| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Rabu, 25 Januari 2017

Titik Balik Pengetahuan dan Stagnasi Kita


Kalau di media sosial muncul sarkasme yangmengatakan orang Indonesia kearab-araban, sedangkan Arab kebarat-baratan, maka dalam perkembangan ilmu pengetahuan kita juga memperlihatkan siklus terbalik. Ilmu pengetahuan kita menjadi kebarat-baratan saat yang sama Barat justru diam-diam mempelajari ketimuran.

Gagasan back to nature ala JJ Roessau, atau gagasan pensejajaran fisika modern dan mistisisme ketimuran dari Fritjof Chapra memperlihatkan dinamika perkembangan pengetahuan Barat yang berputar itu. Upaya menggali dan kembali membongkar naskah-naskah kuno ketimuran yang selama ini diabaikan, seperti menemukan kembali apa yang hilang bagi mereka. Apa yang mereka sebut takhayul dan mitos-mitos ketimuran itu justru diam-diam dikaji kembali. Chapra bahkan menyebut fenomena ini sebagai titik balik peradaban.

Sedang apa yang terjadi di Timur, Indonesia khususnya? Kita seperti baru saja terasa mengakhiri masa merangkak menjadi baligh. Baru saja memamah masa gelap kita sembari mengutuk segala bentuk apa yang kita definisikan sebagai mitos sebagai sesuatu yang kolot, yang tak lain dalah peradaban nenek moyang kita sendiri. Sembari mengalihkan pandang pada peradaban Barat yang gemilang karena pencapaian akal dan segenap antroposentrisme pengetahuannya yang maskulin. Teknologi yang diciptakan Barat semakin membuat kredo ketakjuban kita menjadi-jadi.

Gagasan-gagasan yang pernah mengguncang pencapaian peradaban Barat dua hingga tiga abad lampau, baru saja menghampiri kita. Sekularisasi dan positivisme pengetahuan seperti sebuah sabda bagi orang timur sekarang ini. Ia seperti bodhi, kredo jalan dari perkembangan adopsi corak pengetahuan Barat yang diinteranalisasi dalam berbagai perangkat intitusi pendidikan kita hari ini.

Sangat mudah mengidentifikasi hal ini. Generasi-generasi tua yang masih mendominasi aktivitas kampus hari ini masih menjadi pertanda bahwa tradisi keilmuan abad ke-18 ini, masih menguasai lalu-lintas intelektual kita sekarang ini. Bagi Anda yang masih berkutat dengan aktivitas kampus, sangat mudah merasakan atmosfer ini. Khususnya saat ingin penelitian, dan mendapatkan pembimbing yang tua-tua. Hehe (meskipun tidak semunya).

Terlebih lagi di lingkup pendidikan dasar hingga menengah. Bidang ekonomi misalnya, coba kita lihat teori-teori ekonomi yang diajarkan sampai hari ini misalnya. Teori-teori ekonomi yang sudah seharusnya kadarluarsa, namun masih terus direproduksi saat ini tanpa pernah direvisi, apalagi dikritisi. Dari jaman nenek moyang keturunan XVI sampai sekarang. Yang diajarkan sebagai pokok dasar persoalan ekonomi hanyalah itu-itu saja: What, How dan Whom. Ini tak lain merupakan masalah pokok ekonomi paling klasik, yang muncul saat pertama kali meletus revolusi industri. Saat manusia masih kebingungan dalam memanfaatkan teknologi industri untuk kepentingan pasar. Antara apa yang diproduksi, bagaimana memproduksinya hingga pertanyaan untuk siapa barang itu diproduksi.

Tak jauh berbeda ketika misalnya teori-teori ekonomi abad ke-18 ini masih menjadikan isu kelangkaan karena faktor alam sebagai simpul pokok persoalan ekonomi. Isu-isu kelangkaan yang didefinisikan dalam persepktif akumulasi modal dan eksploitasi alam. Kelangkaan barang yang mengharuskan manusia mendekati persoalan ekonomi lewat penigkatan produksi secara massif, yang berarti eksploitasi, akumulasi, dan surplus value.

Padahal, saat ini kita justru berhadapan dengan suatu persoalan ekonomi yang terbalik 180 derajat dari konsepsi itu semua. Bukan tentang kelangkaan yang kadang menjadi persoalan ekonomi, tapi justru sebaliknya, kita berhadapan dengan fenomena overproduksi. Overproduksi yang berpangkal pada eksploitasi alam dan buruh yang sangat cepat akibat teknologi yang tak terkontrol. Namun, Overprduksi ini selain telah berhasil membuat sebagian kecil manusia kekenyangan, namun justru tetap membuat sebagian besar manusia yang lain tetap kelaparan. Ada apa? Justru hal-hal ini tidak pernah dikonsepsi sebagai persoalan ekonomi.

Begitupun halnya, bahwa persoalan ekonomi yang kita hadapi saat ini tidak lagi sekadar berhulu pada persoalan produksi semata. Kita berhadapan dengan persoalan ekonomi yang kompleks dari hulu ke hilir. Dari produksi, hingga distribusi dan konsumsi. Persoalan distribusi adalah persoaan ketimpangan dan ketidakadilan dalam mengakses sumber daya ekonomi, yang melahirkan kejahatan struktural berupa pemiskinan dan penghancuran ekologis.

Alih-alih ingin mengatasi kelangkaan dengan produksi, kita justru mengalami suatu proses penambalan masalah ‘kecil’ menuju masalah yang lebih besar. Seperti kata Illich, kita mengatasi kelangkaan relatif menuju kelangkaan absolut. Masa depan sumber daya alam dengan karkater yang tidak mudah diperbarui itu terancam punah terlebih dahulu ketimbang bisa memenuhi kebutuhan manusia jangka panjang.

Peningkatan konsumsi akan modal, tenaga kerja, sumber daya alam untuk kepentingan produksi, justru pada kenyataannya tidak membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik. Atas nama efisiensi dan logika akumulatif, barang-barang justru sengaja diproduksi dengan kualitas yang rendah. Untuk tetap bisa mempertahankan siklus akumulasi modal kapitalisme bertahan. Dampaknya cukup serius, akumulasi laba meningkat tajam, konsumsi meningkat drastis, namun angka harapan hidup rakyat kecil semakin mengenaskan. Dan apakah semua hal-hal ini telah disbutitusikan sebagai persoalan pokok ekonomi sekarang ini?

Saat ini, di Barat sendiri, perkembangan pemikiran dan paradigma pengetahuan sudah jauh melampaui apa yang justru terus menerus menjadi objek pengetahuan kita saat ini. Paradigma antorposentrisme dan positivisme pengetahuan yang menjadi corak pengetahuan pasca Rennaisans justru dianggap sebagai biang keladi persoalan kemanusiaan yang inheren melanda peradaban Barat itu sendiri. Krisis sosial yang terjadi, dan krisis ekologi yang mengguncang Barat, adalah ekses dari paradigma pengetahuan yang mndewakan manusia dengan segenap kekuasaan pasar yang ada. Kapitalisme benar-benar menampakkan wajahnya dengan vulgar dengan segala bentuk kekejaman dan penindasan yang menyertainya.

Sebagai kritik akan realitas itu, di Barat sendiri ada banyak paradigma-paradimga pengetahuan yang muncul dengan karakternya yang holistik. Salah satunya adalah paradigma pengetahuan hijau, yang mencoba merangkul sisi-sisi ekologis, spritualitas alam dan sosial dalam melakukan rekonsepsi ulang terhadap ilmu pengetahuan. Lebih dikenal dengan istilah ekonomi hijau. Misalnya, dengan mensubtitusi faktor-faktor lain dalam merumuskan ulang pendefinisian-pendefinisian tentang ukuran-ukuran kesejahteraan dalam ranah kualitas, dengan melibatkan faktor-faktor alam dan manusianya. Dll.

Penguatan paradigma hijau, bahkan tidak hanya menginspirasi lahirnya rekonstruksi teoritis pada berbagai ranah pengetahuan, tapi juga di ranah praktis. Ia bahkan muncul sebagai sebuah paradigma gerakan, seperti dengan munculnya partai-partai politik progressif yang menamakan diri partai hijau (termasuk di Indonesia).

Saat ini, kita sebenarnya bisa dikatakan mengalami dua persoalan serius dalam melihat dinamika perkembangan pemikiran yang ada saat ini. Yang pertama adalah pentaglikan berlebihan kita terhadap produk pengetahuan Barat yang membuat kita kehilangan sikap kritis dan unsur kreativitas dalam mencipta pengetahuan sendiri. Membuat tidak hanya produk duplikasi pengetahuan tetapi juga dengan segenap dampak-dampaknya. Dalam konteks ini, saya teringat salah satu sajak Rendra yang berkata: “Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing | tekad-tekad hanya boleh membeli metode | tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan | kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa |menghayati sendiri semua persoalan yang nyata”.

Persoalan yang kedua adalah sebagian justru berlindung di balik segala fundamentalisme doktrin anti-asing, kembali ke lokalitas, namun justru gagap dalam melakukan reinterpretasi atas kebudayaan lama. Akibatnya gagasan-gagasan yang ada hanya bisa membeku, diterima layaknya mantra suci penuh dogma. Kegagalan dalam melakukan rasionalisai dan sinkronisasi kemajuan terhadap segala bentuk kebudayaan lama yang membuat kita stagnan.

Dan yang paling ironis dari itu semua, adalah bahwa kita dilanda stagnasi intelektual yang akut. Agama dengan segala bentuk penafsiran konservatis atasnya justru seringkali menjadi penyebab dari menjamurnya kesadaran-kesdaran fatalisme berpengetahuan. Akibatnya disksursus-diskursus pengetahuan tidak pernah berkembang dengan dinamis dan serius.

Alih-alih untuk bisa memikirkan diskursus pengetahuan alternatif, kita lebih memilih melemparkan diri ke dalam klise fatalisme-fatalisme moral. Ini sangat mudah diidentifikasi, saat lembaga-lembaga pendidikan yang ada misalnya, lebih dominan menjadi polisi moral ketimbang upaya untuk membangun dan membangkitkan kesadaran kritis pelajar.  

Sepertinya deman agama dan gila moralitas yang melanda lembaga pendidikan kita saat ini, mengingatkan saya pada gila agama yang melanda Eropa di abad-abad kegelapan (dark age) dua/tiga abad yang lampau. Gila agama yang muncul dengan wajah dogma yang anti terhadap segala bentuk pengetahuan yang tidak bersumber dari (penafsiran otoritas agama) terhadap kitab-kitab suci. Dan itu menjangkiti tidak hanya lembaga agama, tapi juga lembaga-lembaga pengetahuan yang ada saat itu.

Dan saya merasa kenyataan-kenyataan ini pun hingga akirnya terbawa di masyarakat. Apa yang paling terus menerus membuat kita ribut akhir-akhir ini? Diskurus pengetahuan baru? Bukan. Isunya selalu berputar pada hal-hal itu saja. Agama! dengan segala bentuk penafsiran konservatisme atasnya.




Penulis
Muhammad Ruslan

Isu SARA, Apa yang harus Sekolah Lakukan?

sumber foto: www.medihoki.net
Isu SARA dan konflik politik yang terjadi akhir-akhir ini cukup membuat kita pengap dan jenuh. Di beranda media sosial, prevalensi informasi mengenai kasus DKI Ahok misalnya, bisa dikata hampir memadati perbincangan, share, dan komentar. Beberapa di antaranya justru bersifat destruktif. Pro-kontra berlangsung dalam pembelaan-pembelaan, dan saling serang. Masing-masing berusaha untuk mengcounter siapa yang benar, siapa yang salah, dan siapa yang berbohong. Politik konspiratif kemudian muncul sebagai jawaban atas semakin rumitnya untuk untuk mendudukkan persoalan dengan jernih.

Karena media sosial merupakan perangkat informatika tanpa batas. Tak mengherankan ketika perbincangan-perbincangan ini pun menghinggapi para pelajar. Di sekolah-sekolah para pelajar tak luput membincangkan persoalan ini. Pemahaman dan kesadarannya akan apa yang terjadi, murni sangat bergantung pada media sosial sebagai satu-satunya sumber informasi mereka. Beberapa pelajar bahkan memperlihatkan ke saya video-video kerusuhan ataupun gambar-gambar kesimpulan yang sangat sulit dipercayai kebenaranya. Dalam konteks ini, pelajar menjadi objek informasi HOAX yang memprihatinkan. Baik lewat Facebook maupun Whatsapp, informasi yang sulit dipertanggungjawabkan itu menyebar dari gadget pelajar ke pelajar lainnya.

Sebab tak sedikit pula di antara para pelajar itu, bukan hnaya menjadi subjek pengonsumsi informasi. Tapi juga pelaku yang ikut ‘mencipta’ lewat informasi-informasi yang ia share. Euforia panas perbedabatan, berseliweran antara fakta dan HOAX ikut mempengaruhi cara mereka memandang kenyataan. Bahkan  beberapa di antaranya hanya menyisakan kebingungan bahkan ketakutan ikut menghantui beberapa anak akibat peristiwia-peristiwa belakangan ini. Apalagi ketika proses identifikasi akan identitas mereka ikut menghantui pikiran-pikirannya, identitas mereka yang memiliki pertautan akan isu-isu SARA yang akhir-akhir ini dihembuskan.

Kita tentu prihatin akan hal itu semua. Kebingungan dan ketakutan yang tak menemui jawaban dalam pikiran pelajar. Menjadi lahan subur tumbuh kembanganya streotipe. Suatu bentuk rasa curiga yang tak berdasar. Akibat gagalnya mereka menempatkan akar-akar persoalan dengan segenap fakta sebagai sebuah fenomena yang terjadi.

Namun, ditengah kebingungan-kebingungan itu, kita justru lebih banyak melihat fenomena sekolah yang bisu akan realitas-realitas seperti itu. Bahkan beberapa (sekolah) justru menfatwakan agar para pelajar ini mengabaikan realitas apapun yang terjadi di luar (khususnya fenomena Ahok, dll). Dengan memandang fenomena di luar sebagai fenomena gelap, buruk, sedang anak sebagai subjek yang tidak bisa berpikir kritis dalam konteks ini, mudah dipengaruhi oleh informasi-informaisi gelap yang berseliweran. Intinya pelajar hanya harus boleh fokus pada sekolahnya! Abaikan realitas! Begitu fatwa sekolah memandang realitas.

Tak ada salah dengan itu sebenarnya. Hanya saja menginstruksikan pelajar untuk fokus mengejar impian pribadinya saja sembari memisahkan ia dengan realitas, dan atau mengabaikan kurosiotas ia akan realitas luar justru menimbulkan kontradiksi-kontradiksi sendiri. Membiarkan kebingungan itu menubuh, yang pada akhirnya akan terIalu sulit untuk menerka arah kebingungan dan kebuntuan itu akan mengarah nantinya. Pola-pola ‘pendiaman’ ini, pada kenyataannya  sama halnya ketika kita juga justru ikut bertanggung jawab melahirkan generasi yang nantinya tidak mengerti sama sekali kondisi-kondisi sosial yang terjadi. Yang ujung-ujungnya menciptakan generasi yang bukan hanya tidak mengerti akan realitas sosialnya, tapi juga abai, bahkan nantinya menjadi generasi yang apatis. Atau yang paling buruk akan itu semua adalah generasi yang lahir dengan kesadaran-kesdaran SARA yang terpendam.

Kita sudah terlalu banyak menyaksikan kenyataan itu. Para keluaran sekolah-sekolah atau pendidikan-pendidikan yang tidak mengerti persoalan masyarakatnya. Yang hanya sibuk memikirkan kepentingan-kepentingan pribadinya semata. Sembari menafikan bahwa pada hakikatnya ia punya tanggung jawab intelektual nantinya karena keterpelajaran yang ia miliki. Bahkan dalam konteks SARA, kita tak bisa menutup mata bahwa beberapa pelajar memendam hal ini, bahkan beberapa justru ikut ditingkat praksis sebagai pelaku SARA.

Di atas itu semua, lagi-lagi penyakit kronis yang melanda konsep-konsep pendidikan kita secara umum kembali lagi pada hal-hal yang sifatnya kontekstual. Kita menyaksikan bahkan ikut merayakan ‘kematian’ sekolah, akibat terpisahnya atau memisahkan dirinya (sekolah) terhadap realitas-realitas sosial politik yang terjadi. Dalam konteks tadi, membiarkan sekolah menjadi abai akan realitas, bukan hanya menyisakan kebingungan-kebingungan atas diri pelajar yang mau tak mau sudah terlanjur melihat kenyataan dengan samar-samar ewat media sosial. Tapi juga merayakan pembekuan nalar, yang pada kenyataannya ikut bertanggung jawab atas terpeliharanya kesadaran-kesadaran pelajar yang penuh dengan kesimpang siuran dalam memahami realitas.

Aku, begitu mudah melihat, kesadaran pelajar yang menyimpang benih-benih kebencian berselubung kebingungan terhadap segala sesuatu ketika ia memandang ke luar dari identitas mereka. Ketergantungan mereka terhadap media sosial ikut membentuk hal itu. HOAX dikonsumsi tanpa sadar bahwa apa yang ia konsumsi adalah informasi yang di dalamnya telah terkontaminasi kebencian dengan segenap absurditas atas informasi. Baik kebencian yang di satu pihak maupun oleh pihak yang lain.

Kita bisa merasakan, kenyataan bahwa mereka yang kita sebut ‘mayoritas’ lebih mudah terlihat mengeskpresikan kebencian itu (apakah itu dalam bentuk frontal bahkan dalam bentuk paling ringan sekalipun seperti candaan, dll), sedang bukan berarti yang kita sebut ‘minoritas’ tidak memendam respon kebencian yang sama.  Bedanya satu yang mudah mengeskpresikan, satu yang lebih memilih memendam, karena kondisi-kondisi lain yang mengkondisikannya. Dan hal-hal ini tak lepas terjadi di dunia pelajar sekalipun. Apalagi ketika peristiwa-peristiwa politik yang terjadi akhir-akhir ini yang banyak menbocengi isu-isu SARA. Dari kasus Ahok di Jakarta, Tanjung Balai baru-baru ini, dan beberapa kasus yang sama di beberapa tempat yang lainnya.

Dalam konteks ini apa yang ingin saya katakan adalah bahwa sekolah dengan segenap kehidupan para pelajar kita juga sangat dekat dengan SARA.

Apa sebenarnya yang harus dilakukan oleh sekolah, adalah seharusnya ia memainkan perannya sebagai pranata intelektual itu sendiri. Sekolah seharusnya ikut menjernihkan persoalan yang sebenarnya di hadapan para pelajar (khususnya sekolah-sekolah menengah). Mendudukkan dan membentangkan segala persoalan yang terjadi pada tempat yang jernih di hadapan para pelajar. Melampaui isu-isu SARA yang mendominasi sumber informasi.

Hanya dengan begitu kita bisa berharap bahwa mata rantai kebencian dan isu SARA bisa diretas di tingkat paling kultur bernama sekolah. Segala persoalan-persoalan harus dibedah, dan dibawa dalam ruang-ruang belajar. Agar kesadaran ambigu yang menguasai pikiran-pikiran pelajar benar-benar bisa ditepis. Sehingga harapan kita: kita benar-benar bisa berharap lahirnya generasi-generasi yang memiliki kesadaran sosial yang tepat akan persoalan-persoalan yang terjadi. Lagi-lagi melampaui kesadaran-kesadaran SARA, fasis, dan semi kesadaran intransifit kebencian lainnya.

Karena lagi-lagi membiarkan sekolah terperangkap dalam budaya bisu seperti itu. Bukannya membuat suasana menjadi kondusif, justru sebaliknya sama saja dengan membiarkan kebingungan-kebingungan pelajar akan realitas, terakumulasi yang akhirnya membusuk berpotensi melahirkan atau mungkin menyambung kebencian-kebencian yang laten, akibat gagalnya ia memahami, mendudukan dan memahami persoalan yang sebenarnya.


-Muhammad Ruslan-

Senin, 03 Oktober 2016

MOS dan Sisa-sisa Feodalisme dalam Pendidikan

edisi repost

sumber gambar: www.dream.co.id


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan baru saja mengeluarkan Permen yang menghapus MOS. Permen No. 18 Tahun 2016 ini, menghapus MOS, yang selama ini dikenal dengan nama Masa Orientasi Siswa (baru), diganti menjadi pengenalan lingkungan sekolah. Isi Permen ini, kurang lebih merupakan penegasan pelimpahan tanggung jawab pengenalan siswa baru terhadap sekolah kepada sekolah itu sendiri, bukan lagi oleh siswa (senior). Seturut dengan ancaman sanksi bagi guru ataupun sekolah yang gagal menjalankan instruksi tersebut. Dengan Permen ini, diharapkan tidak ada lagi siswa baru menghitung semut, menghitung butir pasir, atau bertopi panci ke sekolah.

Kita tentu mengapresiasi Permen tersebut, tinggal menunggu aplikasi dan pengawasannya! Sisa-sisa feodalisme Setelah bertahun-tahun, warisan kultur kolonial ini (MOS) sekuat tenaga akhirnya dihapuskan juga secara resmi. Ingat secara resmi! Artinya penghapusan itu ditingkt struktur (aturan), di tingkat kultur hanya bisa dilihat dan dirasakan sebagai sebuah nilai. Butuh waktu yang cukup lama bagi kita untuk sedikit lebih maju -- kalau toh penghapusan MOS ini ingin dianggap kemajuan -- berusaha untuk meninggalkan sisa-sisa feodalisme dalam pendidikan. 

Terlihat seperti sebuah langkah yang sulit bangsa ini untuk melepas sisa feodalismenya, termasuk dalam pendidikan. Mos salah satunya. Dilihat dari sudut pandang perkembangan dunia pedagogi secara global, arah gerak perkembangan politik pendidikan kita menuju alam demokrasi, memang kita akui tergolong lambang. Seturut dengan lambangnya pendasaran penerimaan nilai-nilai demokrasi itu di tingkat pendidikan secara kultural. Sebagai bangsa yang hidup berabad-abad dalam sakralitas nilai-nilai feodal, ditambah dengan periodisasi sebagai bangsa jajahan berabad-abad, memang tak mudah untuk bangkit menanggalkan tatanan budaya lama yang sangat patenarlistik. 

Saya teringat istilah kebudayaan 1950-an, yang menyebut bangsa kita saat itu sebagai bangsa yang masih dalam tahap periodisasi menuju ketuntasan revolusi. Dalam arti revolusi belum selesei di tingkat kultural. Kita masih cemas melihat bangsa kita saat itu yang masih “setengah merdeka” sekaligus “setengah terjajah”, meskipun sudah merdeka secara politik. Karena itu, saat itu, para budayawan yang tergabung dalam berbagai organisasi kebudayaan “memproklamirkan” perlawanan mereka terhadap budaya-budaya feodal dan kolonial yang masih tersisia sejak kemerdekaan, sebagai tugas kebudayaan yang harus dituntaskan lewat pendidikan-pendidikan rakyat. Disinilah sebenarnya istilah revolusi mental itu pertama kali muncul, sebagai sebuah revolusi kebudayaan: membuang sisa-sisa feodalisme secara utuh. Dan pendidikan-pendidikan rakyat diyakini sebagai medium untuk dapat memobilisasi kesadaran itu secara massif. 

Dalam konteks ini, saya mencoba melihat bahwa MOS yang berkembang bertahun-tahun lamanya ini, adalah suatu budaya yang sebenarnya merupakan warisan dari nilai-nilai feodal dan kolonial, yang sadar atau tidak, justru dibiarkan disemai bertahun-tahun di tubuh pendidikan. Pun tak terkecuali di perguruan-perguruan tinggi yang ada saat ini. Lewat MOS, penjajahan mental itu direproduksi. Karena itulah tak butuh rasionalitas dalam MOS, yang dibutuhkan hanyalah otoritas dan ketundukan semata. 

Ini seperti miniatur dari kehidupan masyarakat yang mencoba diserap ke dalam dunia pendidikan saat itu. Suatu gambaran kehidupan masyarakat yang terbagi dalam penguasaan sebagian yang memiliki otoritas terhadap yang lain. Otoritas-otoritas yang hanya mengkhendaki kepatuhan, menumpulkan kesadaran untuk kritis terhadap kondisi sosial yang timpang, namun akut dipertahankan kemapanannya. Lewat MOS dan berbagai perangkat instrumen pendidikan lainnya, menjadi alat reproduksi nilai-nilai yang dapat mengafirmasi kondisi sosial yang ada saat itu.

Karena itu di tengah perubahan sosial yang berangsur ini, nilai feodalisme mau tak mau akan terus tergerus waktu, ini hanya persoalan lambat atau cepat saja. Demokrasi sebagai anti-tesa feodalisme terus menunggu di depan mata. Demokrasi dalam pendidikan? Demokrasi adalah anti-tesa terhadap feodalisme. Saya sendiri yakin, bahwa kondisi pendidikan ideal adalah pengelolaan pendidikan yang mampu berjalan ke arah demokrasi yang benar, baik di sektor birokrasi pengelolaan sekolah maupun di tingkat kultural. Seperti dalam konteks bernegara, hingga saat ini demokrasi adalah jalan bernegara dan bermasyarakat yang alternatif. Karena hanya di bawah payung ini: kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan di tempatkan pada tempat yang layak. Pendidikan adalah subsuprastruktur dari negara. Dalam arti kebijakan pendidikan adalah kebijakan politik itu sendiri. Demokrasi secara politik seharusnya diriingi dengan demokrasi di segala bidang termasuk dalam hal pendidikan. 

Namun apakah penghapusan MOS, dengan sendirinya sisa-sisa feodalisme dalam pendidikan terhapus? Tentu tidak. Karena nilai-nilai feodalisme tergolong masih sangat kental menjangkiti tubuh pendidikan yang ada saat ini. Karakter dasar dari nilai feodalisme ini adalah pengagungan terhadap kekuasaan otoritas, pun tak terkecuali terhadap hubungan guru-murid yang sampai saat ini masih bertahan. Penuh dengan intrik penguasaan. Bahkan slogan-slogan satire, bahwa, “guru tak pernah salah dan siswa selalu salah” masih kuat dipertahankan dalam ranah kultur pendidikan yang ada. 

Beberapa kasus ‘’kekerasan’’ guru terhadap siswa yang baru-baru cukup tenar, yang berujung pada pemidanaan guru oleh siswanya sendiri, menggambarkan realitas itu. Melihat respon mayoritas masyarakat, cukup menggmbarkan bahwa nilai-nilai feodalisme itu masih terlalu sulit ditinggalkan di tingkat masyarakat sekalipun. Anak yang bisa dikatakan “korban” kekerasan justru lebih banyak mendapat cemohan. 

Terlepas dari bagaimana kita menempatkan definisi kekerasan itu sendiri dalam konteks ini (misalnya apakah memukul dengan tangan atau dengan sapu, atau mencubit hingga meninggalkan luka kita sebut kekerasan atau tidak, terserah kita. Namun, sepakat atau tidak sepakat, secara hukum kita melihat bahwa hal itu sudah termasuk ranah kekerasan, dilihat dari keputusan pengadilan yang ada atas kasus tersebut). 

Kembali ke MOS. Bisa dikatakan MOS hanyalah salah satu dari sisa-sisa feodalisme dalam pendidikan, tentu masih banyak yang lain. Kalau saja pemerintah berangkat dari asumsi dan realitas ini sebagai dasar untuk menghapus MOS, maka bisa dikatakan tugas berat bagi pemeirntah masih menunggu ke depannya, yakni: menciptakan realitas pendidikan yang memang betul-betul demokratis di segala bidang. Baik dalam konteks kutural maupun struktural. Dalam arti, baik di tingkat hubungan guru-murid, murid-murid, maupun dalam konteks hubungan sekolah dengan pemerintah. 

Banyak perangkat-perangkat feodalisme yang masih bertahan di sekolah, hal ini membutuhkan proses identifikasi nilai tersendiri. Beberapa hal misalnya, dalam konteks hubungan guru-murid, tentu kita selayaknya menempatkan bahwa realitas hubungan ini adalah hubungan yang idealnya penuh egalitarianisme. Guru adalah kolega murid, ia adalah subjek yang sama. Karena itu, tidak ada alasan bagi kekerasan yang harus terjadi dalam konteks hubungan ini. 

Namun, persoalan sebenarnya adalah juga dari sisi pemerintah lewat kebijakan pendidikan yang ada. Kekerasan-kekerasan terhadap siswa oleh guru, sangat tidak lepas dari kebijakan pendidikan yang sangat kaku dan bersifat memaksa yang lahir dari pemerintah. Dengan segenap target dan standardisasi yang ditargetkan oleh pemerintah, lewat guru target dan standardisasi itu justru menjadi penyebab struktural lahirnya berbagai pola-pola paksaan, yang berujung pada kekerasan terhadap siswa. Ini mirip dengan analogi ujian nasional terhitung 2 tahun lampau ke atas, dimana paksaan target dan berbagai instrumen standardisasi dari pemerintah, memaksa sekolah dan guru banyak yang berbuat curang, misalnya memberi kunci dll. Hingga sebagian dari kasus itu juga berujung pidana.

Dalam konteks ini, negara secara tidak langsung lewat kebijakan yang ada juga menjadi pelaku kekerasan dalam konteks hubungannya dengan sekolah, guru dan murid. Ini seperti rantai setan dari suatu siklus kekerasan struktural yang terkait. Jadi, kekerasan yang marak belakangan ini, yang terus terjadi di tubuh pendidikan, tidak lepas dari arah kebijakan pendidikan yang masih melempung dengan feodalisme, dan terbilang jauh dari nilai-nilai demoratis. Baik dari pemerintah maupun sekolah, masih terus menjadikan anak/murid sebagai objek-objek yang dibebani banyak target. Dalam konteks ini tepat dikatakan kalau murid lebih banyak menjadi objek yang tereksploitasi dalam berbagai hal. 

Kita tentu menginginkan, lahirnya sebuah sekolah yang betul-betul meghormati hal-hal otonom dalam diri murid. Max Stirner, salah seorang filsuf, guru, pakar pendidikan, yang juga merupkan “lawan” debat tokoh besar Karl Marx, dalam tulisannya Ueber Schugesetze, dengan tegas mengatakan: Sudah seharusnya peran sekolah ditentukan sepenuhnya oleh hubungan guru dan murid. Ini mungkin cukup radikal secara ide, namun lagi-lagi upaya untuk menghormati khendak murid itu penting, dan bahkan menurut saya, hal itu seyogyanya juga harus berperan dalam menentukan kadar manusiawinya pendidikan yang ada! 

Penulis 
Muhammad Ruslan

sumber, reposthttp://www.kompasiana.com/2220/mos-dan-sisa-sisa-feodalisme-dalam-pendidikan_57794dfdf97a61880ce81d38 

Mitologi, Marwah Daud, dan Fenomena Bunuh Diri Intelektual

sumber gambar: batam.tribunnews.com
Pram pernah berkata: Semakin sedikit pengetahuan seseorang terhadap suatu realitas, maka semakin banyaklah mitos yang mengisi kesadarannya akan realitas itu.
Dulu ketika manusia melihat rintik-rintik hujan, kurangnya pengetahuan membuat manusia percaya bahwa hujan itu adalah realitas terjadi ketika Sang Dewa sedang menangis. Namun, lambat laun perkembangan pengetahuan membuat kita mengetahui kenyataan bahwa ada realitas alam yang bekerja di balik hujan yang bisa terjelaskan secara rasional, tanpa harus berapriori ‘melibatkan’ dewa.
Ketika terjadi gempa misalnya, sebagian masyarakat dahulu percaya bahwa seekor lembu (entah dari mana) sedang mengamuk. Itu terjadi katanya karena manusia tidak memberi makan (sesajen) sang lembu. Lembu dan simbol-simbol kekuatan lainnya akhirnya kemudian berkembang membentuk suatu kesadaran tersendiri tentang imajinasi-imajinasi tentang keberadaan kekuatan supranatural, di luar dari khendak manusia, yang nantinya diasosiasikan sebagai kekuatan Dewa (Tuhan). Namun lagi-lagi, kelahiran pengetahuan, akhirnya bisa menjelaskan sebab gempa secara ilmiah dan rasional tanpa mesti lagi melibatkan apriori kita tentang realitas yang lahir dari imajinasi liar.
Apa artinya? Bahwa pengetahun pada hakikatnya adalah terang cahaya yang membebaskan manusia dari segenap mitos dan tahayyul. Kepercayaan manusia terhadap kekeuatan pengetahuan inilah yang akhirnya mendorong terbentuknya insititusi-institusi pengetahuan modern. Pranata-pranata ilmu yang bernama lembaga pendidikan (sekolah/kampus) bermunculan.
Pendidikan secara inheren pada konteks ini lahir untuk menjelaskan secara ilmiah hal-hal mendasar terhadap kehidupan, tak terkecuali dalam upaya membebaskan manusia dari tahayyul/mitos. Karena itu, hal mendasar yang diterima sebagai kultur pendidikan adalah diterimanya tradisi intelektual dan sikap akademis. Menekankan rasionalitas, hipotesa dan pembuktian, serta segenap sikap kritis kita terhadap segala hal.  
Namun, pertanyaannya: Benarkah pendidikan yang ada (saat ini khususnya) benar-benar bisa disebut sebagai lembaga pegetahuan yang membebaskan? Sejauh mana sekolah atau kampus sekalipun benar-benar menjadi lembaga pembebas dari tahayyul/mitos? Upaya untuk mempertanyakan fungsi pembebasan lembaga pendidikan di tingkat rasio (akal) berupa pembebasan dari mitologi, menjadi penting dan mendasar sebelum akhirnya kita mempertanyakan--kalau bukan menuntut—tanggung jawab pembebasan lembaga pendidikan di tingkat praksis kehidupan sosial-politik.
Fenomena Marwah Daud Ibrahim
Tulisan ini mencoba masuk lewat fenomena Marwah Daud Ibrahim. Marwah Daud, Ketua Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, muncul di media dengan pembelaan yang mutlaknya terhdap Dimas Kanjeng Taat Pribadi atas kasus tuduhan pembunuhan dan penipuan berkedok agama yang menimpa dan menjerat sang gurunya (Dimas Kanjeng).
Nada-nada pembelaan yang terdengar, terkesan telah menanggalkan Marwah Daud sebagai seorang professor, dan bahkan seorang intelektual berpendidikan moncreng. Pernyataan-pernyataan yang dipenuhi balutan argumen-argumen yang lebih menyerupai tahayyul yang ia sebut sebagai karomah.
Pernyataan Marwah, yang mengakui ketertarikannya terhadap sang gurunya Dimas Kanjeng, karena Dimas dianggap seorang (atau memiliki kemiripan dengan) wali yang memiliki karomah, hanya karena Dimas dianggap mampu menggandakan uang secara ajaib sungguh mengejutkan (meskipun belakangan banyak yang menudingnya sebagai praktik tak ubahnya sebuah sulap).
Hal yang sulit dinalar dengan sehat oleh orang awam seperti penulis, bagaimana mungkin sosok professor ternama, tercatat sebagai dewan pakar organisasi intelektual ICMI, bahkan juga seorang yang didaku memiliki jejak rekam siswa dan mahasiswa teladan, dengan perjalanan pendidikan yang moncreng, akhirnya tetap terkulai dibawah mitologi dan tahayyul yang tak bisa dibuktikan dan dinalar dengan sikap-sikap akademis?
Fenomena Marwah Daud ini, adalah sebuah cerita seorang professor yang berguru pada seorang dukun. Ini menggelikan!
Atau bisa jadi, ini merupakan cerita-cerita lain, dari banyaknya ceirta-cerita pragmatisme kaum intelektual? Cerita-cerita tentang bagaimana pendidikan sekadar menjadi alat untuk mencapai dan melegitimasi hasrat yang berwujud kepentingan pragmatis. Rasionalitas yang tak memiliki batas yang berbeda dengan mitologi dan tahayyul, bercampur berbaur, dan saling menggantikan demi satu: selama ia bisa melegitimasi kepentingan?
Betapa menggelikan, ketika sosok professor, yang dinanti ide-ide progressifnya dalam mendorong perubahan, justru mempercayakan puncak kejayaan bangsa kepada sosok-sosok yang berkemampuan suprailmiah dan irasional, seperti Dimas Kanjeng dengan ‘keahliannya’ menggandakan uang. Mengandalkan karomah untuk perubahan ketimbang konsepsi kritis intelektual atas realitas.  
Marwah Daud, adalah (saya menyebutnya) sebagai suatu fenomena. Tentang dekadensi intelektualitas yang pupus dalam bayang-bayang gelap mitologi dan pragmatisme. Ini terjadi hampir di seluruh ruang-ruang pendidikan kita dari sekolah hingga kampus.
Betapa tidak sulit menemukan guru-guru dan bahkan dosen-dosen yang alih-alih melihat realitas persoalan secara kritis dan intelektual, justru banyak di antaranya hanya bisa menawarkan doktrin, dan dan menjejalkan harapan-harapan suprailmiah lainnya. Seolah-olah persoalan yang menjerat manusia hari ini adalah persoalan laten dan inheren terhadap kenyataan itu sendiri, sembari berharap adanya kekuatan-kekuatan suprailmiah yang bisa menjadi harapan solusi instan.
Kalau ada yang disebut bunuh diri kelas. Maka ini lebih tepat disebut sebagai bunuh diri intelektual. Bunuh diri intelektual tidak hanya menyisakan konsepsi-konspsi yang ngawur, juga telah memutus harapan akan adanya pertautan kausal akan lahirnya fungsi pendidikan yang progresif dalam melahirkan intelektual-intelektual organik yang bisa memainkan peran dalam membebaskan manusia di tingkat praksis.
Bunuh diri intelektual, seperti pohon yang mati dan layu sebelum kuncup, karena itu tak dapat diharapkan untuk berbuah, justru sebaliknya. Ia bisa menjadi adagium kontra atas harapan, dengan menjadi sekrup untuk melegitimasi ketidakbenaran.
Pendidikan dan mitologi
Pembebasan yang menjadi tujuan pendidikan tadi. Pada kenyataannya mengalami anemia sejarah. Ralitas bahwa pendidikan dengan kultur rasionalitasnya bukan dan tidak lagi mengarah dengan jelas pada upaya untuk “menggempur” tahayyul sebagai simbol segenap perbudakan pikiran lainnya. Karena itu pula ia menjadi kehilangan hubungan kausalnya saat kita menyaksikan bahwa pendidikan semakin melemah dalam memainkan peran pembebasan di tingkat sosial.
Itu terlihat saat teori-teori kritis ilmu pengetahuan semakin dipinggirkan keberadaannya dalam tubuh lembaga pendidikan. Upaya peminggiran teori-teori kritis adalah sama halnya dengan memberi ruang ilmu yang berkarater mitologi mengisi ruang-ruang pengetahuan. Mitologi merepresentasikan segala bentuk kebodohan, pembodohan, irasionalitas, penyelewengan ilmu, dan hegemoni lewat ilmu pengetahuan.
Dalam tubuh pendidikan, kita melihat hal itu nyata. Jangankan untuk membaca nama Karl Marx diajarkan sebagai salah satu madzhab pengetahuan ilmiah, apakah ia adalah disiplin ilmu ekonomi, sosiologi, politik dll misalnya. Mendengarkan nama itu saja (Marx), konsepsi-konsepsi mitos yang mengisi kesadaran pelajar sudah merangkak dengan penuh phobia.
Yang ujung-ujungnya--meminjam istilah penulis Zen Rs—menciptakan wabah anti-intelektualitas. Tidak sedikit wabah anti-intelektualitas itu tumbuh subur di lembaga-lembaga pendidikan, bahkan dengan tampakan paling vulgar sekalipun (intimidasi, pembungkaman, kekerasan dan sejenisnya).
Membiarkan mitologi intelektualitas dalam pendidikan, hanya akan terus memperlihatkan banyaknya kontradiksi-kontradiksi yang muncul melahirkan pseudo intelektualitas. Kita akan begitu mudah melihat, bagaimana misalnya seorang pelajar yang bertahun-tahun ditempa dalam proses pendidikan, mempelajari ilmu matematika dengan spkeluasi kedalaman pemahaman memadai, tapi tetap dengan kredo (kepercayaan) bahwa kemiskinan adalah persoalan takdir!? Hukum kausalitas, sebagai dasar dari keseluruhan prinsip berpikir semua ilmu pengetahuan, sepertinya sama sekali tidak berguna dalam konteks ini.
Apa koskeuensi dari epsitemologi seperti itu, selain hanya bisa melihat produk pendidikan yang hanya bisa menyarankan untuk merapal banyak doa (anti kesialan) sebagai jalan sekaligus jawaban atas persoalan-persoalan kemiskinan yang ada. Ini hanya satu contoh.
Mitologi intelektualitas dalam pendidikan seperti ini, tidak hanya menyesatkan dengan memadati pikiran-pikiran pelajar dengan kesadaran yang palsu, tapi juga ikut melegitimasi status quo keadaan yang mengenaskan dengan berlindung di balik bayang-bayang kekuatan supranatural, yang pada hakikatnya diproduksi tidak dalam keadaan bebas nilai.  
Banyak mitologi lainnya yang muncul, akibat dominasi sudut pandang, yang tak terpisahkan dari realitas sekolah atau pendidikan yang anti-kemajemukan. Dan hampir semua ilmu mengalami suatu persoalan yang sama. Dominasi satu sudut pandang yang positivistik, mekanistik, dan spekulatif. Yang ujung-ujungnya melumpuhkan daya kritis, penuh dengan mitologi dan hegemoni kekuasaan, yang pada akhirnya juga berjarak dengan persoalan yang kehidupan yang sebenarnya.
Dalam ilmu sejarah misalnya, seberapa banyak kebohongan yang dilegitimasi diajarkan sampai saat ini? Sejarah menjadi sesuatu yang kadangkala tidak menarik tanpa kebohongan yang membungkusnya. Dan ironisnya ketika lembaga pendidikan menunggalkan realitas itu, dengan ‘’memaksakan’’ penafsiran tunggal penguasa akan sejarah (termasuk untuk semua ilmu pengetahuan yang ada). Dan itu masih terjadi di sekolah-sekolah hingga saat ini.  
Dan realitas ini menjadi fenomena bunuh diri intelektual, ketika guru ataupun dosen dengan sadar merelakan kehilangan unsur-unsur independensi intelektualnya dalam memainkan perannya. Muncul  sekadar menjadi perpanjangan tanganan tuntutan kurikulum, teks, dan segenap tuntutan birokrasi.
Dan ini hampir terjadi pada di semua lini pengetahuan, bukan hanya ilmu sejarah. Fenomena bunuh diri intelektualitas dalam pendidikan, terkadang bukan hanya lahir dan diakukan dalam keadaan sadar. Tapi juga dalam keadaan tak sadar. Kegagalan kita meramu konsep alternatif berupa ilmu-ilmu kritis yang membebaskan, sama saja dengan melegitimasi mitologi ilmu yang menindas. Seperti kata Rendra dalam sajaknya: “Kita ini dididik untuk memihak yang mana?, ilmu-ilmu yang diajarkan disini: akan menjadi alat pembebasan? Ataukah alat penindasan?!”.
Saat ini, apa yang paling menyedihkan melihat realitas pendidikan, bukan hanya menjamurnya wabah anti-intelektualitas di lembaga-lembaga pendidikan, tapi juga massifnya bunuh diri intelektualitas. Bunuh diri intelektualitas, yang pada akhirnya ikut membiarkan pendidikan berjalan di atas pijakan-pijakan mitologi.

Penulis
Muhammad Ruslan

Rabu, 31 Agustus 2016

Materialitas Pendidikan yang Mendeskreditkan Kemanusiaan

Refleksi atas perjalanan pendidikan kita hingga hari ini membawa kita pada simpul pokok persoalan. Yakni pada peredabatan-perdebatan konsepsional dan paradigmatik akan kemana pendidikan harus berdaras. Konsepsi yang ada kemudian terlihat seperti berjalan pincang karena ketidakmampuan untuk meramu hal-hal yang cenderung bertentangan dalam satu konsepsi utuh. Yang kemudian pada akhirnya hanya melahirkan produk pendidikan dengan karakter ganda. Personalitas ganda yang lahir akibat ketidakjelasan konsepsi utuh yang teramu. 

Ilmu yang ada misalnya tidak mampu menyentuh sisi terintim kemanusiaan, akibat terbentur di titik dasar kenaluriaan. Dalam arti bahwa pendidikan tidak mampu mendamaikan titik-titik pragmatisme dan altruisme manusia. Sistem persekolahan yang ada saat ini lebih dominan hanya mampu memantik kesadaran naluri manusia ketimbang kesadaran terintim ia sebagai manusia dengan segenap realitas kemanusiaannya yang dalam. Kesadaran-kesadaran yang diproduksi hanya mentok pada kesadaran pasar, dengan segenap pragmatisme dan individualisme yang angkuh. 

Apa yang menjadi gambaran ideal tentang bayangan masa depan dalam benak pelajar misalnya selain masa depan yang penuh akumulasi materialistik. Hal itu lahir sebagai hasil konstruksi dari sistem dan arah pendidikan yang berjalan.  Pendidikan yang mahal, dan sistem pendidikan yang menuankan materi secara berangsur-angsur muncul secara rill, secara tidak langsung mengajari pelajar dalam suatu kesadaran tertinggi tentang tujuan hidup yang materialistik dan pragmatis. Sangat sering saya mendengar ungkapan klasik dari pelajar berkata: “Uang yang orang tua keluarkan untuk sekolah sudah sangat banyak, masa nanti cuma digaji seperti buruh?”. 

Di masa muda seperti inilah anak didik hidup dalam pola pikir timbal balik. Doktrin-doktrin bahwa pendidikan adalah investasi untuk mendatangakan materi dalam logika bisnis mengisi ruang idealisme yang terlanjur dibiarkan kosong. Pandangan-pandangan kesadaran yang memilah dan mendiskreditkan manusia berdasarkan indikator-indikator materialistik, yang pada akhirnya memisahkan ia dari persoalan-persoalan kemanusiaan.  Sungguh ironis. Ilmu yang ada ternyata tidak cukup mampu menubuhkan kesadaran-kesadaran sosial yang membebaskan, justru sebaliknya . Pendidikan seperti ini hanya menciptakan cara pandang yang mendiskreditkan manusia, bukannya memantik suatu empati akan khendak untuk membebaskan manusia. Teringat kata Tan Malaka: “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali” . 

Dalam konteks ini lantas kita bertanya: Apa guna pendidikan?, kalau toh kesadaran tertinggi yang ia sajikan hanyalah kesadaran naluri seperti ini? Untuk berpikir tentang akumulasi, materialistik, dan segenap kebahagiaan individu yang dikejar, saya rasa tak perlu dengan pendidikan, kehidupan ini sudah cukup untuk membangkitkan pragmatisme seperti ini. Sama halnya kalau kita bilang: Tak perlu ada seseorang yangmengajari kita tentang keburukan dan penderitaan, kehidupan ini sudah cukup menyajikan hal itu! 

Kesadaran materialistik, mencari kebahagiaan individu semata, asosialis, yang memenuhi kepala pelajar bukan karena pilihan mereka dalam keadaaan sadar, melainkan hasil konstruksi dari sistem pendidikan dan sistem persekolahan yang menjadi akar persoalan. Sekolah dan segena p sistem pendidikan yang ada saat ini bertanggung jawab akan hal ini.  Saya begitu mudah melihat bagaimana aturan sekolah itu diframing dari ide-ide materialistik seperti ini. Bukan hanya iuran sekoah yang mahal, biaya masuk, biaya pembangunan (yang tak ada habisnya), dan sejenisnya, bahkan banyak sekolah yang menetapkan aturan sanksi dalam bentuk denda (uang) bagi siswanya yang melanggar.  

Sanksi sekolah dalam bentuk denda (sejumlah uang) ini, menurut saya adalah salah satu praktik purba yang mengandung absurditas nilai yang fatal dalam sekolah. Selain bias kelas, dalam arti mendiskreditkan siswa dalam kelas-kelas sosial, model ini juga secara tidak langsung menfatwakan seolah-olah bahwa hukum itu bisa dibeli: Dengan mengeluarkan segopoh uang, maka orang bisa terbebas dari sanksi hukum. 

Karena itu kembali lagi, sistem seperti itulah yang harus bertanggung jawab dalam mengalienasikan manusia dari sifat kemanusiaan terintim yang seharusnya menjadi tujuan pendidikan. Sistem yang hanya bisa membangkitkan kesadaran yang membentur naluri.  Dalam konteks lebih luas wacana pendidikan, Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy yang menginginkan penghapusan sekolah gratis, justru semakin menebalkan pesimisme akan nasib pendidikan kita yang semakin materialistik dan menindas ini. Atas nama partisipasi dan logika “gotong royong” yang diwawacanakan Menteri Muhadjir, terkandung logika pasar yang mendiskreditkan hakikat pendidikan dan tanggung jawab negara terhadp pencerdasan kehidupan bangsa itu sendiri. 

Pragmatisme yang melanda produk pendidikan kita hingga hari ini seharusnya dipandang sebagai sebuah persoalan yang serius. Apakah karena pendidikan kita yang berjalan ini memang terlalu lemah untuk bisa diframing dalam satu settingan ideologis? Sehingga kemudian begitu mudahnya pragmatisme dan materialisme ini mengisi relung kesadaran produknya? Dalam konteks ini persoalan pendidikan memang harus kembali mempertanyakan hal-hal mendasar: “Kemana pendidikan ini akan mengarah?”. Apakah ingin maju menemukan formula kemanusiaan baru terhadap pendidikan, ataukah justru mundur mengangkangi kemanusiaan itu sendiri? Dengan segenap pengteknikalisasian dan industrialisasi pendidikan yang terus dijajalkan sebagai konsep ‘baru’. 

Untuk sampai kesana, tidak tepat ketika pendidikan hanya terus dipandang sebagai sebuah pranata birokratis semata. Pendidikan haruslah berlepas diri dari cara pandang birokratis yang mengungkungnya. Memandang pendidikan dalam kerangka birokratis hanya melahirkan konsepsi-konsepsi permukaan, yang sekadar memandang pendidikan sebagai suatu proses formal, namun justru di titik inilah persoalaan-persolan manusiawi dalam pendidikan justru terus terdiskreditkan. Yang pada akhirnya konsep wacana yang ditawarkan hanya mampu berhasil memantik riak pro-kontra, hingga akhirnya berlalu begitu saja. Seperti pada wacana full day school sebelumnya. 

Penulis 
Muhammad Ruslan

Repost: dari: http://www.kompasiana.com/2220/materialitas-pendidikan-yang-mendiskreditkan-kemanusiaan_57c5b8b4bd22bd8c5219c5eb