| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Jumat, 27 Januari 2017

Apa yang Hilang dari Sekolah Teknik Kita?

sumber gambar: https://bumirakyat.files.wordpress.com
Terhitung sejak terpilih sebagai presiden, Jokowi kini terbilang gencar mendorong penguatan sekolah kejuruan. Bukan hanya dari target penambahan sekolah kejuruan hingga 300-an lebih, juga September yang lalu, Presiden menandatangani Inpres bernomor 9 tahun 2016, yang isinya mendorong dan mendukung percepatan revitalisasi sekolah kejuruan yang berorientasi kebutuhan pasar.

Persoalan ketenagakerjaan yang menjadi persoalan bangsa menurutnya harus diseleseikan dengan penguatan revitalisasi sekolah menengah kejuruan yang ada. Tentu saja asumsi yang mendasarinya adalah, karena kapasitas sumber daya manusia kita yang masih rendah, sehingga sulit diserap dalam dunia industri. Bahkan dalam Inpres tersebut, Presiden juga menginstruksikan kepada Kemenristek agar memprioritaskan (pembukaan) program-program kejuruan terapan di perguruan tinggi.

Alasan untuk itu semua adalah, bahwa pendidikan yang ada sekarang ini dianggap kurang tanggap terhadap perkembangan kebutuhan-kebutuhan pasar akan tenaga kerja. Semangat yang mendasari prospek kebijakan ini adalah, pendidikan harus mampu menjadi penyalur tenaga kerja mumpuni ke depan. Sekolah maupun perguruan tinggi harus lebih mampu bersinergi dengan dunia usaha, agar bisa melahirkan generasi dengan ilmu terapan dan keterampilan yang memadai.

Perspektif kebiajakan pendidikan yang berorientasi pasar ini pula yang membuat Unhas, sebagai salah satu perguruan tinggi terbesar di kawasan Indonesia Timur, beberapa hari yang lalu disahkan keberadaan statusnya sebagai PTN-BH oleh Kemenristek. Dengan Imajinasi target sirkulasi modal yang diharapkan dapat menghasilkan pendapatan hingga 450 milyar. Dengan menjadikan pendidikan sebagai instititusi modal seperti ini, pendidikan diharapkan bisa lebih adaptif terhadap tuntutan-tuntutan pembangunan, begitu harapan Presiden. Dalam konteks ini paradigma pembangunan Jokowi, bisa dibilang tidak berbeda jauh dari pendahulu-pendahulu sebelumnya, yakni terciptanya suatu road map pendidikan yang tanggap dan berorientasi deveplomentalisme.

Apa yang salah? Tentu saja kita akan mudah berkata bahwa tidak ada yang salah dengan konsep ini. Mengingat  kenyataan akan rendahnya kecakapan penguasaan ilmu terapan di kalangan pelajar memang patut kita akui. Namun, tentu saja bahwa ada beberapa hal mendasr yang mesti kita kritisi. Tentang bagimana menempatkan, dan atau menjembatani antara kepentingan pendidikan itu sendiri dengan kepentingan pasar itu sendiri. Kapitalisasi pendidikan memang seperti gunung es, yang tampak indah di atas permukaan, namun kadang-kadang menyembunyikan hal-hal lain yang berkontradiksi dengan itu semua.

Pendidikan, pasar dan kapitalisme
Jauh sebelum kita membicangkan relasi pendidikan dan pasar hari ini. Karl Marx, sudah berbicara di masanya, dua abad yang lalu. Marx bahkan memberi tanda, bahwa sekolah harus mendapatkan concern lebih ketimbang agama untuk dianalisis. Meski kedua-duanya sangat syarat dengan kepentingan kelas. Sama-sama bagi Marx bisa menjadi pranata untuk menanamkan kesadaran borjuis, tapi sekolah memberikan kontribusi lebih dari itu semua. Sebab ia (sekolah) menyuplai kontribusi praktis dan material dalam melanggengkan modus produksi kapitalisme. Sebabnya dalam konteks ini, pendidikan menghasilkan kemampuan kerja. Kemampuan-kemampuan yang ketika tidak dilakukan periodisasi ideologi, bisa dengan sendirinya menjadi sekrup-sekrup pion dari sistem kapitalisme itu sendiri lewat mobilisasi kelas sosial secara individual, melahirkan kelas menengah yang diuntungkan dari keberadaan sekolah. Suatu kelas sosial yang menurut banyak orang, menjadi gambaran dari wujud pengkaburan kelas-kelas sosial yang ada. Yang ikut melanggengkan surplus value lewat jabatan-jabatan kerah putih yang ia miiki.

Menggunakan analisa Marxis untuk meihat perkembangan sekolah hari ini, membuat kita sampai pada kesimpulan, bahwa penguatan revitalisasi sekolah berbasiskan pasar dan penyediaan tenaga kerja hari ini adalah wujud dari kemenangan kapitalisme dalam mengkooptasi pendidikan. Ia (kapitalisme) bahkan tak perlu mengeluarkan biaya untuk sekadar bisa mendapatkan tenaga kerja murah dan cuma-cuma siap pakai. Para orang tua pelajar lah yang membayarkannya, bahkan tak sedikit dari kalangan orang tua-orang tua proletarlah yang kembali mengongkosi siklus ini dengan membayar ongkos pendidikan yang tak murah. Mereka-mereka para orang tua yang sudah diperas habis-habisan di dalam pabrik oleh majikannya, namun juga kembali diperas oleh sekolah/kampus yang tak lain adalah perpanjang tanganan kapitalisme itu sendiri.

Bahkan di tingkat sekolah menengah kejuruan, para kapitalis-kapitalis tanpa merasa malu, berlomba-lomba mendapatkan tenaga kerja siap pakai yang masih di bawah umur (untuk kategori pekerja) untuk dipekerjakan dengan cuma-cuma, atas nama tututan kurikulum pendidikan? Ya, mereka-mereka siswa-siswa kita yang PKL (Praktik Kerja Lapangan), atau mereka para mahasiswa yang melakukan KKN Industri. Dalam rentang masa kerja yang dipersamakan dengan orang dewasa, para kapitalis menikmati pasokan tenaga kerja sekolahan ini dengan cuma-cuma. Ada semacam sebuah persegongkolan sadar antara pemerintah, sekolah dan modal yang terjadi di lingkaran ini, menjerat sekolah tanpa daya kritis. Mereka-mereka tanpa rasa berdosa dengan sendirinya melemparkan anak dalam ruang-ruang penyiksaan psikologis, beban kerja ganda antara sekolah dengan tuntutan-tuntutan pekerjaan industri yang ia laui.

Apakah hal-hal ini, tak bisa kita definisikan sebagai suatu kekerasan struktural dalam dunia pendidikan berbasis pasar hari ini? Tentu saja kita mahfum, bahwa toh, kapitalisme memang tak bisa jauh-juh dari hal-ihwal tentang kekerasan. Jamil Salmi (1983) dalam bukunya Kekerasan dan Kapitalisme (terj), bahkan menyebut kapitalisme berkembang dan bertahan karena kekerasan. Ia membuktikan itu dengan meneliti pola-pola penyebaran kapitalisme di dunia. Tak perlu jauh untuk memahami penelitian Jamil, cukup kembali menegok di sekitar kita. Puncak kapitalisasi pendidikan Unhas kemarin yang berujung kekerasan adalah contoh paling nyata di pelupuk mata, bahwa kekerasan adalah alat paling sahih untuk menegakkan kapitalisme.

Alienasi dan kapitalisasi pengetahuan
Di perguruan-perguran tinggi, inilah paling mengancam kita. Yakni kapitalisasi perguruan tinggi akan benar-benar memisahkan kampus dengan persoalan hidup rakyat kecil. Harapan Soekarno agar pendidikan yang ada  tidak boleh memunggungi persoalan rakyat menjadi termentahkan lewat kapitalisai perguruan tinggi yang marak belakangan ini. Kapitalisasi pendidikan, ujung-ujungnya menciptakan privatisasi dan kapitalisasi pengetahuan, yang akhirnya membuat rakyat kecil teralienasi dari keberadaan kampus-kampus. Logika pendidikan yang diharuskan untuk adaptif terhadap pembangunan adalah logika kapitalisasi pendidikan itu sendiri yang diperhalus.

Dengan semangat mengedepankan parodi/jurusan teknik seperti arahan Presiden, disertai dengan semangat pengkapitalisasian pendidikan. Persekutuan pendidikan dan dunia industri menemukan momentum perkawinannya yang pas. Jadi, jangan heran dan terkatup-katup, ketika kita lebih mudah mendapati para intelektual kampus lebih sibuk melegitimasi reklamasi atau pendirian pabrik semen, di banding berpihak pada petani, nelayan dan rakyat kecil. Jangan heran, ketika penelitian-penelitian mahasiswanya lebih banyak diarahkan berorientasi pada upaya menemukan dan mengembangkan produk-produk yang bisabersinergi dengan korporasi-korporasi, ketimbang mengangkat tema-tema persoalan yang menjerat rakyat kecil. Ini adalah kenyataan-kenyataan yang kita saksikan sekaligus menunggu di depan mata.

Ini adalah salah satu konsekensi dari kampus yang resmi berorientasi diri sebagai institusi modal. Ia harus secara terus menerus harus memandang bahwa aktivitas keilmuan sebagai sebuah komoditi untuk mencapai target pendapatan kampus yang milyaran itu. Sehingga benarlah kata orang, bahwa penemuan itu pada dasarnya ideal pada tataran teori, tapi ia menjadi bisnis pada tataran praktik. Sebab kita berhadapan dengan kenyataan bahwa produk intelektual menjadi perkara bisnis. Benar kata Marx dalam Robin Small (2014--terj.), bahwa kemajuan secara umum dan akumulasi pengetahuan masyarakat (dalam konteks inipen.) dikuasai dengan gratis oleh kapital.

Kondisi lain yang menjadi dampak dari ini semua adalah kembalinya persoalan pendidikan kita pada ranah klasik, yakni ketimpangan distribusi ilmu pengetahuan yang tidak adil. Dikarenakan bahwa kapital telah mengkooptasi pendidikan terlebih dahulu, maka bentuk peminggiran terhadap rakyat kecil akan terus terjadi. Ini adalah proses pemborjuisan lembaga pendiidkan. Tidak hanya akan mengasingkan rakyat kecil untuk mengakses pendidikan, juga pada tataran cakupan keilmuan, dominasi sudut pandang keilmuan akan menyesaki kesadaran pelajarnya dengan satu sudut pandang penuh batasan. Kooptasi tentu saja tidak hanya berada dalam ambang batas akses terhadap pendidikan yang timpang, namun juga pada batasan-batasan keilmuan yang harus sesuai dengan kepentingan kapital.

Inilah resiko, sekaligus pergeseran fatal yang bakal terjadi ketika pendidikan benar-benar tumbuh sebagai institusi modal. Dimana moralitas-moralitas beserta segenap kesadaran yang menyertainya tak lain merupakan moralitas pasar semata. Ia benar-benar akan membunuh segala bentuk jalan dari munculnya kesadaran-kesadaran kritis yang bertentangan dengan kepentingan pasar. Dan tidak berlebihan ketika kita benar-benar mengatakan bahwa pendidikan dalam konteks seperti ini telah dibunuh, dibunuh perlahan-perlahan lewat kooptasi kesadaran pasar?

Apa yang hilang dari sekolah teknik kita?
Ketika pendidikan berjalan sebagai institusi modal, maka itu artinya telah terjadi pengkurusan kenyataan pendidikan sebagai institusi ideologi. Dan inilah yang terjadi. Pembukaan SMK ataupun jurusan-jurusan teknik di perguruan tinggi, hampir dipastikan bahwa ia lahir semata-mata sebagai jawaban atas tuntutan pasar semata, bukan tuntutan ideologi. Karena itu agak sulit untuk bisa melihat para lulusan sekolah teknik kita bisa lahir dengan kepribadian seperti Soekarno misalnya yang juga seorang insinyur teknik. Pun ketika ada hanya sedikit, ketimbang produk-produk pendidikan dengan kesadaran pasar yang pure.

Sekolah teknik kita, hanya mentok bisa melahirkan ‘tukang’. Tukang dalam arti sekadar pekerja yang kering dengan konsepsi-konsepsi ideologi. Paling banter kita temukan adalah kenyataan ketidakmampuan untuk membangun keterhubungan antara ilmu teknik yang mereka kuasai dengan hal-hal yang bersifat ideologis lainnya. Inilah yang pernah disebut Marx sebagai bentuk pemutusan kesadaran ideologis. Dalam pandangan Marx, bahwa seorang individu yang terspesialisasi dan terdidik secara sempit akan menjadi seseorang yang terputus dari seluruh umat manusia. Dan ini sangat mudah kita temui, seorang sarjana teknik atau lulusan sekolah yang tidak mampu menemukan keterkaitan antara keilmuan dan tugasnya sebagai seorang manusia.

Maka tidak heran ketika, kita melihat seorang sarjana teknik, bisa membangun gedung-gedung tinggi, sembari menggusur ladang dan rumah rakyat-rakyat kecil, tanpa sedikitpun merasa berdosa. Mereka-mereka para pekerja teknik ini, lulusan sekolah dan perguruan tinggi pasar hanya melihat bangunan dengan teras dan besi yang kuat sebagai pencapaian keilmuan, tanpa menganggap bahwa membangun dengan menginjak manusia lain sebagai persoalan yang terkait dengn keilmuan mereka. Sebagian mungkin abai dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, bahkan yang paling memalukan dari itu semua, adalah mereka yang justru lahir dengan kredo, menganggap bahwa menggusur untuk mebangun adalah keharusan. Ini yang paling gila! Ini sama gilanya ketika seorang sarjana pertanian, lebih pro pabrik baja dan pabrik semen ketimbang sawah dan perkebunan.

Apa yang menyebabkan itu semua? Lagi-lagi, pengetahuan yang berkembang, di tengah pendidikan yang telah terindustrialisasi oleh kepentingan pasar, akan mudah kita lihat kemana pengetahuan itu berpihak. Modal telah mensekulerkan kita dari persoalan-persoalan ideologi dalam ranah pendidikan. Ia benar-benar merenggutnya. Sama halnya yang terjadi terhadap agama. Kita selalu berkata bahwa komunis itu anti-agama, tapi kita lupa menganalisis bahwa yang membunuh agama sejak lahirnya adalah kapitalisme itu sendiri, menggantinya dengan imaji-imaji kekuasaan modal.

Saya sendiri, percaya bahwa kita butuh sekolah teknik. Tapi pertanyaannya, sekolah teknik yang mana? Sekolah teknik yang berpihak kepada siapa?

Disni saya teringat dengan analisis Rendra beberapa tahun silam dalam sebuah wawancara di media sebelum kepergian beliau. Mudah-mudahan saya tidak salah ingat. Ia mengurai persoalan substansi pendidikan kita yang melompat mengikuti ritme desain pendidikan kolonial. Saat Belanda menjajah nenek moyang kita, ilmu-ilmu yang diperkenalkan Belanda memang hanyalah ilmu-ilmu teknik. Tentu saja yang seturut dengan kepentingan belanda itu sendiri. Ada dua kepentingan Belanda, kenapa Belanda lebih memilih memperkenalkan ilmu teknik di sekolah-sekolah yang mereka ampuh saat itu. Yakni pertama, untuk mendapatkan tenaga kerja murah dalam mendukung pembangunan dan eksploitasi gula dan pabrik-pabrik mereka (kepentingan pasar mereka). Yang kedua, untuk menghalau muncul dan berkembangnya ilmu-ilmu humaniora dan sosial, yang bisa mengancam keberadaan mereka sebagai bangsa penajajah. Singkatnya, ilmu teknik diperkenalkan untuk itu.

Apa konsekuensi dari perkembangan pendidikan dengan desain seperti itu, yang diwarisi sekarang ini? Itu tadi, kembali lagi kepada persoalan sebelumnya. Lahirnya produk pendidikan yang mentok bermental pekerja toh saja, yang sama sekali tidak mengerti persoalan masyarakatnya. Atau bahasa lainnya intelektual-intelektual teknik yang tak memiliki keterkaitan kemanusiaan dengan masyarakatnya (terasing dari kehidupan kemanusiaannya sendiri). Karena itu tidak heran ketika produk-produk teknik dari pendidikan kita memang mengarah pada kepentingan pasar bukan kepentingan masayarakat. Dalam arti kita dijejalkan dengan pengetahuan teknik untuk mencipta tanpa didasari oleh landasan ideologi sosial yang kuat. Kita mencipta tidak dilandasi oleh riset tentang kebutuhan rakyat, melainkan disetting terlebih dalam pada kebutuhan-kebutuhan koorporasi.

Ilmu-ilmu sosial yang seharusnya bisa bersinergi dengan ilmu teknik justru dipisahkan menjauh dari kesadaran keilmuan kita. Seolah-olah mengafirmasi kenyataan bahwa ilmu teknik itu ya untuk teknik, tidak ada keterkaitan dengan persoalan sosial masyarakat. Di sekolah menengah kejuruan saja, ilmu sosiologi sebagai ilmu sosial dasar pun tidak ada dalam kurikulum. Saya tidak tahu apakah ini bentuk keblingeran atau apa?

Kembali lagi ke pernyataan sebelumnya. Saya sendiri, percaya bahwa kita butuh sekolah teknik. Tapi pertanyaannya selanjutnya, sekolah teknik yang mana? Sekolah teknik yang berpihak kepada siapa?




Penulis
Muhammad Ruslan

Rabu, 25 Januari 2017

Titik Balik Pengetahuan dan Stagnasi Kita


Kalau di media sosial muncul sarkasme yangmengatakan orang Indonesia kearab-araban, sedangkan Arab kebarat-baratan, maka dalam perkembangan ilmu pengetahuan kita juga memperlihatkan siklus terbalik. Ilmu pengetahuan kita menjadi kebarat-baratan saat yang sama Barat justru diam-diam mempelajari ketimuran.

Gagasan back to nature ala JJ Roessau, atau gagasan pensejajaran fisika modern dan mistisisme ketimuran dari Fritjof Chapra memperlihatkan dinamika perkembangan pengetahuan Barat yang berputar itu. Upaya menggali dan kembali membongkar naskah-naskah kuno ketimuran yang selama ini diabaikan, seperti menemukan kembali apa yang hilang bagi mereka. Apa yang mereka sebut takhayul dan mitos-mitos ketimuran itu justru diam-diam dikaji kembali. Chapra bahkan menyebut fenomena ini sebagai titik balik peradaban.

Sedang apa yang terjadi di Timur, Indonesia khususnya? Kita seperti baru saja terasa mengakhiri masa merangkak menjadi baligh. Baru saja memamah masa gelap kita sembari mengutuk segala bentuk apa yang kita definisikan sebagai mitos sebagai sesuatu yang kolot, yang tak lain dalah peradaban nenek moyang kita sendiri. Sembari mengalihkan pandang pada peradaban Barat yang gemilang karena pencapaian akal dan segenap antroposentrisme pengetahuannya yang maskulin. Teknologi yang diciptakan Barat semakin membuat kredo ketakjuban kita menjadi-jadi.

Gagasan-gagasan yang pernah mengguncang pencapaian peradaban Barat dua hingga tiga abad lampau, baru saja menghampiri kita. Sekularisasi dan positivisme pengetahuan seperti sebuah sabda bagi orang timur sekarang ini. Ia seperti bodhi, kredo jalan dari perkembangan adopsi corak pengetahuan Barat yang diinteranalisasi dalam berbagai perangkat intitusi pendidikan kita hari ini.

Sangat mudah mengidentifikasi hal ini. Generasi-generasi tua yang masih mendominasi aktivitas kampus hari ini masih menjadi pertanda bahwa tradisi keilmuan abad ke-18 ini, masih menguasai lalu-lintas intelektual kita sekarang ini. Bagi Anda yang masih berkutat dengan aktivitas kampus, sangat mudah merasakan atmosfer ini. Khususnya saat ingin penelitian, dan mendapatkan pembimbing yang tua-tua. Hehe (meskipun tidak semunya).

Terlebih lagi di lingkup pendidikan dasar hingga menengah. Bidang ekonomi misalnya, coba kita lihat teori-teori ekonomi yang diajarkan sampai hari ini misalnya. Teori-teori ekonomi yang sudah seharusnya kadarluarsa, namun masih terus direproduksi saat ini tanpa pernah direvisi, apalagi dikritisi. Dari jaman nenek moyang keturunan XVI sampai sekarang. Yang diajarkan sebagai pokok dasar persoalan ekonomi hanyalah itu-itu saja: What, How dan Whom. Ini tak lain merupakan masalah pokok ekonomi paling klasik, yang muncul saat pertama kali meletus revolusi industri. Saat manusia masih kebingungan dalam memanfaatkan teknologi industri untuk kepentingan pasar. Antara apa yang diproduksi, bagaimana memproduksinya hingga pertanyaan untuk siapa barang itu diproduksi.

Tak jauh berbeda ketika misalnya teori-teori ekonomi abad ke-18 ini masih menjadikan isu kelangkaan karena faktor alam sebagai simpul pokok persoalan ekonomi. Isu-isu kelangkaan yang didefinisikan dalam persepktif akumulasi modal dan eksploitasi alam. Kelangkaan barang yang mengharuskan manusia mendekati persoalan ekonomi lewat penigkatan produksi secara massif, yang berarti eksploitasi, akumulasi, dan surplus value.

Padahal, saat ini kita justru berhadapan dengan suatu persoalan ekonomi yang terbalik 180 derajat dari konsepsi itu semua. Bukan tentang kelangkaan yang kadang menjadi persoalan ekonomi, tapi justru sebaliknya, kita berhadapan dengan fenomena overproduksi. Overproduksi yang berpangkal pada eksploitasi alam dan buruh yang sangat cepat akibat teknologi yang tak terkontrol. Namun, Overprduksi ini selain telah berhasil membuat sebagian kecil manusia kekenyangan, namun justru tetap membuat sebagian besar manusia yang lain tetap kelaparan. Ada apa? Justru hal-hal ini tidak pernah dikonsepsi sebagai persoalan ekonomi.

Begitupun halnya, bahwa persoalan ekonomi yang kita hadapi saat ini tidak lagi sekadar berhulu pada persoalan produksi semata. Kita berhadapan dengan persoalan ekonomi yang kompleks dari hulu ke hilir. Dari produksi, hingga distribusi dan konsumsi. Persoalan distribusi adalah persoaan ketimpangan dan ketidakadilan dalam mengakses sumber daya ekonomi, yang melahirkan kejahatan struktural berupa pemiskinan dan penghancuran ekologis.

Alih-alih ingin mengatasi kelangkaan dengan produksi, kita justru mengalami suatu proses penambalan masalah ‘kecil’ menuju masalah yang lebih besar. Seperti kata Illich, kita mengatasi kelangkaan relatif menuju kelangkaan absolut. Masa depan sumber daya alam dengan karkater yang tidak mudah diperbarui itu terancam punah terlebih dahulu ketimbang bisa memenuhi kebutuhan manusia jangka panjang.

Peningkatan konsumsi akan modal, tenaga kerja, sumber daya alam untuk kepentingan produksi, justru pada kenyataannya tidak membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik. Atas nama efisiensi dan logika akumulatif, barang-barang justru sengaja diproduksi dengan kualitas yang rendah. Untuk tetap bisa mempertahankan siklus akumulasi modal kapitalisme bertahan. Dampaknya cukup serius, akumulasi laba meningkat tajam, konsumsi meningkat drastis, namun angka harapan hidup rakyat kecil semakin mengenaskan. Dan apakah semua hal-hal ini telah disbutitusikan sebagai persoalan pokok ekonomi sekarang ini?

Saat ini, di Barat sendiri, perkembangan pemikiran dan paradigma pengetahuan sudah jauh melampaui apa yang justru terus menerus menjadi objek pengetahuan kita saat ini. Paradigma antorposentrisme dan positivisme pengetahuan yang menjadi corak pengetahuan pasca Rennaisans justru dianggap sebagai biang keladi persoalan kemanusiaan yang inheren melanda peradaban Barat itu sendiri. Krisis sosial yang terjadi, dan krisis ekologi yang mengguncang Barat, adalah ekses dari paradigma pengetahuan yang mndewakan manusia dengan segenap kekuasaan pasar yang ada. Kapitalisme benar-benar menampakkan wajahnya dengan vulgar dengan segala bentuk kekejaman dan penindasan yang menyertainya.

Sebagai kritik akan realitas itu, di Barat sendiri ada banyak paradigma-paradimga pengetahuan yang muncul dengan karakternya yang holistik. Salah satunya adalah paradigma pengetahuan hijau, yang mencoba merangkul sisi-sisi ekologis, spritualitas alam dan sosial dalam melakukan rekonsepsi ulang terhadap ilmu pengetahuan. Lebih dikenal dengan istilah ekonomi hijau. Misalnya, dengan mensubtitusi faktor-faktor lain dalam merumuskan ulang pendefinisian-pendefinisian tentang ukuran-ukuran kesejahteraan dalam ranah kualitas, dengan melibatkan faktor-faktor alam dan manusianya. Dll.

Penguatan paradigma hijau, bahkan tidak hanya menginspirasi lahirnya rekonstruksi teoritis pada berbagai ranah pengetahuan, tapi juga di ranah praktis. Ia bahkan muncul sebagai sebuah paradigma gerakan, seperti dengan munculnya partai-partai politik progressif yang menamakan diri partai hijau (termasuk di Indonesia).

Saat ini, kita sebenarnya bisa dikatakan mengalami dua persoalan serius dalam melihat dinamika perkembangan pemikiran yang ada saat ini. Yang pertama adalah pentaglikan berlebihan kita terhadap produk pengetahuan Barat yang membuat kita kehilangan sikap kritis dan unsur kreativitas dalam mencipta pengetahuan sendiri. Membuat tidak hanya produk duplikasi pengetahuan tetapi juga dengan segenap dampak-dampaknya. Dalam konteks ini, saya teringat salah satu sajak Rendra yang berkata: “Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing | tekad-tekad hanya boleh membeli metode | tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan | kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa |menghayati sendiri semua persoalan yang nyata”.

Persoalan yang kedua adalah sebagian justru berlindung di balik segala fundamentalisme doktrin anti-asing, kembali ke lokalitas, namun justru gagap dalam melakukan reinterpretasi atas kebudayaan lama. Akibatnya gagasan-gagasan yang ada hanya bisa membeku, diterima layaknya mantra suci penuh dogma. Kegagalan dalam melakukan rasionalisai dan sinkronisasi kemajuan terhadap segala bentuk kebudayaan lama yang membuat kita stagnan.

Dan yang paling ironis dari itu semua, adalah bahwa kita dilanda stagnasi intelektual yang akut. Agama dengan segala bentuk penafsiran konservatis atasnya justru seringkali menjadi penyebab dari menjamurnya kesadaran-kesdaran fatalisme berpengetahuan. Akibatnya disksursus-diskursus pengetahuan tidak pernah berkembang dengan dinamis dan serius.

Alih-alih untuk bisa memikirkan diskursus pengetahuan alternatif, kita lebih memilih melemparkan diri ke dalam klise fatalisme-fatalisme moral. Ini sangat mudah diidentifikasi, saat lembaga-lembaga pendidikan yang ada misalnya, lebih dominan menjadi polisi moral ketimbang upaya untuk membangun dan membangkitkan kesadaran kritis pelajar.  

Sepertinya deman agama dan gila moralitas yang melanda lembaga pendidikan kita saat ini, mengingatkan saya pada gila agama yang melanda Eropa di abad-abad kegelapan (dark age) dua/tiga abad yang lampau. Gila agama yang muncul dengan wajah dogma yang anti terhadap segala bentuk pengetahuan yang tidak bersumber dari (penafsiran otoritas agama) terhadap kitab-kitab suci. Dan itu menjangkiti tidak hanya lembaga agama, tapi juga lembaga-lembaga pengetahuan yang ada saat itu.

Dan saya merasa kenyataan-kenyataan ini pun hingga akirnya terbawa di masyarakat. Apa yang paling terus menerus membuat kita ribut akhir-akhir ini? Diskurus pengetahuan baru? Bukan. Isunya selalu berputar pada hal-hal itu saja. Agama! dengan segala bentuk penafsiran konservatisme atasnya.




Penulis
Muhammad Ruslan

Isu SARA, Apa yang harus Sekolah Lakukan?

sumber foto: www.medihoki.net
Isu SARA dan konflik politik yang terjadi akhir-akhir ini cukup membuat kita pengap dan jenuh. Di beranda media sosial, prevalensi informasi mengenai kasus DKI Ahok misalnya, bisa dikata hampir memadati perbincangan, share, dan komentar. Beberapa di antaranya justru bersifat destruktif. Pro-kontra berlangsung dalam pembelaan-pembelaan, dan saling serang. Masing-masing berusaha untuk mengcounter siapa yang benar, siapa yang salah, dan siapa yang berbohong. Politik konspiratif kemudian muncul sebagai jawaban atas semakin rumitnya untuk untuk mendudukkan persoalan dengan jernih.

Karena media sosial merupakan perangkat informatika tanpa batas. Tak mengherankan ketika perbincangan-perbincangan ini pun menghinggapi para pelajar. Di sekolah-sekolah para pelajar tak luput membincangkan persoalan ini. Pemahaman dan kesadarannya akan apa yang terjadi, murni sangat bergantung pada media sosial sebagai satu-satunya sumber informasi mereka. Beberapa pelajar bahkan memperlihatkan ke saya video-video kerusuhan ataupun gambar-gambar kesimpulan yang sangat sulit dipercayai kebenaranya. Dalam konteks ini, pelajar menjadi objek informasi HOAX yang memprihatinkan. Baik lewat Facebook maupun Whatsapp, informasi yang sulit dipertanggungjawabkan itu menyebar dari gadget pelajar ke pelajar lainnya.

Sebab tak sedikit pula di antara para pelajar itu, bukan hnaya menjadi subjek pengonsumsi informasi. Tapi juga pelaku yang ikut ‘mencipta’ lewat informasi-informasi yang ia share. Euforia panas perbedabatan, berseliweran antara fakta dan HOAX ikut mempengaruhi cara mereka memandang kenyataan. Bahkan  beberapa di antaranya hanya menyisakan kebingungan bahkan ketakutan ikut menghantui beberapa anak akibat peristiwia-peristiwa belakangan ini. Apalagi ketika proses identifikasi akan identitas mereka ikut menghantui pikiran-pikirannya, identitas mereka yang memiliki pertautan akan isu-isu SARA yang akhir-akhir ini dihembuskan.

Kita tentu prihatin akan hal itu semua. Kebingungan dan ketakutan yang tak menemui jawaban dalam pikiran pelajar. Menjadi lahan subur tumbuh kembanganya streotipe. Suatu bentuk rasa curiga yang tak berdasar. Akibat gagalnya mereka menempatkan akar-akar persoalan dengan segenap fakta sebagai sebuah fenomena yang terjadi.

Namun, ditengah kebingungan-kebingungan itu, kita justru lebih banyak melihat fenomena sekolah yang bisu akan realitas-realitas seperti itu. Bahkan beberapa (sekolah) justru menfatwakan agar para pelajar ini mengabaikan realitas apapun yang terjadi di luar (khususnya fenomena Ahok, dll). Dengan memandang fenomena di luar sebagai fenomena gelap, buruk, sedang anak sebagai subjek yang tidak bisa berpikir kritis dalam konteks ini, mudah dipengaruhi oleh informasi-informaisi gelap yang berseliweran. Intinya pelajar hanya harus boleh fokus pada sekolahnya! Abaikan realitas! Begitu fatwa sekolah memandang realitas.

Tak ada salah dengan itu sebenarnya. Hanya saja menginstruksikan pelajar untuk fokus mengejar impian pribadinya saja sembari memisahkan ia dengan realitas, dan atau mengabaikan kurosiotas ia akan realitas luar justru menimbulkan kontradiksi-kontradiksi sendiri. Membiarkan kebingungan itu menubuh, yang pada akhirnya akan terIalu sulit untuk menerka arah kebingungan dan kebuntuan itu akan mengarah nantinya. Pola-pola ‘pendiaman’ ini, pada kenyataannya  sama halnya ketika kita juga justru ikut bertanggung jawab melahirkan generasi yang nantinya tidak mengerti sama sekali kondisi-kondisi sosial yang terjadi. Yang ujung-ujungnya menciptakan generasi yang bukan hanya tidak mengerti akan realitas sosialnya, tapi juga abai, bahkan nantinya menjadi generasi yang apatis. Atau yang paling buruk akan itu semua adalah generasi yang lahir dengan kesadaran-kesdaran SARA yang terpendam.

Kita sudah terlalu banyak menyaksikan kenyataan itu. Para keluaran sekolah-sekolah atau pendidikan-pendidikan yang tidak mengerti persoalan masyarakatnya. Yang hanya sibuk memikirkan kepentingan-kepentingan pribadinya semata. Sembari menafikan bahwa pada hakikatnya ia punya tanggung jawab intelektual nantinya karena keterpelajaran yang ia miliki. Bahkan dalam konteks SARA, kita tak bisa menutup mata bahwa beberapa pelajar memendam hal ini, bahkan beberapa justru ikut ditingkat praksis sebagai pelaku SARA.

Di atas itu semua, lagi-lagi penyakit kronis yang melanda konsep-konsep pendidikan kita secara umum kembali lagi pada hal-hal yang sifatnya kontekstual. Kita menyaksikan bahkan ikut merayakan ‘kematian’ sekolah, akibat terpisahnya atau memisahkan dirinya (sekolah) terhadap realitas-realitas sosial politik yang terjadi. Dalam konteks tadi, membiarkan sekolah menjadi abai akan realitas, bukan hanya menyisakan kebingungan-kebingungan atas diri pelajar yang mau tak mau sudah terlanjur melihat kenyataan dengan samar-samar ewat media sosial. Tapi juga merayakan pembekuan nalar, yang pada kenyataannya ikut bertanggung jawab atas terpeliharanya kesadaran-kesadaran pelajar yang penuh dengan kesimpang siuran dalam memahami realitas.

Aku, begitu mudah melihat, kesadaran pelajar yang menyimpang benih-benih kebencian berselubung kebingungan terhadap segala sesuatu ketika ia memandang ke luar dari identitas mereka. Ketergantungan mereka terhadap media sosial ikut membentuk hal itu. HOAX dikonsumsi tanpa sadar bahwa apa yang ia konsumsi adalah informasi yang di dalamnya telah terkontaminasi kebencian dengan segenap absurditas atas informasi. Baik kebencian yang di satu pihak maupun oleh pihak yang lain.

Kita bisa merasakan, kenyataan bahwa mereka yang kita sebut ‘mayoritas’ lebih mudah terlihat mengeskpresikan kebencian itu (apakah itu dalam bentuk frontal bahkan dalam bentuk paling ringan sekalipun seperti candaan, dll), sedang bukan berarti yang kita sebut ‘minoritas’ tidak memendam respon kebencian yang sama.  Bedanya satu yang mudah mengeskpresikan, satu yang lebih memilih memendam, karena kondisi-kondisi lain yang mengkondisikannya. Dan hal-hal ini tak lepas terjadi di dunia pelajar sekalipun. Apalagi ketika peristiwa-peristiwa politik yang terjadi akhir-akhir ini yang banyak menbocengi isu-isu SARA. Dari kasus Ahok di Jakarta, Tanjung Balai baru-baru ini, dan beberapa kasus yang sama di beberapa tempat yang lainnya.

Dalam konteks ini apa yang ingin saya katakan adalah bahwa sekolah dengan segenap kehidupan para pelajar kita juga sangat dekat dengan SARA.

Apa sebenarnya yang harus dilakukan oleh sekolah, adalah seharusnya ia memainkan perannya sebagai pranata intelektual itu sendiri. Sekolah seharusnya ikut menjernihkan persoalan yang sebenarnya di hadapan para pelajar (khususnya sekolah-sekolah menengah). Mendudukkan dan membentangkan segala persoalan yang terjadi pada tempat yang jernih di hadapan para pelajar. Melampaui isu-isu SARA yang mendominasi sumber informasi.

Hanya dengan begitu kita bisa berharap bahwa mata rantai kebencian dan isu SARA bisa diretas di tingkat paling kultur bernama sekolah. Segala persoalan-persoalan harus dibedah, dan dibawa dalam ruang-ruang belajar. Agar kesadaran ambigu yang menguasai pikiran-pikiran pelajar benar-benar bisa ditepis. Sehingga harapan kita: kita benar-benar bisa berharap lahirnya generasi-generasi yang memiliki kesadaran sosial yang tepat akan persoalan-persoalan yang terjadi. Lagi-lagi melampaui kesadaran-kesadaran SARA, fasis, dan semi kesadaran intransifit kebencian lainnya.

Karena lagi-lagi membiarkan sekolah terperangkap dalam budaya bisu seperti itu. Bukannya membuat suasana menjadi kondusif, justru sebaliknya sama saja dengan membiarkan kebingungan-kebingungan pelajar akan realitas, terakumulasi yang akhirnya membusuk berpotensi melahirkan atau mungkin menyambung kebencian-kebencian yang laten, akibat gagalnya ia memahami, mendudukan dan memahami persoalan yang sebenarnya.


-Muhammad Ruslan-