| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Rabu, 31 Agustus 2016

Materialitas Pendidikan yang Mendeskreditkan Kemanusiaan

Refleksi atas perjalanan pendidikan kita hingga hari ini membawa kita pada simpul pokok persoalan. Yakni pada peredabatan-perdebatan konsepsional dan paradigmatik akan kemana pendidikan harus berdaras. Konsepsi yang ada kemudian terlihat seperti berjalan pincang karena ketidakmampuan untuk meramu hal-hal yang cenderung bertentangan dalam satu konsepsi utuh. Yang kemudian pada akhirnya hanya melahirkan produk pendidikan dengan karakter ganda. Personalitas ganda yang lahir akibat ketidakjelasan konsepsi utuh yang teramu. 

Ilmu yang ada misalnya tidak mampu menyentuh sisi terintim kemanusiaan, akibat terbentur di titik dasar kenaluriaan. Dalam arti bahwa pendidikan tidak mampu mendamaikan titik-titik pragmatisme dan altruisme manusia. Sistem persekolahan yang ada saat ini lebih dominan hanya mampu memantik kesadaran naluri manusia ketimbang kesadaran terintim ia sebagai manusia dengan segenap realitas kemanusiaannya yang dalam. Kesadaran-kesadaran yang diproduksi hanya mentok pada kesadaran pasar, dengan segenap pragmatisme dan individualisme yang angkuh. 

Apa yang menjadi gambaran ideal tentang bayangan masa depan dalam benak pelajar misalnya selain masa depan yang penuh akumulasi materialistik. Hal itu lahir sebagai hasil konstruksi dari sistem dan arah pendidikan yang berjalan.  Pendidikan yang mahal, dan sistem pendidikan yang menuankan materi secara berangsur-angsur muncul secara rill, secara tidak langsung mengajari pelajar dalam suatu kesadaran tertinggi tentang tujuan hidup yang materialistik dan pragmatis. Sangat sering saya mendengar ungkapan klasik dari pelajar berkata: “Uang yang orang tua keluarkan untuk sekolah sudah sangat banyak, masa nanti cuma digaji seperti buruh?”. 

Di masa muda seperti inilah anak didik hidup dalam pola pikir timbal balik. Doktrin-doktrin bahwa pendidikan adalah investasi untuk mendatangakan materi dalam logika bisnis mengisi ruang idealisme yang terlanjur dibiarkan kosong. Pandangan-pandangan kesadaran yang memilah dan mendiskreditkan manusia berdasarkan indikator-indikator materialistik, yang pada akhirnya memisahkan ia dari persoalan-persoalan kemanusiaan.  Sungguh ironis. Ilmu yang ada ternyata tidak cukup mampu menubuhkan kesadaran-kesadaran sosial yang membebaskan, justru sebaliknya . Pendidikan seperti ini hanya menciptakan cara pandang yang mendiskreditkan manusia, bukannya memantik suatu empati akan khendak untuk membebaskan manusia. Teringat kata Tan Malaka: “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali” . 

Dalam konteks ini lantas kita bertanya: Apa guna pendidikan?, kalau toh kesadaran tertinggi yang ia sajikan hanyalah kesadaran naluri seperti ini? Untuk berpikir tentang akumulasi, materialistik, dan segenap kebahagiaan individu yang dikejar, saya rasa tak perlu dengan pendidikan, kehidupan ini sudah cukup untuk membangkitkan pragmatisme seperti ini. Sama halnya kalau kita bilang: Tak perlu ada seseorang yangmengajari kita tentang keburukan dan penderitaan, kehidupan ini sudah cukup menyajikan hal itu! 

Kesadaran materialistik, mencari kebahagiaan individu semata, asosialis, yang memenuhi kepala pelajar bukan karena pilihan mereka dalam keadaaan sadar, melainkan hasil konstruksi dari sistem pendidikan dan sistem persekolahan yang menjadi akar persoalan. Sekolah dan segena p sistem pendidikan yang ada saat ini bertanggung jawab akan hal ini.  Saya begitu mudah melihat bagaimana aturan sekolah itu diframing dari ide-ide materialistik seperti ini. Bukan hanya iuran sekoah yang mahal, biaya masuk, biaya pembangunan (yang tak ada habisnya), dan sejenisnya, bahkan banyak sekolah yang menetapkan aturan sanksi dalam bentuk denda (uang) bagi siswanya yang melanggar.  

Sanksi sekolah dalam bentuk denda (sejumlah uang) ini, menurut saya adalah salah satu praktik purba yang mengandung absurditas nilai yang fatal dalam sekolah. Selain bias kelas, dalam arti mendiskreditkan siswa dalam kelas-kelas sosial, model ini juga secara tidak langsung menfatwakan seolah-olah bahwa hukum itu bisa dibeli: Dengan mengeluarkan segopoh uang, maka orang bisa terbebas dari sanksi hukum. 

Karena itu kembali lagi, sistem seperti itulah yang harus bertanggung jawab dalam mengalienasikan manusia dari sifat kemanusiaan terintim yang seharusnya menjadi tujuan pendidikan. Sistem yang hanya bisa membangkitkan kesadaran yang membentur naluri.  Dalam konteks lebih luas wacana pendidikan, Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy yang menginginkan penghapusan sekolah gratis, justru semakin menebalkan pesimisme akan nasib pendidikan kita yang semakin materialistik dan menindas ini. Atas nama partisipasi dan logika “gotong royong” yang diwawacanakan Menteri Muhadjir, terkandung logika pasar yang mendiskreditkan hakikat pendidikan dan tanggung jawab negara terhadp pencerdasan kehidupan bangsa itu sendiri. 

Pragmatisme yang melanda produk pendidikan kita hingga hari ini seharusnya dipandang sebagai sebuah persoalan yang serius. Apakah karena pendidikan kita yang berjalan ini memang terlalu lemah untuk bisa diframing dalam satu settingan ideologis? Sehingga kemudian begitu mudahnya pragmatisme dan materialisme ini mengisi relung kesadaran produknya? Dalam konteks ini persoalan pendidikan memang harus kembali mempertanyakan hal-hal mendasar: “Kemana pendidikan ini akan mengarah?”. Apakah ingin maju menemukan formula kemanusiaan baru terhadap pendidikan, ataukah justru mundur mengangkangi kemanusiaan itu sendiri? Dengan segenap pengteknikalisasian dan industrialisasi pendidikan yang terus dijajalkan sebagai konsep ‘baru’. 

Untuk sampai kesana, tidak tepat ketika pendidikan hanya terus dipandang sebagai sebuah pranata birokratis semata. Pendidikan haruslah berlepas diri dari cara pandang birokratis yang mengungkungnya. Memandang pendidikan dalam kerangka birokratis hanya melahirkan konsepsi-konsepsi permukaan, yang sekadar memandang pendidikan sebagai suatu proses formal, namun justru di titik inilah persoalaan-persolan manusiawi dalam pendidikan justru terus terdiskreditkan. Yang pada akhirnya konsep wacana yang ditawarkan hanya mampu berhasil memantik riak pro-kontra, hingga akhirnya berlalu begitu saja. Seperti pada wacana full day school sebelumnya. 

Penulis 
Muhammad Ruslan

Repost: dari: http://www.kompasiana.com/2220/materialitas-pendidikan-yang-mendiskreditkan-kemanusiaan_57c5b8b4bd22bd8c5219c5eb 

Senin, 08 Agustus 2016

Surat dari Seorang Siswa


Kawan-kawan, izinkan saya membagikan surat ini. Surat ini dari seorang siswa, yang ditemukan di kotak saran sebuah sekolah. Membaca surat ini, membuat saya tak habis berpikir: bahwa anak ini cerdas, dan punya kurosiotas yang tinggi. Ia juga kritis. Menurut saya ia seperti sebuah gambaran dari siswa yang meronta menolak belenggu. Suatu realitas yang terjadi akibat pertumbuhan kemanusiaan diri tak mampu diimbangi oleh sistem yang dibangun oleh sekolah.
-------------

(disebar oleh seorang kawan)

Senin 08 Agustus 2016
Kepada ibu (anonym)
Dan guru-guru,

Dengan hormat,

Salam kasih kepada ibu guru, guru-guru, dan siapapun yang membaca surat ini. Tujuan saya menulis surat ini, karena saya memiliki pertanyaan-pertanyaan yang saya bingungkan selama ini. Dan saya juga ingin memberikan saran kepada sekolah.
Saya kerapkali berpikir, kenapa sekolah-sekolah mengajar hanya pada patokan teori buku saja? Padahal teori itu belum tentu benar dan fakta adanya. Terlalu sering saya menemukan buku pelajaran, terutama ekonomi dan sejarah yang mengajarkan fakta yang salah. Mungkin untuk lebih jelasnya lagi saya akan memberikan contoh:
1.      Kisah soekarno
Yang seringkali kita dengar, dia meninggal dengan meninggalkan nama (besar-red) pahlawan Indonesia, tapi tidak ada buku sejarah sekolah yang menjelaskan bahwa soekarno meninggal di tangan rakyat sendiri dengan hukuman sekap (bisa dikatakan penjara) dan tidak boleh menjenguk, kecuali bung hatta.
2.      Perang dunia I dan II yang kita ketahui adalah karena kematian franz Ferdinand, kegagalan LBB, perlombaan Negara maju, politik aliansi, padahal itu adalah hasil propaganda elite global.
3.      Yang kita pelajari NASA, PBB, World Bank adalah organisasi dunia yang berpengaruh, tapi faktanya semua dibuat demi mencapai keuntungan dan membuatnya kembali ke elite global.

Menurut saya banyak teori-teori menyimpang yang saya pelajari di sekolah. Saya tidak berani mengatakan bahwa itu adalah salah karena kekuasaan yang mendefinisikan teori itu benar atau salah. Saya sebagai murid hanya menyarankan agar guru-guru dapat mengajar fakta bukan teori (yang dicetuskan kekuasaan). Karena sama saja hanya mempelajari dan memahami ilmu yang salah.
Saya sebagai murid juga mengerti bahwa kita tidak dapat melawan apa yang telah ditetapkan dan ditulis oleh buku, tapi alangkah baiknya jika dalam pelajaran kita mengetahui yang sebenarnya. Saya juga menyarankan kepada sekolah agar tidak terlalu focus dan tidak melatih murid hanya untuk menghafal buku dan menciptakan system scanner pada kami. Dan menurut peajaran seperti itu hanya ada di sekolah, tidak ada di luar. Jadi, jika kami keluar dari sekolah dengan kata lain lulus, kami bisa dikatakan tidak mendapat apa-apa.
Sekian saran dari saya, sebelumnya saya ingin meminta maaf jika ada kesalahan. Terimah kasih.***



Full Day School

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. sumber foto: www.blajar.co.id

Full day school, begitulah istilah sekaligus kebijakan yang diperkenalkan dan direcanakan Menteri Pendidikan yang baru pasca resufle, Muhadjir Effendy. Apa arti, tak lain adalah upaya untuk menambah durasi sekolah hingga satu hari full. Katanya, berlaku untuk SD dan SMP.
Apakah karena tuntutan kecerdasan yang mendesak? Tentu tidak. Alasannya sederhana, "orang tua anak sibuk kerja, anak tidak terawasi pasca sekolah", begitu kurang lebih jawaban Pak Menteri baru. Agar lebih ilmiah, dibubuhinya dengan lagu lama: "Kualitas pendidikan kita masih sangat lemah, untuk meningkatkan, ya tambah jam sekolah". Kalau masalah ini jangan tanya Pak Menteri tentang data apalagi hasil kajian (?).
"Tidak terawasinya anak pasca sekolah berpotensi terjadi tindakan yang tidak diinginkan". Begitulah gambaran potret buram, gambaran buruk masyarakat di kepala Pak Menteri. Karena itu, full day school semacam safety bagi anak.
Terus, kalau lembaga pendidikan disetting sudah jadi tempat penitipan anak seperti itu, maka apa arti dari proses belajar yang sebenarnya? Sekolah sudah dipersepsi sebagai lingkungan suci untuk terhindar dari realitas luar yang penuh penyimpangan--- dengan menafikan secara total keberadaan sekolah yang juga kadang-kadang menjadi perangkat yang menindas. Atas nama moralitas, ia mengkonstruk pendidikan untuk benar-benar berpisah dari realitasnya. Bagaimana dengan anak, yang orang tuanya bukan pekerja kantoran? Kenapa kebijakan ini seperti hanya mengakomodir pola dan rutinitas hidup kelompok masyarakat tertentu saja?
Bahkan, digadang-gadang oleh Pak Menteri untuk mengatakan bahwa inilah kurang lebih gambaran "restorasi pendidikan" yang ia kata. Suatu ide-ide romantik, yang tak lebih merupakan retorika baru dengan ide lama yang dikonstruksi ulang. Ini hanya menebalkan pesimisme akan nasib pendidikan di tangan produk sistem lama. Bahwa ide-ide lama, seperti full day school tak lebih merupakan ide-ide yang notabene seharusnya lahir dari masyarakat 1 abad lampau. Yang tak senafas lagi dengan tuntutan pendidikan abad kekinian.
Kenapa? Apa yang kita pahami tentang sekolah hari ini? Selain bahwa sekolah harus bekerja secara mekanik, seperti sebuah mesin produksi. Menyerap nilai-nilai pasar, dengan mengukur efektivitas lewat jam produksi yang panjang. Dengan menempatkan target pencapaian sebagai arah dan tujuan, target yang tak lebih merupakan kebutuhan pemerintah bukan kebutuhan anak.
Tapi ada hal yang lupa untuk dilihat, bahwa, kita tidak bisa lagi terus berorientasi hanya melihat pendidikan dari sudut pandang hasil, yakni seprangkat target pengetahuan yang distandardisasi untuk diraih secara paksa. Tapi juga melihat sisi proses: sisi manusiawi dari proses pendidikan yang ada. Dengan realitas pendidikan yang semakin pengap hari ini, dengan setumpuk target dan aturan yang membelenggu anak hari ini, bukankah dengan ide-ide full day school hanya akan menambal belenggu "pengkandangan" anak yang justru memperlebar tergerusnya sisi manusiawi anak. Pendidikan semakin tampak dengan wajah tidak manusiawi dalam konteks ini.
Di tengah kondisi pendidikan kita yang sangat kaku sekarang ini: penuh dengan tuntutan, target, standar, aturan, hingga paksaan yang berujung belenggu, kita justru menambah jam lebih lama untuk menjalani hal itu. Coba, Pak Menteri bertanya: berapa sih anak yang merasa senang dengan jam belajar terlalu lama hari ini? Bahkan Indonesia yang tergolong sebagai negara dengan jam belajar yang lama di dunia, pun tidak juga menghasilkan anak dengn kecerdasan luar biasa. Justru kemungkinan dengan hal itu, sebaliknya ikut menumpulkan kreativitas anak, karena salah satunya ia kehilangan ruang untuk berinteraksi secara luas, karena sistem persekolahan demikian.
Saat ini, arah perjalanan pendidikan, tak melulu harus dilihat dari pencapaian mercusuar atasnya, apalagi kalau hanya dilihat dari target pencapaian positivistik yang diraih. Tetapi juga harus dilihat dan dikonstruksi pada ranah kemanusiaan: "Apakah proses dan sistem pendidikan yang dikonstruk, sudah benar-benar mengakomodasi sisi- sisi manusiawi sang anak?"
Selain itu, karena sekolah dalam konteks ini sudah berfungsi sebagai tempat penitipan anak, maka tak heran kalau Pak Menteri punya ide brilian akan hal itu: Naikkan iuran! "Masyarakat harus tetap berpartisipasi dalam pendidikan," ujarnya bersemangat. Memang ide Pak Menteri sangat demokratis: tak ada yang menyanggah hal itu. Kata "partisipasi" menggambarkan hal itu. Meskipun kata " partisipasi" ini, tak lebih tak kurang bermakna pelibatan masyarakat dalam membiayai pendidikan! Ane buat konsep: lu yang biayai!

penulis
Muhammad Ruslan

repost: catatan facebook (mohammed roeslank)

Selasa, 26 Juli 2016

Catatan




Catatan ini kuketik kurang lebih 10 menit, sebelum keluar dari suatu ruang belajar, saat itu juga: saat saya diminta untuk mengisi sebuah ruang belajar. Saya masuk disambut dengan salam, lantas diserbu dengan pembicaraan-pembicaraan yang bising. Saya duduk, pura-pura membuka laptop, sambil sekali-kali menyimak pembicaraan mereka. Pembicaraan-pembicaraan yang tak terstruktur itu, melompat dari satu tema ke tema yang lain. 

Hujan yang turun menerpa genteng menyatu dalam pembicaraan anak muda-mudi itu. Tak ada sedetik kesempatan yang aku bisa rasakan untuk memulai pembicaraan. Hingga waktu terus berlanjut dan berakhir begitu saja. Apa yang ia bicarakan memang kadang-kadang menarik, juga kadang-kadang membosankan. 
“Aku gak mau lanjut, kata mamaku ngapain kuliah tinggi-tinggi?” ujar salah satunya. Yang lain menimpali, “Aku mau kuliah”, ujar yang lain. Beberapa mengangguk, beberapa pula diam sambil mencari celah untuk juga berbicara. Dalam pembicaraan itu, taulah saya bahwa anak muda-mudi itu berbicara tentang impian, masa depan yang ia maksud sebagai sumber kebahagiaan. 

Terdengar, ada yang ingin ke Bali, ada yang ke Singapura dan Tiongkok. Ada yang ingin buka restoran, ada dan ada lainnya….. dan banyak lagi. “Mimpi memang tak ada batasnya,” gumamku dalam hati.

Memang, apa yang paling menarik untuk dibicarakan anak sekolahan selain masa depan dengan banyak impian. Apalagi kalau bukan “KERJA”. Kerja? Hah? Kerja kok jadi mimpi, bukan kebutuhan?. Mungkin ia belum tahu dan memang belum merasakan dunia seperti itu. Aku mahfum, karena aku juga pernah seperti mereka. Kisaran umur untuk anak SMA/SMK, memang pembicaraannya tak pernah jauh dari hal-hal itu. Impian dan harapan yang berbinar-binar, setali dengan ide-ide romantik mereka terhadap hidup.

“Memang, hidup itu harus bekerja. Tapi ingat, kita hidup bukan untuk kerja, melainkan kita kerja untuk hidup. Berharap hal itu tidak terbolak-balik,” Begitu harapku dalam hati.

Apapun itu, tak ada hal yang bisa saya lakukan selain menyertaimu dengan do’a. Semoga apa yang kamu impikan tercapai!

Tapi ingat, dunia ini bekerja, kadang-kadang berjalan diluar khendak kita. Banyak hal dimana kita tidak punya khendak dalamnya. Siapkan mental untuk itu! 

Aku sebenarnya, ingin ada di antara mereka yang berbicara atau juga mengimpikan pilihan-pilihan hidup yang lain: di luar dari sekadar kebahagiaan individu yang ia ingin capai. Memang, sampai saat ini saya belum pernah melihat dan mendengar dan menemukan ada murid saya yang berkata, “Pak, impianku adalah merubah kehidupan orang lain, ingin ikut berkontribusi memecahkan persoalan-persoalan yang menderita masyarakatku kini!”. Ah, kadang aku menganggap itu hanya utopia. Karena aku merasa hidup dalam dunia pendidikan yang memisahkan muridku dengan realitas sebenarnya. Ia kehilangan ruang untuk merasa. Aku teralienasi, di saat yang sama mereka juga terasing dengan dunianya. Apa yang tersisa, selain ide-ide romantik yang membelenggu!

Bel baru saja berbunyi, itu artinya: sekian.



Muhammad Ruslan

Sabtu, 16 Juli 2016

Persoalan Pendidikan Kita dan Aliran Dasar Pemikiran Atasnya



Tulisan ini saya buat, sebagai reaksi dari diskusi yang baru saja saya ikuti di Maitreya. Sebagai peserta diskusi,  di tengah banyaknya peserta yang lain yang harus menyampaikan pendapatnya pula, ditambah ketertabasan waktu, membuat saya tidak bisa mengutarakan secara ‘utuh’ pendapat pribadi saya. Karena itu tulisan ini berusaha untuk menindaklanjuti hal itu.  Rencananya semoga beberapa hari ini saya bisa menurunkan tulisan yang berententan terkait hal ini: dua atau tiga tulisan terkait, mengingat pokok substansi pembahasan yang cukup luas dan menuntut kedalaman. Setidaknya saya menyebut ini sebagai bentuk ‘keberhasilan’ diskusi kemarin, karena setidaknya bisa memancing saya (sebagai peserta diskusi) untuk membuat tanggapan lebih lanjut atasnya.

Di sesi ini, saya hanya ingin fokus menggambarkan aliran-aliran paradigma dasar yang hingga hari ini berkembang sebagai wacana sekaligus alat analisis dalam melihat persoalan-persoalan pendidikan yang mencuat. Pembahasan akan hal ini berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mengelaborasi secara terlalu teoritis, namun berusaha untuk mengkonkretisasinya dari persoalan-persoalan keseharian yang terjadi di dunia pendidikan yang kita alami sehari-hari. 

Selain itu, keinginan saya untuk membahas paradigma dasar ini, tiada lain karena suatu hal yang menggangggu pikiran saya selepas diskusi kemarin. Salah satunya adalah, kekhawatiran saya atas pendapat-pendapat saya yang cenderung “liar” berpotensi disalahpahami. Kedua, menginginkan agar pernyataan-pernyataan saya atas diskusi ditempatkan sebagai pendapat pribadi semata, yang tidak menuntut sebuah afirmasi ‘benar atau salah’, melainkan lebih ke ‘sepakat atau tidak sepakat’ semata. Ketiga, selain keterbatasan waktu yang ada, tidak detailnya penjelasan saya juga dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat personal. Titik penjelasan saya yang berorientasi kritik struktural berpotensi melahirkan ‘ketersinggungan’, saya mahfum bahwa “tidak selamanya kita akan terus merasa baik-baik saja atas kritik”. Meskipun saya yakin akan kedewasaan kita bersama, bisa  menempatkan kritik dengan elegan (semoga!). 

Dan yang kelima, kenapa ini penting untuk dibahas, adalah saya melihat, lewat penafsiran-penafsiran pribadi saya, saya dan kita melihat masih terpola secara reaksioner terhadap persoalan pendidikan yang mencuat. “Persoalan ada dan solusi ada”, kurang lebih seperti itu, dan karena hal itu pula kita mengabaikan hal-hal yang bersifat history atasnya. Ketika saya terus menempatkan persoalan pendidikan di ruang hampa, yang saya persepsi kehadirannya ada begitu saja, dan menafikan hal di luar dari persoalan itu sendiri. Karena itu ide-ide segenap solusi yang ada kadang-kadang bersifat instan idealistik, yang hanya membuat saya lebih mudah membuat solusi ketimbang memahami dengan utuh (persoalan-persoalan yang ada). 

Atau lebih tepatnya, yang saya ingin katakan, bahwa membincangkan persoalan pendidikan yang ada, ada baiknya ketika kita merujuk hal-hal itu pada dimensi perdebatan substansial: yakni menggiringnya pada perdebatan-peredabatan epsitemologis dan ontologis. Saya dan kita, bisa dikata mengabaikan hal-hal substansial itu, akibatnya tidak ada struktur alur yang bisa membantu kita memahami persoalan pendidikan dengan lebih terang dan mendasar. Karena itu, tulisan ini akan berusaha memulai kembali diskusi tentang bagaimana persoalan-persoalan pendidikan yang kita bahas ditinjau dari sudut pandang perdebatan-perdebatan aliran pemikiran pendidikan yang ada, dengan harapan setidaknya kita bisa mengidentifikasi diri dalam aliran-aliran pemikiran pendidikan yang ada. Berharap hal itu bisa membantu, saya lebih khususnya, agar lebih jernih untuk melihat persoalan pendidikan yang kita alami sehari-hari dengan pendekatan-pendekatan yang holistik, terhindar dari ambigu dan kontradiksi-kontradiksi konseptual yang ada.

Kontradiksi dan ambigu ini sangat nampak dalam banyak hal (kebijakan). Nilai yang dianggap ideal masih terjebak dalam standar ganda penggunaannya, sehingga antar struktur tidak terjadi alur irama yang sama, justru kadang-kadang bertentangan. Misalnya saja antara metode pembelajaran dan sistem ujian. Terlalu nampak kontrakdiksi itu terjadi. Metode pembelajaran yang mengarah ke hal-hal demokratis justru berbenturan dengan sistem penilaian yang sangat feodal. Metode pembelajaran yang menekankan kemajemukan berpendapat, analisa, penalaran-penalaran subjektif, non-standardisasi, justru sistem penilaian (misalnya ujian yang ada) masih bertahan dengan pola struktur yang lama seperti pilihan ganda, dsbnya, yang dengan jelas mengebiri nilai-nilai yang ingin dikembangkan dalam metode pembelajaran sebelumnya. Sehingga yang terlihat justru kontradiksi, yang secara struktur menutup potensi dikembangkannya model pembelajaran demokratis itu sendiri.

Dan banyak lagi ---- tulisan-tulisan kedepannya akan berusaha mengarah pada proses mengidenfikasi dan membongkar ruang nilai untuk mempertanyakan struktur-struktur yang lama. Satu hal yang pasti, bahwa, sistem yang ideal haruslah lahir dan terbebas dari kontradiksi-kontradiksi yang ada.

Paradigma (aliran)  dalam pendidikan

Secara umum, sedikitnya dalam tulisan ini, saya hanya membagi tiga paradigma dalam pendidikan. Karena itu, kita lebih tepat menyebutnya paradigma dasar. Di antaranya: paradigma konservatif, paradigma liberal, dan paradigma kritis. 

Menjabarkan secara singkat tiga paradigma di atas, bukanlah sesuatu yang harus dilihat dalam kerangka absolut vertikal: benar-salah, atau sempurna-tidak sempurna, tapi sekali lagi lebih bijak melihatnya dalam kerangka relativitas: yang mana kita sepakati dan yang tidak kita sepakati, dan yang lebih idealistik lagi ketika kita mampu mengafirmasi dan melakukan telaah kritik atas tiga konsep tersebut. 

Meskipun dalam pembahasannya, penekanan-penekanan tertentu baik yang bersifat kritik ataupun hal-hal yang sifatnya keberpihakan, tidak lepas dari keterikatan penulis dengan pemikiran-pemikiran yang ada. Dalam konteks ini kita tentu memahami bahwa tidak ada hal yang bebas nilai, tidak ada hal yang terlepas dari subjektivitas, dan tidak ada hal yang sterill dari keberpihakan-keberpihakan, pun tak terkecuali dengan penulis sendiri dalam membahasnya. 

Tiga paradigma di atas, lahir dan berkembang sebenarnya tidak lepas dari realitas sosio pendidikan yang dinamis. Satu paradigma baru lahir adalah reaksi dari paradigma yang lama, begitu seterusnya. Pendekatan dialektik memahamkan bahwa setiap kelahiran konsep baru sebagai tesa, selalu ‘menuntut’ embrio bagi lahirnya antitesa, yang berdialeketik dalam mendorong lahirnya sintesa-sintesa baru. Dari konteks itu, kita mencoba memahami secara linear tiga paradigma di atas: konservatif, liberal, dan kritis. Meski dipahami secara linear, bukan berarti ia terlepas dari hal-hal dialektis atasnya, tak pula ia berarti hilangnya realitas yang lama atas kelahiran yang baru. Keberadaaanya ada dalam di saat yang sama dalam perdebatan-perdebatan konseptual dengan corak dan karakternya yang khas. Begitupun bahwa menempatkannnya secara linear, bukan pula bermakna bahwa yang baru lebih popular dari yang lama, dsbnya.

Paradigma konservatisme

Paradigma konservatif ini, bagi saya adalah paradigma yang paling purba. Pada titik tertentu paradigma ini cenderung anti terhadap segala hal yang baru. Ia mengandaikan perubahan sebagai sebuah ancaman. Dalam konteks pendidikan, paradigma ini mengasumsikan persoalan-persoalan pendidikan yang ada karena pengaruh dari perubahan itu sendiri. Apa yang dianggap ideal adalah mempertahankan realitas sebagai tradisi, memurnikan pendidikan dari pengaruh yang bisa mengancam tradisi pendidikan yang sudah ada. Karakter paradigma ini sangat feodal: mempertahankan nilai-nilai lama, berorientasi masa lalu bukan masa depan. 

Kita sangat mudah melihat guru dengan pengaruh paradigma ini (dengan sadar atau tidak), khususnya pada guru yang dilahirkan dari tatanan lama, namun hidup dengan segenap “kutukan-kutukannya” di tatanan baru. Mulai isu-isu anti Barat, liberal dan sebagainya diproduksi sebagai sebuah wacana untuk menolak pengaruh, dan kukuh bertahan dengan tradisi yang sudah ada, meskipun tradisi itu kadang-kadang sudah bertahun-tahun ---- berabad-abad, malahan

Misalnya dalam konteks hubungan guru-murid, paradigma konservatif akan menolak ide-ide kesetaraan guru-murid. Bagi mereka sudah dan memang seharusnya tatanan hubungan guru-murid itu bersifat hirarki. Otoritas adalah hal baik dan niscaya bagi mereka. Karena ia selalu mengandaikan bahwa murid tidak tahu apa-apa, dan bahkan berpotensi salah dan tersesat sebagai hal niscaya, karena itu guru harus meluruskan secara moral. Dan secara pengetahuan, guru adalah subjek pentrasnfer ilmu, sedangkan murid adalah wadah sebagai objek yang menampungnya. Kondisi-kondisi itu dianggap sebagai realitas alami dan karena itu juga sebagai realitas ideal.

Dalam hal moral, paradigma ini sangat merawat hubungan moralitas itu dalam hubungan paternalistik, suatu hubungan kebapakan (maskulin) yang sangat menekankan kepatuhan sang murid. Karena itu kritik dari murid bisa dianggap sebagai pelanggaran berat dalam konteks ini.  

Paradima konservatif selalu menekankan harmoni dan menolak segala bentuk perbedaan-perbedaan pendapat, dengan mengaggap hal-hal yang sifatnya konflik (pertentangan) sebagai ancaman atas harmoni. Dalam konteks hubungan guru-murid maka yang harus ada hanyalah kepatuhan semata. Begitupun dalam konteks pengelolaan sekolah, relasi guru dengan sekolah haruslah harmonis dalam konteks budaya bisu. Guru haruslah tentram, damai, dan tidak boleh mempunyai pendapat yang berbeda dengan sekolah. Tidak ada otonomi guru, sebagai simbol pendistribusian kekuasaan sekolah, kalaupun ada maka itu harus selaras dengan kebijakan sekolah. Pastinya perbedaan-perbedaan pendapat dianggap tidak ideal. Karena itu sekolah hampir semuanya dijalankan dengan penuh kalkulasi doktrin untuk konteks ini. 

Pardigma konservatif, selalu terjebak pada blaming victims, yakni bentuk-bentuk pelimpahan kesalahan kepada objek sebagai pangkal dari persoalan pendidikan yang ada. Objek yang dimaksud adalah pihak-pihak yang ditakdirkan dalam posisi lemah. Dalam konteks hubungan guru-murid, maka murid adalah objek yang dianggap selalu sebagai sumber persoalan itu sendiri. Misalnya banyak murid tidak lulus, maka yang bermasalah adalah murid itu sendiri, dengan penghakiman-penghakiman seperti: malas, bodoh, nakal, dsbnya. 

Dalam konteks hubungan sekolah dan guru, guru adalah objek yang dianggap sumber persoalan itu sendiri. Dalam konteks hubungan pemerintah dan sekolah, maka sekolah sebagai subjek yang lemah: karena itu dianggap sebagai sumber persoalan. Intinya akar persoalan pendidikan apapun, dalam paradigma ini akan mengarah pada relasi-relasi subjek yang lemah yang jadi pesakitan. Dan yang  paling lemah atas keseluruhan subjek yang ada dalam interaksi pendidikan itu adalah sang murid. Karena itu murid akan terus berada sebagai subjek dan objek yang dipersoalkan dan dipermasalahkan. Oleh karena itu,  aturan dan sistem yang dibuat dari paradigma ini, akan terus berakar pada upaya untuk menjadikan objek tadi sebagai objek dari aturan itu sendiri. Murid diatur ini, itu, harus begini, begitu dsbx. 

Paradigma liberalisme

Bisa dikatakan, di Indonesia, paradigma inilah (liberalis) sebagai ide-ide yang paling ‘popular’ dalam percaturan wacana-wacana pendidikan alternatif. Sudah banyak yang berusaha mengembangkan ide-ide diluar dari paradigma konservatif di atas, dengan menggunakan counter paradigma liberalisme sebagai sumber ide dan gagasan.

Banyak fasilitator menggunakan paradigma ini. Pengalaman penulis juga sewaktu terlibat di salah satu LSM yang bergerak di bidang pendidikan, memperlihatkan bahwa pengaruh paradigma ini sangat popular, dipakai sebagai alat analisis, sekaligus sebagai wacana atas metode pendidikan alternatif. Paradigma ini bisa dikatakan antitesa dari paradigma konservatif sebelumnya, karena itu ide-ide yang mendasari, sekaligus yang menjadi isu pendidikan dari paradigma ini adalah berangkat secara otokritik terhadap paradgima konservatif sebelumnya.

Filosofi dasar dari aliran pemikiran liberalisme ini adalah upaya untuk menempatkan realitas manusia sebagai subjek yang individual (kesadaran individu). Pemahaman ini cukup memiliki kesadaran dalam mengidentifikasi bahwa, ada realitas yang tidak ideal berjalan dalam pendidikan yang ada saat ini. Namun ia menempatkan, sekaligus memahami bahwa persoalan pendidikan yang ada terletak pada manusianya, dalam hal ini sumber daya manusia itu sendiri. Sekilas tampak bahwa gagasan ini, selangkah lebih maju dari paradigma konservatif. Setidaknya paradigma ini sudah berlepas diri dari perangkat akar dari paradigma konservatif, yang selama ini selalu menempatkan murid sebagai sumber persoalan. Paradigma liberalis dalam konteks ini menempatkan guru (Sumber Daya Manusia) sebagai akar pokok persoalannya. 

Karena itu, ide-ide solutif yang lahir dari paradigma ini adalah lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat metodologis. Karena ia menempatkan akar persoalan pendidikan pada SDM, maka solusinya bagi mereka adalah memperbanyak pelatihan-pelatihan bagi guru. Paradigma ini juga yang menguasai pikiran para pengambil kebijakan hari ini, karena itu tidak heran ketika kebijakan pendidikan lebih banyak bermuara ke hal-hal birokratis yang dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas SDM guru, seperti: sertifikasi, dan segudang pelatihan yang ada.

Bagi mereka, kualitas guru adalah sumber persoalannya. Analisa yang dipakai adalah kesadaran. Ia mengasumsikan kesadaran guru masih rendah dalam memahami realitas tuntutan pengajaran kekinian. Karena itu dalam pelatihan, model simulasi dipakai sebagai alternatif metode. Apa produk gagasan yang dilahirkan dari paradigma ini? Mungkin kita tidak asing lagi mendengar istilah-itilah: metode Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), metode learning to doing, group dynamic class, dll. Persoalan pendidikan tereduksi sebagai persoalan teknis dan metodologi semata dianggap sebagai solusi.

Dalam paradigma ini, tampak ada upaya untuk mengabaikan hal-hal yang bersifat struktural. Ia mengasumsikan bahwa kesadaran itu lahir di ruang hampa. Persoalan guru tidak kreatif misalnya, dianggap karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan, karena itu bagi mereka, guru harus disadarkan akan hal itu dan diberi pelatihan. Dalam konteks ini, guru adalah subjek otonom itu sendiri. Ia adalah sumber, sekaligus harapan atas perbaikan persoalan-persoalan pendidikan yang ada. 

Nampak, bahwa paradigma liberalis juga terjebak pada blaming victims, hanya saja bedanya dengan paradigma konservatif tadi, paradigma liberalis menempatkan guru secara otonom sebagai sumber persoalan. Asumsi yang dibangun dari paradigma ini adalah: tidak ada persoalan pada struktur, struktur yang ada sudah baik, tinggal menjalankannya, dan  yang perlu diperbaiki adalah kualitas individu itu sendiri (SDM), yang terdiri dari persoalan skill, mental, sikap dan pengetahuan. Begitupun dalam memandang murid, paradigma ini akan selalu fokus dan berorientasi pemberian dan perbaikan pada skill, mental, pengetahuan dan sikap pada murid.

Pemahaman liberal ini, sebenarnya merupakan pemahaman yang lahir dari tuntutan abad rasionalisme di Eropa saat itu. Ia juga menjadi nafas bagi bangkitnya paham kapitalisme global yang ada saat ini. Yang mengasumsikan persoalan kehidupan manusia sebagai persoalan kualitas SDM semata. Karena itu pengaruhnya dalam pendidikan, itu nampak pada segenap orientasi pendidikan yang ada saat ini, disetting untuk bisa menjawab tuntutan-tuntutan pasar industri. Karena itu tidak mengherankan ketika mereka yang menggunakan analisis ini dalam memandang pendidikan akan selalu melihat bahwa tujuan pendidikan adalah melahirkan anak didik yang siap bersaing dalam dunia industri. Pendidikan dijadikan pabrik untuk melahirkan lulusan yang siap diakomodasi dalam pasar. Karena itu pendidikan harus berorientasi kualitas skill yang nantinya dipakai untuk masuk dalam dunia kerja. 

Pendidikan adalah penyalur tenaga kerja untuk konteks ini. Nilai- nilai berupa skill, mental, pengetahuan, dan sikap, adalah nilai-nilai yang didefinisikan dari sudut pandang kapitalisme (pasar). Mental harus mental pasar, dan sikap pun harus distandardisasi seperti dengan nilai sikap yang berlaku pada industri (perusahaan). Untuk konteks yang lebih luas, pengelolaan pendidikan juga biasanya disetting, menyerap nilai korporasi, dilihat dari aturan, kebiasaan dan nilai norma yang ada.

Pengaruh paham ini, cukup bahkan untuk mengubah orientasi pendidikan dari konteks ideologi menuju konteks pasar---untuk hal ini, saya akan menuliskan tulisan khusus untuk menjabarkan lebih jauh. Indikator-indikator keberhasilan sekolah adalah sejauh mana produknya diserap dalam pasar. Ide-ide tentang kompetisi, skill teknik, menjadi prioritas dalam konteks ini. Karena itu, kualits guru yang dianggap tidak mumpuni adalah guru yang dianggap tidak memiliki sikll teknik dari sudut pandang kebutuhan-kebutuhan pasar. Arah dari keseluruhan proses yang ada dalam sekolah bermuara pada kebutuhan-kebutuhan pasar. Karena itu skill SDM lah pokok persoalan pendidikan!

Paradigma kritisisme

Bisa dikata bahwa pradigma kritis ini merupakan kritik terhadap paradigma konservatif dan paradigma liberalis. Sering disebut, aliran paradigma kritis dalam madzhab pengetahuan ini bermula pada sekelompok pemikir-pemikir sosial radikal di Jerman saat itu yang dikenal sebagai Mazhab Frankfurt. Titik tolak keberadaan paradigma ini adalah kritik itu sendiri yang berpangkal pada hal-hal yang bersifat struktural. Dalam konteks isu pendidikan, paradigma ini bisa dikata ikut membentuk aliran pemikiran dalam pendidikan yang khas yang sering dikenal dengan istilah pedagogi kritis. 

Apa yang menjadi inti pokok pendarasan persoalan-persoalan pendidikan dari paradigma kritis ini, adalah dengan melibatkan pembacaan struktural yang ada. Pendidikan sebagai produk kebudayaan tidak lahir di ruang yang hampa, melainkan terkondisikan oleh berbagai bias struktural yang ada. 

Menggunakan pembacaan struktural dalam melihat persoalan pendidikan, mengasumsikan bahwa kesadaran itu sebagai bagian dari keberadaan struktur yang bersifat deterministik. Seperti halnya kalau kita membaca persoalan kekerasan guru yang ada, paradigma konservatis mungkin akan memandang itu sebagai bukan persoalan, kalaupun ia adalah persoalan maka yang menjadi objek dipersalahkan adalah murid, sedangkan paradigma liberalis kemungkinan akan menggiring hal itu ke guru. Kedua-duanya sama dalam konteks mereduksi persoalan itu (kekerasan guru itu) dalam ranah moralitas dan personal. Dua paradigma itu bersepaham untuk tidak mengaitkan hal itu dengan struktur yang ada. Sebagai sebuah persoalan moral dan personal maka hal itu disebut sebagai persoalan kasuistik dan insendentil.

Sedangkan pendekatan kritis berusaha untuk membaca hal itu sebagai persoalan  yang tak terpisah dari persoalan struktural yang ada. Kekerasan guru terhadap murid, adalah bagian dari konstruksi struktural atas relasi hubungan guru-murid yang timpang, penuh otoritas. Setali dengan timpangnya hubungan kuasa antara sekolah dengan negara. Standardisasi yang juga adalah pemaksaan dari negara, akan selalu menciptakan celah pemaksaan dalam konteks hubungan otoritatif antara sekolah terhadap guru, dan hingga antara guru terhadap murid. Ini seperti sebuah spiral struktural. Karena itu, pendektan struktural akan selalu mendorong perbaikan di tingkat struktural.

Banyak hal dimana pendekatan struktural ini dapat dipakai untuk melakukan pembacaan atas realitas persoalan pendidikan yang mencuat. Paradigma kritis akan menghendaki perubahan struktur secara fundamental, menghindari hal-hal yang bersifat reformis seperti penggunaan standar ganda dari sebuah nilai. Standar ganda yang dimaksud cukup luas, seperti halnya: menerima prinsip demokrasi dalam sekolah tidaklah tepat ketika itu hanya dilihat secara aksiologi dari hubungannya antara guru dan murid, tetapi juga harus dilihat dari hubungan antara guru dengan guru, guru dan sekolah, bahkan hingga dari hubungan pemerintah dan sekolah. Karena struktur itu semua saling terkait secara nilai.

Paradigma kritis menghendaki bahwa orientasi dari pendidikan haruslah mengarah pada sebuah proses pembebasan. Pembebasan dari segala bentuk penindasan baik kulutral maupun struktural.  Ia menempatkan persoalan pendidikan yang ada berangkat dari sistem pendidikan yang tidak manusiawi, mendegradasi hal-hal manusiawi terhadap pendidik dan murid, karena itu paradigma kritis mendorong perubahan kepada prinsip emansipatoris, humanis dan demokratis di segala bidang pendidikan. 

Asumsi yang dibangun dari pendekatan ini adalah, bahwa, persoalan pendidikan sama dengan persoalan moral, merupakan perkara yang tidak lahir di ruang yang hampa begitu saja, ia merupakan bagian dialektis dari perkara-perkara struktural. Kalau misalnya ada pelajar yang selalu dianggap melanggar aturan sekolah, bukan berarti bahwa ia senang melanggar, mungkin saja ia adalah reaksi dari produk aturan yang terus hanya menjdikan sebagai objek aturan, bukan sebagai subjek aturan itu sendiri. Subjek aturan itu sendiri yang dimaksud disini, mengasumsikan adanya proses penglibatan murid dalam menentukan apa yang baik dan tidak baik yang muncul lewat kesepatakan-kesepakatan demokratis. Jadi ini adalah persoalan struktural, tidak melulu melihatnya sebagai persoalan personal, moralis, sikap dll seperti yang diajarkan oleh paradigma liberalis, apalagi konservatis.

Saya rasa, banyak hal yang harus direinterpretasi ulang atas tatanan lama yang berjalan hari ini. Tugas terberat sebenarnya bukan pada bagaimana memberi solusi atas persoalan-persoalan pendidikan yang mencuat, tetapi bagaimana memahami persoalan itu sendiri. (berlanjut)


Tabik..

Penulis
Muhammad Ruslan