| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Senin, 25 Februari 2019

Baju Wisuda

Wisuda, Wincung, dan Wisatawan Sekolah. hahaha.

Tidak seperti foto-foto perpisahan siswa-siswa di Barat pada umumnya. Biasanya, dalam sesi foto, maka para siswa biasanya berbaris sesuai dengan urutan perangkingan. Tempat duduk paling depan disamping kiri kanan sang guru biasanya diisi oleh siswa-siswa yang dianggap terbaik.  Dan itu sangat sakral.

Berbeda dari itu semua. foto di atas tidak demikian. Mereka yang mengapit saya sebaliknya, kadang-kadang saya ingin mengatakan, bahwa mereka adalah anak-anak juara juga. Tapi juaranya dalam hal buku hitam, tiada tandingannya. haha.

foto ujian kenaikan sabuk. wkwkw. dari kiri Vinky Taekwondo, yang baju putih Pelatih dari Padepokan Silat, Egan Wincung, Steven kungfu. haha.

Coba lihat. Betapa aura bakat terpendam mereka sangat nampak. Anak-anak yang sangat terobsesi dalam dunia persilatan itu, tahu-tahunya mengambil jurusan yang membosankan; akuntansi. Hahaha. Coba lihat, ditengah sesi fotopun mereka tetap mengacungkan tangan silat wincung. Hahaha.

Waktu ingin memulai sesi foto, ketika  para siswa dipersilahkan untuk menempati kursi di depan. Dengan sigap anak-anak dengan bakat buku hitam dan persilatannya itu, begitu cepat tak tertandingi mengambil posisi di depan. Lihat foto pertama. hehe. Saya mahfum dan hanya bisa tertawa melihatnya.

Mereka adalah anak-anak yang dikaruniai bakat dan kepercayaan diri yang sangat tinggi. Hanya saja  barangkali ia salah jurusan. Ckckck. Di kelas pun demikian. Saya kadang-kadang menyebut mereka seabgai wisatawan sekolah. Datang mau-mau dia, duduk, saling mengerjai, ribut, makan-minum, bermain sampai puas, lalu pulang. Begitu seterusnya. Sesekali dapat SP itu uda biasa. Paradoksnya bahwa mereka tetap bahagia dengan itu semua. hahaha.

Sekarang tiga tahun, ia lewati. Baginya kayaknya, ya biasa-biasa aja. Toh, silat wincung tetap dihati ketimbang menghitung harga pokok produksi. Hehe. Itupun, jangan tanya silat uda sabuk berapa? Hmm. Semua hanya ada dilevel imajinasi.

Wajah sumringah mereka pun berbeda dari kawan-kawannya yang lain. Para siswa yang lain, bahagia karena telah berhasil menuntaskan jenjang pendidikan menengah kejuruan. Kalau mereka, kayaknya bukan itu soalnya. Bagi mereka wisuda adalah puncak pembebasan tertinggi dari belenggu sekolah. Mereka barangkali mengaggap wisuda adalah perayaan atas keterbebasan dari ketidakbetahan hidup di alam sekolah.

Berbeda dengan siswaku, para laki-laki yang dibelakang. Dalam hal penerimaan terhadap budaya dan aturan persekolahan, mereka cukup kompromistis. Begitupun dalam pelajaran. Tak banyak tingkah pokoknya. Dan beberapa di antaranya cukup lumayan untuk ukuran akademik. Meski beberapa juga diantaranya mirip wisatawan sekolah tadi. Ya….menganggap sekolah sebagai tempat menghbaiskan umur, menghabiskan sisa-sisa remaja barangkali. Bedanya, bahwa ia tidak banyak bertingkah. Tidak pernah melanggar. Proud!. Hahaha.


bersama Tio, dan seorang penyusup bernama A Li

Sedangkan para srikandi-srikandinya. Rata-rata sudah pandai buat alis pokoknya. Wkwkw. Saya kurang tahu, hal itu ia pelajari dimana, kurang tahu juga. Sebab setahu saya, kami tak pernah mengajarkan hal itu di sekolah. Tapi, bagus loh, alis buatannya pun emang keren-keren. Sangat balance layaknya balance sheet dalam akuntansi. Hahaha.

Waktu sesi foto tadi, saya berujar ke photographer-nya agar dipercepat. Takutnya baju wisuda yang membuat gerah itu, bisa-bisa membuat bedak mereka pada luntur. Kan kasian, waktu berdandang yang dihabiskan tidak singkat loh…

vina, charlene, dkk. foto sehabis merampungkan lingkaran alis dengan perfect. haha

caption sama dengan yang di atas. hehe.

Dan tidak seperti dengan siswa laki-laki pada umumnya malu-malu untuk berfoto. Para siswa srikandi-srikandi millenial ini, sangat aktif. Hehe. Seperti mengafirmasi bahwa inovasi ponsel berkamera depan memang diciptakan untuk kaum perempuan. Haha. Untungnya tadi, mereka tidak melakukan boomerang di tengah-tengah sesi foto. Ampun, itu barangkali akan jadi pengalaman memalukan bagi saya ketika saya harus ikut hal demikian. Hahahaha.

Veno sang gigi harimau, asisten dan ketua kelas, bersama teman-temannya mengabadikan fungsi kamera depan handphone..haha.

Tapi apapun itu. melihat mereka memakai baju wisuda itu. Sangat membanggakan. Entah, itu baju wisuda yang ke berapa yang ia pakai. Bisa jadi itu yang ketiga ataupun keempat. Sejak TK hingga SMK. Jauh lebih baik, ketimbang saya. Yang sejak sekolah sampai sarjana tidak pernah punya pengalaman memakai baju seperti itu. hahaha.

Dan apapun itu. Doa terbaik untuk kalian semua. _/\_

Terakhir. saatnya mengabsen satu-satu....
dari kiri belakang ke kanan. yogi, djaya, joy, salim, tio, ricky, rudy, miko, john, whisly, sherina, haryana, eju, veno, dewi, eve, vina, charlene, wenny, devih, shella, Jeje, Marthi, sunarti, risma, jollyn, longli, aurel, steven, saya?, eagan, vinky. XII Akuntansi SMK Maitreyawira Batam.




Selasa, 19 Februari 2019

RACUN


Selalu ada yang berbeda saat menepi. Setelah didera penyakit yang membuat tubuh tak mampu beroperasi seperti biasanya, barulah arketip-arketip kesadaran kembali. Ingatan, bahkan imajinasi-imajinasi hidup perlahan-lahan muncul.

Setelah jiwa ditelan habis oleh rutinitas. Penyakit yang datang seperti pembebasan dari itu semua. Menengok kembali ke dalam dan menemukan diri yang hilang. Di saat-saat manusia kehilangan energi untuk memapah tubuh, disitulah kita akan kembali tersentak pada kesadaran bahwa manusia itu pada dasarnya lemah.

Kesakitan adalah pembebasan dan kesenangan adalah belenggu.Barangkali benar kata orang, bahwa sebanyak apapun waktu kita habiskan untuk beristirahat, tidak akan bisa mengobati keletihan, kalau yang lelah adalah jiwa kita. Suatu waktu, menjelang eksekusi mati sang filsuf besar Socrates, di kerumunan sahabatnya ia melontarkan pernyataan menjawab kerisauan dan kesedihan sahabatnya di sekitarnya, ia berkata; kebijaksanaan itu adalah pembebasan, yang paling dekat dari itu semua adalah kematian. Ketika hidup adalah belenggu, bagaimana mungkin seorang filsuf bisa bersedih atas kematian?

Para sahabatnya terdiam. Jelang kematian sang guru di depannya, membuatnya semakin sulit untuk menempatkan perasaannya. Kesedihan karena kematian bercampur dengan kesenangan karena pembebasan. Ia benar-benar kesulitan untuk mengontrol perasaannya yang tercampur itu. Sesekali ia tertawa sesekali ia kembali bersedih.

Kebenaran menjadi kumpulan-kumpulan absurditas-absurditas hidup. Manusia adalah narapidana yang tidak punya hak untuk membuka pintu penjaranya dan lari. Inilah kebenarannya, kata Socrates. Setiap kesenangan dan kesakitan adalah sejenis paku yang memaku jiwa dengan tubuh. Ketika jiwa telah terpesona oleh tubuh disitulah awal mula penderitaan lahir. Ketakutan akan rasa sakit adalah wujud dari hidup dimana jiwa hanya menjadi pelayan bagi tubuh. Dan ini adalah titik terendah dari hidup di mata filsuf.

Tak lama setelah itu, Socrates mati. Dia  dihukum dengan cara dipaksa meminum racun oleh penguasa Athena saat itu. Ia menghadapi itu tanpa rasa takut. Dunia berkabung. Rasa hormat atas keberaniannya terurai hingga kini. Kalau saja ia menyerah dan takluk, saya rasa sejarah akan berkata lain.

Dalam kehidupan ini, meski kita terpaut ratusan tahun dengan Socrates. Namun kisah-kisah tentang racun itu sangat terpaut dengan kehidupan kita dalam rupa bentuk yang berbeda . Aku melihat racun-racun yang membunuh Socrates itu berseliweran dimana-mana. Racun-racun yang diproduksi oleh kekuasaan menindas,  tidak hanya membunuh manusia, tapi lebih dari itu ia ikut membunuh nalar dan pengetahuan.

Namun begitulah hukumnya. Keadilan boleh kalah oleh ketidakadilan. Kebenaran boleh dilumpuhkan oleh kekuasaan. Tapi tak ada yang abadi untuk itu. Seperti dengan kata-kata Socrates; Orang jahat tak akan mampu menyakiti orang lain kecuali dirinya sendiri.

Minggu, 18 November 2018

Yang Abadi Adalah Kegelapan

Plukme.com
Seperti sebuah tatap kosong. Dua kelopak matanya tampak tidak lagi seimbang. Sebelah kiri begitu sayu. Asap meliup-liup dari puntung rokok di tangan kirinya. Seperti biasanya, hari itu terlalu melelahkan. Ia mengingat tadi siang. Beberapa teman yang ia temui menanyakan kesehatan dirinya. Pertanyaan-pertanyaan “Apakah Bung sehat?”. Seperti mengafirmasi bahwa dirinya memang sakit.

Lesu, murung. Begitulah temannya melihatnya. Kini ia baru 4 hari sejak meninggalkan kota yang ia tinggali 3 tahun silam. Pikirannya kembali ke belakang. Memunguti remah-rmah ingatan yang tersisa. Bukan karena rindu. Bukan. Karena rasa muak barangkali yang benar-benar tak pernah sudi meninggalkannya.

Ia mulai membatin:

Dulu ia punya prinsip. Katanya, dimanapun kaki berpijak di kolong langit ini, bau rumput tetap sama. Kebisingan tak pernah benar-benar pergi. Di alam kebisingan tak beraturan itulah umur manusia akan terus bergelut dengan kesia-siaan. Banyak yang berkata masa depan adalah gaib. Tapi tidak untuk dirinya. Baginya, kegaiban yang dipersepsi manusia banyakan muncul lantaran ia tidak pernah belajar dari kehidupan yang sesungguhnya.

Ini hanya soal waktu, batinnya. Sambil menunggu itu tiba. Kita semua akan menghibur diri dengan kesenangan palsu yang kita ciptakan untuk lari dari kenyataan. Dengan keangkuhan bercampur kebodohan, kita menghibur diri seolah manusia bisa merengkuh semua waktu.

Apa yang paling sial bagi seorang anak muda di usia dini adalah menemukan kebenaran hidup terlalu cepat. Kebenaran adalah kenyataan bahwa hidup itu tak berarti, kata Tolstoy. Hidup adalah lelucon bodoh yang dimainkan seseorang terhadap diri kita. ‘Seseorang’ yang terlalu abstrak untuk kita tahu keberadaannya.

Manusia begitulah dirinya. Ia seperti makhluk yang tersesat di hutan belantara diliputi ketakutan dan ketidakpastian, mengais-ngais harapan untuk keluar namun tak pernah punya jalan untuk menemukan pintu.

Mereka berdiri di atas ruang hampa tanpa pijakan. Kita sebagaimana umat manusia lainnya berada diambang keputusasaan hidup yang tak ada batasnya. Begitulah kenyataannya. Arketip gagasan yang mencoba menghidupkan harapan hanyalah penghiburan diri bagi mereka yang sudah tak tahan merasakan penindasan eksistensial hidup yang tak berkesudahan. Kita semua adalah orang-orang lari dengan berbagai cara yang kita pilih.

Dulu saya merasa terlalu terobsesi untuk memandang kehidupan ini dalam bilangan putih. Pengetahuan yang aku serap dibarengi dengan lokomotif ide-ide optimisme, aku memahami bahwa dunia ini tercipta dari cahaya kebaikan. Cahaya adalah esensi utama kehidupan, sedang kegelapan aku tempatkan sebagai konsekuesi sekuel dari ketiadaan cahaya, yang keberadaannya tergantung pada cahaya. Seperti anak polos yang meyakini bahwa kehidupan ini pada dasarnya baik, selebihnya hanyalah variabel-variabel kehidupan yang tercipta secara artifisial, yang kita sebut kegelapan.

Namun, sekarang rasanya tidak lagi demikian. Kehidupan sebagaimana kata orang adalah guru yang paling baik dalam mengajarkan banyak hal. Begitpun diriku. Dari kehidupan kita belajar bahwa kenyataan bahwa kegelapan barangkali adalah keabadian, sedangkan cahaya hanyalah realitas artifisial yang diciptakan manusia. Ruang kegelapan lebih luas. Sedang cahaya begitu relatif. Ia ada dan pada saat yang berbeda bisa meredup lalu hilang, setelah itu, ia menyisiakan kenyataan esensial kegelapan untuk kembali.

Cahaya itu diciptakan, sedangkan kegelapan tidak. Begitulah kebenaran kehidupan bagi kita yang ingin jujur untuk mengakui kehidupan apa adanya. Kehidupan seperti balon-balon sabun yang kita terbangkan ke udara. Begitu rapuh dan lemah, sebelum hilang tak berjejak.

Kita hidup dalam ketakutan, berjalan tergesa-gesa, meniupkan balon itu terus menerus, sembari berharap, namun tetap saja kita tak punya harapan untuk memenangkannya. Pengetahuan yang kita jadikan pegangan, tidak pernah benar-benar mampu memberikan kita jalan keluar hakiki untuk  keluar dari keptusasaan hidup. Sebaliknya, pengetahuan sebagaimana filsafat, ketimbah memberi jawaban lebih banyak hanya akan berkontribusi mempertegas dan memperjelas kebenaran bahwa hidup ini memang paradoks, palsu, dan sia-sia.

Sia-sia, seperti halnya seorang anak yang terus menerus meniupkan balon sabun itu, pecah lalu ditiup lagi, begitu seterusnya hingga tiba masanya ketika mereka sadar bahwa kenikmatan yang ia rasakan di sela-sela aktivitasnya itu adalah hal yang membosankan. Ketika kita mulai bertanya dititik kejenuhan dan kebosanan maka disitulah kita akan memahami hakikat terdalam dari kehidupan yang kita lalui. Ada banyak pertanyaan yang takkan pernah bisa kita temukan jawabannya, yang akhirnya melemparkan kita pada kekabungan hidup yang tak berkesudahan.  

Persis ketika Tolstoy berkata: “Pertanyaan yang memenuhi benakku diusia tua yang membuatku hampir bunuh diri adalah pertanyaan paling sederhana, yang tertanam di dalam jiwa setiap orang mulai anak yang paling bodoh sekalipun hingga orang dewasa yang paling bijak. Itu adalah pertanyaan tanpa yawaban yang tak bisa ditanggung seorangpun sebagaimana kuketahui dari pengalaman. Pertanyaan itu adalah, apa artinya semua ini dan apa yang akan terjadi dengan seluruh hidupku?”

Ia bangkit dari batinnya. Malam sudah larut. Ia mengambil sebuah buku kecil yang tergeletak di atas mejanya,lalu menuliskan: yang abadi adalah kegelapan, selebihnya palsu!  

Selasa, 03 Juli 2018

Laki-Laki dalam Perjalanan – [Part 1]



Ia duduk. Ini adalah persinggahan kedua bagi dirinya. Di sebuah tembok yang datar ia bersandar. Perjalanan hari ini begitu melelahkan, katanya. Diambilnya rokok, dihisapnya pelan-pelan. Dalam bayang-bayangnya ia meramu satu persatu ingatan yang lalu. Satu persatu rasa muak muncul kembali mengingat yang lalu-lalu. Ia mulai membatin:

Perjalanan ini mengajarkan banyak hal. Ada rasa bosan, terlebih rasa muak yang menggoncang tubuh dari dalam, menyaksikan kebenaran apa yang pernah dikatakan Nietzche bahwa manusia itu adalah binatang yang berpipih merah.

Kalau kau adalah gula maka semut akan mengerumunimu. Dan itu takkan terjadi ketika kau telah menjadi abu yang habis terbakar. Kau akan terbang, diterbangkan dengan mudahnya, dihempaskan oleh tiupan kecil sekalipun.

Dulu saya berpikir dunia ini begitu luas. Ada banyak rahasia kehidupan yang hampir tak terjamah oleh manusia kebanyakan. Rasa-rasanya semakin kita menyelaminya, yang terasa hanya lautan asing yang membekukan.

Ada irisan rasa muak yang tersisa kepada mereka yang telah terlanjur menempatkan kebebasan untuk menjadi manusia merdeka sebagai prinsip hidup. Tak ada sama sekali hasrat untuk memerintah begitupun untuk diperintah. Karena hidup terlampau sederhana untuk itu semua, kecuali untuk menjadi manusia merdeka, itu adalah keniscayaan.

Akhirnya, suatu saat kita semua akan tahu. Bahwa dimanapun bumi dipijak kehidupan tetap sama. Tak ada bedanya, kutub utara atau kutub selatan, sebab bagaimanapun bumi ini bergerak, manusia tetaplah manusia. Ia tetap sejenis binatang yang berpipih merah.

Bagaimana pun manusia memoles dirinya dengan rupa yang menggemaskan, ia tetap lah tidak bisa mengubah kegelapan yang tersembunyi dari jiwanya. Di dalam kegelapan itu ada hasrat, ada ambisi, ada rupa-rupa kenyataan untuk menaklukkan. Maka jangan heran, kalau dulu sejarah spesies kita memang hanyalah sejarah tentang perang. Sejarah tentang perbudakan, sejarah tentang kekejaman dan kejahatan—tak lebih dari itu.

Di sebuah lesung pipih dan rupa kemerah-merahan, di balik senyum ada taring yang begitu tajam tepat dirahang yang siap mengoyak. Membunuh, menghabisi harapan siapa saja yang enggan untuk takluk menjai santapan.

Dan kita pun paham, kenapa dalam sejarah manusia itu sendiri, selalu muncul orang perorang yang berusaha lari dari kehidupan manusia. Ada yang kita kenal dengan istilah samnyasin di belahan India kuno sama dengan istilah kaum sufi dalam tradisi Timur Tengah.

Mereka adalah golongan ‘penyendiri’ yang menjadikan kesendirian sebagai laku protes terhadap kehidupan manusia yang rusak, hipokrit, feodal yang memuakkan. Mereka bukanlah orang-orang lari, melainkan adalah orang-orang yang telah melancarkan protes yang sangat keras bagi kehidupan manusia itu sendiri. Mereka adalah orang-orang yang ingin menghancurkan samasara penderitaan, meretakkan segel kutukan yang tergembong rapat dijiwa manusia.

Manusia begitulah dirinya, semakin ia bangkit menuju terang, semakin dalam akarnya  ke bawah menuju gelap.

“Bis sudah harus berangkat, ayo cepat….!”

Ia terkejut. Mendengar teriakan kondektur bis. Ia bangkit. Bis yang ia tunggu sudah tiba, ia lalu bergegas meninggalkan batin yang belum selesai.

Ia  naik, duduk tepat di baris kelima dari sopir bus dekat jendela. Ia melihat kondektur bis itu berteriak-teriak mencari penumpang. Dalam bayangannya, teriakan kondektur bis itu mengingatkan teriakannya Zarathustra (dalam karyanya Nieeztsche), seolah berteriak:

Larilah kawanku… ke dalam kesendirianmu! Sebab kulihat engkau dipekakkan oleh suara bising orang-orang yang mendaku manusia! Larilah kawanku… ke dalam kesendiriamu! Aku melihat engkau disengat di sana-sini oleh lalat-lalat beracun yang mematikan! Larilah kawanku…..larilah….

“PAAANGGGG….”, bunyi klakson bis. Bis sudah berlari kencang.

Laki-laki itu berusaha memejamkan mata. Ia tahu, perjalanan yang harus ditempuh hari itu masih cukup jauh. Ia harus mengatur persediaan energi yang cukup. Ia tertidur. Di dalam tertidurnya ia bermimpi berdiri diatas panggung yang kosong, membaca puisi Chairil Anwar berulang-ulang dengan keras penuh emosi yang dalam:

Kami pejalan larut
Menembus kabut
Berkakuan kapal-kapal pelabuhan
Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat

Engkau tanya jam berapa?

Sudah larut sekali, gumamku
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak pun terhenti

***

Jumat, 23 Maret 2018

Di Bawah Altar



MATANYA sayu namun tajam. Di dalam bola matanya tersimpang iba. Ia adalah satu diantara mereka yang berjuang melawan takdir. Ketika sebagian orang mengeluh panasnya terik matahari siang. Ia tidak. Tubuhnya sudah kenyang akan panas dan dingin. Kulitnya menghitam terbakar terik. Pagi sampai malam adalah kehidupan ia lalui. Tanpa pernah barangkalai mengeluh. Di jalan mereka hidup. Berdiri tegar bersama kerasnya hidup di tengah keramaian banyak orang yang ingin menyembah tuhan, sembari menjajakan koran penyambung hidupnya.

Umurnya barangkali baru 6 tahun. Waktunya yang mudah untuk bermain, bersekolah sebayanya. Namun begitulah hidup yang datang menghampirinya tanpa pernah diberi pilihan. Barangkali dalam ingatannya apa yang ia lihat anak sebayanya adalah dunia yang begitu asing bagi dirinya. Mereka mungkin tak pernah berpikir layaknya para anak sekolahan yang bercita-cita ingin jadi dokter, ilmuwan, atau pengusaha. Yang ia bayangkan hanya apakah koran dijinjinan tangannya hari itu laku atau tidak. Suatu hidup yang terlampaui sederhana ia lalui dengan tegar.

Saya benar-benar tersentak. Entah perasaan apa yang membuncah ini. Perasaan yang sama pada anak paruh baya yang sempat kujumpai sebelumnya di pinggir lampu merah dua hari sebelumnya. Berbekal lap kain di tangannya, anak kecil itu mengusap kaca mobil yang berhenti dipersimpangan lampu merah itu, dengan harap bisa mendapatkan receh dari para puan-puan penggunan mobil dijalan, tanpa pernah memaksa.

Dua anak yang kujumpai ini seperti mengentak iba yang tak tertara dalam diri. Dalam perjalanan pulang di atas motor, terasa ada hal yang benar-benar menguap dalam batinku, yang tak bisa aku simpulkan. Suatu perasaan yang barangkali bisa aku katakan sebagai perjalanan spritual tersendiri. Di jalan rasa-rasanya aku menemukan hal-hal berharga tentang hidup ini lebih dari yang kudapatkan dimanapun. Kepedihan hati yang bercampur-campur yang tak pernah bisa aku mengerti. Suatu perasaan yang bahkan tidak pernah aku temukan di ruang-ruang dimana manusia lazim menyembah tuhan sekalipun.

Barangkali Gandhi benar. Tuhan selalu hadir di wajah orang-orang kecil. Wajah-wajah yang bahkan selama ini diabaikan di tempat dimana manusia merayakan keberadaan tuhan sekalipun.

Barangkali, seandainya tuhan mengutus kembali para nabinya yang telah kembali ke sisinya melihat ini semua. Saya yakin ia akan geleng-geleng kepala, menyaksikan betapa bodoh para umat-umatnya ini. Ia membangunkan tuhan tempat-tempat yang mewah, tanpa pernah menemukan tuhan di dalamnya. Mereka ingin mengkarangkeng tuhan di altar sempit yang ia cipta, sembari terus menerus menafikan manifestasi-manifestasi tuhan pada orang-orang kecil di sekelilingnya.

Mereka kagum dengan hasil cipta karya tangan mereka sendiri, lalu mengkapling-kapling klaim ketuhanan atas kebenaran mereka sendiri menjadi identitas, lalu memuja dan memujinya dalam keadaan yang penuh kegilaan, sembari berlindung dalam ketenangan-ketenagngan yang tak ada bedanya dengan menghirup heroin di bar-bar malam. Lalu pulang, dengan segala ketenagan palsu yang dimilikinya, tanpa pernah berpikir bahwa dibalik istana kekayaannya ada wajah-wajah tuhan yang mengibaskan tembikar menghitung hari untuk bertahan hidup, tepat disamping istana tuhannya yang mewah itu.

Aku berpikir, bahwa tempat-tempat ibadah suatu saat akan menjadi museum sejarah yang mengingatkan kebodohan manusia masa lalu. Persis ketika para arkeolog menemukan purbakala-purbakala manusia-manusia lampau. Melihat para orang-orang beragama lebih sibuk bertengkar pada urusan pendirian tempat ibadah daripada memperbaiki kondisi sosialnya yang sudah sekarat senjang.

Aku muak dengan kemegahan palsu,” kata Iqbal—Sang filsuf penyair. “Padamkan lampu di semua kelenteng dan mesjid,” lanjutnya. “Sebab mereka mencoba menipu tuhan dengan berhala-berhala. Dengan sujud bicara tanpa makna. Kemudian arahkan pandang kepada semua pemuka agama. Sebab mereka berdiir bagai tirai besi yang memisahkan manusia dan tuhan…”

Kebenaran dalam agama seperti mendayung-dayung layaknya balon udara yang kosong, terbang lalu hilang sekejap tanpa jejak. Seperti halnya dengan tuhan di mata manusia. Ia datang sejenak lalu hilang dalam waktu yang lama yang bahkan tak pernah ditemukan sama sekali dalam kehidupan.

Hidup semakin jalang. Di tengah-tengahnya dimana agama perlahan-lahan lapuk dimakan usia yang lumpuh dalam mengambil peran sosial. Para beton-beton tembok-tembok tempat ibadah dibongkar, dibangun kembali, dibongkar lagi, dibangun kembali dan seterusnya; terus diperkilat dan dimewahkan, sekadar untuk menghabiskan uang sumbangan milik umatnya.

Namun disudut-sudut sana, para orang-orang kecil yang terbuang duduk termangu-mangu dalam keadaan lapar, memanggul beban di pundaknya, menyaksikan tepat di samping kotak sumbangan yang tergembok rapat; betapa kayanya tuhan yang meminggirkan dirinya. Seolah ingin berkata; Pandanglah ke bawah. Tak ada tuhan di atas. Tuhan yang baik. Hanya neraka di bawah sini…