| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Selasa, 10 Oktober 2017

Orang-Orang Kesepian Berseragam


“Kalian sebenarnya adalah orang-orang kesepian yang menjadikan sekolah sebagai tempat pelarian. Bukan begitu? Karena itu, terlalu sulit untuk berbicara hal-hal serius dihadapan kalian,” begitulah pendeta ilmu berujar sebelum menutup ruang belajar yang ia mampu, disambut tawa dengan berbagai ekspresi oleh muridnya.

Ada yang mungkin menganggap kata-kata itu hanya lelucon menyembunyikan amarah sang pendeta ilmu melihat tingkah laku sang murid. Ada juga yang mungkin merasa baru kali ini mendengar kata yang terlalu puitis untuk ukuran telinga mereka. Sang pendeta ilmu tidak yakin kalau satu kalimat yang ia sampaikan tersebut terpahami. Yang jelas bagi sang pendeta ilmu, lebih baik mengkonversi amarah lewat untaian kata yang lebih bijak ketimbang mengekspresikan begitu saja secara frontal.

Tapi aku melihat dari muka mereka bahwa ia mengamini itu benar. Mereka memang adalah kumpulan orang-orang kesepian yang selalu mencari cara untuk melawan hal itu. Kebisingan adalah hasilnya. Karena itu ada hal dimana sang pendeta ilmu akan meletimasi pengwajaran lalu-lalang kebisingan kelas itu dengan mempersepsi bahwa murid-murid di depannya ini adalah kumpulan orang-orang terpaksa mengikuti autran yang ia tak ingini.  Mereka sebenarnya adalah orang-orang tertindas oleh struktur, lalu larut dalam doktrin-doktrin imajinasi ancaman akan masa depan untuk berdamai dengan kenyataan buruk yang mengikatnya.

Mereka adalah manusia yang telah berhasil dirubah menjadi orang-orangan. Dikontrol dengan mudah lewat apa saja, selama itu terkait dengan nilai yang bagi mereka sangat penting itu. Mereka menghabiskan waktunya dengan basa-basi yang tak penting. Mengerjakan sesuatu yang sama sekali tidak terikat oleh kebutuhan mereka.

Benar-benar, hampir 12 tahun kesadaran mereka dikoyak-koyak oleh sistem yang bernama sekolah, kehilangan unsur kekritisan selain sekadar mengikuti apa yang sudah pakem. Mereka adalah orang-orang yang tak butuh alasan untuk melakukan sesuatu selama itu adalah perintah. Ini benar-benar menyedihkan. Bagaimana mungkin kita menganggap ada tujuan manusiawi yang ingin dicapai oleh sistem demikian?

“Waktu saya sudah habis. Tugas yang kamu kerjakan tadi tak usah dikumpul,” kata sang pendeta ilmu. Sang murid diam, bingung, dalam pikir ia berkata: gila! Capek-capek bikin tak dinilai pulak! Dari ekspresinya nampak kalau ia menuntut alasan, kenapa?

“Menurut kalian tugas demikian itu penting atau tidak?” tanya sang pendeta ilmu.

“Penting pak…. .,” jawabnya.

“Penting untuk apa?” Untuk nilai pak.

“Ada yang menganggap tugas demikian tidak penting?” tanya sang pendeta. Suasana jadi hening. Tak ada yang bersuara. Dari ekspresinya ia takut.

“Kalau begitu menurut saya itu sama sekali tidak penting!”, simpul sang Pendeta memancing. Mereka tampak sumringah mengangguk mengafirmasi sepakat. “Kami sebenarnya berpikir demikian, cuma takut bilang tidak penting,” sanggahnya.

Begitulah basa-basi dilakukan. Para murid yang diklaim seabgai kaum terpelajar tak perlu butuh alasan untuk mengetahui, cukup melakukan. Bagaimana mungkin ada sesuatu yang penting ketika ia menulis ulang sesuatu yang ia pindahkan dari buku paketnya sendiri, tanpa ia tahu apa yang ia tulis? Demi sekadar untuk memenuhi keinginan sang empunya otoritas?

Ada hal yang terasa gila, ketika kita melihat bagaimana mungkin orang bisa menikmati basa-basi yang tidak perlu demikian? Persis seperti gambar di atas. Para murid yang kita sebut pelajar demikian berada dalam lingkaran absurditas seperti itu. Ia adalah kumpulan-kumpulan orang-orang yang menikmati basa-basi dan ketertindasan mereka sendiri demi sebongkah otoritas kecil yang menindih mereka dari atas sembari tersenyum-senyum.

Mereka-mereka yang seperti dikatakan oleh Tan Malaka, adalah pelajar-pelajar inlader yang dicipta laku penakut oleh politik pendidikan kolonial. Penakut bahkan untuk sekdar bertanya sekalipun. Tepat, ketika Tan menyebut pendidikan pendiaman demikian adalah racun bagi kesadaran anak bangsa.

Yang tersisa dari aktivitas yang diklaim belajar demikian hanyalah rutinitas sembari menunggu waktu berlalu, menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja dengan sia-sia. Tak ada yang lebih berguna sekolah bagi mereka selain tempat untuk mengobrol. Hal yang mereka tak dapatkan di luar. Pada titik tertentu mereka adaah orang-orang kesepian yang terselamatkan oleh sekolah, namun juga kembali ditindih oleh budaya pendiaman yang sistematis yang datang dari sekolah itu sendiri.*



Minggu, 08 Oktober 2017

Sekolah? dan Lelucon yang tak Selesai-Selesai

Tulisan ini diawali dengan bertanya. Sekolah? Mungkin banyak diantara kita yang balik bertanya, bukankah ini pertanyaan konyol basa-basi? Kenapa sih mesti mempertanyakan ulang apa itu sekolah? Bukankah definisi sekolah itu sangat sederhana dan sudah jelas? Sebuah gedung dimana anak-anak belajar, di dalamnya ada pengajar yang kita sebut guru? Coba apalagi. Ini tambahin: Ada buku paket, ada meja, ada bangku, ada aturan, ada hukuman, ada otoritas, dan tentu saja ada SPP (nah, ini yang super penting), dan lain sebagainya. Lantas buat apa nanya lagi tentang apa itu sekolah?

Bagi mereka yang memandang sekolah sebagai kenyataan apa adanya, mungkin pertanyaan ini terkesan konyol. Bagaimana tidak konyolnya, siapa yang tak bisa memberi definisi apa itu sekolah? Anak TK aja tahu.

Kalau saja pertanyaan ini adalah pertanyaan ujian, maka jawabannya pun mungkin hanya bisa dijawab dengan hitungan menit. Lantas apa signifikansinya mempertanyakan ini?

Mari kita melihat bagaimana banyak orang mendefiniskan apa itu sekolah. Sekolah adalah:

Suatu bangunan yang dikelilingi pagar runcing. Dijaga sipir semi-militer. Dikontrol oleh polisi moral. Di dalamnya, semua orang yang terlibat dikungkung dalam ruang yang terbatas. Aturan adalah segalanya. Menerima, melaksanaken, adalah normativitas moral yang paling tinggi derajatnya.

Datang pada jam tertentu, istirahat pada jam tertentu, dan pulang pada jam tertentu. Mendengarkan apa saja yang sudah ditentukan, berbicara pada batas yang sudah ditentukan, dasar kebenarannya adalah apa yang telah ditentukan. Semuanya harus berdasarkan ketentuan.

Para anak yang disebut pelajar ini. Mesti datang dengan seragam. Pakaian seragam, sepatu mesti sesuai dengan ketentuan seragam, kaos kaki, bahkan bentuk rambut pun juga mesti seragam, gaya salam harus seragam. Bahkan konon, isi kepala pun kalau bisa juga harus seragam.

Dengan keseragaman itu, tanpa memandang umur, mereka mesti berbaris seperti unggas di pematang sawah. Kuku, rambut, baju, kaos kaki, ikat pinggang semua diperiksa.  Sebelum masuk kandang tempat apa yang diklaim sebagai ruang belajar. Setelah itu duduk dengan sigap bak tentara. Mata tak boleh berkedip, kentut tak boleh bunyi, eh.. .Tak ada yang mesti luput intinya.

Inilah tempat dimana semua orang melihatnya sebagai tempat suci. Tempat pencucian diri untuk memenangkan apa yang disebut masa depan dan cita-cita. Sekolah. Sekolah. Sekolah. Sudah seperti mantra masa depan yang menjanjikan untuk bisa menjadi apapun.

Kadang-kadang orang juga mempersepsinya sebagai bengkel. Tempat untuk memperbaiki kerusakan. Anak-anak masuk dipersepsi sebagai orang rusak yang mesti diperbaiki. Anak-anak yang tanpa aktivitas (nganggur), nakal, pemberontak dimasukkan. Ini seperti kamp, tempat untuk menghukum anak-anak seperti itu.

Disini pula kita akan melihat banyak keanehan. Seorang anak bisa menghafal berlembar-lembar susunan kata-kata seperti burung beo. Melafalkan dan melafaskan apapun untuk nantinya dilupakan begitu saja.

Anda harus bisa segalanya. Menjadi manusia super adalah tujuannya. Anda tidak boleh hanya harus bisa berhitung cepat tangkas dan tepat, tapi juga berbahasa dengan banyak bahasa, berkesenian dengan banyak kesenian, punya kemampuan atlit yang bagus dari melempar bola hingga melempar apa saja. Punya kemampuan teknologi yang bagus, punya kepercayaan kepada Tuhan yang mantap, memiliki pengetahuan undang-undang dan nasionalisme yang tinggi, dan semuanya.  Dan juga harus punya kemapuan sastra level Nuruddin Pituin. Singkatnya, Anda harus bisa segalanya!

Tiap hari Anda harus datang ke sekolah mendengar omelan yang disebut ceramah. Lalu mengerjakan tugas. Pulang pun bahkan mesti mengerjakan pekerjaan yang sama. Dengan jumlah jenis pekerjaan yang sangat banyak itu. Target-target adalah segalanya. Mencapai angka yang telah ditetapkan sekolah dan pemerintah adalah keharusan sebab kalau tidak, siap-siap anda akan dicongkel posisinya begitu saja; dipaksa hengkang sebagai produk gagal.

Angka? Inilah yang paling sakral. Nasib Anda ada dalam hitungan angka-angka ini. Bahkan bukan hanya bahwa pengetahuan mesti diukur dengan angka, bahkan sikap Anda, bahkan yang lebih ekstrim lagi, adalah tingkat kedekatan Anda dengan Tuhan dan hal-hal abstrak lainnya akan diukur dengan angka-angka ini. Angka ini sungguh ajaib!

Angka adalah ancaman sekaligus iming-iming. Ia seperti racun dan permen. Karena angka ini, para pelajar tak perlu belajar untuk mencintai aktivitas belajar dan membaca. Membaca atau lebih tepatnya lebih penting; menghafal demi angka.

Seolah ingin berkata, buanglah semua buku novel yang tak ada hubungannya dengan nilai mata pelajaranmu! Bahkan tidak sedikit memang sekolah memberlakukan ini, dengan cara-cara sweeping buku-buku yang tak terkait dengan buku sekolah.

Angka adalah segalanya, ia adalah simbol prestasi. Tak peduli bagaimana cara Anda belajar. Yang jelas target pencapaian angka mesti teraih. Dan ketika angka ini yang menjadi tujuan telah tercapai, maka dengan sendirinya semuanya telah selesai dan beres. Di setiap selesai ujian seperti ujian semester atau ujian kenaikan kelas, Anda akan mudah melihat bagaimana buku-buku paket siswa itu berceceran dimana saja, lebih tepatnya ia buang. Alasannya sederhana, untuk apa lagi buku? Bukankah ujian telah usai. Angka itu sudah muncul. Untuk apa lagi buku?

Ketika pemerintah selalu berkampanye mendorong “Ayo Membaca”, mereka hampir tak melihat kenyataan seperti ini, sebagai ekses dari kebijakan pendidikan yang tak karuan yang ia buat.

Apa yang tersisa selain lahirnya produk sekolah dengan kepribadian angka seperti ini. Seorang yang terbentuk dengan kepribadian yang fetisisme terhadap angka. Suatu jenis ketergila-gilaan terhadap angka dan selembar kertas pengakuan.

Suatu lembar pengakuan yang di dalamnya tersusun banyak angka secara akumulasi. Mendapat lembaran kertas pengakuan ini adalah segala-galanya. Bahkan saya berpikir, tanpa lembaran-lembar kertas pengakuan ini, maka tempat/lembaga ini sama sekali tidak ada artinya lagi bagi penghuninya.

Setiap tahun ada semacam ritual pengukuhan akan kesakralan kertas pengakuan ini. Dari fase yang kita sebut ujian dengan berbagai macam banyaknya itu, hingga kepersoalan-persoalan penilaian akan standarisasi apa yang disebut moralitas. Mereka yang bisa melewati tangga-tangga ini, dengan sendirinya dikukuhkan secara simbol pengakuan-pengakuan dalam bentuk kertas pengakuan. Anda dianggap telah berhasil! Lulus!

Kertas pengkauan ini sangat sakral. Sekolah berhasil memahamkan bahwa tanpa selembar kertas pengakuan ini, maka masa depanmu akan kelam. Engkau takkan bisa berarti apapun tanpa selembar kertas ini. Apalagi di era dimana manusia hidup dalam ring kompetisi yang sangat ekstrim ini, katanya.

Orang-orang yang kita sebut siswa itu benar-benar melongo hampir-hampir tak berkedip ketika mendengarkan ancaman-ancaman seperti itu. Bagi mereka ini seperti wahyu, seperti petunjuk-petunjuk langit untuk benar-benar serius. Mengikuti segala perintah dan larangan sekolah dengan penuh kekhusukan.

Sekolah berhasil membentuk image, bahwa mereka-mereka yang melanggar adalah mereka-mereka yang nakal. Nakal (meski banyak akal) adalah suatu gambaran dari semiotika masa depan yang kelam. Ada neraka kehidupan yang menanti bagi para pelanggar, pembangkang, dan tentu saja juga berlaku bagi mereka yang tidak memiliki kecerdasan yang layak. Tugas Anda adalah mengikuti segala perintah. Cukup mengikuti. Maka dengan sendirinya nasib terbaik akan mengiringi kalian. Begitulah kurang lebih, entah bisa disebut doa ataupun sekadar ancaman berbalut halusinasi. Entahlah..

Sekolah adalah panggung ring. Dimana anak adalah pemain sedangkan guru adalah wasit/tim penilai. Ada pertarungan, ada kompetisi, karena itu mesti ada yang menang, ada yang kalah.

Yang menang akan diranking (kadang-kadang di ranking sembunyi-sembunyi) dalam suatu peringkat dari atas hingga terbawah. Mereka yang tidak beruntung, yang menempati posisi terbawah siap-siap akan dipantau. Salah-salah bisa drop out bisa pula tinggal kelas.

Dan celakanya, standarisasi yang dipakai untuk melakukan perankingan ini sangat sempit. Umumnya menggunakan indikator yang hampir tunggal. Anda yang hanya mengandalkan bakat musik hampir-hampir tidak akan bisa masuk dalam rangking yang tinggi. Umumnya mereka yang menempati posisi teratas diukur dengan satu ukuran dominan; sains. Yang disempitkan pada angka-angka yang tertera di lembar-lembar ujian.

Selama rentang waktu yang lama, bisa hingga 12 tahun Anda akan hidup dalam suasana ini; kompetisi. Dengan jam belajar yang panjang setiap harinya. Tidak kalah lama dari jam kerja para pekerja pabrik. Konon dalam kondisi inilah, apa yang disebut skill, kognitif, kepribadian Anda akan dibentuk. Demi masa depan Anda yang super lebih baik! Suatu  janji yang melebihi janji surga memang!

Sekolah seolah ingin berkata; penuhilah dirimu dengan skill. Berkompetisilah karena skill. Tak ada masa depan bagi mereka yang tak memiliki skill. Persaingan di luar semakin tinggi, satu-satunya alat untuk bertahan adalah skill. Skill adalah segalanya, tak peduli apakah Anda ingin bekerjasama atau tidak.

Inilah sekolah. Dimana di dalam ruang dan waktu yang berbeda, etika moralitas diperdengarkan sedang di ruang yang lain, potensialitas diri sebagai hewan pragmatis yang mengakumulasi terus menerus didoktrinkan. Masa depan sebagai masa kesuksesan adalah masa dimana doktrin-doktrin akumulasi materialitas ini mesti diwujudkan. Dan alatnya adalah skill.

Bahkan saya pernah membaca year book suatu sekolah, yang di dalamnya salah seorang guru ekonomi memberikan pesan kepada siswanya yang ingin tamat. Kesan dan pesannya sederhana, kurang lebih berkata: ada sisi lain dari persamaan antara ilmu yang engkau pelajari dengan teori ekonomi. Ia memiliki sifat keabadian yang bisa dipertukarkan. Persamaanya adalah bahwa ilmu yang engkau pelajari saat ini adalah uang di masa akan datang. Ngeri-negeri sedaap!

Uang. Uang. Dan uang. Adalah tujuan dan payung dari segalanya. Untuk mendapatkan apa yang disebut sekolah ini, orang tua mesti mengeluarkan kocek yang tak sedikit. Karena itu ia relevan dengan materi ajar yang bahkan diajarkan sejak SD. Yang lahir di era yang sama dengan saya (90-an), tentu tidak akan asing dengan pepatah ini yang tertulis besar di buku cetak versi pemerintah; waktu adalah uang!

Iya. Waktu adalah uang. Ketika di SD diajarkan waktu adalah uang,maka di sekolah menengah, konsepsi itu kembali diperbarui dengan pengembangan yang sedikit lebih meyakinkan. Pendidikan adalah investasi masa depan! Begitu slogannya. Ada hukum (doktrin) pasar yang berlaku. Dengan menggunakan ancaman ‘ketidakberuntungan’ sebagai alat untuk menjinakkan kesadaran untuk meyakini hal demikian.

Uang dan investasi adalah arus yang menjadi penyangga sekaligus arah dari kesadaran yang disemai. Kesuksesan yang dijanjikan seperti tiket surga oleh sekolah tak lain adalah hidup berkalang materi. Menjadi pegawai kantoran, dokter, polisi, pengusaha, dan profesi-profesi yang secara elitis bisa mendatangkan fulus yang banyak. Jangan tanya apakah ada anak yang ingin jadi petani? Itu hampir-hampir terdengar seperti lelucon!

Berpendidikan bukan soal berkepribadian. Bukan pula soal kualitas kemanusiaan, tapi ini soal pekerjaan, begitulah kira-kira. Rasionalitas-rasionalitas instrumental seperti ini terus dipupuk. Ilmu adalah alat, alat, dan alat. Pada titik tertentu ia akan menjadi alat untuk mengeksploitasi apa dan siapa saja.

Dan ironisnya, engkau mesti harus merogoh kocek yang tak murah untuk mendapatkan hal itu semua! 

Rabu, 04 Oktober 2017

"DO"



Matanya berkaca-kaca. Saya melihat persis. “Ingin rasanya menangis, sedih, kecewa, dan marah, semua bercampur,” keluhnya padaku sebelum benar-benar menghilang. Saat ia mengatakan hal itu kepadaku, ia terlihat begitu berat untuk menahan agar ia tak menangis. Bukan karena hadiah surat DO yang tiba-tiba datang seperti kabar buruk langit tentang akhir ia mengenakan pakaian yang lebih sepuluh tahu ia kenakan sejak masih kanak-kanak. bukan. Hanya saja pikirannya tak mampu membendung, nuraninya tersentak mengingat ibunya yang lagi berduka akan kepulangan keluarga dekatnya yang cintai, ditimpali lagi dengan kabar buruk darinya sebagai anak bungsu yang dirudah paksa dari tempat ia menuntut ilmu bertahun-tahun. Lebih mengoyaknya lagi, bahwa ia ditimpali kenyataan itu untuk alasan sepele. Tanpa diberi hak untuk membela diri. Apalagi ujian akhir yang ia tunggu tinggal hitungan bulan pun. Sungguh terlalu rasanya, menyaksikan  kekuasaan, selalu datang di saat yang tidak dibutuhkan, namun kadang lalai di saat-saat genting.

“Tak bisakah kita semua bertahan atas amarah sedikitpun?” Tanyaku dalam hati. Mengingat bahwa di saat waktu keterbebasan mereka yang ia tunggu-tunggu yang tak lama lagipun akan datang jua. Saat itu tiba, entah kita atau siapapun yang menagis darah untuk menahannya pun takkan lagi bermakna apa-apa. Ia tetap akan pergi. Ya pergi, pergi untuk selamanya. Tak bisakah kita sedikit menunggu sedikit saja, waktu itu tiba? Saat dimana lambang seragam ia pakai lebih sepuluh tahun pun ia akan lepaskan untuk selamanya dalam keadaan sebagai orang yang berhasil dalam berjuang? Sekarang, berpuluh tahun ia habiskan usianya dalam sangkar itu, akhirnya harus dipaksa pergi sebelum waktunya, sembari membawa kenangan buruk;  satu hari mengubur sepuluh tahun kenangan, yang tersisa hanya rasa pahit dan beban kekecewaan yang menumpuk datang tiba-tiba.

Saya tak bisa berpikir, bagaimana lembaga yang disucikan secara moral bisa menimpali beban berat yang begitu besar kepada orang lemah. Psikologi sebagai orang terbuang, itu menyakitkan. Persis ketika Chairil menyebut hal demikian sebagai binatang jalang yang terbuang, dalam konteks ini lebih tepat menyebtunya binatang jalang yang dibuang dari kumpulannya dengan cara-cara paksaan. Mereka yang terbuang adalah mereka yang menanggung keburaman jalan dalam godaan kekandasan. Surat sakti itu tidak hanya menggerogoti sang korban, bahkan ikut menjadi racun bagi keluarga sendiri untuk berpikir sama. Mengafirmasi bahwa seolah tidak ada tempat yang layak diberikan pada orang yang dituduh “nakal, bodoh, amoralis” di dunia ini?

Saya melihat, bahwa pelajaran agama, kebijaksanaan, pancasila, demokrasi, dan segala rasionalitas dan nurani pengetahuan benar-benar tidak bermakna apa-apa. Apa arti berpuluh tahun mendengarkan cermah langit tentang pengetahuan dan wejangan moralitas? Ketika kekritisan untuk bertanya dibungkam lalu dituduh subversif atas nama moralitas, sembari menimpakan segala dosa kepada mereka yang kita akui sebagai “anak didik sendiri”? Sembari mengafirmasi diri untuk cuci tangan sebagai orang suci yang memiliki hak tunggal legitimasi untuk menghakimi dan menghukum? Tapi memang aku akui, bahwa sudah menjadi tabiat manusia yang selalu menuntut ketimbang melakukan. Manusia punya kecenderungan naluri menuntut akan kebajikan, kearifan orang lain, namun sulit untuk mengafirmasi ke diri untuk melakukan serupa. Itulah kenyataannya.

Inilah saat-saat dimana apa yang paling menakutkan itu datang. Yakni bercampurnya antara amarah, kekuasaan, otoritas, bersekutu dalam ruang-ruang ketika demokrasi untuk berpendapat kehilangan ruang. Itu menakutkan kawan. Ia tidak hanya mewakili gambaran dimana lidah orang berbicara dipotong dengan pisau kekuasaan, lebih dari itu, ruang untuk berbicara itu memang hilang lebih tepatnya dihilangkan. Kita semua patut menangisi hal demikian. Aku berkali-kali menemukan banyak situasi demikian di masyarakat bahkan sudah mual dengan demikian. Ketika demokrasi, kebajikan, dikoyak-koyak oleh otoritas yang berdiri dalam penafsiran subjektif atas kebenaran. Ironisnya bahwa kondisi demikian selalu menuntut adanya korban. Ada tangis dan derita bahkan mungkin titipan rasa benci yang kita tanam kepada korban. Dan kita semua ditempat dimana ilmu pengetahuan dan moralitas disembah, telah melakukan praktik demikian. Saya tak ingin mengatakan kalau kita telah ikut meneruskan dan mewariskan cara berpikir demikian kepada banyak anak. Lewat sistem yang kita bangun, kita telah ikut menanggung dosa sosial sejak dalam pikiran!

Rest in peace. Damailah dalam ketiadaan. Engkau beruntung telah menyadari hal penting dalam hidup mendahului banyak orang sezamanmu. Aku menulis ini sebagai bentuk pengakuan dosa sebagai orang lemah yang tidak bisa berbuat banyak. Kata-kata adalah perlawanan terakhir orang-orang lemah seperti kita. Nyo, engkau telah berjuang, sehormat-hormatnya!

x

Jumat, 16 Juni 2017

Sekolah untuk Siapa?

Edisi Re-post* sumber: https://news.detik.com/kolom/d-3536580/sekolah-untuk-siapa 
Para pelajar bersiap eskul di salah satu sekolah di Batam

Kemendikbud telah mengeluarkan Permendikbud  No. 23 Tahun 2017 di tengah pro-kontra yang tak usai. Peraturan yang nantinya mengatur secara teknis pelaksanaan sekolah 5 hari/sekolah 8 jam sehari atau lazim kita kenal Full Day School (FDS). Sampai sebelum peraturan ini dilaksanakan tuntutan agar penolakan FDS ini masih belum usai, bahkan semakin menggelinding. Penolakan datang tidak hanya dari kota-kota besar, tapi juga dari masyarakat di banyak daerah.

Kita tentu saja tidak ingin melihat praktik otoriter dan bebal anti-aspirasi ditunjukkan oleh Menteri Pendidikan kita. Mengingat (dalam pengamatan saya), jumlah penolakan terhadap ide ini (FDS) jauh lebih banyak ketimbang mereka yang bersepakat. Sebagai Menteri Pendidikan sungguh tak elegan kelihatan ketika sikap anti-demokrasi justru ingin diperlihatkan aparat institusi pendidikan, dengan mengabaikan suara (khendak) masyarakat?

Dialog?
Hampir di setiap perkara kebijakan publik, para pemangku kebijakan selalu mengulang kebiasaan buruk yang sama yang selalu menjadi sumber persoalan nantinya, yakni dilahirkannya kebijakan publik tanpa dilalui dialog terlebih dahulu, tak terkecuali terhadap ide FDS ini. Padahal esensi dari setiap kebijakan yang terpaut dengan publik, semestinya harus melibatkan publik itu sendiri untuk ikut menentukan apa yang baik dan apa yang tidak mesti dilakukan. Bukan justru mengandalkan imajinasi satu orang yang dijadikan satu-satunya sumber keputusan untuk melahirkan kebijakan publik yang mesti dipaksakan kepada publik.

Melihat rentang histori ide FDS ini, kita melihat hal itu. Hanya menjelang beberapa hari setelah pelantikan menteri baru (hasil resuffle), tanpa ada proses dialog terlebih dahulu, kita justru sudah disodorkan dengan ide ini, Full Day School. Seolah-olah terkesan bahwa ide ini adalah produk instan dari ketiadaan kesiapan yang memadai. Yang penting baru, dengan prinisip “menteri baru kebijakan baru”, agar terlihat berbeda. Yang akhirnya, mengabaikan hal-hal substansial. Dibanding dengan FDS, saya rasa ada banyak persoalan pendidikan lain saat ini yang menuntut reformasi kebijakan pendidikan yang mestinya diprioritaskan.

Pangkal dari ketidakdalaman asumsi atau pemahaman terhadap apa yang mesti diprioritaskan sebenarnya berpangkal pada keengganan pemangku kebijakan untuk memulai proses perumusan kebijakan publik dengan dialog. Pengabaian keberadaan masyarakat, hingga mengabaikan khendak siswa yang seharusnya menjadi pihak utama yang berkepentingan terhadap kebijakan pendidikan ini. Kepada Freire kita boleh belajar. Salah seorang aktivis pendidikan Brazil yang pada saat diangkat menjadi Sekertaris Pendidikan Nasional Brazil (1986). Apa yang dilakukan pertama kali Freire ketika kekuasaan itu berada di tangannya? Dialog! Dialog sebagai awal mula untuk merumuskan kebijakan publik.

Ia berkeliling bukan sekadar datang secara ceremony untuk menggunting pita-pita acara lalu pergi. Tidak. Tidak pula ia datang sebagai supervisi, datang untuk menunjukkan kesalahan lalu menunjukkan di publik untuk mencari popularitas. Ia (Freire) datang sebagai seorang peneliti untuk berdialog, berdiskusi, serta ingin memahami sudut pandang masyarakatnya tentang pendidikan, yang nantinya ia serap dalam bentuk kebijakan.

Menariknya, subjek yang ia ajak berdialog oleh Freire, di tingkat internal bukan hanya pengawas sekolah, kepala sekolah, orang tua murid, bahkan siswa hingga petugas-petugas kantin dan kebersihan pun diajak berdialog. Di tingkat eksternal pun demikian, Freire sangat memprioritaskan berdialog dengan gerakan-gerakan akar rumput di setiap daerah yang bergerak di bidang pendidikan untuk memahami ide-ide mereka tentang bagaimana persoalan pendidikan dan model-model pendidikan yang ideal dari sudut pandang aktivis.  Melibatkan publik dalam merumuskan gagasan adalah kuncinya. Kalau saja sebelum ditelurkannya kebijakan sekolah 5 hari ini dilakukan dialog, saya yakin kekisruhan ini tidak bakal terjadi. Bahkan mungkin sebaliknya, pemangku kebijakan bisa menemukan prioritas persoalan-persoalan fundamental yang mendesak mesti diselesaikan di tingkat persekolahan.

Untuk siapa?
Kita masih berharap agar rencana kebijakan ini sebaiknya dipertimbangkan ulang untuk diterapkan dengan memperhatikan secara cermat aspirasi dan kritik-kritik yang lahir dari kalangan publik. Ada kesan yang sangat kuat bahwa ide FDS ini sangat mengabaikan kepentingan siswa. Tampak bahwa yang paling dirugikan dari kebijakan ini adalah siswa.

Sejak awal ide ini diperkenalkan, alasan yang dijadikan back up argumen hanya berkutat pada alasan orang tua (pekerja kantoran) sedang bekerja. Karena itu FDS praktis bisa menjadikan juga sekolah sebagai tempat pentipan anak sementara hingga orang tua yang segmennya pekerja kantoran itu pulang kerja. Begitupun alasan lain, yang kemudian diutarakan menjelang dikeluarkannya aturan tersebut adalah alasan dari sudut pandang keberadaan guru. Sekolah 5 hari ini yang sebenarnya ingin menyasar guru-guru yang sudah bersertifikasi/yang mendapat tunjangan profesi agar lebih lama melakukan pengajaran di sekolah, dengan menetapkan batas minimal mengajar dalam seminggu sebanyak 40 jam.

Tentu saja alasan-alasan ini benar-benar menegaskan bahwa kebijakan ini tidak digagas dari sudut pandang kepentingan siswa. Tapi justru hanya mentok pada kepentingan pemerintah yang diframing dari sudut pandang kepentingan guru dan orang tua. Dan disinilah persoalan utamanya, pengabaian kepentingan siswa dalam konteks ini adalah bentuk cacat pikir yang paling dasar dari sebuah kebijakan publik. Sebab praktis kita paham bahwa siswalah yang menjadi stakeholders paling sentral dalam dunia persekolahan. Merekalah yang paling utama dan pertama yang akan merasakan dampak dari kebijakan persekolahan.

Dengan kecakapan pedagogi guru kita yang masih rendah hingga saat ini, di tengah jam panjang sekolah yang terlalu lama, apa yang dihasilkan dari kenyataan ini? Alih-alih ingin menghasilkan lulusan yang penuh keajaiban, paling dekat adalah depresi dan stress yang menghantui siswa. Memang dikatakan bahwa waktu yang ada tidak mesti dihabiskan dalam ruang kelas, namun bisa dalam bentuk ekstrakurikuler. Tetap saja bahwa ekstrakurikuler maupun intrakurikuler tidak bisa dipisahkan dari kecakapan pedagogis itu sendiri. Pertanyaan sudahkah kita memiliki kecakapan pedagogi yang membebaskan itu di kalangan guru?


Ada banyak hal yang dibentur dari kebijakan ini dari meningkatnya rentan beban kerja guru yang nantinya juga berpengaruh pada anak, hingga direnggutnya waktu bermain anak dengan lingkungannya (khususnya untuk anak bukan dari kalangan pekerja kantoran). Praktis bahwa kebijakan ini hanya akan berakhir pada anak yang akan menjadi korban kebijakan pendidikan yang tak berpihak pada mereka. Lantas sekolah sebenarnya untuk siapa?


-Muhammad Ruslan-


*untuk tujuan arsip dan pendidikan

Jumat, 28 April 2017

PUISI API




puisiku bukan tentang keindahan tata bahasa
puisiku berbicara tentang ketajaman bahasa

puisiku adalah api yang meletuh-letup membakar apa saja
puisiku adalah anak panah yang lurus menghantam siapa saja yang bimbang untuk bertanya

puisiku bukan tentang kisah romeo dan juliet
puisiku adalh tentang tragedi yang menyayat

tentang kabar-kabar buruk yang menganggu pikiran orang banyak
puisiku tidak bertutur tentang burung-burung gereja yang hinggap di ranting pohon dengan mengibas-ngibaskan sayapnya
puisiku adalah elang yang terbang bebas dalam kata-kata anti sangkar kemapanan

sebab puisiku bukan syair yang berbicara tentang bintang-bintang
puisiku adalah sajak yang bertutur tentang kegelapan malam

puisiku adalah nyanyian bimbang orang-orang yang diam
bukan sekadar bisik-bisik kasak-kusuk tak beraturan orang-orang lupa

puisiku bukan jawaban yang tersusun dalam kata-kata yang indah
puisiku adalah kata-kata yang berdesak-desakan dalam gugatan-gugatan

puisiku adalah sajak tentang bumi
ia tidak berbicara tentang langit
puisiku bertutur tentang manusia
ia tidak bertutur tentang tuhan

di bawah terik di atas padang yang gersang puisiku lahir
ia tumbuh bersama fragmen-fragmen kerisauan

karena itu puisiku tidak bisa ditahan-tahan
ia akan terus berbaris di atas kata-kata yang tak mengenal tanda titik

kebenaran, kenyataan, penindasan, ketidakadilan, dan keputusaaan
puisiku adalah rentetan lingkar-lingkar kata-kata itu!

-----------



Senin, 10 April 2017

Kepergian Para Burung Rantau

sumber gambar: http://werdi-iir.blogspot.co.id
PAGI tadi ada yang berbeda. Sekawanan burung yang biasanya bertengger dan berikcau di ranting pohon ini, sudah tak ada. Aku hampir lupa, tentang kemarin.

Kemarin. Aku menyaksikan. Sekawanan burung itu telah terbang pergi. Ia sudah berlepas dari sangkar suci yang mengungkungnya selama ini. Ada senyum kebebasan yang terpancar. Rasa terbebas dari sangkar yang sudah lama dinanti-nantikannya selama ini.

Tapi, tunggu…

Aku melihat ada satu-dua pasang air mata yang menetes. Ada jejak kesedihan yang tersisa bercampur ketakutan menanti.

Kesedihan dan ketakutan pada mereka yang paham. Bahwa hidup adalah sangkar. Manusia berlepas dari sangkar satu ke sangkar yang lainnya. Suatu sangkar yang bernama kehidupan. Yang di dalamnya ada kesedihan yang terselip dari proses mencari kebahagiaan.

Kemarin. Burung-burung itu telah berkumpul merayakan kepergiaannya. Berpencar untuk melanjutkan perjalanan masing-masing. Perjalanan tentang pencarian garis kehidupan masa depan. Siapa dan kemana mesti berlabuh dan bertengger untuk kehidupan yang baru..

Mereka-mereka yang tak terkecuali, adalah burung-burung yang diistilahkan sebagai burung rantau oleh Romo Mangun. Mereka yang lahir untuk pergi selamanya.

Beberapa di antaranya mengabadikan kenangan. Suatu kenangan akan ingatan masa lalu yang dikemas rapi. Jawaban saat-saat tiba masanya ketika kesadaran membuat dirinya kembali jatuh cinta pada masa lalunya.

Suatu jedah sebeum tiba suatu waktu di masa akan datang. Ketika masing-masing dari mereka akan menyadari. Bahwa semuanya telah berubah.

Semuanya telah berganti dengan rasa canggung. Semuanya sudah membisu. Ada jarak yang merentang lebar yang siap memisahkan semuanya.

Saat itu tiba. Benarlah kata CA,  “Nasib adalah kesunyiaan masing-masing”.


Selasa, 21 Maret 2017

RINE


MATANYA terlampau sayu, namun tajam. Gerak-geriknya terlampau sedikit, hampir-hampir datar. Di mata manusia kebanyakan, ia biasa-biasa saja, bahkan-bahkan tak masuk hitungan jari. Manusia-manusia yang dalam sekejap waktu dengan mudahnya menguap dalam ingatan dan kenangan orang kebanyakan.

Untuk ukuran gestur pun demikian. Gestur muka yang hampir-hampir menyamai manusia kebanyakan. Dengan struktur muka yang agak melonjong, dengan kulit kekuning-kunigan. Ia ketika ditempatkan di tempat kerumunan. Butuh berkali-kali untuk melihatnya, untuk baru kemudian orang akan mengingat bahwa ia pernah bertemu dengan dirinya. Memori manusia kebanyakan tak cukup untuk mengingatnya hanya dengan melihatnya sekejap, karena lagi-lagi tak ada sesuatu yang berbeda dari dirinya dari manusia kebanyakan.

Tak ada sesuatu yang menonjol dari dirinya. Pun secara pengetahuan pun demikian. “Rata-rata”, kata orang. Tak berlebih tak pula terlihat berkekurangan. Ya. Mereka tipe-tipe yang tak lama bertahan dalam kenangan orang-orang. Eksistensi hidupnya berada dalam himpitan antara ada dan tiada. Keberadaan dan ketiadaannya tidak mengubah apapun dalam ingatan orang-orang. Ia seperti air dan angin. Mengalir dan berhembus begitu saja.

Tapi, untuk orang aneh demikian---meminjam peyorasi Camus. Bagi manusia-manusia bermata aneh. Ia menarik. ada yang unik sekaligus aneh dari dirinya. Ada potensi terpendam. Sejenis kompleksitas pikir dan pengalaman hidup yang terasa ia pahami dari kehidupannya.

Dari tatapannya ia terlihat berhati-hati, meresapi, dan memahami sudut-sudut pengalaman yang ia lalui. Suatu pengalaman-pengalaman hidup yang diabaikan orang kebanyakan, namun ia tidak. Cara ia merangkul dan mendalami secara dalam akan fenomena-fenomena hidup di sekelilingnya, menjadi menarik. Ia untuk ukuran-ukuran itu selangkah bahkan dua langkah lebih maju ketimbang orang kebanyakan. Karena itu pula ia kadang-kadang terlihat aneh, namun tak teridentifikasi bagi orang kebanyakan.

Lihat.. Cara ia memandang orang lain. Cara ia memandang persoalan. Cara ia mendengar. Cara ia menangkap sesuatu. Dan cara ia bertindak di hadapan orang lain. Tampak kalem begitu saja. Praktis bagi orang kebanyakan, itu biasa-biasa saja. Dan memang benar, tak ada ukuran sensorik yang mampu mendiagnosa keunikan itu. Kecuali untuk ukuran-ukuran dengan sudut pandang yang khusus.

Cara ia memandang sesuatu. Hampir-hampir menembus ketebalan atmosfer paling tebal sekalipun. Kalau manusia kebanyakan rata-rata hanya mampu menembus tirai dengan ketebalan 1 cm, maka ia bisa menembus 3 hingga 4 cm. Ia mememendam potensi humanisme yang menarik. Hanya saja, tembok-tembok sekolah yang terlampau mengkilat menyilaukan potensi-potensi itu. Tembok itu tak mampu memantul-aktualkan potensi itu. Ia hanya bisa terpendam, membeku bersama dinginya pendingin ruangan, hanyut dalam lampu-lampu kepalsuan ruang-ruang suci pengetahuan. Bersama dengan ketulian khotbah-khortbah minggu yang tidak waras.

Beberapa kali suara-suara sumbang itu meluncur. Namun justru berkali-kali pula suara-suara itu membungkamkan diri sendirinya, saat suara nyaring otoritas menghalau segala bentuk suara-suara yang ada dengan labelisasi bak kebisingan-kebisingan subversif. Ia diam. Berdiam diri, seperti manusia yang bersemedi di tengah himpitan kebisingan yang tak beraturan. Mata boleh menyorot ke depan tak berkedip, tapi siapakah yang mampu menghalau imajinasi yang bernak-pinak bebas tak karuan kemana-mana?

Ya. Namanya Rine. Salah satu di antara spesies-spesies yang langka itu. Ia katakan saja seperti badak bercula satu yang keberadaannya hampir-hampir punah. Ia duduk tepat di bangku tengah-tengah dua orang kawan yang menghimpitnya. Dua himpitan manusia dengan kepribadian yang tidak kalah aneh dari dirinya.

Di samping kiri ia diapit seorang yang terlampau datar bahkan hampir-hampir tak ada ekspresi lain selain itu-itu saja. Orang ini saking anehnya. Sedih dan bahagia sama-sama memancarkan ekpsresi yang sama; datar! Sedatar kotak asbak rokok yang sudah penuh dengan abu. Nyaris tanpa ekspresi!

Seorang lagi, seorang penganut nihilisme tingkat dewa. Tak ada semangat apa-apa, selain memancarkan wajah absurdisme hidup yang penuh kesedihan, frustasi, dengan segenap simbol-simbol rasa putus asa lainnya. Suatu pancaran ekspresi dari wajah-wajah manusia-manusia yang sakit akibat rindu tak tertara kepada bantal guling dan kasur yang tak tertara.

Bagi manusia penganut nihilisme tingkat dewa ini, mendengarkan ceramah yang diklaim sebagai belajar itu, dalam benaknya tak lain dan tak bukan dari semacam pihak ketiga yang merampas ia dengan bantal guling! Ini baginya sejenis bentuk penindasan yang paling kejam! Sebab ia percaya bahwa hanya kepada tidurlah manusia benar-benar bebas. Mereka-mereka yang merampas tidur adalah mereka-mereka yang merampas kebebasan!

Kembali ke Rine. Anda boleh bayangkan. Seonggok manusia seperti Rine, mampu berkawan dengan dua orang sebelumnyakan? Dua serpihan orang-orang aneh sebelumnya, hanya mampu diterima keberadaannya kepada orang-orang yang mampu mendamaikan keanehan-keanehan itu. Dan dia adalah Rine.

Dalam satu kesempatan. Ia, Rine, pernah berucap dalam teriakan suara yang tersendat-sendat. Inilah waktu ketika ia tidak lagi dipandang sekadar sebagai air dan angin oleh sekitarnya, melainkan seperti api. Seperti api yang membakar ketulian dan kebutaan manusia waras. Namun tak kunjung orang memahaminya. Ia pernah berteriak dihadapan tembok, ketika suasana sunyi sepi tak seorang pun di sekelilingnya terlihat. Ia berteriak dengan keras sekali;

“Kepada masa depan atau masa silam, kepada suatu masa ketika pikiran benar-benar bebas. Kepada masa ketika belenggu telah dihancurkan. Ketika tembok-tembok otoritas pengetahuan diruntuhkan. Ketika manusia yang tak dianggap bangkit berdiri dan mengayuhkan tuntutan. Ketika orang-orang aneh memberontak merebut takhta dan kekuasaan. Ketika mereka yang yang diabaikan menggenggam batu. Ya.. kepada masa dimana kebenaran dipangku dengan keringat dan rasa mual yang tak tertahan. Kepada masa dimana manusia-manusia seperti kami yang diperkakukan seperti sampar, berteriak; hancurkan otority, bangun egalitarinisme, liberty dan humanitary----inilah masa yang dijanjikan kepada orang-orang sampar, ketika pengetahuan benar-benar menjadi ruang-ruang suci yang memakzulkan penindasan dan kepalsuan. Suatu zaman yang melampaui dari zaman kesepian!!!!”


Waktu hening. Keramaian tiba-tiba berhenti. Beberapa saling pandang mencari arah suara bersumber. Dua orang petugas keamanan, menerobos masuk. Rine dibekuk. Atas dugaan; SAKIT (jiwa)!?***




[Muhammad Ruslan]

Rabu, 01 Maret 2017

Education, It Test Our Memory not Intelligence


DALAM sistem pendidikan seperti foto di atas, pendidikan sekadar menjadi sarana melatih ingatan. Ingatan ditempatkan sebagai bentuk tertinggi dari pencapaian intelektualitas. Bukan pemahaman, apalagi untuk memahami bahwa pendidikan sebagai alat untuk mencipta pengetahuan.
Para pelajar hanya 'diwajibkan' untuk mengingat. Melakukan aktivitas pengulangan-pengulangan dari apa yang dikatakan orang lain sebagai sesuatu yang benar. Mereka (para pelajar) seperti apa yg dikatakan Neil Postman, hampir tidak pernah diminta melakukan apa yang disebut pembedahan intelektual (intelectual operation).

Tak ada penglibatan subjektif dari diri pelajar untuk melakukan pengamatan-pengamatan atau merumuskan definisi-definisi tersendiri terhadap realitas. Selain menerima segala sesuatunya sebagai sesuatu yang terberi (given).
Mereka (para pelajar) diharamkan untuk mempertanyakan hal-hal penting dan mendasar dari proses kehidupan dan belajar itu sendiri. Tabu, subversif, nakal, tidak hormat, pemberontak, adalah label destruktif yang dilekatkan kepada pelajar yang kritis. Pun ketika ada ruang bertanya, maka dengan sendirinya pertanyaan-pertanyaan yang dianggap sebagai pertanyaan hanyalah hal-hal yang terkait dengan persoalan2 administratif dan teknis semata. Itupun harus diterima sebagai sebuah kebenaran doktrinal--diterima apa adanya tanpa perlu dipertanyakan kembali.
Karena itu dengan model persekolahan yang dogmatis seperti ini, mengandalkan memori/ingatan sebagai alat sekaligus pencapaian intelektual. Dengan sistem ujian yang padat dan birokratif, dengan setumpuk tuntutan dan paksaan, tidak heran ketika tingkat stress dan frustasi menjadi penyakit yang inheren dalam tubuh pendidikan kita.
Coba tengok, menjelang banyaknya ujian sekolah atau ujian akhir misalnya (seperti sekarang ini), dengan setumpuk mata pelajaran yang banyak itu, diakhir-akhir tahun seperti ini sekolah praktis berubah menjadi sekadar lembaga bimbingan test. Dengan mengandalkan aktualitas memori yang dipaksakan. Praktis yang lahir dari proses ini hanyalah tekanan bercampur frustasi, stress dan depresi.
Tidak mengherankan, ketika dipenghujung tahun 1978 di AS, sekolah justru dipersamakan dengan pabrik dan barak-barak militer. Ia salah satu lembaga selain pabrik dan barak-barak militer, yang terus menerus dipantau keberadaannya oleh tim-tim psikologi khusus. Sekolah, pabrik, dan barak-barak militer dianggap memiliki pertautan kultural yg sama, dalam menyuplai penyakit-penyakit frustasi, depresi, stress, dan masalah2 kejiwaan yang lain.
Dan ironisnya, sampai sekarang ini yang disebut-sebut sebagai abad milenium (abad kecerdasan), masih banyak diantara kita-kita yang bahkan masih percaya bahwa sekolah ya memang seperti itu! Hehe

[Muhammad Ruslan]

Jumat, 27 Januari 2017

Apa yang Hilang dari Sekolah Teknik Kita?

sumber gambar: https://bumirakyat.files.wordpress.com
Terhitung sejak terpilih sebagai presiden, Jokowi kini terbilang gencar mendorong penguatan sekolah kejuruan. Bukan hanya dari target penambahan sekolah kejuruan hingga 300-an lebih, juga September yang lalu, Presiden menandatangani Inpres bernomor 9 tahun 2016, yang isinya mendorong dan mendukung percepatan revitalisasi sekolah kejuruan yang berorientasi kebutuhan pasar.

Persoalan ketenagakerjaan yang menjadi persoalan bangsa menurutnya harus diseleseikan dengan penguatan revitalisasi sekolah menengah kejuruan yang ada. Tentu saja asumsi yang mendasarinya adalah, karena kapasitas sumber daya manusia kita yang masih rendah, sehingga sulit diserap dalam dunia industri. Bahkan dalam Inpres tersebut, Presiden juga menginstruksikan kepada Kemenristek agar memprioritaskan (pembukaan) program-program kejuruan terapan di perguruan tinggi.

Alasan untuk itu semua adalah, bahwa pendidikan yang ada sekarang ini dianggap kurang tanggap terhadap perkembangan kebutuhan-kebutuhan pasar akan tenaga kerja. Semangat yang mendasari prospek kebijakan ini adalah, pendidikan harus mampu menjadi penyalur tenaga kerja mumpuni ke depan. Sekolah maupun perguruan tinggi harus lebih mampu bersinergi dengan dunia usaha, agar bisa melahirkan generasi dengan ilmu terapan dan keterampilan yang memadai.

Perspektif kebiajakan pendidikan yang berorientasi pasar ini pula yang membuat Unhas, sebagai salah satu perguruan tinggi terbesar di kawasan Indonesia Timur, beberapa hari yang lalu disahkan keberadaan statusnya sebagai PTN-BH oleh Kemenristek. Dengan Imajinasi target sirkulasi modal yang diharapkan dapat menghasilkan pendapatan hingga 450 milyar. Dengan menjadikan pendidikan sebagai instititusi modal seperti ini, pendidikan diharapkan bisa lebih adaptif terhadap tuntutan-tuntutan pembangunan, begitu harapan Presiden. Dalam konteks ini paradigma pembangunan Jokowi, bisa dibilang tidak berbeda jauh dari pendahulu-pendahulu sebelumnya, yakni terciptanya suatu road map pendidikan yang tanggap dan berorientasi deveplomentalisme.

Apa yang salah? Tentu saja kita akan mudah berkata bahwa tidak ada yang salah dengan konsep ini. Mengingat  kenyataan akan rendahnya kecakapan penguasaan ilmu terapan di kalangan pelajar memang patut kita akui. Namun, tentu saja bahwa ada beberapa hal mendasr yang mesti kita kritisi. Tentang bagimana menempatkan, dan atau menjembatani antara kepentingan pendidikan itu sendiri dengan kepentingan pasar itu sendiri. Kapitalisasi pendidikan memang seperti gunung es, yang tampak indah di atas permukaan, namun kadang-kadang menyembunyikan hal-hal lain yang berkontradiksi dengan itu semua.

Pendidikan, pasar dan kapitalisme
Jauh sebelum kita membicangkan relasi pendidikan dan pasar hari ini. Karl Marx, sudah berbicara di masanya, dua abad yang lalu. Marx bahkan memberi tanda, bahwa sekolah harus mendapatkan concern lebih ketimbang agama untuk dianalisis. Meski kedua-duanya sangat syarat dengan kepentingan kelas. Sama-sama bagi Marx bisa menjadi pranata untuk menanamkan kesadaran borjuis, tapi sekolah memberikan kontribusi lebih dari itu semua. Sebab ia (sekolah) menyuplai kontribusi praktis dan material dalam melanggengkan modus produksi kapitalisme. Sebabnya dalam konteks ini, pendidikan menghasilkan kemampuan kerja. Kemampuan-kemampuan yang ketika tidak dilakukan periodisasi ideologi, bisa dengan sendirinya menjadi sekrup-sekrup pion dari sistem kapitalisme itu sendiri lewat mobilisasi kelas sosial secara individual, melahirkan kelas menengah yang diuntungkan dari keberadaan sekolah. Suatu kelas sosial yang menurut banyak orang, menjadi gambaran dari wujud pengkaburan kelas-kelas sosial yang ada. Yang ikut melanggengkan surplus value lewat jabatan-jabatan kerah putih yang ia miiki.

Menggunakan analisa Marxis untuk meihat perkembangan sekolah hari ini, membuat kita sampai pada kesimpulan, bahwa penguatan revitalisasi sekolah berbasiskan pasar dan penyediaan tenaga kerja hari ini adalah wujud dari kemenangan kapitalisme dalam mengkooptasi pendidikan. Ia (kapitalisme) bahkan tak perlu mengeluarkan biaya untuk sekadar bisa mendapatkan tenaga kerja murah dan cuma-cuma siap pakai. Para orang tua pelajar lah yang membayarkannya, bahkan tak sedikit dari kalangan orang tua-orang tua proletarlah yang kembali mengongkosi siklus ini dengan membayar ongkos pendidikan yang tak murah. Mereka-mereka para orang tua yang sudah diperas habis-habisan di dalam pabrik oleh majikannya, namun juga kembali diperas oleh sekolah/kampus yang tak lain adalah perpanjang tanganan kapitalisme itu sendiri.

Bahkan di tingkat sekolah menengah kejuruan, para kapitalis-kapitalis tanpa merasa malu, berlomba-lomba mendapatkan tenaga kerja siap pakai yang masih di bawah umur (untuk kategori pekerja) untuk dipekerjakan dengan cuma-cuma, atas nama tututan kurikulum pendidikan? Ya, mereka-mereka siswa-siswa kita yang PKL (Praktik Kerja Lapangan), atau mereka para mahasiswa yang melakukan KKN Industri. Dalam rentang masa kerja yang dipersamakan dengan orang dewasa, para kapitalis menikmati pasokan tenaga kerja sekolahan ini dengan cuma-cuma. Ada semacam sebuah persegongkolan sadar antara pemerintah, sekolah dan modal yang terjadi di lingkaran ini, menjerat sekolah tanpa daya kritis. Mereka-mereka tanpa rasa berdosa dengan sendirinya melemparkan anak dalam ruang-ruang penyiksaan psikologis, beban kerja ganda antara sekolah dengan tuntutan-tuntutan pekerjaan industri yang ia laui.

Apakah hal-hal ini, tak bisa kita definisikan sebagai suatu kekerasan struktural dalam dunia pendidikan berbasis pasar hari ini? Tentu saja kita mahfum, bahwa toh, kapitalisme memang tak bisa jauh-juh dari hal-ihwal tentang kekerasan. Jamil Salmi (1983) dalam bukunya Kekerasan dan Kapitalisme (terj), bahkan menyebut kapitalisme berkembang dan bertahan karena kekerasan. Ia membuktikan itu dengan meneliti pola-pola penyebaran kapitalisme di dunia. Tak perlu jauh untuk memahami penelitian Jamil, cukup kembali menegok di sekitar kita. Puncak kapitalisasi pendidikan Unhas kemarin yang berujung kekerasan adalah contoh paling nyata di pelupuk mata, bahwa kekerasan adalah alat paling sahih untuk menegakkan kapitalisme.

Alienasi dan kapitalisasi pengetahuan
Di perguruan-perguran tinggi, inilah paling mengancam kita. Yakni kapitalisasi perguruan tinggi akan benar-benar memisahkan kampus dengan persoalan hidup rakyat kecil. Harapan Soekarno agar pendidikan yang ada  tidak boleh memunggungi persoalan rakyat menjadi termentahkan lewat kapitalisai perguruan tinggi yang marak belakangan ini. Kapitalisasi pendidikan, ujung-ujungnya menciptakan privatisasi dan kapitalisasi pengetahuan, yang akhirnya membuat rakyat kecil teralienasi dari keberadaan kampus-kampus. Logika pendidikan yang diharuskan untuk adaptif terhadap pembangunan adalah logika kapitalisasi pendidikan itu sendiri yang diperhalus.

Dengan semangat mengedepankan parodi/jurusan teknik seperti arahan Presiden, disertai dengan semangat pengkapitalisasian pendidikan. Persekutuan pendidikan dan dunia industri menemukan momentum perkawinannya yang pas. Jadi, jangan heran dan terkatup-katup, ketika kita lebih mudah mendapati para intelektual kampus lebih sibuk melegitimasi reklamasi atau pendirian pabrik semen, di banding berpihak pada petani, nelayan dan rakyat kecil. Jangan heran, ketika penelitian-penelitian mahasiswanya lebih banyak diarahkan berorientasi pada upaya menemukan dan mengembangkan produk-produk yang bisabersinergi dengan korporasi-korporasi, ketimbang mengangkat tema-tema persoalan yang menjerat rakyat kecil. Ini adalah kenyataan-kenyataan yang kita saksikan sekaligus menunggu di depan mata.

Ini adalah salah satu konsekensi dari kampus yang resmi berorientasi diri sebagai institusi modal. Ia harus secara terus menerus harus memandang bahwa aktivitas keilmuan sebagai sebuah komoditi untuk mencapai target pendapatan kampus yang milyaran itu. Sehingga benarlah kata orang, bahwa penemuan itu pada dasarnya ideal pada tataran teori, tapi ia menjadi bisnis pada tataran praktik. Sebab kita berhadapan dengan kenyataan bahwa produk intelektual menjadi perkara bisnis. Benar kata Marx dalam Robin Small (2014--terj.), bahwa kemajuan secara umum dan akumulasi pengetahuan masyarakat (dalam konteks inipen.) dikuasai dengan gratis oleh kapital.

Kondisi lain yang menjadi dampak dari ini semua adalah kembalinya persoalan pendidikan kita pada ranah klasik, yakni ketimpangan distribusi ilmu pengetahuan yang tidak adil. Dikarenakan bahwa kapital telah mengkooptasi pendidikan terlebih dahulu, maka bentuk peminggiran terhadap rakyat kecil akan terus terjadi. Ini adalah proses pemborjuisan lembaga pendiidkan. Tidak hanya akan mengasingkan rakyat kecil untuk mengakses pendidikan, juga pada tataran cakupan keilmuan, dominasi sudut pandang keilmuan akan menyesaki kesadaran pelajarnya dengan satu sudut pandang penuh batasan. Kooptasi tentu saja tidak hanya berada dalam ambang batas akses terhadap pendidikan yang timpang, namun juga pada batasan-batasan keilmuan yang harus sesuai dengan kepentingan kapital.

Inilah resiko, sekaligus pergeseran fatal yang bakal terjadi ketika pendidikan benar-benar tumbuh sebagai institusi modal. Dimana moralitas-moralitas beserta segenap kesadaran yang menyertainya tak lain merupakan moralitas pasar semata. Ia benar-benar akan membunuh segala bentuk jalan dari munculnya kesadaran-kesadaran kritis yang bertentangan dengan kepentingan pasar. Dan tidak berlebihan ketika kita benar-benar mengatakan bahwa pendidikan dalam konteks seperti ini telah dibunuh, dibunuh perlahan-perlahan lewat kooptasi kesadaran pasar?

Apa yang hilang dari sekolah teknik kita?
Ketika pendidikan berjalan sebagai institusi modal, maka itu artinya telah terjadi pengkurusan kenyataan pendidikan sebagai institusi ideologi. Dan inilah yang terjadi. Pembukaan SMK ataupun jurusan-jurusan teknik di perguruan tinggi, hampir dipastikan bahwa ia lahir semata-mata sebagai jawaban atas tuntutan pasar semata, bukan tuntutan ideologi. Karena itu agak sulit untuk bisa melihat para lulusan sekolah teknik kita bisa lahir dengan kepribadian seperti Soekarno misalnya yang juga seorang insinyur teknik. Pun ketika ada hanya sedikit, ketimbang produk-produk pendidikan dengan kesadaran pasar yang pure.

Sekolah teknik kita, hanya mentok bisa melahirkan ‘tukang’. Tukang dalam arti sekadar pekerja yang kering dengan konsepsi-konsepsi ideologi. Paling banter kita temukan adalah kenyataan ketidakmampuan untuk membangun keterhubungan antara ilmu teknik yang mereka kuasai dengan hal-hal yang bersifat ideologis lainnya. Inilah yang pernah disebut Marx sebagai bentuk pemutusan kesadaran ideologis. Dalam pandangan Marx, bahwa seorang individu yang terspesialisasi dan terdidik secara sempit akan menjadi seseorang yang terputus dari seluruh umat manusia. Dan ini sangat mudah kita temui, seorang sarjana teknik atau lulusan sekolah yang tidak mampu menemukan keterkaitan antara keilmuan dan tugasnya sebagai seorang manusia.

Maka tidak heran ketika, kita melihat seorang sarjana teknik, bisa membangun gedung-gedung tinggi, sembari menggusur ladang dan rumah rakyat-rakyat kecil, tanpa sedikitpun merasa berdosa. Mereka-mereka para pekerja teknik ini, lulusan sekolah dan perguruan tinggi pasar hanya melihat bangunan dengan teras dan besi yang kuat sebagai pencapaian keilmuan, tanpa menganggap bahwa membangun dengan menginjak manusia lain sebagai persoalan yang terkait dengn keilmuan mereka. Sebagian mungkin abai dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, bahkan yang paling memalukan dari itu semua, adalah mereka yang justru lahir dengan kredo, menganggap bahwa menggusur untuk mebangun adalah keharusan. Ini yang paling gila! Ini sama gilanya ketika seorang sarjana pertanian, lebih pro pabrik baja dan pabrik semen ketimbang sawah dan perkebunan.

Apa yang menyebabkan itu semua? Lagi-lagi, pengetahuan yang berkembang, di tengah pendidikan yang telah terindustrialisasi oleh kepentingan pasar, akan mudah kita lihat kemana pengetahuan itu berpihak. Modal telah mensekulerkan kita dari persoalan-persoalan ideologi dalam ranah pendidikan. Ia benar-benar merenggutnya. Sama halnya yang terjadi terhadap agama. Kita selalu berkata bahwa komunis itu anti-agama, tapi kita lupa menganalisis bahwa yang membunuh agama sejak lahirnya adalah kapitalisme itu sendiri, menggantinya dengan imaji-imaji kekuasaan modal.

Saya sendiri, percaya bahwa kita butuh sekolah teknik. Tapi pertanyaannya, sekolah teknik yang mana? Sekolah teknik yang berpihak kepada siapa?

Disni saya teringat dengan analisis Rendra beberapa tahun silam dalam sebuah wawancara di media sebelum kepergian beliau. Mudah-mudahan saya tidak salah ingat. Ia mengurai persoalan substansi pendidikan kita yang melompat mengikuti ritme desain pendidikan kolonial. Saat Belanda menjajah nenek moyang kita, ilmu-ilmu yang diperkenalkan Belanda memang hanyalah ilmu-ilmu teknik. Tentu saja yang seturut dengan kepentingan belanda itu sendiri. Ada dua kepentingan Belanda, kenapa Belanda lebih memilih memperkenalkan ilmu teknik di sekolah-sekolah yang mereka ampuh saat itu. Yakni pertama, untuk mendapatkan tenaga kerja murah dalam mendukung pembangunan dan eksploitasi gula dan pabrik-pabrik mereka (kepentingan pasar mereka). Yang kedua, untuk menghalau muncul dan berkembangnya ilmu-ilmu humaniora dan sosial, yang bisa mengancam keberadaan mereka sebagai bangsa penajajah. Singkatnya, ilmu teknik diperkenalkan untuk itu.

Apa konsekuensi dari perkembangan pendidikan dengan desain seperti itu, yang diwarisi sekarang ini? Itu tadi, kembali lagi kepada persoalan sebelumnya. Lahirnya produk pendidikan yang mentok bermental pekerja toh saja, yang sama sekali tidak mengerti persoalan masyarakatnya. Atau bahasa lainnya intelektual-intelektual teknik yang tak memiliki keterkaitan kemanusiaan dengan masyarakatnya (terasing dari kehidupan kemanusiaannya sendiri). Karena itu tidak heran ketika produk-produk teknik dari pendidikan kita memang mengarah pada kepentingan pasar bukan kepentingan masayarakat. Dalam arti kita dijejalkan dengan pengetahuan teknik untuk mencipta tanpa didasari oleh landasan ideologi sosial yang kuat. Kita mencipta tidak dilandasi oleh riset tentang kebutuhan rakyat, melainkan disetting terlebih dalam pada kebutuhan-kebutuhan koorporasi.

Ilmu-ilmu sosial yang seharusnya bisa bersinergi dengan ilmu teknik justru dipisahkan menjauh dari kesadaran keilmuan kita. Seolah-olah mengafirmasi kenyataan bahwa ilmu teknik itu ya untuk teknik, tidak ada keterkaitan dengan persoalan sosial masyarakat. Di sekolah menengah kejuruan saja, ilmu sosiologi sebagai ilmu sosial dasar pun tidak ada dalam kurikulum. Saya tidak tahu apakah ini bentuk keblingeran atau apa?

Kembali lagi ke pernyataan sebelumnya. Saya sendiri, percaya bahwa kita butuh sekolah teknik. Tapi pertanyaannya selanjutnya, sekolah teknik yang mana? Sekolah teknik yang berpihak kepada siapa?




Penulis
Muhammad Ruslan