| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Jumat, 28 April 2017

PUISI API




puisiku bukan tentang keindahan tata bahasa
puisiku berbicara tentang ketajaman bahasa

puisiku adalah api yang meletuh-letup membakar apa saja
puisiku adalah anak panah yang lurus menghantam siapa saja yang bimbang untuk bertanya

puisiku bukan tentang kisah romeo dan juliet
puisiku adalh tentang tragedi yang menyayat

tentang kabar-kabar buruk yang menganggu pikiran orang banyak
puisiku tidak bertutur tentang burung-burung gereja yang hinggap di ranting pohon dengan mengibas-ngibaskan sayapnya
puisiku adalah elang yang terbang bebas dalam kata-kata anti sangkar kemapanan

sebab puisiku bukan syair yang berbicara tentang bintang-bintang
puisiku adalah sajak yang bertutur tentang kegelapan malam

puisiku adalah nyanyian bimbang orang-orang yang diam
bukan sekadar bisik-bisik kasak-kusuk tak beraturan orang-orang lupa

puisiku bukan jawaban yang tersusun dalam kata-kata yang indah
puisiku adalah kata-kata yang berdesak-desakan dalam gugatan-gugatan

puisiku adalah sajak tentang bumi
ia tidak berbicara tentang langit
puisiku bertutur tentang manusia
ia tidak bertutur tentang tuhan

di bawah terik di atas padang yang gersang puisiku lahir
ia tumbuh bersama fragmen-fragmen kerisauan

karena itu puisiku tidak bisa ditahan-tahan
ia akan terus berbaris di atas kata-kata yang tak mengenal tanda titik

kebenaran, kenyataan, penindasan, ketidakadilan, dan keputusaaan
puisiku adalah rentetan lingkar-lingkar kata-kata itu!

-----------



Senin, 10 April 2017

Kepergian Para Burung Rantau

sumber gambar: http://werdi-iir.blogspot.co.id
PAGI tadi ada yang berbeda. Sekawanan burung yang biasanya bertengger dan berikcau di ranting pohon ini, sudah tak ada. Aku hampir lupa, tentang kemarin.

Kemarin. Aku menyaksikan. Sekawanan burung itu telah terbang pergi. Ia sudah berlepas dari sangkar suci yang mengungkungnya selama ini. Ada senyum kebebasan yang terpancar. Rasa terbebas dari sangkar yang sudah lama dinanti-nantikannya selama ini.

Tapi, tunggu…

Aku melihat ada satu-dua pasang air mata yang menetes. Ada jejak kesedihan yang tersisa bercampur ketakutan menanti.

Kesedihan dan ketakutan pada mereka yang paham. Bahwa hidup adalah sangkar. Manusia berlepas dari sangkar satu ke sangkar yang lainnya. Suatu sangkar yang bernama kehidupan. Yang di dalamnya ada kesedihan yang terselip dari proses mencari kebahagiaan.

Kemarin. Burung-burung itu telah berkumpul merayakan kepergiaannya. Berpencar untuk melanjutkan perjalanan masing-masing. Perjalanan tentang pencarian garis kehidupan masa depan. Siapa dan kemana mesti berlabuh dan bertengger untuk kehidupan yang baru..

Mereka-mereka yang tak terkecuali, adalah burung-burung yang diistilahkan sebagai burung rantau oleh Romo Mangun. Mereka yang lahir untuk pergi selamanya.

Beberapa di antaranya mengabadikan kenangan. Suatu kenangan akan ingatan masa lalu yang dikemas rapi. Jawaban saat-saat tiba masanya ketika kesadaran membuat dirinya kembali jatuh cinta pada masa lalunya.

Suatu jedah sebeum tiba suatu waktu di masa akan datang. Ketika masing-masing dari mereka akan menyadari. Bahwa semuanya telah berubah.

Semuanya telah berganti dengan rasa canggung. Semuanya sudah membisu. Ada jarak yang merentang lebar yang siap memisahkan semuanya.

Saat itu tiba. Benarlah kata CA,  “Nasib adalah kesunyiaan masing-masing”.


Selasa, 21 Maret 2017

RINE


MATANYA terlampau sayu, namun tajam. Gerak-geriknya terlampau sedikit, hampir-hampir datar. Di mata manusia kebanyakan, ia biasa-biasa saja, bahkan-bahkan tak masuk hitungan jari. Manusia-manusia yang dalam sekejap waktu dengan mudahnya menguap dalam ingatan dan kenangan orang kebanyakan.

Untuk ukuran gestur pun demikian. Gestur muka yang hampir-hampir menyamai manusia kebanyakan. Dengan struktur muka yang agak melonjong, dengan kulit kekuning-kunigan. Ia ketika ditempatkan di tempat kerumunan. Butuh berkali-kali untuk melihatnya, untuk baru kemudian orang akan mengingat bahwa ia pernah bertemu dengan dirinya. Memori manusia kebanyakan tak cukup untuk mengingatnya hanya dengan melihatnya sekejap, karena lagi-lagi tak ada sesuatu yang berbeda dari dirinya dari manusia kebanyakan.

Tak ada sesuatu yang menonjol dari dirinya. Pun secara pengetahuan pun demikian. “Rata-rata”, kata orang. Tak berlebih tak pula terlihat berkekurangan. Ya. Mereka tipe-tipe yang tak lama bertahan dalam kenangan orang-orang. Eksistensi hidupnya berada dalam himpitan antara ada dan tiada. Keberadaan dan ketiadaannya tidak mengubah apapun dalam ingatan orang-orang. Ia seperti air dan angin. Mengalir dan berhembus begitu saja.

Tapi, untuk orang aneh demikian---meminjam peyorasi Camus. Bagi manusia-manusia bermata aneh. Ia menarik. ada yang unik sekaligus aneh dari dirinya. Ada potensi terpendam. Sejenis kompleksitas pikir dan pengalaman hidup yang terasa ia pahami dari kehidupannya.

Dari tatapannya ia terlihat berhati-hati, meresapi, dan memahami sudut-sudut pengalaman yang ia lalui. Suatu pengalaman-pengalaman hidup yang diabaikan orang kebanyakan, namun ia tidak. Cara ia merangkul dan mendalami secara dalam akan fenomena-fenomena hidup di sekelilingnya, menjadi menarik. Ia untuk ukuran-ukuran itu selangkah bahkan dua langkah lebih maju ketimbang orang kebanyakan. Karena itu pula ia kadang-kadang terlihat aneh, namun tak teridentifikasi bagi orang kebanyakan.

Lihat.. Cara ia memandang orang lain. Cara ia memandang persoalan. Cara ia mendengar. Cara ia menangkap sesuatu. Dan cara ia bertindak di hadapan orang lain. Tampak kalem begitu saja. Praktis bagi orang kebanyakan, itu biasa-biasa saja. Dan memang benar, tak ada ukuran sensorik yang mampu mendiagnosa keunikan itu. Kecuali untuk ukuran-ukuran dengan sudut pandang yang khusus.

Cara ia memandang sesuatu. Hampir-hampir menembus ketebalan atmosfer paling tebal sekalipun. Kalau manusia kebanyakan rata-rata hanya mampu menembus tirai dengan ketebalan 1 cm, maka ia bisa menembus 3 hingga 4 cm. Ia mememendam potensi humanisme yang menarik. Hanya saja, tembok-tembok sekolah yang terlampau mengkilat menyilaukan potensi-potensi itu. Tembok itu tak mampu memantul-aktualkan potensi itu. Ia hanya bisa terpendam, membeku bersama dinginya pendingin ruangan, hanyut dalam lampu-lampu kepalsuan ruang-ruang suci pengetahuan. Bersama dengan ketulian khotbah-khortbah minggu yang tidak waras.

Beberapa kali suara-suara sumbang itu meluncur. Namun justru berkali-kali pula suara-suara itu membungkamkan diri sendirinya, saat suara nyaring otoritas menghalau segala bentuk suara-suara yang ada dengan labelisasi bak kebisingan-kebisingan subversif. Ia diam. Berdiam diri, seperti manusia yang bersemedi di tengah himpitan kebisingan yang tak beraturan. Mata boleh menyorot ke depan tak berkedip, tapi siapakah yang mampu menghalau imajinasi yang bernak-pinak bebas tak karuan kemana-mana?

Ya. Namanya Rine. Salah satu di antara spesies-spesies yang langka itu. Ia katakan saja seperti badak bercula satu yang keberadaannya hampir-hampir punah. Ia duduk tepat di bangku tengah-tengah dua orang kawan yang menghimpitnya. Dua himpitan manusia dengan kepribadian yang tidak kalah aneh dari dirinya.

Di samping kiri ia diapit seorang yang terlampau datar bahkan hampir-hampir tak ada ekspresi lain selain itu-itu saja. Orang ini saking anehnya. Sedih dan bahagia sama-sama memancarkan ekpsresi yang sama; datar! Sedatar kotak asbak rokok yang sudah penuh dengan abu. Nyaris tanpa ekspresi!

Seorang lagi, seorang penganut nihilisme tingkat dewa. Tak ada semangat apa-apa, selain memancarkan wajah absurdisme hidup yang penuh kesedihan, frustasi, dengan segenap simbol-simbol rasa putus asa lainnya. Suatu pancaran ekspresi dari wajah-wajah manusia-manusia yang sakit akibat rindu tak tertara kepada bantal guling dan kasur yang tak tertara.

Bagi manusia penganut nihilisme tingkat dewa ini, mendengarkan ceramah yang diklaim sebagai belajar itu, dalam benaknya tak lain dan tak bukan dari semacam pihak ketiga yang merampas ia dengan bantal guling! Ini baginya sejenis bentuk penindasan yang paling kejam! Sebab ia percaya bahwa hanya kepada tidurlah manusia benar-benar bebas. Mereka-mereka yang merampas tidur adalah mereka-mereka yang merampas kebebasan!

Kembali ke Rine. Anda boleh bayangkan. Seonggok manusia seperti Rine, mampu berkawan dengan dua orang sebelumnyakan? Dua serpihan orang-orang aneh sebelumnya, hanya mampu diterima keberadaannya kepada orang-orang yang mampu mendamaikan keanehan-keanehan itu. Dan dia adalah Rine.

Dalam satu kesempatan. Ia, Rine, pernah berucap dalam teriakan suara yang tersendat-sendat. Inilah waktu ketika ia tidak lagi dipandang sekadar sebagai air dan angin oleh sekitarnya, melainkan seperti api. Seperti api yang membakar ketulian dan kebutaan manusia waras. Namun tak kunjung orang memahaminya. Ia pernah berteriak dihadapan tembok, ketika suasana sunyi sepi tak seorang pun di sekelilingnya terlihat. Ia berteriak dengan keras sekali;

“Kepada masa depan atau masa silam, kepada suatu masa ketika pikiran benar-benar bebas. Kepada masa ketika belenggu telah dihancurkan. Ketika tembok-tembok otoritas pengetahuan diruntuhkan. Ketika manusia yang tak dianggap bangkit berdiri dan mengayuhkan tuntutan. Ketika orang-orang aneh memberontak merebut takhta dan kekuasaan. Ketika mereka yang yang diabaikan menggenggam batu. Ya.. kepada masa dimana kebenaran dipangku dengan keringat dan rasa mual yang tak tertahan. Kepada masa dimana manusia-manusia seperti kami yang diperkakukan seperti sampar, berteriak; hancurkan otority, bangun egalitarinisme, liberty dan humanitary----inilah masa yang dijanjikan kepada orang-orang sampar, ketika pengetahuan benar-benar menjadi ruang-ruang suci yang memakzulkan penindasan dan kepalsuan. Suatu zaman yang melampaui dari zaman kesepian!!!!”


Waktu hening. Keramaian tiba-tiba berhenti. Beberapa saling pandang mencari arah suara bersumber. Dua orang petugas keamanan, menerobos masuk. Rine dibekuk. Atas dugaan; SAKIT (jiwa)!?***




[Muhammad Ruslan]

Rabu, 01 Maret 2017

Education, It Test Our Memory not Intelligence


DALAM sistem pendidikan seperti foto di atas, pendidikan sekadar menjadi sarana melatih ingatan. Ingatan ditempatkan sebagai bentuk tertinggi dari pencapaian intelektualitas. Bukan pemahaman, apalagi untuk memahami bahwa pendidikan sebagai alat untuk mencipta pengetahuan.
Para pelajar hanya 'diwajibkan' untuk mengingat. Melakukan aktivitas pengulangan-pengulangan dari apa yang dikatakan orang lain sebagai sesuatu yang benar. Mereka (para pelajar) seperti apa yg dikatakan Neil Postman, hampir tidak pernah diminta melakukan apa yang disebut pembedahan intelektual (intelectual operation).

Tak ada penglibatan subjektif dari diri pelajar untuk melakukan pengamatan-pengamatan atau merumuskan definisi-definisi tersendiri terhadap realitas. Selain menerima segala sesuatunya sebagai sesuatu yang terberi (given).
Mereka (para pelajar) diharamkan untuk mempertanyakan hal-hal penting dan mendasar dari proses kehidupan dan belajar itu sendiri. Tabu, subversif, nakal, tidak hormat, pemberontak, adalah label destruktif yang dilekatkan kepada pelajar yang kritis. Pun ketika ada ruang bertanya, maka dengan sendirinya pertanyaan-pertanyaan yang dianggap sebagai pertanyaan hanyalah hal-hal yang terkait dengan persoalan2 administratif dan teknis semata. Itupun harus diterima sebagai sebuah kebenaran doktrinal--diterima apa adanya tanpa perlu dipertanyakan kembali.
Karena itu dengan model persekolahan yang dogmatis seperti ini, mengandalkan memori/ingatan sebagai alat sekaligus pencapaian intelektual. Dengan sistem ujian yang padat dan birokratif, dengan setumpuk tuntutan dan paksaan, tidak heran ketika tingkat stress dan frustasi menjadi penyakit yang inheren dalam tubuh pendidikan kita.
Coba tengok, menjelang banyaknya ujian sekolah atau ujian akhir misalnya (seperti sekarang ini), dengan setumpuk mata pelajaran yang banyak itu, diakhir-akhir tahun seperti ini sekolah praktis berubah menjadi sekadar lembaga bimbingan test. Dengan mengandalkan aktualitas memori yang dipaksakan. Praktis yang lahir dari proses ini hanyalah tekanan bercampur frustasi, stress dan depresi.
Tidak mengherankan, ketika dipenghujung tahun 1978 di AS, sekolah justru dipersamakan dengan pabrik dan barak-barak militer. Ia salah satu lembaga selain pabrik dan barak-barak militer, yang terus menerus dipantau keberadaannya oleh tim-tim psikologi khusus. Sekolah, pabrik, dan barak-barak militer dianggap memiliki pertautan kultural yg sama, dalam menyuplai penyakit-penyakit frustasi, depresi, stress, dan masalah2 kejiwaan yang lain.
Dan ironisnya, sampai sekarang ini yang disebut-sebut sebagai abad milenium (abad kecerdasan), masih banyak diantara kita-kita yang bahkan masih percaya bahwa sekolah ya memang seperti itu! Hehe

[Muhammad Ruslan]

Jumat, 27 Januari 2017

Apa yang Hilang dari Sekolah Teknik Kita?

sumber gambar: https://bumirakyat.files.wordpress.com
Terhitung sejak terpilih sebagai presiden, Jokowi kini terbilang gencar mendorong penguatan sekolah kejuruan. Bukan hanya dari target penambahan sekolah kejuruan hingga 300-an lebih, juga September yang lalu, Presiden menandatangani Inpres bernomor 9 tahun 2016, yang isinya mendorong dan mendukung percepatan revitalisasi sekolah kejuruan yang berorientasi kebutuhan pasar.

Persoalan ketenagakerjaan yang menjadi persoalan bangsa menurutnya harus diseleseikan dengan penguatan revitalisasi sekolah menengah kejuruan yang ada. Tentu saja asumsi yang mendasarinya adalah, karena kapasitas sumber daya manusia kita yang masih rendah, sehingga sulit diserap dalam dunia industri. Bahkan dalam Inpres tersebut, Presiden juga menginstruksikan kepada Kemenristek agar memprioritaskan (pembukaan) program-program kejuruan terapan di perguruan tinggi.

Alasan untuk itu semua adalah, bahwa pendidikan yang ada sekarang ini dianggap kurang tanggap terhadap perkembangan kebutuhan-kebutuhan pasar akan tenaga kerja. Semangat yang mendasari prospek kebijakan ini adalah, pendidikan harus mampu menjadi penyalur tenaga kerja mumpuni ke depan. Sekolah maupun perguruan tinggi harus lebih mampu bersinergi dengan dunia usaha, agar bisa melahirkan generasi dengan ilmu terapan dan keterampilan yang memadai.

Perspektif kebiajakan pendidikan yang berorientasi pasar ini pula yang membuat Unhas, sebagai salah satu perguruan tinggi terbesar di kawasan Indonesia Timur, beberapa hari yang lalu disahkan keberadaan statusnya sebagai PTN-BH oleh Kemenristek. Dengan Imajinasi target sirkulasi modal yang diharapkan dapat menghasilkan pendapatan hingga 450 milyar. Dengan menjadikan pendidikan sebagai instititusi modal seperti ini, pendidikan diharapkan bisa lebih adaptif terhadap tuntutan-tuntutan pembangunan, begitu harapan Presiden. Dalam konteks ini paradigma pembangunan Jokowi, bisa dibilang tidak berbeda jauh dari pendahulu-pendahulu sebelumnya, yakni terciptanya suatu road map pendidikan yang tanggap dan berorientasi deveplomentalisme.

Apa yang salah? Tentu saja kita akan mudah berkata bahwa tidak ada yang salah dengan konsep ini. Mengingat  kenyataan akan rendahnya kecakapan penguasaan ilmu terapan di kalangan pelajar memang patut kita akui. Namun, tentu saja bahwa ada beberapa hal mendasr yang mesti kita kritisi. Tentang bagimana menempatkan, dan atau menjembatani antara kepentingan pendidikan itu sendiri dengan kepentingan pasar itu sendiri. Kapitalisasi pendidikan memang seperti gunung es, yang tampak indah di atas permukaan, namun kadang-kadang menyembunyikan hal-hal lain yang berkontradiksi dengan itu semua.

Pendidikan, pasar dan kapitalisme
Jauh sebelum kita membicangkan relasi pendidikan dan pasar hari ini. Karl Marx, sudah berbicara di masanya, dua abad yang lalu. Marx bahkan memberi tanda, bahwa sekolah harus mendapatkan concern lebih ketimbang agama untuk dianalisis. Meski kedua-duanya sangat syarat dengan kepentingan kelas. Sama-sama bagi Marx bisa menjadi pranata untuk menanamkan kesadaran borjuis, tapi sekolah memberikan kontribusi lebih dari itu semua. Sebab ia (sekolah) menyuplai kontribusi praktis dan material dalam melanggengkan modus produksi kapitalisme. Sebabnya dalam konteks ini, pendidikan menghasilkan kemampuan kerja. Kemampuan-kemampuan yang ketika tidak dilakukan periodisasi ideologi, bisa dengan sendirinya menjadi sekrup-sekrup pion dari sistem kapitalisme itu sendiri lewat mobilisasi kelas sosial secara individual, melahirkan kelas menengah yang diuntungkan dari keberadaan sekolah. Suatu kelas sosial yang menurut banyak orang, menjadi gambaran dari wujud pengkaburan kelas-kelas sosial yang ada. Yang ikut melanggengkan surplus value lewat jabatan-jabatan kerah putih yang ia miiki.

Menggunakan analisa Marxis untuk meihat perkembangan sekolah hari ini, membuat kita sampai pada kesimpulan, bahwa penguatan revitalisasi sekolah berbasiskan pasar dan penyediaan tenaga kerja hari ini adalah wujud dari kemenangan kapitalisme dalam mengkooptasi pendidikan. Ia (kapitalisme) bahkan tak perlu mengeluarkan biaya untuk sekadar bisa mendapatkan tenaga kerja murah dan cuma-cuma siap pakai. Para orang tua pelajar lah yang membayarkannya, bahkan tak sedikit dari kalangan orang tua-orang tua proletarlah yang kembali mengongkosi siklus ini dengan membayar ongkos pendidikan yang tak murah. Mereka-mereka para orang tua yang sudah diperas habis-habisan di dalam pabrik oleh majikannya, namun juga kembali diperas oleh sekolah/kampus yang tak lain adalah perpanjang tanganan kapitalisme itu sendiri.

Bahkan di tingkat sekolah menengah kejuruan, para kapitalis-kapitalis tanpa merasa malu, berlomba-lomba mendapatkan tenaga kerja siap pakai yang masih di bawah umur (untuk kategori pekerja) untuk dipekerjakan dengan cuma-cuma, atas nama tututan kurikulum pendidikan? Ya, mereka-mereka siswa-siswa kita yang PKL (Praktik Kerja Lapangan), atau mereka para mahasiswa yang melakukan KKN Industri. Dalam rentang masa kerja yang dipersamakan dengan orang dewasa, para kapitalis menikmati pasokan tenaga kerja sekolahan ini dengan cuma-cuma. Ada semacam sebuah persegongkolan sadar antara pemerintah, sekolah dan modal yang terjadi di lingkaran ini, menjerat sekolah tanpa daya kritis. Mereka-mereka tanpa rasa berdosa dengan sendirinya melemparkan anak dalam ruang-ruang penyiksaan psikologis, beban kerja ganda antara sekolah dengan tuntutan-tuntutan pekerjaan industri yang ia laui.

Apakah hal-hal ini, tak bisa kita definisikan sebagai suatu kekerasan struktural dalam dunia pendidikan berbasis pasar hari ini? Tentu saja kita mahfum, bahwa toh, kapitalisme memang tak bisa jauh-juh dari hal-ihwal tentang kekerasan. Jamil Salmi (1983) dalam bukunya Kekerasan dan Kapitalisme (terj), bahkan menyebut kapitalisme berkembang dan bertahan karena kekerasan. Ia membuktikan itu dengan meneliti pola-pola penyebaran kapitalisme di dunia. Tak perlu jauh untuk memahami penelitian Jamil, cukup kembali menegok di sekitar kita. Puncak kapitalisasi pendidikan Unhas kemarin yang berujung kekerasan adalah contoh paling nyata di pelupuk mata, bahwa kekerasan adalah alat paling sahih untuk menegakkan kapitalisme.

Alienasi dan kapitalisasi pengetahuan
Di perguruan-perguran tinggi, inilah paling mengancam kita. Yakni kapitalisasi perguruan tinggi akan benar-benar memisahkan kampus dengan persoalan hidup rakyat kecil. Harapan Soekarno agar pendidikan yang ada  tidak boleh memunggungi persoalan rakyat menjadi termentahkan lewat kapitalisai perguruan tinggi yang marak belakangan ini. Kapitalisasi pendidikan, ujung-ujungnya menciptakan privatisasi dan kapitalisasi pengetahuan, yang akhirnya membuat rakyat kecil teralienasi dari keberadaan kampus-kampus. Logika pendidikan yang diharuskan untuk adaptif terhadap pembangunan adalah logika kapitalisasi pendidikan itu sendiri yang diperhalus.

Dengan semangat mengedepankan parodi/jurusan teknik seperti arahan Presiden, disertai dengan semangat pengkapitalisasian pendidikan. Persekutuan pendidikan dan dunia industri menemukan momentum perkawinannya yang pas. Jadi, jangan heran dan terkatup-katup, ketika kita lebih mudah mendapati para intelektual kampus lebih sibuk melegitimasi reklamasi atau pendirian pabrik semen, di banding berpihak pada petani, nelayan dan rakyat kecil. Jangan heran, ketika penelitian-penelitian mahasiswanya lebih banyak diarahkan berorientasi pada upaya menemukan dan mengembangkan produk-produk yang bisabersinergi dengan korporasi-korporasi, ketimbang mengangkat tema-tema persoalan yang menjerat rakyat kecil. Ini adalah kenyataan-kenyataan yang kita saksikan sekaligus menunggu di depan mata.

Ini adalah salah satu konsekensi dari kampus yang resmi berorientasi diri sebagai institusi modal. Ia harus secara terus menerus harus memandang bahwa aktivitas keilmuan sebagai sebuah komoditi untuk mencapai target pendapatan kampus yang milyaran itu. Sehingga benarlah kata orang, bahwa penemuan itu pada dasarnya ideal pada tataran teori, tapi ia menjadi bisnis pada tataran praktik. Sebab kita berhadapan dengan kenyataan bahwa produk intelektual menjadi perkara bisnis. Benar kata Marx dalam Robin Small (2014--terj.), bahwa kemajuan secara umum dan akumulasi pengetahuan masyarakat (dalam konteks inipen.) dikuasai dengan gratis oleh kapital.

Kondisi lain yang menjadi dampak dari ini semua adalah kembalinya persoalan pendidikan kita pada ranah klasik, yakni ketimpangan distribusi ilmu pengetahuan yang tidak adil. Dikarenakan bahwa kapital telah mengkooptasi pendidikan terlebih dahulu, maka bentuk peminggiran terhadap rakyat kecil akan terus terjadi. Ini adalah proses pemborjuisan lembaga pendiidkan. Tidak hanya akan mengasingkan rakyat kecil untuk mengakses pendidikan, juga pada tataran cakupan keilmuan, dominasi sudut pandang keilmuan akan menyesaki kesadaran pelajarnya dengan satu sudut pandang penuh batasan. Kooptasi tentu saja tidak hanya berada dalam ambang batas akses terhadap pendidikan yang timpang, namun juga pada batasan-batasan keilmuan yang harus sesuai dengan kepentingan kapital.

Inilah resiko, sekaligus pergeseran fatal yang bakal terjadi ketika pendidikan benar-benar tumbuh sebagai institusi modal. Dimana moralitas-moralitas beserta segenap kesadaran yang menyertainya tak lain merupakan moralitas pasar semata. Ia benar-benar akan membunuh segala bentuk jalan dari munculnya kesadaran-kesadaran kritis yang bertentangan dengan kepentingan pasar. Dan tidak berlebihan ketika kita benar-benar mengatakan bahwa pendidikan dalam konteks seperti ini telah dibunuh, dibunuh perlahan-perlahan lewat kooptasi kesadaran pasar?

Apa yang hilang dari sekolah teknik kita?
Ketika pendidikan berjalan sebagai institusi modal, maka itu artinya telah terjadi pengkurusan kenyataan pendidikan sebagai institusi ideologi. Dan inilah yang terjadi. Pembukaan SMK ataupun jurusan-jurusan teknik di perguruan tinggi, hampir dipastikan bahwa ia lahir semata-mata sebagai jawaban atas tuntutan pasar semata, bukan tuntutan ideologi. Karena itu agak sulit untuk bisa melihat para lulusan sekolah teknik kita bisa lahir dengan kepribadian seperti Soekarno misalnya yang juga seorang insinyur teknik. Pun ketika ada hanya sedikit, ketimbang produk-produk pendidikan dengan kesadaran pasar yang pure.

Sekolah teknik kita, hanya mentok bisa melahirkan ‘tukang’. Tukang dalam arti sekadar pekerja yang kering dengan konsepsi-konsepsi ideologi. Paling banter kita temukan adalah kenyataan ketidakmampuan untuk membangun keterhubungan antara ilmu teknik yang mereka kuasai dengan hal-hal yang bersifat ideologis lainnya. Inilah yang pernah disebut Marx sebagai bentuk pemutusan kesadaran ideologis. Dalam pandangan Marx, bahwa seorang individu yang terspesialisasi dan terdidik secara sempit akan menjadi seseorang yang terputus dari seluruh umat manusia. Dan ini sangat mudah kita temui, seorang sarjana teknik atau lulusan sekolah yang tidak mampu menemukan keterkaitan antara keilmuan dan tugasnya sebagai seorang manusia.

Maka tidak heran ketika, kita melihat seorang sarjana teknik, bisa membangun gedung-gedung tinggi, sembari menggusur ladang dan rumah rakyat-rakyat kecil, tanpa sedikitpun merasa berdosa. Mereka-mereka para pekerja teknik ini, lulusan sekolah dan perguruan tinggi pasar hanya melihat bangunan dengan teras dan besi yang kuat sebagai pencapaian keilmuan, tanpa menganggap bahwa membangun dengan menginjak manusia lain sebagai persoalan yang terkait dengn keilmuan mereka. Sebagian mungkin abai dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, bahkan yang paling memalukan dari itu semua, adalah mereka yang justru lahir dengan kredo, menganggap bahwa menggusur untuk mebangun adalah keharusan. Ini yang paling gila! Ini sama gilanya ketika seorang sarjana pertanian, lebih pro pabrik baja dan pabrik semen ketimbang sawah dan perkebunan.

Apa yang menyebabkan itu semua? Lagi-lagi, pengetahuan yang berkembang, di tengah pendidikan yang telah terindustrialisasi oleh kepentingan pasar, akan mudah kita lihat kemana pengetahuan itu berpihak. Modal telah mensekulerkan kita dari persoalan-persoalan ideologi dalam ranah pendidikan. Ia benar-benar merenggutnya. Sama halnya yang terjadi terhadap agama. Kita selalu berkata bahwa komunis itu anti-agama, tapi kita lupa menganalisis bahwa yang membunuh agama sejak lahirnya adalah kapitalisme itu sendiri, menggantinya dengan imaji-imaji kekuasaan modal.

Saya sendiri, percaya bahwa kita butuh sekolah teknik. Tapi pertanyaannya, sekolah teknik yang mana? Sekolah teknik yang berpihak kepada siapa?

Disni saya teringat dengan analisis Rendra beberapa tahun silam dalam sebuah wawancara di media sebelum kepergian beliau. Mudah-mudahan saya tidak salah ingat. Ia mengurai persoalan substansi pendidikan kita yang melompat mengikuti ritme desain pendidikan kolonial. Saat Belanda menjajah nenek moyang kita, ilmu-ilmu yang diperkenalkan Belanda memang hanyalah ilmu-ilmu teknik. Tentu saja yang seturut dengan kepentingan belanda itu sendiri. Ada dua kepentingan Belanda, kenapa Belanda lebih memilih memperkenalkan ilmu teknik di sekolah-sekolah yang mereka ampuh saat itu. Yakni pertama, untuk mendapatkan tenaga kerja murah dalam mendukung pembangunan dan eksploitasi gula dan pabrik-pabrik mereka (kepentingan pasar mereka). Yang kedua, untuk menghalau muncul dan berkembangnya ilmu-ilmu humaniora dan sosial, yang bisa mengancam keberadaan mereka sebagai bangsa penajajah. Singkatnya, ilmu teknik diperkenalkan untuk itu.

Apa konsekuensi dari perkembangan pendidikan dengan desain seperti itu, yang diwarisi sekarang ini? Itu tadi, kembali lagi kepada persoalan sebelumnya. Lahirnya produk pendidikan yang mentok bermental pekerja toh saja, yang sama sekali tidak mengerti persoalan masyarakatnya. Atau bahasa lainnya intelektual-intelektual teknik yang tak memiliki keterkaitan kemanusiaan dengan masyarakatnya (terasing dari kehidupan kemanusiaannya sendiri). Karena itu tidak heran ketika produk-produk teknik dari pendidikan kita memang mengarah pada kepentingan pasar bukan kepentingan masayarakat. Dalam arti kita dijejalkan dengan pengetahuan teknik untuk mencipta tanpa didasari oleh landasan ideologi sosial yang kuat. Kita mencipta tidak dilandasi oleh riset tentang kebutuhan rakyat, melainkan disetting terlebih dalam pada kebutuhan-kebutuhan koorporasi.

Ilmu-ilmu sosial yang seharusnya bisa bersinergi dengan ilmu teknik justru dipisahkan menjauh dari kesadaran keilmuan kita. Seolah-olah mengafirmasi kenyataan bahwa ilmu teknik itu ya untuk teknik, tidak ada keterkaitan dengan persoalan sosial masyarakat. Di sekolah menengah kejuruan saja, ilmu sosiologi sebagai ilmu sosial dasar pun tidak ada dalam kurikulum. Saya tidak tahu apakah ini bentuk keblingeran atau apa?

Kembali lagi ke pernyataan sebelumnya. Saya sendiri, percaya bahwa kita butuh sekolah teknik. Tapi pertanyaannya selanjutnya, sekolah teknik yang mana? Sekolah teknik yang berpihak kepada siapa?




Penulis
Muhammad Ruslan