| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Rabu, 30 Desember 2015

SDK, Bertahan dalam Kekumuhan dan Keterbatasan



sources: google


Kampung Walang (Ancol, Jakarta Utara), tempat Sekolah Darurat Kartini (SDK) berdiri. Kampung yang yang seolah hidup dalam kematian, dan mati dalam kehidupan. Hidup pun tak mau mati pun tak segan. Tak pula ia disebut ‘’anak tiri’’. Pasalnya, dari ratusan warga yang hidup selama bertahun-tahun, keberadaan RT dan RW yang merupakan simbol pengakuan eksistensi pemukiman belum ada. Kekhawatiran akan penggusuran selalu menghantui penghuninya.


Dari arah jalan raya, tepat di bawah jalan tol, tak tampak tanda untuk dapat menyebutnya pemukiman. Hanya tumpukan materil yang mengisi ruang bawah jalan tol. Dari tumpukan pasir, kerikil, tumpukan kayu bekas, besi bekas, kardus bekas, koran hingga plastik bekas berjejer layaknya pagar, seolah menyembunyikan keberadaan bahwa ada kehidupan yang berlangsung di dalamnya. Kehidupan yang enggan untuk dijamah otoritas. Mereka para yang termarginalkan, yang terus hidup dalam kekhawatiran akan penertiban kota. 


Hanya petak-petak kecil yang tersekati dinding seng, sebagian tripleks  yang beratap beton jalan tol untuk dapat menyebutnya sebagai rumah. Ketika masuk, hanya empat meter, barulah tampak bahwa lokasi tersebut adalah pemukiman. Beberapa anak tampak berlalu-lalang, bermain dengan genangan air di jalan-jalan setapak. Riuh suara anak kadang-kadang tenggelam ketika kereta yang hanya berkisar lima meter dari arah permukiman lewat dengan bunyinya yang nyaring. Kampung ini berada dalam jepitan antara jalan raya dan rel kereta api.


Sekolah darurat

Di permukiman inilah, berdiri sekolah darurat, yang menyandang nama Sekolah Darurat Kartini. Dengan luas sekolah yang hanya berkisar 9X6 meter, dilebur dalam satu ruangan. Sekolah ini rela berbagi kesempitan ruang dengan warga, setelah enam kali berpindah tempat, terusir atas alasan penertiban kota. Dari tempat ke tempat lain, sekolah ini terus bertahan, berkat asuhan pendirinya, Sri Irianingsih dan Sri Rosyati, yang dikenal ‘’Ibu Kembar’’, hingga akhirnya sejak 2013 yang lalu baru mendapat pengakuan.


‘’Ini satu-satunya sekolah yang kami miliki sejak puluhan tahun kami tinggal disini. Seperti halnya rumah kami, kami menolak digusur,’’ ucap D, Kepala Kelompok Masyarakat Kampung Walang Blok B, Sabtu (17/1). 


Meskipun D mengakui bahwa tanah yang ia pijati bersama warganya (termasuk sekolah) berada dalam kewenangan PT KAI (Kereta Api Indonesia), dan Jasa Marga (pengelola jalan tol). Ia tetap tak berharap mimpi buruknya akan penggusuran terjadi ke depannya, seperti yang terjadi diberbagai tempat di Jakarta. 


Bertahan dalam keterbatasan

Meski hidup dalam keterbatasan, sekolah ini memiliki murid ratusan dari berbagai kampung yang ada disekitarnya. Hal tersebut menurut penuturan  R (37), warga yang bermukim di depan sekolah, yang anaknya mengenyam pendidikan di sekolah tersebut. 


‘’Disini gratis, tidak ada biaya, makan pun gratis. Kadang-kadang juga diberi susu tiap-tiap rumah. Tiap hari sekolah, ibu kembar selalu memasakkan anak-anak makanan,’’ ujar B (53), warga Kampung Walang. 


Terlihat di dalam ruangan setumpuk bahan makanan dalam bungkusan kardus mi bertumpuk di sudut ruangan. Di depan pintu juga terlihat alat-alat masak seperti panci, dan kuali. Dan alat-alat makan seperti piring dan gelas. Di bagian belakang ruangan terdapat tiga buah tungku yang terbuat dari tanah liat, tempat untuk memasak dengan menggunakan kayu bakar. 


Kursi yang bertumpuk sekitar 70 unit, dan meja sekitar 35 unit, tampaknya tak mencukupi untuk menampung jumlah murid. ‘’Tiap hari, sebagian siswanya belajar di luar (pekarangan, dekat pinggir jalan), pakai tikar,’’ ujar T (29), ibu dari Ta (4), salah seorang siswa TK di sekolah tersebut.
Menurut T, hanya ‘’Ibu Kembar’’ yang menjadi guru utama yang mengajar semua murid. Sedangkan yang membantunya adalah siswanya sendiri yang sudah di atas tingkat. ‘’Kalau TK  dan SD biasanya diajar sama yang SMP atau SMA,’’ ujarnya. 


Penulis
Muhammad Ruslan 

*tulisan ini (setelah disesuaikan kembali), mentahnya ditulis Januari 2015, hasil pengalaman belajar jurnalistik (penulis) di salah satu media cetak. tulisan tidak diterbitkan di media manapun, dan diterbitkan disini untuk tujuan pendidikan. 
**nama narasumber dirubah dalam bentuk inisial

SCHOLAE, In Loco Parentis

SCHOLAE, In Loco Parentis[1]

Ia yang membiarkan waktu berlari, berjauh, duduk disebuah kursi duplikat borju, menatap dengan mata letih diselimuti rasa kantuk yang tak tertahan. Hanya ada satu hal yang terlintas, berharap waktu berlari sekencang-kencangnya meinggalkan dirinya yang beku nan jenuh. Sesekali mata terpejam, dipaksa membelalak di siang bolong. 

Pikiran serasa buntu, tak ada ide yang terbetik, aktivitas yang tak menggugah semangat terus menghantui. Dalam proses waktu yang berputar membawanya melanglang buana melintasi ruang, melangkahi waktu. Hanya satu hal yang pasti bahwa masa tak mengenal siapa-siapa dan apa-apa, seperti benda mati yang keberadaannya hadir dengan sendirinya dan akan terus hadir dalam keabadian. 

Pikiran melayang, sesekali meredup pertanda kejenuhan bercampur rasa kantuk. Angin pun tak sudi membelainya, cahanya pun tak rela meneranginya.  Dari bilik sebelah tepat disatu ruang para intelektual teknis berbual, yang terdengar hanya keramaian yang tak beraturan, ekspresi kebosanan yang massif bahwa ini bukan surga yang diimpikan. 

Tak ada kicauan burung, yang ada hanya deru kendaraan yang melaju saling silang. 
-----
Sebuah pemandangan kontras terus nampak, etika menjadi kenyataan yang dibincangkan dalam ruang dan waktu yang terbatas, yang berpisah dari pembincangan lainnya. Saat kesadaran ke-manusia-an di perdengarkan ditempat yang berbeda kesadaran sebagai hewan yang mengakumulasi terus distimulusisasi dengan dogma-dogma imajiner. Personalitas ganda secara tak langsung terus diproduksi, dalam ruang-ruang yang memaksakan. Ironisnya semua orang berpikir bahwa itu adalah ‘’sekolah’’. 

Scholae terkadang tak berbeda dengan penjara, dibangun diatas dinding tembok tebal, dengan pagar besi yang apit dan runcing. Pintu gerbang dijaga oleh sipir yang diproduksi lewat latihan paramilter yang sistematis. 

‘’ini bukan tempat bermain’’, ketusnya, saat yang sama ia menyebut ini sebagai tempat yang suci layaknya surga. Tapi jauh dari lubuk kesadaran kemanusiaan yang dalam, pikiran dan hati tak bisa berpaling untuk memahaminya sebagai neraka—ruang-ruang penyiksaan psikologis yang akut.

Scholae sudah seperti agama manusia modern hari ini. Ia adalah jalan instan yang menjanjikan manusia mencapai tiket surga dunia, yang tak lain adalah doktrin-doktrin akumulasi kapital.  Apa yang membuatnya bertahan tiada lain adalah bentuk pentaqlikan setianya pada kekuasaan dan modal.
-----
Bel akhir berdering, pertanda waktu bebas telah datang, bunyi itu mengandung kekuatan ‘’magic’’ membangunkan mereka yang kehilangan kesadaran beralaskan meja. Seperti burung yang keluar dari sangkar, ekspresi kesenangan terlepas dari belenggu sipir. Meski dalam benak ini tak lebih sebagai sebuah konsensi kebebasan semu. 

Ekspresi kebebasan meletup-letup seperti letupan bedil kemenangan yang terjajah. Layaknya 350 tahun dijajah Belanda, derita yang sama saat sepertiga sisa hidup dihabiskan dalam ruang sempit, tatapan garang penuh kebingungan dan keputusasaan melahap bualan teori yang tak jelas rimbanya. 

Tak ada seni yang (sejatinya) membebaskan, yang ada hanya perintah dan ancaman mengunci pikiran dan jiwa, menjadi belenggu yang mematikan nalar dan rasa. Kedisiplinan dan moralitas menjadi angin suci yang dihembuskan. Dalam ruang-ruang yang tidak demokratis, para tekhnokrat dicipta dengan karakter yang penuh dengan kalkulasi pragmatis. Dan itulah yang dibanggakan pemangku kuasa sebagai generasi masa depan !

Buku-buku dengan segenap isinya yang kaku, beberapa diantaranya penuh ‘’kebohongan’’ menghantui pikiran dan mengusik tidurnya. Dalam diam ia berkata: ‘’Apa guna semua ini?’’. Sambil berlari meninggalkan gedung tinggi itu ia bergumam ‘’Apakah ini yang menjadi standar untuk menyebut diriku sebagai manusia, saat rasanya aku diperlakukan tidak  layaknya manusia ?’’.

Penulis
Muhammad Ruslan

source: catatan https://www.facebook.com/notes/mohammed-roeslank/scholae-in-loco-parentis/956085767784148


[1]  Scola in loco parentis, istilah yunani, untuk melihat bentuk lain pola pedagogi, yang awalnya berpusat pada ibu (scola matterna) sebagai lembaga sosialisasi tertua. Scola in loco parentis, dipahami sebagai lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu (Lihat: Roem T,2013: 6-7). 


Kekerasan Horizontal di Sekolah, ekspresi kepengapan dan kegagapan sekolah?


sumber gambar: http://poskotanews.com/cms/wp-content/uploads/2015/09/smac.jpg

Belum redah ‘’kehebohan’’ pratik amoral (asusila) dilingkungan sekolah yang melibatkan guru hingga siswa. Kini publik kembali terhenyak praktik kekerasan horizontal ditingkatan sekolah dasar diperankan oleh seorang siswa (diupload youtube, 12/10) dengan menendang secara brutal temannya sendiri yang notabene seorang perempuan (sumatera barat). Yang jelas praktik asusila dan kekerasan akhir-akhir ini selalu saja muncul kepermukaan, yang ironisnya itu terjdi didunia anak yang berada dalam batas tembok tebal yang bernama sekolah. Publik tentu belum lupa kekerasan yang sama pernah terjadi di tingkat SD berujung tragis dengan hilangnya nyawa salah satu korban yang tiada lain teman sekolah sendiri.

Ekspresi kepengapan dan kegagapan sekolah?
Menimpalikan semua sebab kepada siswa sebagai tempat ‘’pelampiasan’’ amarah dengan tuduhan-tuduhan implisit yang tidak mendidik (blaming victims), hanya justru memperlihatkan ketidakdewasaan kita (segenap pihak) terhadap persoalan. Setidaknya ini menjadi gambaran dari wajah ‘’persekolahan’’ kita hari ini, seharusnya ‘’memaksa’’ kita untuk merefleksikan ulang tatanan dan kondisi sistem persekolahan yang telah berjalan selama ini. Evaluasi harus melibatkan semua pihak baik masyarakat sebagai orang tua siswa maupun yang lebih penting ditingkatan birokrasi pemerintah hingga pejabat-pejabat ditingkat sekolah-yang akhir-akhir ini lebih terlena utopianitas kurikulum 2013

Sebuah ekspresi kepengapan ditengah kegagapan sekolah yang terus menerus terjebak pada spiral paradigma mainstream dalam pengelolaan sekolah hanya akan terus mereproduksi kekerasan-kekerasan frontal terjadi, yang ironisnya ikut merembes ditingkat horizontal (siswa-siswa), yang sebelumnya hanya berkutat diwilayah vertikal (guru-siswa). Tak kurang dan tak lebih ketika kekerasan dalam makna sejatinya tak hanya dipandang secara fisik juga secara psikologik, keduanya sebenarnya memiliki akar yang sama dalam tampakan yang berbeda. 

Kalaulah kekerasan fisik disekolah telah ‘’dihakimi’’ sebagai realitas yang sudah tidak relevan dengan kebutuhan, nyatanya kekerasan psikologik yang muncul dalam proses maupun secara simbolik belum dilihat secara mendalam-apatah lagi untuk melihat batas polanya dan menilai secara normatif. Padahal domain ini jauh lebih berbahaya dari sekadar apa yang kita sebut kekerasan fisik, salah satunya memungkinkan menjadi sebab munculnya kekerasan fisik sebagai wujud dari apa yang disebut ekpresi kepengapan dan kegagapan sekolah. Dan ketika itu berbentur dengan dogma-dogma nilai secara vertikal maka ia akan mencari celah secara horizontal, seperti yang marak terjadi.

Kelihatannya sekolah secara umum masih belum bisa berlepas kendali dari pola-pola pedagogik ala-militeristik, dengan menjadikan hukuman dan ancaman satu-satunya literasi dalam berinteraksi dengan siswa. Pola-pola apa yang ia sebut penjinakan dikontrol dan dikendalikan lewat  rasa takut disamping beban yang seolah menggunung, sehingga apa yang Neil Postman sebut bahwa ‘’anak didik masuk sekolah dengan tanda tanya keluar dengan tanda titik’’- seolah merepresentasikan sebagai sumber ‘’penyakit’’ dari berbagai wujud ekspresi kepengapan sekolah.

Bias nilai
Kekerasan horizontal yang mengemuka dapat dipandang sebagai pergeseran model kekerasan vertikal yang bersifat klasik dalam sekolah. Ini seharusnya menjadi spektrum persoalan yang serius harus dikaji oleh pengambil kebijakan. Kalau kita meminjam istilah Durkheim yang memandang sekolah layaknya miniatur masyarakat, maka kekerasan-kekersan yang bersifat horizontal dimasyarakat yang juga terus terjadi, seolah memperlihatkan sinergi yang sama dengan sekolah. Upaya penyadaran kolektif (kerjasama) dalam satu kebajikan bersama sebagai nilai dalam sekolah kelihatannya lenyap–tenggelam dari nuansa kompetitif individual yang akut dipertahankan sebagai nilai. 

Seperti yang Neil Postman sebut bahwa ‘’yang cukup mengherankan dari produk sekolah (siswa) adalah ketiadaan rasa gelisah apalagi ‘’mengamuk’’ melihat kedzaliman atau anomali nilai di lingkungan sekitarnya’’ telah menjadi sisi ironis untuk terus mempertanyakan model sistem nilai apa sebenarnya yang berjalan selama ini?. Semakin banyak kasus penganiayaan secara horizontal, seolah hanya menjadi sandiwara dan hiburan bagi siswa yang lainnya, bahkan diantara mereka lebih banyak mengabadikan dari pada menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk dalam makna praktis. 

Dimana Pemerintah?
Kita (semua pihak) harus gelisah dengan kondisi pendidikan kita hari ini, selain setumpuk prestasi yang menjadi klaim atas keberhasilan sekolah menyulap orang menjadi manusia, tetap kita tak dapat menutup mata sebagian dari anak didik kita justru ‘’tersesat’’ dijalan yang ‘’memungkinkan’’ menjadi ranah lembaga-lembaga pemasyarakatan. Di makassar sendiri, kasus kekerasan yang melibatkan pelajar harus patut menjadi perhatian serius, baik kekerasan dalam wujud rupa nyata maupun yang beranomali dalam komunitas-komnitas sosial seperti gen motor  yang ikut meresahkan masyarakat. 

Kekerasan horizontal apapun bentuknya harus diakhiri dalam sekolah. Disebabkan persoalan ini adalah persoalan komprehensif, tentu harus dilihat dan dipandang secara komprehensif pula. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan besar dalam pendidikan tentunya tidak boleh terus menerus terjebak dalam berbagai upaya meng-tekhnikalisasi persoalan-persoalan pendidikan yang mencuat, sebab persoalan substansi tidak tepat direduksi sebagai sebuah persoalan tekhnis. Tentu kita tidak berharap apa yang ada dalam pikiran para elit pengambil kebijakan hari ini melihat persoalan tersebut hanya memandangnya sebagai dinamika saja dalam pendidikan, seperti ia memandnag ‘’kericuhan dan kekisruhan’’ pemilihan anggota DPR sebelumnya sebagai sebuah dinamika politik semata, yang seolah dipandang sebagai sesuatu yang ‘’lazim, biasa-biasa saja’’ menunggu berlalu begitu saja, ataupun kalaupun menindaklanjuti hanya sampai pada hal-hal yang bersifat administratif-birokratis semata.

Penulis
Muhammad Ruslan
Tulisan ini terbit di Harian Pagi Fajar edisi Rabu 15 Oktober 2014, dipublish untuk tujuan pendidikan

Selasa, 29 Desember 2015

Mengajar itu Tentang Bertanya, bukan Menjawab



source: resist book, 2007
Sulit untuk menafikan kenyataan bahwa, salah satu esensi yang terus tergerus dari potret pendidikan kita hari ini adalah hilangnya konteks ‘’bertanya’’ dalam ruang belajar (sekolah/kampus). Bertanya, ditanya, menanya, dan mempertanyakan. Apa yang ditanyakan (apa yang dibedah dalam pengajaran), bagaimana ia dibedah (ditanyakan), serta relasi yang dibangun, adalah pertanyaan-pertanyaan untuk melihat dimensi normatif pendidikan. 

Saat ini pendidikan terus mengalir dalam rupa ‘’menjawab’’, menawarkan jawaban dalam kepastian-kepastian, kebenaran seperti dipasung dalam kepastian-kepastian yang keramat. Guru/dosen adalah satu-satunya pihak yang ‘’sahih’’ untuk menjawab—memberi dan melegitimasi kepastian-kepastian kebenaran

Menentukan, mendikte, memerintah dan mengancam adalah alatnya. Kalaupun ada yang kita sebut ‘’pertanyaan’’, maka menjadi kebiasaan kalau pertanyaan tersebut memutlakkan jawaban berdasarkan persepektif si Empunya ilmu atau sesuai yang tertulis dalam buku. Dalam konteks ini otoritas menguasai di atas dari nalar sekalipun.

Perspektif pendidikan seperti ini, meniscayakan otoritas memangku pengetahuan, kebenaran terkerdilkan, nalar berpikir tersumbat, dan hanya akan menghasilkan ketergantungan kebenaran pada otoritas, hingga suatu saat pemahaman tercaplok bahwa kebenaran bersumber dari otoritas akan menjadi pola pikir tersendiri bagi pelajar. Inilah salah satu dimensi politik dalam pendidikan di luar dari eksistensi kurikulum yang nyata. 

Banyak instrumen yang muncul sebagai wadah yang mewadahi persepektif  tersebut, sebut saja: salah  satunya pertanyaan-pertanyaan pada ujian yang selalu berporos pada pilihan berganda. Pilihan ganda tidak hanya membatasi ruang berpikir, juga sama sekali tidak memperlihatkan ada dimensi intelektual yang terkandung di dalamnya, selain sekadar menyajikan pilihan terbatas. Kalaupun ada ruang berpendapat dalam bentuk essai, tetap saja jawaban yang dituntut bukan refleksi kejujuran dan pemikiran otonom pelajar, melainkan kesamaan dari apa yang tertulis dalam buku. Sehingga ujian tak lebih seperti momen untuk menguji kemampuan memindahkan isi buku ke dalam lembar jawaban—tak lebih dari itu. Ironis dan mirisnya, di perguruan tinggi sekalipun pola yang pendidikan kolonial seperti ini masih lazim dijumpai.

Pendidikan/pengajaran yang berorientasi menawarkan kepastian-kepastian ini, bukan saja menjadi penghambat inovasi, juga mencederai lahirnya perspektif-perspektif baru dalam pendidikan. Dampak yang ditimbulkan pun tidak biasa, yakni lahirnya produk pendidikan yang lihai dan cepat mengadili dan menghakimi ketimbang memahami---seperti kerap terjadi di masyarkat baik atas nama individu maupun ormas. Persepktif hitam-putih ini, hanya melahirkan wajah pendidikan yang anti-kemajemukan.

Persoalan ini dapat dilacak, saat pertama kali kita jujur mempertanyakan dan membandingkan ‘’apa tujuan pendidikan yang sebanarnya dan bagaimana yang berjalan sekarang?’’. Untuk melahirkan manusia, atau untuk melahirkan ‘’pekerja yang baik’’ dengan segenap karakter kepatuhan yang mumpuni?. Begitupun saat kita mempertanyakan objek pendidikan: realitas kemanusiaan atau realitas pasar?. Tanpa ingin memaksakan kseimpulan, rasanya kita pun bisa mengmbil kesimpulan atas pertanyaan tersebut. 

Sepertinya, kita harus mengajar-belajar bertanya dan berani mempertanyakan banyak hal. Bertanya dalam pendidikan/pengajaran bukan untuk menuntut jawaban yang mutlak, sebagaimana pertanyaan tak selalu mensyaratkan jawaban pasti. Sebab pelajar ideal bukanlah penjawab tercepat, tetapi mereka yang mampu mengkonsepkan suatu realitas pemahaman sendiri, refleksi dari pengalaman masing-masing. 

Pendidikan harusnya mengajarkan untuk bertanya bukan sekadar menjawab. Sebab kita lahir untuk bertanya dan mempertanyakan realitas yang terjadi di sekeliling kita. Hal ini sebagai bentuk normatif dari jalan pendidikan mendekatkan pelajar dan pengajar pada kehidupan itu sendiri, termasuk memahami persoalan nyata yang terjadi. Bertanya tanpa menuntut keragaman, adalah wujud pemahaman bahwa realitas hanyalah kumpulan dari tafsir-menafsir yang dinamis dan berkembang.

Ya…! Mengajar dengan bertanya dan mempertanyakan. Sebab siapa tahu dalam bertanya dan mempertanyakan,  terselip suara sumbang untuk menuntut..!


Penulis
Muhammad Ruslan