DALAM sistem pendidikan seperti foto di atas, pendidikan sekadar menjadi sarana melatih ingatan. Ingatan ditempatkan sebagai bentuk tertinggi dari pencapaian intelektualitas. Bukan pemahaman, apalagi untuk memahami bahwa pendidikan sebagai alat untuk mencipta pengetahuan.
Para pelajar hanya 'diwajibkan' untuk mengingat. Melakukan aktivitas pengulangan-pengulangan dari apa yang dikatakan orang lain sebagai sesuatu yang benar. Mereka (para pelajar) seperti apa yg dikatakan Neil Postman, hampir tidak pernah diminta melakukan apa yang disebut pembedahan intelektual (intelectual operation).
Tak ada penglibatan subjektif dari diri pelajar untuk melakukan pengamatan-pengamatan atau merumuskan definisi-definisi tersendiri terhadap realitas. Selain menerima segala sesuatunya sebagai sesuatu yang terberi (given).
Mereka (para pelajar) diharamkan untuk mempertanyakan hal-hal penting dan mendasar dari proses kehidupan dan belajar itu sendiri. Tabu, subversif, nakal, tidak hormat, pemberontak, adalah label destruktif yang dilekatkan kepada pelajar yang kritis. Pun ketika ada ruang bertanya, maka dengan sendirinya pertanyaan-pertanyaan yang dianggap sebagai pertanyaan hanyalah hal-hal yang terkait dengan persoalan2 administratif dan teknis semata. Itupun harus diterima sebagai sebuah kebenaran doktrinal--diterima apa adanya tanpa perlu dipertanyakan kembali.
Karena itu dengan model persekolahan yang dogmatis seperti ini, mengandalkan memori/ingatan sebagai alat sekaligus pencapaian intelektual. Dengan sistem ujian yang padat dan birokratif, dengan setumpuk tuntutan dan paksaan, tidak heran ketika tingkat stress dan frustasi menjadi penyakit yang inheren dalam tubuh pendidikan kita.
Coba tengok, menjelang banyaknya ujian sekolah atau ujian akhir misalnya (seperti sekarang ini), dengan setumpuk mata pelajaran yang banyak itu, diakhir-akhir tahun seperti ini sekolah praktis berubah menjadi sekadar lembaga bimbingan test. Dengan mengandalkan aktualitas memori yang dipaksakan. Praktis yang lahir dari proses ini hanyalah tekanan bercampur frustasi, stress dan depresi.
Tidak mengherankan, ketika dipenghujung tahun 1978 di AS, sekolah justru dipersamakan dengan pabrik dan barak-barak militer. Ia salah satu lembaga selain pabrik dan barak-barak militer, yang terus menerus dipantau keberadaannya oleh tim-tim psikologi khusus. Sekolah, pabrik, dan barak-barak militer dianggap memiliki pertautan kultural yg sama, dalam menyuplai penyakit-penyakit frustasi, depresi, stress, dan masalah2 kejiwaan yang lain.
Dan ironisnya, sampai sekarang ini yang disebut-sebut sebagai abad milenium (abad kecerdasan), masih banyak diantara kita-kita yang bahkan masih percaya bahwa sekolah ya memang seperti itu! Hehe
[Muhammad Ruslan]
0 komentar:
Posting Komentar