| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Kamis, 24 Maret 2016

Sampulnya Kartini, Isinya Song Ji Hyo



source  picture: google


 Habis gelap terbitlah terang, setelah terang terbitlah kembali gelap!

Saya mengenal Kartini, sebagai seorang pejuang perempuan yang pernah dimiliki bangsa ini. Gagasan-gagasannya menjadi cermin, sekaligus dijadikan tonggak kebangkitan perempuan Indonesia untuk ikut mendobrak dan melabrak tatanan sosial yang menindas perempuan. Tapi, Song Ji Hyo, sama sekali saya tidak mengenalnya, selain tahu dari namanya sebagai artis Korea, setelah mencarinya di internet. 

Kartini tenar di masa pra kemerdekaan, beberapa windu yang lalu, ia seperti api yang menerangi. Pikiran-pikirannya hinggap di benak, mengganggu pikiran bangsa saat itu. Tapi itu dulu! Sekarang, berbeda, Kartini sudah seperti simbol peradaban kuno masa lampau, sedang Song Ji Hyo adalah simbol modernitas zaman terkini. Dalam benak muda-mudi, apalah artinya Kartini di zaman Song Ji Hyo? Kartini hanya menjdi nama jalan, dalam imajinasi yang ada hanya Song Ji Hyo. Kok bisa? Ya itulah realitasnya!

Beberapa menit yang lalu, saya singkapkan waktu untuk menengok mading, salah satu sekolah, berharap mendapatkan informasi menarik, atau setidaknya ingin melihat dinamika kepenulisan di sekolah bersangkutan. Tapi sungguh mencengangkan, isinya semua berisi profil dan lika-liku artis KOREA! Dari laki-laki hingga perempuan—penuh gambar dengan gaya necisnya yang khas!

Ini seperti ekspresi gejala hedonisme yang menumpuk dalam imajinasi pelajar, seperti terwadahi dalam ruang sekolah. Sekolah/kampus, tidak mapu mengambil peran counter, hanya karena counter terhadap ide-ide ‘modernitas’ mungkin dianggap sebagai hal yang kolot, seperti kolotnya orang yang melawan arus modernitas itu sendiri. Definisi tentang kemajuan, menjadi sarat dengan nilai-nilai hedonisme.

Kita seperti tak berdaya untuk merepersepsi ide-ide tentang modernitas itu, sekolah dengan banyaknya plus-plusnya itu, mulai berbentuk Boarding School, plus kurikulum international, dll, tidak mampu menghadirkan budaya intelektual yang kritis, selain sekadar ‘menyemai’ dan melayani budaya global yang dominan, yang sama sekali tidak mengandung dimensi intelektualitasnya yang berpihak pada nilai. Kurikulum yang semakin mengglobal tersebut, seperti semakin mengasingkan kehidupan sekolah terhadap nilai-nilai lokalitas, yang justru semakin mendekatkannnya dengan kultur hedon global.

Jangan tanya di sekolah ataupun kampus sekalipun, biografi Tan Malaka, Kartini, Soekarno dikenal baik, apalagi berharap gagasan-gagan tokoh tersebut dikenal. Tak pernah terjadi ada “deman Tan Malaka” atau “deman Kartini” melanda para pelajar, selain tiap hari bergelut dengan “deman Korea”.

Korea? Apa yang ia tahu tentang Korea, selain kehidupan para artisnya, sikap hedon para artis, sama sekali ia tidak tau dinamika politik korea hingga hari ini. Sehingga imajinasi tentang yang idealpun di mata pelajar adalah idea-idea seperti yang terlukis dalam sinetron Korea yang hedon. Mereka akan menatap hidup dengan cara seperti itu, sibuk dengan insting dan hal remeh-temeh, seolah-olah hidup hanya terbatas pada hubungan antara laki-laki dan perempuan semata! Dalam romantisme artifisial, ia terbuai pemahaman dangkal tentang arti cinta.

Pertanyaannya, Apa yang kita harapkan di masa depan atas generasi masa depan yang asing terhadap gagasan  Kartini, Tan Malaka, Soekarno, saat imajinasi dipenuhi dengan pola pikir hidup hedon semata? Suatu imajinasi palsu yang disetting di atas kesepaktan-kesepakatan bisnis lewat media, dihembuskan untuk diterima, di atas ladang subur, yakni kesadaran paling polos, kesadaran para pelajar yang belum mengerti banyak tentang kehidupan. Dengan satu tujuan, menciptakan kesadaran materialistik terhadap kehidupan ‘manusia’ itu sendiri. 

Dalam imajinasi palsu disemai, pabrik media lewat eksploitasi diri sang artis, terus menerus memanen pundi-pundi kapital, menyisakan anak-anak muda/mudi yang terhisap secara kesadaran, kurus secara imajinasi akibat tereksploitasi sejak dini. 

Para pelajar ini, semakin teralienasi dengan kehidupan nyata itu sendiri, ide-ide dipenuhi dengan hal- hal mengambang yang sama sekali tak memiliki pijakan pada kehidupan. Beberapa bulan silam, seorang pelajar meminta pendapat/saran saya secara kosep atas film pendek yang sementara ia gagas. Sebelum saya berpendapat, terlebih dahulu saya meminta mereka menjelaskan konsep yang ia miliki, dan isinya: penuh dengan imajinasi romantisme kekanak-kanakan, tak satupun hal yang saya dapatkan bahwa ide-ide itu mewakili kehidupan yang sesungguhnya. 

Apakah itu belum cukup menjadi tanda, bahwa, sekolah betul-betul mengasingkan pelajarnya pada kehidupan yang sebenarnya? Imajinasi yang menjadi ide, betul-betul terpisah dari kenyataan!

Dan fenomena apa pula yang terjadi, saat pelajara-pelajaran tentang Soekarno dibahas dalam ruang belajar, tapi keluar dengan imajinasi idola sang artis hedon? Tugas-tugas profil Kartini dibuat di atas lembar kusam, pulang dengan tempelan foto Song Ji Hyo di kamar penuh, hingga di buku-buku? Lantas apa arti dari pelajaran-pelajaran akan tokoh tersebut bagi pelajar?

Tak heran, ketika para pelajar lebih gandrung dan lebih banyak mengenal artis Korea, ketimbang tokoh-tokoh bangsa maupun tokoh dunia yang banyak memiliki sumbangsih kemanusian bagi kehidupan. Realitas sekolah tidak mampu mengkondisikan kesadaran penokohan itu terhadap pelajar.

Fenomena “Habis gelap terbitlah terang, hingga kembalilah gelap” menjadi karang kehidupan pelajar, ditengah sekolah yang kehilangan daya sebagai pranata budaya. Potret Kartini semakin asing dalam benak para penerusnya. Saat Kartini memproklamirkan wacana otonomi tubuh perempuan dan kesetaraan perempuan yang bermartabat, sekarang penerus Kartini semakin terbuai dengan Song Ji hyo, simbol komersialisasi tubuh dan pemameran ‘kelemahan’ perempuan di hadapan laki-laki atas nama cinta sesat dan romantisme materialistik. Budaya patriarkar menyusup lewat kesadaran terdalam, secara hegemonik disemai dan diterima secara pasif.  Sebuah simulacra ‘egalitarinisme ruang publik hedon’ yang materialistik, diperrealitaskan!



Muhammad Ruslan

Minggu, 20 Maret 2016

Tanggapan Atas Sinisme Demo Guru: Suatu Fallacy



source photo: sinarharapan.co

Tiga hari berpeluh kesah di jalan, tepat di depan istana kekuasaan. Tangis dan "histeris" sekitar 442 ribu guru honorer K2, tak kunjung mampu mengetuk nurani kuasa. Apa boleh buat, pulang tanpa kejelasan, justru dibuai dengan cibiran sinis, sebuah cibiran seolah ingin memaksakan kredo bahwa guru sudah seharusnya miskin. Dan demo dianggap sebagai perilaku tidak terpuji.

Nasib yang didaku “pahlawan”, dipaksa menerima imajinasi tentang kemuliaan status, di saat yang sama juga harus menerima kesialan dalam nasib. Tak hanya berusaha melawan kekuasaan yang ingkar, tapi juga harus menepis tudingan cibiran dari sebangsanya yang terjebak dalam kesalahan berpikir. Salah satunya, tulisan yang katanya dari mantan guru honorer, menganggap demo guru sebagai tindakan memalukan! (baca: http://jetjetsemut.blogspot.co.id/2016/02/guru-demo-memalukan-surat-terbuka.html). Cukup naïf bukan?

Cibiran dan sinisme terhadap demo guru, mulai yang menganggap demo guru sebagai perilaku tidak terpuji hingga yang menganggapnya sebagai "memalukan", tak lain merupakan tuduhan-tuduhan yang sebenarnya lahir dari cara berpikir yang keliru (fallacy).

Di antaranya: Kesalahan berpikir pertama, adalah mengaggap demo guru sebagai bentuk pengemisan kepada negara. Jelas, cara berpikir ini keliru secara fatal. Kenapa?. Karena guru datang untuk menuntut hak, bukan meminta welas asih. Itu karena, relasi guru dan negara, seperti dengan relasi sipil dan kekuasaan, yakni ada hak dan kewajiban yang harus saling memenuhi. Hidup layak adalah hak semua warga negara tanpa terkecuali, tentu itu amanah bernegara yang termaktub dalam Undang-Undang 1945 Pasal 27 ayat 2.

Guru dan buruh tentunya sama dalam konteks ini, demonstrasi buruh adalah bentuk tuntutan akan hak, bukan welas asih. Ada hak yang tidak terdistribusikan dengan adil oleh pengusaha dan negara. Mengingkari pemenuhan penghidupan layak bagi warganya, sama halnya dengan mengingkari konstitusi. Apalagi konkret, kehadiran guru untuk berdemo, juga dipicu oleh janji politik yang bertebaran saat pencapresan sebelumnya. So, apa yang salah?

Kesalahan berpikir kedua, adalah memaksakan cara berpikir asketis yang berkarater penghisapan (bukan asketis yang berkarakter revolusioner). Seolah tugas yang dianggap “mulia” itu, harus miskin dan penuh penderitaan. Penderitaan-penderitaan harus diterima dengan lapang dada. Ironisnya, penderitaan-penderitaan itu diharuskan diterima bukan karena pilihan, tapi lebih ke paksaan.

Kesalahan berpikir ini sama kalau ada orang datang dan berkata, “Saya miskin”, “Itu karena kamu malas”, “Lho, gimana malas, tiap hari saya bekerja dari pagi sampai malam?”, “Berarti itu karena kamu hidup, coba tidak hidup, kemiskinan kamu hilangkan?”. Sama dengan cibiran yang menganggap, “Kalau kamu mau hidup berkecukupan, ya jangan jadi guru!”. Seolah-olah guru harus ditakdirkan miskin. Padahal persoalan miskin, tidak miskinnya guru, bukan terletak pada profesi guru itu sendiri, tapi lebih ke sistem yang memiskinkan profesi itu. Sistem inilah yang dilawan para guru. Tentu guru juga bukan menuntut untuk kaya, tapi setidaknya hak untuk membeli buku, itu penting!

Logika tersebut sama halnya kalau ada yang orang yang datang dalam keadaan lapar, lalu dijawab dengan menyuruh mereka ibadah. Lapar dihakimi sebagai nafsu, padahal ia realitas alami. Lalu diambillah kesimpulan, “Cepat lapar, karena kurang berdzikir!, makanya perbanyak dzikir!”. Cara berpikir asketis berkarater penghisapan inilah, yang melanda dan merundung bangsa kita hari ini, yang membuat kita terus berada di garis terbelakang (kondisi-kondisi ini pula yang mendorong Tan Malaka menulis Madilog, untuk meluruskan cara berpikir bangsa ini!).

Ada kecenderungan menerima suatu kenyataan, tapi tidak mampu menemukan sebab konkrit antara kenyataan yang dialami dengan realitas sosial yang terjadi. Contoh lainnya, sama halnya kalau ada yang berkata, “Biarkanlah pejabat korupsi, peduli amat!, toh nantinya juga dia masuk neraka”. Meminjam istilah Cak Nur, kesalahan berpikir ini, karena meng-ukhrawikan dunia, tidak bisa membedakan dunia dan akhirat. Korupsi persoalan dunia, dan neraka persoalan akhirat, lalu persoalan dunia ingin diseleseikan dengan jawaban akhirat.

Alasan untuk terlepas dari persoalan sosial dianggap sebagai kebaikan, tercandukan dengan hipokrisi imajinasi tentang yang abstrak, sebagai alasan untuk berpaling menolak yang rill. Ibaratkan kakinya di bumi, tapi tangannya dilangit. Menggelantung!

Hal itu sama kalau ada orang berkata, “Biarkanlah kita jadi guru dengan upah yang tidak memanusiakan (atau ditindas), nanti di surga kita rasakan manfaatnya!”. “Semakin ditindas, semakin membuat kita mulia, kita mulia karena ditindas”. Logika seperti ini, saya bisa bilang, adalah bentuk nyata bahwa pembodohan ala kolonial masih bercokol di pikiran masyarakat sampai saat ini.

Ini mirip dengan perkataan yang menganggap penderitaan (meskipun bukan karena pilihan, melainkan paksaan), penderitaan adalah bentuk kedekatan dengan Tuhan, semakin menderita semakin dekat dengan Tuhan. “Toh, semuanya juga karena Tuhan, kita miskin karena dicoba Tuhan, kita kaya juga karena dicoba Tuhan”. Menurut saya kesalahan berpikir tersebut, alih-alih mentauhidkan diri, justru sebaliknya, mensyirikkan diri. Kenapa?. Karena menganggap derita (karena ditindas) pun dari Tuhan! (maha suci Tuhan dari segala tudingan miring seperti itu!).

Yang saya ingin katakan, bukankah agama justru diutus untuk mengajak manusia berpikir, dan menemukan akar persoalan kemanusiaan yang terjadi, lalu diwajibkan manusia untuk menyeleseikan persoalannya sendiri, itulah agama yang saya pahami. Apa artinya?, kalau persoalan sosial terjadi, itu berarti itu juga harus ditemukan sebabnya di kehidupan itu sendiri. Guru tidak diupah dengan layak, itu bukan takdir yang harus diratapi dengan kegembiraan, tapi itu penindasan yang harus dilawan. Penindasan itu persoalan kemanusiaan. Itu berarti, persoalan guru adalah persoalan kemanusiaan.

Jadi, apakah tindakan guru berdemo adalah perilaku tidak terpuji?. Menurut saya, itu langkah konkrit untuk menjalankan perintah agama, mencari jalan atas persoalan sosial, dan bergerak untuk menuntut karena hak. Justru ketika tidak ada riak untuk mempersoalkan ketidakadilan yang terjadi, disitulah pertanda bahwa agama telah membeku dalam pikiran, yang tertinggal hanya hafalan. Kenapa?. Karena membiarkan ketidakadilan dan perampasan adalah bentuk nyata pengingkaran terhadap agama!

Meski terlalu jauh berbicara agama. Tanpa membincangkan agama pun, kita bisa menerima pengwajaran atas demo guru. Ini saya singgung, karena banyak yang sinis, justru menggunakan argumen-argumen keagamaan, yang menurut saya cukup dangkal. Cukuplah sejarah masa lalu yang menjadikan agama sebagai alat untuk menindas, menindas sejak dalam pikiran! Saatnya harus menjadi kekuatan pembebas, membebaskan sejak dalam pikiran!

Kesalahan berpikir ketiga, menganggap demo adalah tindakan tidak terpuji dihadapan siswa?. Justru saya ingin katakan, bukankah sebaliknya? Membiarkan ketidakadilan adalah justru perilaku tidak terpuji di hadapan siswa. “Realitas demo dianggap tidak terpuji dimata siswa”, sebenarnya adalah pemikiran yang lahir sebagai buah dari sistem pendidikan yang nyata terlepas persoalan kehidupan saat ini. Moral yang disemai di sekolah selama ini, memang bias dengan karakternya yang elit borjuis. Moralitas pentaklikan terhadap otoritas, yang dianggap terpuji. Karkater yang penuh kepatuhan (beda sedikit dengan kesialan) yang dianggap terpuji.

Ini sama dengan banyaknya orang yang beranggapan bahwa, tipikal siswa yang dianggap terpuji di sekolah, adalah yang bisa diam, tidak banyak protes, menerima segala sesuatunya dengan lapang dada, meski itu adalah kesalahan. Guru adalah kebenaran, meskipun guru tidak benar, ia harus diterima sebagai benar, menolaknya adalah perilaku tidak terpuji.

Buah dari kesalahan itulah yang membuat kita memposisikan, bahwa demo guru tidak terpuji. Padahal sebaliknya, ini adalah bentuk pembelajaran terbaik kepada siswa, akan bagaimana agar pemahaman hak dan kewajiban yang dilafalkan tidak sekadar mengendap dan membeku dalam kepala. Bahwa butir-butir pancasila, tentang keadilan dan kesejahteraan bukan sesuatu yang terberi, melainkan realitas yang harus diperjuangkan terus menerus.

Seperti halnya para pendiri bangsa yang berjuang menegakkan pancasila, kita pun sama, hari ini berjuang agar pancasila dijalankan, dari banyaknya orang yang ingin merongrong keberadaannya, salah satunya lewat pengingkaran kekuasaan terhadapnya. Kesalahan berpikir keempat, cibiran lahir, karena sang pencibir terlalu naïf, sulit membedakan mana kebaikan dan mana keadilan. Kebaikan dan keadilan, dicampurbaurkan, seperti tidak bisa menarik garis pembeda di antaranya. Contohnya: guru yang menuntut keadilan, justru dihakimi secara moral, dengan mengaggap itu memalukan, tidak terpuji dan sejenisnya. Mirip dengan kebiasaan sebagian masyarakat, yang ketika ada perdebatan-perdebatan objektif, justru dihakimi dengan penilaian-penilaian subjektif. Perbincangan persoalan sosial justru dibalas dengan caci maki personal. Mirip kebiasaan sebagian politisi kita, saat suasana debat gagasan, ketidakmampuan untuk memberikan respon logis, justru akan berujung pada peghakiman personal.

Kita harus paham bahwa, kebaikan itu pilihan, ia realitas subjektif yang melekat, dan dipilih secara sadar tanpa paksaan. Kalau Anda, membantu orang lain, tapi karena dipaksa, maka apa yang Anda lakukan belumlah bisa disebut wujud hakiki dari kebaikan. Atau yang kedua, membantu karena motif yang terselubung, juga belum bisa disebut kebaikan. Sedangkan keadilan dan ketidakadilan, ranah pembincangannya adalah hak.

Kalau Anda menyumbang, memberikan hak Anda dengan ikhlas, itu kebaikan. Tapi kalau Anda bekerja selama 5 bulan tapi tidak diupah, itulah ketidakadilan. Kenapa?. Karena ada hak yang tidak didistribusikan. Ada keringat yang yang terhambat, sebab Anda bekerja untuk bertahan hidup bukan? Kalau buruh bekerja berbulan-bulan tapi tidak diupah, dan menerima itu dengan lapang dada, apakah karena ia baik? Tidak, itu kebodohan namanya, ia harus disadarkan. Kenapa? Karena ia datang untuk bekerja, dan dari bekerja untuk bertahan hidup dan menghidupkan!. Berarti membiarkan buruh dan guru dengan upah yang tidak memanusiakan, sama halnya dengan membunuh mereka secara perlahan-lahan, atau membunuh kemanusiaan itu sendiri. Bukankah hak untuk hidup, adalah hak asasi?


Sabtu, 19 Maret 2016

Krisis Baca dan Peran Gerakan Sipil Volunter

Menengok sejarah-sejarah dunia, kebangkitan peradaban lampau, memperlihatkan dengan jelas pertautan kuat antara kebangkitan suatu peradaban dengan buku. Beberapa percikan sejarah menceritakan, kehancuran/penghancuran suatu peradaban yang berjalan seiring dengan sejarah tentang ‘pemusnahan buku’ yang terjadi. 

Nah, bagaimana dengan sekarang? Sepertinya kita selalu terlambat memahami hal-hal penting, dan kadang ‘gagal’ belajar dari sejarah, tentang rendahnya budaya baca di masyarakat sepertinya belum mendapat perhatian serius hingga hari ini. 

Beberapa bulan silam, media kembali mengetuk akal kita untuk berefleksi, menyajikan data rendahnya minat baca masyarakat, yang terus berada diambang krisis baca. Data survei dari UNESCO, memperlihatkan, tingkat minat baca Indonesia berada di angka 0,01. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain yang sudah berada diangka 0,45-0,65, negara terdekat misalnya Malaysia dan Singapura. 

Jogjakarta saja yang dikenal sebagai kota pendidikan, hanya berada diangka 0,049, juga merupakan tertinggi di antara daerah lain. Angka itu menggambarkan suatu realitas bahwa, rata-rata jumlah buku yang dibaca masyarakat Indonesia per orang dalam setahun tidak cukup 1 buku, berbeda dengan Malaysia 3 buku, Jepang hingga 10 buku per orang dalam setahun. Atau paling ekstrim disebut bahwa, dari 10.000 orang Indonesia, hanya satu orang saja yang dianggap ‘serius’ membaca. 

Dan ironis, ketika realitas itu, justru tidak mendapatkan respon yang serius. Sebuah gambaran bangsa seperti apa yang kita bayangkan ke depan, dari generasi yang lahir dari keterasingan terhadapbuku? kita terlalu serius memperkecil makna ‘pembangunan’ pada hal yang bersifat struktur tapi cenderung melupakan perbaikan kultur (kesadaran/kebiasaan) masyarakat itu sendiri, padahal kita tahu struktur tidak bisa berjaan sempurna tanpa diimbangi dengan kesadaran penerimaan di tingkat kulutur.  

Bagaimana dengan sekolah/kampus? 

Rendahnya minat baca, tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat secara umum, tapi juga terjadi di lingkungan-lingkungan pendidikan seperti sekolah dan kampus. Padahal, lembaga pendidikan inilah yang seharusnya menjadi mesin roda penggerak perubahan, merombak dan mencairkan budaya beku membaca masyarakat, tapi justru keburu terinfeksi dengan penyakit yang sama. 

 Hal ini menjadi kontradiksi, dengan kebijakan Dikti yang ingin mendorong peningkatan publisitas karya ilmiah di kampus yang selama ini rendah. Rendahnya publisitas karya ilmiah, tidak bisa lepas dari rendahnya budaya baca kita, dibandingkan dengan Malaysia saja publisitas kita tertinggal jauh, dengan perbandingan 1:4. 

Dengan kondisi seperti ini, sekolah dan kampus, sepertinya lambat kalau tidak ingin dikatakan ‘gagal’, membangkitkan budaya baca siswa/mahasiswa. Proses birokratisasi formal penyelenggaran pendidikan, meneggelamkan hal-hal substansial pendidikan. Saat proses pendidikan, justru tak mampu menumbuhkan curusiotas, apalagi menciptakan rasa haus akan ilmu bagi pelajar. 

Apa lagi, di zaman media sosial sekarang, perangkat informasi instan dengan penyajian informasi seefisien (sesedikit) mungkin, cukup memanjakan nalar baca pembaca, yang berpotensi semakin mengasingkannya terhadap buku. Terlepas apa yang menjadi sebab desain medsos dengan karakter efisiensi baca itu, mungkin adalah jawaban dari kebutuhan akan realitas rendahnya minat baca masyarakat, anak muda pada khususnya. 

Hanya saja, kegandrungan terhadap bacaan medsos yang tidak seimbang terhadap buku, berpotensi kontraproduktif. Dalam arti, kalau kita menempatkan bahwa informasi medsos adalah informasi permukaan, sedangkan buku adalah pendalaman, konsep dan landasan nilai. Kontraproduktif yang dimaksud, adalah berpotensi lahirnya generasi yang berpemahaman permukaan, hingga dengan peran aktifnya menyebar informasi/data semata, tanpa pemahaman memadai terhadap pokok persoalan, akibatnya informasi tanpa dasar yang kadang berujung ’kebencian/fitnah’, memenuhi beranda medsos, disebar dari tangan anak muda yang ‘miskin’ bacaan buku. 

Mengingat bahwa pengguna medsos, juga tergolong banyak dari kalangan anak muda, yang umumnya berstatus sebagai pelajar/mahasiswa. Miskinnya bacaan buku yang melanda pelajar/mahasiswa, semua saling terkait, termasuk dengan realitas sekolah/kampus yang kadang lamban memperlihatkan kepedulian terhadap buku dan budaya baca, hal itu cukup mudah dilihat saat buku-buku perpustakaan perguruan tinggi sekalipun jarang diupdate, buku-buku yang sebenarnya sudah ‘kadarluarsa’ dari sisi perkembangan, tidak menarik sama sekali curosiotas siswa/mahasiswa. 

 Fenomena medsos di tengah rendahnya minat baca, kemunculannya seperti sebuah anomali perkembangan adaptasi kebudayaan dalam masyarakat yang mengalami satu lompatan tahap, dari budaya bertutur lisan, gagal masuk dalam budaya literasi (bertutur tulis-baca), justru jatuh dalam ‘perangkap’ teknologi dengan karakter instan.

Gerakan sipil volunter 

Di tengah persoalan tersebut, saat ini munculnya banyak komunitas-komunitas baca dan literasi, seolah menjadi secercah cahaya tersendiri, di tengah rendahnya budaya baca masyarakat. Kehadiran komunitas-komunitas gerakan sipil yang berbasis volunter ini, digerakkan oleh anak-anak muda energik dengan penuh kepedulian akan pentingnya melek baca. Suatu langkah kecil yang kehadirannya seperti melucuti kemapanan sekolah/kampus yang selama ini belum mampu menjadi motor penggerak revolusi budaya baca. 

Upaya para komunitas sipil tadi untuk mendekatkan masyarakat dengan buku, sekaligus masyarakatkan buku, dengan mendistribusikan buku-buku dari pusat kota ke daerah, dan dari kota ke desa, adalah jalan keluar dari ketimpangan akses buku antar pusat-daerah dan kota-desa selama ini. Ini adalah jawaban saat UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang mengamanatkan pemassifan pembangunan perpustakan desa, seperti menemui jalan berliku, kalau bukan jalan buntu. Dan juga menjadi alternatif di tengah gempuran produksi buku yang kian mahal. 

Fenomena gerakan sipil volunter ini, menjadi suatu babak baru, yang patut didorong bersama. Saat program ‘Gemar Membaca’ pemerintah tidak memperlihatkan lompatan-lompatan pencapaian, maka sipil pun harus bergerak sendiri, ‘mengambil alih’ sebagian fungsi pemerintah yang selama ini lamban dalam mendorong budaya baca, demi tujuan bernegara: mencerdaskan kehidupan berbangsa! 

Muhammad Ruslan 
Re-post, Sumber : http://www.kompasiana.com/2220/krisis-baca-dan-peran-gerakan-sipil-volunter_56ed6a80f07a611f1ed24032 

Sabtu, 12 Maret 2016

Ideologi Akuntansi Islam: Sinopsis Isi Buku



Satu hal yang patut diapresiasi saat ini, adalah muncul dan mulai berkembangannya wacana pedagogi kritis, termasuk di Indonesia, meskipun bisa dikatakan percikan-percikan gugatan tersebut belumlah sepenuhnya membahana. Akan tetapi, tak cukup hanya dalam bentuk apresiasi, tapi perlu didorong dan didukung  dalam berbagai hal. 

Namun ada satu hal yang mengganjal, yang patut dijadikan perhatian pula, yakni kehadiran dan ‘ketersediaan’ ilmu-ilmu yang berpradigma kritis, saat ini belum juga memperlihatkan tanda-tanda kesuburan. Sebab kita tahu, bahwa, tak cukup hanya dengan pedagogi yang berkarakter revolusiner, tapi perlu kiranya dijembatani pula dengan corak ilmu yang berkarater revolusioner pula. Sebab sungguh sangat ganjal rasanya, saat metode pedagogi kritis dipakai justru untuk mewacanakan ilmu yang berkarater  penindasan. Begitupun sebaliknya, ilmu dengan berpradigma kritis justru diajarkan dalam ruang-ruang pedagogi yang menindas. Saya rasa dua hal tersebut adalah pekerjaan intelektual bagi kita bersama, menanti.
---------

 
Sinoposis Isi Buku:
Judul: Ideologi Akuntansi Islam
Penulis: -    Alimuddin
                    -   Muhammad Ruslan 
Penerbit: Rajawali Pers
Tahun terbit: 2016 






Orang-orang pergi ke kuil mereka, demi menemui-Ku, betapa sederhana dan bodohnya
anak-anak-Ku, yang berpikir bahwa Aku ada dalam pengasingan.
Mengapa mereka tidak datang dan menemui-Ku, dalam prosesi kehidupan, dimana Aku
selalu hidup, di tanah pertanian, pabrik dan pasar, dimana Aku mendorong mereka yang
mencari nafkah dengan keringat di keningnya?.
Mengapa mereka tidak datang menyambut-Ku, di gubuk-gubuk si miskin, dan
menjumpai-Ku dengan memberi si miskin dan orang yang membutuhkan dan menghapus
air mata janda-janda dan yatim piatu?, Mengapa mereka tidak datang menyambut-Ku di
antara orang-orang tertindas?...
Aku yakin mereka tidak pernah kehilangan diri-Ku, jika mereka berusaha menemui diri-
Ku, di dalam keringat dan perjuangan hidup dan dalam air mata dan tragedi orang
miskin.
(Syair: Khusdeva Singh, 1974) dalam buku, Bab 3, hal 41.

Karya sederhana ini sebenarnya merupakan wujud keresahan penulis setelah bertahun-tahun bergelut dengan dunia akuntansi konvensional . Bermula dari keresahan itulah, hingga penulis tuangkan dalam bentuk proposisi-proposisi yang berbentuk kalimat. 

Tulisan ini mencoba mempersepsi akuntansi sebagai realitas disiplin ilmu dalam kerangka paradigma teologi pembebasan. Secara metodologis merupakan akumulasi pemikiran kritis dalam upaya dekonstruktif terhadap kemapanan akuntansi konvensional, yang selama ini bertendensi kuat dengan kapitalisme. Teologi pembebasan sebagai  konsepsi dasar yang mendasari akuntansi secara filosofis, berpijak dan berpangkal pada kesadaran Tuhan. Meniscayakan pola dialogis dalam konstruksi teoritis doktrinal antara Islam sebagai ideologi, dengan akuntansi sebagai realitas disiplin ilmu.

Upaya membangun sebuah perspektif baru terhadap akuntansi yang berdasar pada prinsip emansipatif, liberatif, humanis, ekologis, dan berkesadaran transendental, dengan menerjemahkan makna-makna akuntansi dalam kerangka filosofis teologi pembebasan. Elaborasi antara akuntansi  dengan wahyu, dibangun dalam kerangka doktrinal filosofis, yang melibatkan penyerapan makna secara ontologis, epistemologis, metodologis, dan aksiologis, dalam bangunan struktur pengideologisasian Islam dalam akuntansi. Dengan akan terciptanya bangunan ilmu akuntansi yang hidup, hudus, serta berkiblat pada khittahnya sebagai risalah suci dalam menegakkan nama-nama Tuhan dalam laporan keuangan.

Dalam akuntansi konvensional dipersepsi, bukan hanya sebagai gagasan yang bebas nilai, bukan pula sekadar pengetahuan instrumental (mencatat dan melaporkan), melainkan di balik sebuah tampakan instrumental, tersimpan jiwa yang lebih substansial, yakni nilai dan ideologi bersemayam di balik pengaturan akuntansi. 

Wujud perampasan hak serta ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat, merupakan wujud bagaimana akuntansi memainkan peran ideologis dalam menampakkan hak. Kuasa struktur akuntansi konvensional (kapitalisme) hadir dengan taring yang menghisap kesadaran kemanusiaan. Mempertemukan interaksi bisnis dalam pola-pola dominatif, dan menciptakan marginalisasi lewat laporan keuangan. 

Disinilah relevan dekonstruktif akuntansi Islam pembebasan, setelah berelaborasi dengan konsep teologi pembebasan, merepresentasikan ideology akuntansi Islam dalam memainkan perannya sebagai ajaran pembebas. 

Upaya pembebasan secara ontologis, merupakan upaya filosofis untuk menggagas kesadaran Tuhan dalam akuntansi sebagai hakikat dari realitas itu sendiri, dengan menempatkan Tuhan sebagai pusat akuntansi.
Tinjauan metodologis, menerjemahkan makna tauhid sebagai kesatuan realitas Tuhan, manusia dan alam, dalam bingkai kesadaran sistem. Ditempatkan sebagai struktur yang memiliki kuasa dalam membentuk kesadaran agen.

Tinjauan epistemologis merupakan landasan dalam mempersepsi realitas yang meliputi uraian makna kebenaran pengetahuan dalam pola kemanunggalan, melibatkan terjemahan makna akal, rasa, dan karsa dalam akuntansi. 

Sedangkan tinjauan aksiologis, menekankan tafsir ideologis dalam kerangka normatif. Aksiologis ini adalah sisi konkretisasi teoritis untuk turun dalam ranah praktis, sebagai ideologi. Mengambil perannya, dalam mewujudkan tatanan akuntansi yang berkeadilan. Akuntansi islam pembebasan hadir untuk mendistribusikan nilai, yang selama ini tersumbat dan tertahan dalam dan oleh akuntansi kapitalisme, dalam bentuk surplus value, yang menjadi sumber penindasan.

Makna surplus value kemudian disucikan sebagai zakat yang merepresentasikan hak masyarakat lemah, yang selama ini terpinggirkan dalam peradaban akuntansi kapitalisme. Model pendistribusian hak menjadi dasar dalam menciptakan jaringan kuasa altruisme dalam akuntansi, memengaruhi keseluruhan realitas agen dan struktur-struktur social. Penyucian struktur akuntansi akan mendorong penyucian realitas secara konstruk yang merepresentasikan pencapaian nilai akuntansi islam yang bersandar pada Tuhan (falah), dengan menempatkan akuntansi sebagai struktur manifestasi sifat Tuhan di muka bumi dalam menampakkan yang hak dan batil (Tuhan Maha Mencatat). Untuk menegakkan keadilan, menjaga keseimbangan alam dan social.

Penulis
------------




Sambutan atas buku:

“…perkembangan praktik selalu disertai dengan perkembangan dialektika keilmuan, tak terkceuali akuntansi Islam. Buku ini mencoba memapakan diskursus epistemologi yang sangat terstruktur dan mudah dipahami, bahkan bagi pemula. Penempatan paradigm barat vis a vis paradigma tauhid, memberikan kejelasan perbedaan fundamental, bahwa akuntansi Islam bukan sekadar teknik, namun membawamu atas nilai, yang tidak sama dengan konsep value laden pada paradigma modern barat. 

Pendedahan pandangan Islam tentang kosmologi, menjadi titik tolak diskusi epistemology dalam buku ini. Pandangan ini menjadikan paradigma tauhid utuh, karena Tuhan, alam dan ilmu adalah kesatuan yang tidak terpisah. Buku ini dengan gambang menjelaskan pula sejarah perpindahan paradigma, serta alasan-alasan yang menjadi sebab mengapa paradigma yang utuh ditinggalkan demi modernitas dan demi suburnya kapitalisme. Tampak usaha keras penulis untuk mengaitkan paradigma tauhid ini dengan konsep ekonomi hingga akuntansi Islam.

Tidak hanya akuntansi yang didedah, namun juga akuntan (para rausyan fikr) yang dengan kapabilitasnya mengkreasi akuntan. “..berarti pada dasarnya akuntan seharusnya menjadi perwakilan yang tertindas di dalam masyarakat ekonomi, yang dalam posisi tersebut berperan untuk memberi kepastian terpenuhinya hak-hak stakeholders secara adil sesuai ketentua Tuhan”.

Pernyataan ini sudah tentu memberikan sebuah opsi opini atas netralitas atau bahkan profesionalitas akuntan. Jika selama ini, akuntan dipandang sebagai pihak yang memberikan informasi yang netral untuk keperluan economi decision making, maka penulis berkeyakinan sebaliknya. Akuntan justru harus berpihak (tidak netral) pada pihak yang lemah. Implikasinya, sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, akuntan akan mampu memandang IFRS  sebagai sebuah doxa atau penjajahan terselubung untuk kepentingan pemodal”. *Dr. Ir. Aji Dedi Mulawarman, MSA. (Dosen Jurusan Akuntansi FEB Univ. Brawijaya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Forum Dosen Ekonomi & Bisnis Islam).

“…penjelajahan akademik telah dilakukan oleh penulis baik dalam ranah keilmuan akuntansi itu sendiri maupun dalam ranah keilmuan agama. Buku ini dihadirkan untuk memberikan wacana berbeda dengan melakukan dekonstruksi ideology, sehingga dapat menempatkan Tuhan sebagai pusat kuasa akuntansi”. **Prof. Dr. Unti Ludigdo, S.E., AK. M.Si., CA. (Ketua Program Studi S3 Ilmu Akuntansi FEB Univ. Brawijaya).

“…buku ini memberikan kontribusi penting dalam rangkaian usaha membangun Akuntnsi Islam. Buku ini sangat bermanfaat bagi siapa saja yang dengan serius ingin membangun praktik akuntansi yang berakar pada nilai-nilai kehidupan insani”. ***Prof. Eddy R. Rasyid, Ph.D., Ak., CA. (Guru Besar Ilmu Akuntansi Univ. Andalas).