Tulisan ini diawali dengan bertanya. Sekolah? Mungkin banyak
diantara kita yang balik bertanya, bukankah ini pertanyaan konyol basa-basi?
Kenapa sih mesti mempertanyakan ulang apa itu sekolah? Bukankah definisi
sekolah itu sangat sederhana dan sudah jelas? Sebuah gedung dimana anak-anak
belajar, di dalamnya ada pengajar yang kita sebut guru? Coba apalagi. Ini
tambahin: Ada buku paket, ada meja, ada bangku, ada aturan, ada hukuman, ada
otoritas, dan tentu saja ada SPP (nah, ini yang super penting), dan lain sebagainya.
Lantas buat apa nanya lagi tentang apa itu sekolah?
Bagi mereka yang memandang sekolah sebagai kenyataan apa
adanya, mungkin pertanyaan ini terkesan konyol. Bagaimana tidak konyolnya,
siapa yang tak bisa memberi definisi apa itu sekolah? Anak TK aja tahu.
Kalau saja pertanyaan ini adalah pertanyaan ujian, maka
jawabannya pun mungkin hanya bisa dijawab dengan hitungan menit. Lantas apa
signifikansinya mempertanyakan ini?
Mari kita melihat bagaimana banyak orang mendefiniskan apa
itu sekolah. Sekolah adalah:
Suatu bangunan yang dikelilingi pagar runcing. Dijaga sipir
semi-militer. Dikontrol oleh polisi moral. Di dalamnya, semua orang yang
terlibat dikungkung dalam ruang yang terbatas. Aturan adalah segalanya.
Menerima, melaksanaken, adalah normativitas moral yang paling tinggi
derajatnya.
Datang pada jam tertentu, istirahat pada jam tertentu, dan
pulang pada jam tertentu. Mendengarkan apa saja yang sudah ditentukan,
berbicara pada batas yang sudah ditentukan, dasar kebenarannya adalah apa yang
telah ditentukan. Semuanya harus berdasarkan ketentuan.
Para anak yang disebut pelajar ini. Mesti datang dengan
seragam. Pakaian seragam, sepatu mesti sesuai dengan ketentuan seragam, kaos
kaki, bahkan bentuk rambut pun juga mesti seragam, gaya salam harus seragam.
Bahkan konon, isi kepala pun kalau bisa juga harus seragam.
Dengan keseragaman itu, tanpa memandang umur, mereka mesti
berbaris seperti unggas di pematang sawah. Kuku, rambut, baju, kaos kaki, ikat
pinggang semua diperiksa. Sebelum masuk
kandang tempat apa yang diklaim sebagai ruang belajar. Setelah itu duduk dengan
sigap bak tentara. Mata tak boleh berkedip, kentut tak boleh bunyi, eh.. .Tak
ada yang mesti luput intinya.
Inilah tempat dimana semua orang melihatnya sebagai tempat
suci. Tempat pencucian diri untuk memenangkan apa yang disebut masa depan dan
cita-cita. Sekolah. Sekolah. Sekolah. Sudah seperti mantra masa depan yang
menjanjikan untuk bisa menjadi apapun.
Kadang-kadang orang juga mempersepsinya sebagai bengkel.
Tempat untuk memperbaiki kerusakan. Anak-anak masuk dipersepsi sebagai orang
rusak yang mesti diperbaiki. Anak-anak yang tanpa aktivitas (nganggur), nakal,
pemberontak dimasukkan. Ini seperti kamp, tempat untuk menghukum anak-anak
seperti itu.
Disini pula kita akan melihat banyak keanehan. Seorang anak
bisa menghafal berlembar-lembar susunan kata-kata seperti burung beo.
Melafalkan dan melafaskan apapun untuk nantinya dilupakan begitu saja.
Anda harus bisa segalanya. Menjadi manusia super adalah tujuannya.
Anda tidak boleh hanya harus bisa berhitung cepat tangkas dan tepat, tapi juga
berbahasa dengan banyak bahasa, berkesenian dengan banyak kesenian, punya
kemampuan atlit yang bagus dari melempar bola hingga melempar apa saja. Punya
kemampuan teknologi yang bagus, punya kepercayaan kepada Tuhan yang mantap,
memiliki pengetahuan undang-undang dan nasionalisme yang tinggi, dan semuanya. Dan juga harus punya kemapuan sastra level
Nuruddin Pituin. Singkatnya, Anda harus bisa segalanya!
Tiap hari Anda harus datang ke sekolah mendengar omelan yang
disebut ceramah. Lalu mengerjakan tugas. Pulang pun bahkan mesti mengerjakan
pekerjaan yang sama. Dengan jumlah jenis pekerjaan yang sangat banyak itu. Target-target
adalah segalanya. Mencapai angka yang telah ditetapkan sekolah dan pemerintah
adalah keharusan sebab kalau tidak, siap-siap anda akan dicongkel posisinya
begitu saja; dipaksa hengkang sebagai produk gagal.
Angka? Inilah yang paling sakral. Nasib Anda ada dalam
hitungan angka-angka ini. Bahkan bukan hanya bahwa pengetahuan mesti diukur
dengan angka, bahkan sikap Anda, bahkan yang lebih ekstrim lagi, adalah tingkat
kedekatan Anda dengan Tuhan dan hal-hal abstrak lainnya akan diukur dengan
angka-angka ini. Angka ini sungguh ajaib!
Angka adalah ancaman sekaligus iming-iming. Ia seperti racun
dan permen. Karena angka ini, para pelajar tak perlu belajar untuk mencintai
aktivitas belajar dan membaca. Membaca atau lebih tepatnya lebih penting; menghafal
demi angka.
Seolah ingin berkata, buanglah semua buku novel yang tak ada
hubungannya dengan nilai mata pelajaranmu! Bahkan tidak sedikit memang sekolah
memberlakukan ini, dengan cara-cara sweeping buku-buku yang tak terkait dengan
buku sekolah.
Angka adalah segalanya, ia adalah simbol prestasi. Tak
peduli bagaimana cara Anda belajar. Yang jelas target pencapaian angka mesti
teraih. Dan ketika angka ini yang menjadi tujuan telah tercapai, maka dengan sendirinya
semuanya telah selesai dan beres. Di setiap selesai ujian seperti ujian semester
atau ujian kenaikan kelas, Anda akan mudah melihat bagaimana buku-buku paket
siswa itu berceceran dimana saja, lebih tepatnya ia buang. Alasannya sederhana,
untuk apa lagi buku? Bukankah ujian telah usai. Angka itu sudah muncul. Untuk
apa lagi buku?
Ketika pemerintah selalu berkampanye mendorong “Ayo Membaca”,
mereka hampir tak melihat kenyataan seperti ini, sebagai ekses dari kebijakan
pendidikan yang tak karuan yang ia buat.
Apa yang tersisa selain lahirnya produk sekolah dengan
kepribadian angka seperti ini. Seorang yang terbentuk dengan kepribadian yang
fetisisme terhadap angka. Suatu jenis ketergila-gilaan terhadap angka dan
selembar kertas pengakuan.
Suatu lembar pengakuan yang di dalamnya tersusun banyak
angka secara akumulasi. Mendapat lembaran kertas pengakuan ini adalah
segala-galanya. Bahkan saya berpikir, tanpa lembaran-lembar kertas pengakuan
ini, maka tempat/lembaga ini sama sekali tidak ada artinya lagi bagi
penghuninya.
Setiap tahun ada semacam ritual pengukuhan akan kesakralan
kertas pengakuan ini. Dari fase yang kita sebut ujian dengan berbagai macam
banyaknya itu, hingga kepersoalan-persoalan penilaian akan standarisasi apa
yang disebut moralitas. Mereka yang bisa melewati tangga-tangga ini, dengan
sendirinya dikukuhkan secara simbol pengakuan-pengakuan dalam bentuk kertas
pengakuan. Anda dianggap telah berhasil! Lulus!
Kertas pengkauan ini sangat sakral. Sekolah berhasil
memahamkan bahwa tanpa selembar kertas pengakuan ini, maka masa depanmu akan
kelam. Engkau takkan bisa berarti apapun tanpa selembar kertas ini. Apalagi di era
dimana manusia hidup dalam ring kompetisi yang sangat ekstrim ini, katanya.
Orang-orang yang kita sebut siswa itu benar-benar melongo
hampir-hampir tak berkedip ketika mendengarkan ancaman-ancaman seperti itu.
Bagi mereka ini seperti wahyu, seperti petunjuk-petunjuk langit untuk
benar-benar serius. Mengikuti segala perintah dan larangan sekolah dengan penuh
kekhusukan.
Sekolah berhasil membentuk image, bahwa mereka-mereka yang
melanggar adalah mereka-mereka yang nakal. Nakal (meski banyak akal) adalah
suatu gambaran dari semiotika masa depan yang kelam. Ada neraka kehidupan yang
menanti bagi para pelanggar, pembangkang, dan tentu saja juga berlaku bagi
mereka yang tidak memiliki kecerdasan yang layak. Tugas Anda adalah mengikuti
segala perintah. Cukup mengikuti. Maka dengan sendirinya nasib terbaik akan
mengiringi kalian. Begitulah kurang lebih, entah bisa disebut doa ataupun
sekadar ancaman berbalut halusinasi. Entahlah..
Sekolah adalah panggung ring. Dimana anak adalah pemain
sedangkan guru adalah wasit/tim penilai. Ada pertarungan, ada kompetisi, karena
itu mesti ada yang menang, ada yang kalah.
Yang menang akan diranking (kadang-kadang di ranking
sembunyi-sembunyi) dalam suatu peringkat dari atas hingga terbawah. Mereka yang
tidak beruntung, yang menempati posisi terbawah siap-siap akan dipantau. Salah-salah
bisa drop out bisa pula tinggal
kelas.
Dan celakanya, standarisasi yang dipakai untuk melakukan
perankingan ini sangat sempit. Umumnya menggunakan indikator yang hampir
tunggal. Anda yang hanya mengandalkan bakat musik hampir-hampir tidak akan bisa
masuk dalam rangking yang tinggi. Umumnya mereka yang menempati posisi teratas
diukur dengan satu ukuran dominan; sains. Yang disempitkan pada angka-angka
yang tertera di lembar-lembar ujian.
Selama rentang waktu yang lama, bisa hingga 12 tahun Anda akan
hidup dalam suasana ini; kompetisi. Dengan jam belajar yang panjang setiap
harinya. Tidak kalah lama dari jam kerja para pekerja pabrik. Konon dalam
kondisi inilah, apa yang disebut skill, kognitif, kepribadian Anda akan
dibentuk. Demi masa depan Anda yang super lebih baik! Suatu janji yang melebihi janji surga memang!
Sekolah seolah ingin berkata; penuhilah dirimu dengan skill.
Berkompetisilah karena skill. Tak ada masa depan bagi mereka yang tak memiliki skill. Persaingan di luar semakin tinggi, satu-satunya alat untuk bertahan
adalah skill. Skill adalah segalanya, tak peduli apakah Anda ingin bekerjasama
atau tidak.
Inilah sekolah. Dimana di dalam ruang dan waktu yang
berbeda, etika moralitas diperdengarkan sedang di ruang yang lain,
potensialitas diri sebagai hewan pragmatis yang mengakumulasi terus menerus
didoktrinkan. Masa depan sebagai masa kesuksesan adalah masa dimana
doktrin-doktrin akumulasi materialitas ini mesti diwujudkan. Dan alatnya adalah
skill.
Bahkan saya pernah membaca year book suatu sekolah, yang di dalamnya salah seorang guru
ekonomi memberikan pesan kepada siswanya yang ingin tamat. Kesan dan pesannya
sederhana, kurang lebih berkata: ada sisi
lain dari persamaan antara ilmu yang engkau pelajari dengan teori ekonomi. Ia
memiliki sifat keabadian yang bisa dipertukarkan. Persamaanya adalah bahwa ilmu
yang engkau pelajari saat ini adalah uang di masa akan datang. Ngeri-negeri
sedaap!
Uang. Uang. Dan uang. Adalah tujuan dan payung dari
segalanya. Untuk mendapatkan apa yang disebut sekolah ini, orang tua mesti
mengeluarkan kocek yang tak sedikit. Karena itu ia relevan dengan materi ajar
yang bahkan diajarkan sejak SD. Yang lahir di era yang sama dengan saya
(90-an), tentu tidak akan asing dengan pepatah ini yang tertulis besar di buku
cetak versi pemerintah; waktu adalah uang!
Iya. Waktu adalah uang. Ketika di SD diajarkan waktu adalah
uang,maka di sekolah menengah, konsepsi itu kembali diperbarui dengan
pengembangan yang sedikit lebih meyakinkan. Pendidikan adalah investasi masa
depan! Begitu slogannya. Ada hukum (doktrin) pasar yang berlaku. Dengan
menggunakan ancaman ‘ketidakberuntungan’ sebagai alat untuk menjinakkan
kesadaran untuk meyakini hal demikian.
Uang dan investasi adalah arus yang menjadi penyangga
sekaligus arah dari kesadaran yang disemai. Kesuksesan yang dijanjikan seperti
tiket surga oleh sekolah tak lain adalah hidup berkalang materi. Menjadi
pegawai kantoran, dokter, polisi, pengusaha, dan profesi-profesi yang secara
elitis bisa mendatangkan fulus yang banyak. Jangan tanya apakah ada anak yang
ingin jadi petani? Itu hampir-hampir terdengar seperti lelucon!
Berpendidikan bukan soal berkepribadian. Bukan pula soal
kualitas kemanusiaan, tapi ini soal pekerjaan, begitulah kira-kira. Rasionalitas-rasionalitas
instrumental seperti ini terus dipupuk. Ilmu adalah alat, alat, dan alat. Pada
titik tertentu ia akan menjadi alat untuk mengeksploitasi apa dan siapa saja.
Dan ironisnya, engkau mesti harus merogoh kocek yang tak
murah untuk mendapatkan hal itu semua!