…”sudah berapa
tahun ayah Tuan jadi guru?”
Gembira paman
menjawab:
“Tiga puluh
tahun”
“Alangkah kuatnya. Aku yang baru dinas
delapanbelas tahun rasa-rasanya sudah tak kuat lagi. Tapi siapakah yang mau
jadi guru selain kita-kita ini? Guru tetap jadi guru. Dalam dinasku itu pernah
juga aku kena penyakit jantung. Kalau ayah Tuan kena penyakit paru-paru sesudah
dinas tigapuluh tahun---itu suatu tanda kekuatan. Beliau sangat kuat.”
Ia diam dan memandang
Ia diam dan
memandang ke jalan raya.
“Barangkali
penyakitnya didapatkannya waktu jadi pengawas sekolah---tiap hari mengayuh
sepeda
limabelas sampai duabelas
kilometer,” paman berkata.
“tidak” kata
tuan rumah. “aku yang sudah lama jadi guru bisa katakan---tidak. Sungguh,
penyakitnya
bukan karena itu. Limabelas
- duapuluh kilometer mengayuh sepeda itu
bukan perkara berat untuk seorang guru. Yang
berat ialah mengajar, menelan pahit-getirnya kesalahan-kesalahan pendidikan
orang tua si murid. Itulah yang gampang sekali menghancurkan seorang guru.
Apaagi kalau di sekolah menengah seperti beliau. Sekolah menengah masih agak
ringan bila tata tertib murid di kelasnya itu masih terpelihara. Cobalah kalau
murid-murid di dalam kelasnya itu telah kehilangan tata tertib sama sekali,
cobalah….”
Ia tak
meneruskan. Ia diam-diam di kursinya seperti mengenang-ngenangkan salah seorang
muridnya yang telah begitu
banyak menyakitkan hatinya. Kemudian ia meneruskan dengan irama ketua-tuaan:
“Sekali,”
katanya pelahan-lahan, “kupukul seorang murid. Keesokan harinya ia minta
permisi karena
ayahnya diangkat jadi bupati di
rembang. O, alangkah kagetku waktu itu. Anak patih aku pukul. Sedang aku? Aku hanya
anak petani biasa bukan main takutku waktu itu. Mestilah beliau akan datang
untuk melabrak aku karena telah berani memukul puteranya. Dan seminggu kemudian….”
Ia memandangi
kami. Terdengar ia mengeluh, seakan-akan ia masih dalam waktu ketakutannya
dulu, ketakutan menantikan
tibanya surat onslah.
“… datanglah
tuan bupati dari Rembang dengan mobil. Waktu mobil masuk ke halaman sekolah,
sudah terasa saja dalam hatiku. Sekarang
datangnya pembalasan. Besok aku boleh tak masuk mengajar lagi. Dan aku boleh
hidup dengan tiada mengharapkan gaji lagi. Dan waktu tuan bupati itu
menginjakkan kakinya di ambang sekolah, langsung saja beliau menanyakanku. Dan aku
menghadap dengan dada berdebaran. Tetapi….”
Ia mengeluh
berat---mengeluh kelegaan. Meneruskan:
“Beliau
bukanlah hendak melabrakku. Tidak. Sebaliknya, beliau mengucapkan terimah kasih
karena
aku menghajar anaknya. Beliau sendiri
sudah tak sanggup mendidik anaknya sendiri, katanya.”
Aku lihat ia
tersenyum kelegaan. Dan kumis yang memayungi mulutnya itu turut tersenyum
kelegaan juga. Meneruskan:
“Dan waktu
itu, tak adalah kegembiraan yang begitu besar ---yang terbesar dalam hidupku.”
Kami tertawa
sedikit. Tuan rumah mengusap kumisnya. Akhirnya diteruskan ceritanya:
“Karena itu waktu aku bertanya pada
murid-murid yang akan meninggalkan bangku sekolah.
Siapakah yang akan meneruskan ke
sekolah guru? Di antara murid yang limapuluh orang itu cuma tiga mengacungkan
jarinya. Selain itu, semua mau meneruskan ke sekolah menengah. Alangkah sedihku
waktu itu. Dan berkata pada mereka. Kalau di antara limapuluh orang cuma tiga orang
yang ingin jadi guru, siapakah yang akan mengajar anak-anakmu nanti? Kalau sekiranya
engkau kelak jadi jenderal, adakah senang hatimu kalau anakmu diajar oleh anak
tukang sate? Tak ada yang menjawab di
antara mereka. Kemudian kunasihati mereka yang ingin jadi guru. Kalau engkau
tidak yakin betul, lepaskan cita-citamu untuk jadi guru itu, kataku. Seorang guru adalah kurban---kurban untuk
selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat---membuka sumber kebajikan
tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa. Dan mereka yang tiga orang itu
bilang dengan sungguh-sungguh, Kami
bercita-cita jadi guru walau bagaimanapun sukarnya. Dan aku
angguk-anggukkan kepalaku kepada tiga orang itu.”
Di kala itu
juga terasa olehku, bahwa keturunan masih bersimarajalela di daerah Blora, dan
bahwa
nasib guru---sekalipun dianggap
bapak oleh rakyat---sangatlah mengecewakan. Tapi aku tak bertanya-tanya. Semua itu
dapat kulihat dari rumah tangga keluargaku sendiri.
--------
*tulisan yang di-bold, di-bold oleh red---
*Roman Bukan
Pasar Malam, merupakan salah satu di antara maha karya, sang sastrawan
besar Pramoedya Ananta Toer. “Pram” begitu akrab disebut. Seperti biasa, Pram, dengan
corak realisme sosialisnya, ornamen kemanusiaan begitu diolah dengan sangat
lugas menggambarkan kenyatan. Lewat penokohan “aku” ia menceritakan pernak-pernik
kehidupan pejuang pasca revolusi. Sosok
“aku” yang merupakan guru di sebuah kota, bekas pejuang revolusi, yang pada
akhirnya melunak dihadapkan pada kenyataan sehari-hari. Ia menyaksikan ayahnya
yang juga seorang guru penuh bakti di desanya, tergolek tak berdaya lantaran
sakit. Sumber hidup yang pas-pasan, harus terus bersitegang dengan kehidupan
yang sedianya menuankan uang. Kemiskinan mendera seperti sebuah kenyataan bagi
guru yang juga mantan pejuang, yang menolak merendahkan diri dengan secuil
kekuasaan— tidak seperti rekannya yang lain.
“Ini semua
merupakan kekesalan hatiku semata. Demokrasi sungguh suatu sistem yang indah. Engkau
boleh jadi presiden. Engkau boleh memilih pekerjaan yang engkau sukai. Engkau mempunyai
hak yang sama dengan orang-orang lainnya. Dan demokrasi itu membuat aku tak
perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau
paduka-paduka lainnya. Sungguh---ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan engkau
boleh berbuat sekhendak hatimu, bila saja masih berada dalam lingkup batas
hukum. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau akan lumpuh tak bergerak. Di negara
demokrasi engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak
punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga
semacam kemenangan demokrasi.”
0 komentar:
Posting Komentar