipikul oleh pranata pendidikan. Oleh karenanya, menciptakan suatu kultur pendidikan yang terbuka dan ramah terhadap kemajemukan adalah tantangan pendidikan kita ke depannya!


Penulis
Muhammad Ruslan

0 komentar:

Posting Komentar