| one article - one struggle |

Minggu, 05 Juni 2016

Sepenggal Tentang Guru dalam “Bukan Pasar Malam”





…”sudah berapa tahun ayah Tuan jadi guru?”
Gembira paman menjawab:
“Tiga puluh tahun”
        “Alangkah kuatnya. Aku yang baru dinas delapanbelas tahun rasa-rasanya sudah tak kuat lagi. Tapi siapakah yang mau jadi guru selain kita-kita ini? Guru tetap jadi guru. Dalam dinasku itu pernah juga aku kena penyakit jantung. Kalau ayah Tuan kena penyakit paru-paru sesudah dinas tigapuluh tahun---itu suatu tanda kekuatan. Beliau sangat kuat.”
Ia diam dan memandang
Ia diam dan memandang ke jalan raya.
“Barangkali penyakitnya didapatkannya waktu jadi pengawas sekolah---tiap hari mengayuh sepeda
limabelas sampai duabelas kilometer,” paman berkata.
“tidak” kata tuan rumah. “aku yang sudah lama jadi guru bisa katakan---tidak. Sungguh, penyakitnya
bukan karena itu. Limabelas -  duapuluh kilometer mengayuh sepeda itu bukan perkara berat untuk seorang guru. Yang berat ialah mengajar, menelan pahit-getirnya kesalahan-kesalahan pendidikan orang tua si murid. Itulah yang gampang sekali menghancurkan seorang guru. Apaagi kalau di sekolah menengah seperti beliau. Sekolah menengah masih agak ringan bila tata tertib murid di kelasnya itu masih terpelihara. Cobalah kalau murid-murid di dalam kelasnya itu telah kehilangan tata tertib sama sekali, cobalah….”
Ia tak meneruskan. Ia diam-diam di kursinya seperti mengenang-ngenangkan salah seorang
muridnya yang telah begitu banyak menyakitkan hatinya. Kemudian ia meneruskan dengan irama ketua-tuaan:
“Sekali,” katanya pelahan-lahan, “kupukul seorang murid. Keesokan harinya ia minta permisi karena
ayahnya diangkat jadi bupati di rembang. O, alangkah kagetku waktu itu. Anak patih aku pukul. Sedang aku? Aku hanya anak petani biasa bukan main takutku waktu itu. Mestilah beliau akan datang untuk melabrak aku karena telah berani memukul puteranya. Dan seminggu kemudian….”
Ia memandangi kami. Terdengar ia mengeluh, seakan-akan ia masih dalam waktu ketakutannya
dulu, ketakutan menantikan tibanya surat onslah.
“… datanglah tuan bupati dari Rembang dengan mobil. Waktu mobil masuk ke halaman sekolah,
sudah terasa saja dalam hatiku. Sekarang datangnya pembalasan. Besok aku boleh tak masuk mengajar lagi. Dan aku boleh hidup dengan tiada mengharapkan gaji lagi. Dan waktu tuan bupati itu menginjakkan kakinya di ambang sekolah, langsung saja beliau menanyakanku. Dan aku menghadap dengan dada berdebaran. Tetapi….”
Ia mengeluh berat---mengeluh kelegaan. Meneruskan:
“Beliau bukanlah hendak melabrakku. Tidak. Sebaliknya, beliau mengucapkan terimah kasih karena
aku menghajar anaknya. Beliau sendiri sudah tak sanggup mendidik anaknya sendiri, katanya.”
Aku lihat ia tersenyum kelegaan. Dan kumis yang memayungi mulutnya itu turut tersenyum
kelegaan juga. Meneruskan:
“Dan waktu itu, tak adalah kegembiraan yang begitu besar ---yang terbesar dalam hidupku.”
Kami tertawa sedikit. Tuan rumah mengusap kumisnya. Akhirnya diteruskan ceritanya:
 “Karena itu waktu aku bertanya pada murid-murid yang akan meninggalkan bangku sekolah.
Siapakah yang akan meneruskan ke sekolah guru? Di antara murid yang limapuluh orang itu cuma tiga mengacungkan jarinya. Selain itu, semua mau meneruskan ke sekolah menengah. Alangkah sedihku waktu itu. Dan berkata pada mereka. Kalau di antara limapuluh orang cuma tiga orang yang ingin jadi guru, siapakah yang akan mengajar anak-anakmu nanti? Kalau sekiranya engkau kelak jadi jenderal, adakah senang hatimu kalau anakmu diajar oleh anak tukang sate?  Tak ada yang menjawab di antara mereka. Kemudian kunasihati mereka yang ingin jadi guru. Kalau engkau tidak yakin betul, lepaskan cita-citamu untuk jadi guru itu, kataku. Seorang guru adalah kurban---kurban untuk selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat---membuka sumber kebajikan tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa. Dan mereka yang tiga orang itu bilang dengan sungguh-sungguh, Kami bercita-cita jadi guru walau bagaimanapun sukarnya. Dan aku angguk-anggukkan kepalaku kepada tiga orang itu.”
Di kala itu juga terasa olehku, bahwa keturunan masih bersimarajalela di daerah Blora, dan bahwa
nasib guru---sekalipun dianggap bapak oleh rakyat---sangatlah mengecewakan. Tapi aku tak bertanya-tanya. Semua itu dapat kulihat dari rumah tangga keluargaku sendiri.


--------
*tulisan yang di-bold, di-bold oleh red---
*Roman Bukan Pasar Malam, merupakan salah satu di antara maha karya, sang sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. “Pram” begitu akrab disebut. Seperti biasa, Pram, dengan corak realisme sosialisnya, ornamen kemanusiaan begitu diolah dengan sangat lugas menggambarkan kenyatan. Lewat penokohan “aku” ia menceritakan pernak-pernik kehidupan pejuang pasca revolusi. Sosok “aku” yang merupakan guru di sebuah kota, bekas pejuang revolusi, yang pada akhirnya melunak dihadapkan pada kenyataan sehari-hari. Ia menyaksikan ayahnya yang juga seorang guru penuh bakti di desanya, tergolek tak berdaya lantaran sakit. Sumber hidup yang pas-pasan, harus terus bersitegang dengan kehidupan yang sedianya menuankan uang. Kemiskinan mendera seperti sebuah kenyataan bagi guru yang juga mantan pejuang, yang menolak merendahkan diri dengan secuil kekuasaan— tidak seperti rekannya yang lain.
“Ini semua merupakan kekesalan hatiku semata. Demokrasi sungguh suatu sistem yang indah. Engkau boleh jadi presiden. Engkau boleh memilih pekerjaan yang engkau sukai. Engkau mempunyai hak yang sama dengan orang-orang lainnya. Dan demokrasi itu membuat aku tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh---ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan engkau boleh berbuat sekhendak hatimu, bila saja masih berada dalam lingkup batas hukum. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau akan lumpuh tak bergerak. Di negara demokrasi engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi.” 


0 komentar:

Posting Komentar