| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Senin, 25 Februari 2019

Baju Wisuda

Wisuda, Wincung, dan Wisatawan Sekolah. hahaha.

Tidak seperti foto-foto perpisahan siswa-siswa di Barat pada umumnya. Biasanya, dalam sesi foto, maka para siswa biasanya berbaris sesuai dengan urutan perangkingan. Tempat duduk paling depan disamping kiri kanan sang guru biasanya diisi oleh siswa-siswa yang dianggap terbaik.  Dan itu sangat sakral.

Berbeda dari itu semua. foto di atas tidak demikian. Mereka yang mengapit saya sebaliknya, kadang-kadang saya ingin mengatakan, bahwa mereka adalah anak-anak juara juga. Tapi juaranya dalam hal buku hitam, tiada tandingannya. haha.

foto ujian kenaikan sabuk. wkwkw. dari kiri Vinky Taekwondo, yang baju putih Pelatih dari Padepokan Silat, Egan Wincung, Steven kungfu. haha.

Coba lihat. Betapa aura bakat terpendam mereka sangat nampak. Anak-anak yang sangat terobsesi dalam dunia persilatan itu, tahu-tahunya mengambil jurusan yang membosankan; akuntansi. Hahaha. Coba lihat, ditengah sesi fotopun mereka tetap mengacungkan tangan silat wincung. Hahaha.

Waktu ingin memulai sesi foto, ketika  para siswa dipersilahkan untuk menempati kursi di depan. Dengan sigap anak-anak dengan bakat buku hitam dan persilatannya itu, begitu cepat tak tertandingi mengambil posisi di depan. Lihat foto pertama. hehe. Saya mahfum dan hanya bisa tertawa melihatnya.

Mereka adalah anak-anak yang dikaruniai bakat dan kepercayaan diri yang sangat tinggi. Hanya saja  barangkali ia salah jurusan. Ckckck. Di kelas pun demikian. Saya kadang-kadang menyebut mereka seabgai wisatawan sekolah. Datang mau-mau dia, duduk, saling mengerjai, ribut, makan-minum, bermain sampai puas, lalu pulang. Begitu seterusnya. Sesekali dapat SP itu uda biasa. Paradoksnya bahwa mereka tetap bahagia dengan itu semua. hahaha.

Sekarang tiga tahun, ia lewati. Baginya kayaknya, ya biasa-biasa aja. Toh, silat wincung tetap dihati ketimbang menghitung harga pokok produksi. Hehe. Itupun, jangan tanya silat uda sabuk berapa? Hmm. Semua hanya ada dilevel imajinasi.

Wajah sumringah mereka pun berbeda dari kawan-kawannya yang lain. Para siswa yang lain, bahagia karena telah berhasil menuntaskan jenjang pendidikan menengah kejuruan. Kalau mereka, kayaknya bukan itu soalnya. Bagi mereka wisuda adalah puncak pembebasan tertinggi dari belenggu sekolah. Mereka barangkali mengaggap wisuda adalah perayaan atas keterbebasan dari ketidakbetahan hidup di alam sekolah.

Berbeda dengan siswaku, para laki-laki yang dibelakang. Dalam hal penerimaan terhadap budaya dan aturan persekolahan, mereka cukup kompromistis. Begitupun dalam pelajaran. Tak banyak tingkah pokoknya. Dan beberapa di antaranya cukup lumayan untuk ukuran akademik. Meski beberapa juga diantaranya mirip wisatawan sekolah tadi. Ya….menganggap sekolah sebagai tempat menghbaiskan umur, menghabiskan sisa-sisa remaja barangkali. Bedanya, bahwa ia tidak banyak bertingkah. Tidak pernah melanggar. Proud!. Hahaha.


bersama Tio, dan seorang penyusup bernama A Li

Sedangkan para srikandi-srikandinya. Rata-rata sudah pandai buat alis pokoknya. Wkwkw. Saya kurang tahu, hal itu ia pelajari dimana, kurang tahu juga. Sebab setahu saya, kami tak pernah mengajarkan hal itu di sekolah. Tapi, bagus loh, alis buatannya pun emang keren-keren. Sangat balance layaknya balance sheet dalam akuntansi. Hahaha.

Waktu sesi foto tadi, saya berujar ke photographer-nya agar dipercepat. Takutnya baju wisuda yang membuat gerah itu, bisa-bisa membuat bedak mereka pada luntur. Kan kasian, waktu berdandang yang dihabiskan tidak singkat loh…

vina, charlene, dkk. foto sehabis merampungkan lingkaran alis dengan perfect. haha

caption sama dengan yang di atas. hehe.

Dan tidak seperti dengan siswa laki-laki pada umumnya malu-malu untuk berfoto. Para siswa srikandi-srikandi millenial ini, sangat aktif. Hehe. Seperti mengafirmasi bahwa inovasi ponsel berkamera depan memang diciptakan untuk kaum perempuan. Haha. Untungnya tadi, mereka tidak melakukan boomerang di tengah-tengah sesi foto. Ampun, itu barangkali akan jadi pengalaman memalukan bagi saya ketika saya harus ikut hal demikian. Hahahaha.

Veno sang gigi harimau, asisten dan ketua kelas, bersama teman-temannya mengabadikan fungsi kamera depan handphone..haha.

Tapi apapun itu. melihat mereka memakai baju wisuda itu. Sangat membanggakan. Entah, itu baju wisuda yang ke berapa yang ia pakai. Bisa jadi itu yang ketiga ataupun keempat. Sejak TK hingga SMK. Jauh lebih baik, ketimbang saya. Yang sejak sekolah sampai sarjana tidak pernah punya pengalaman memakai baju seperti itu. hahaha.

Dan apapun itu. Doa terbaik untuk kalian semua. _/\_

Terakhir. saatnya mengabsen satu-satu....
dari kiri belakang ke kanan. yogi, djaya, joy, salim, tio, ricky, rudy, miko, john, whisly, sherina, haryana, eju, veno, dewi, eve, vina, charlene, wenny, devih, shella, Jeje, Marthi, sunarti, risma, jollyn, longli, aurel, steven, saya?, eagan, vinky. XII Akuntansi SMK Maitreyawira Batam.




Selasa, 19 Februari 2019

RACUN


Selalu ada yang berbeda saat menepi. Setelah didera penyakit yang membuat tubuh tak mampu beroperasi seperti biasanya, barulah arketip-arketip kesadaran kembali. Ingatan, bahkan imajinasi-imajinasi hidup perlahan-lahan muncul.

Setelah jiwa ditelan habis oleh rutinitas. Penyakit yang datang seperti pembebasan dari itu semua. Menengok kembali ke dalam dan menemukan diri yang hilang. Di saat-saat manusia kehilangan energi untuk memapah tubuh, disitulah kita akan kembali tersentak pada kesadaran bahwa manusia itu pada dasarnya lemah.

Kesakitan adalah pembebasan dan kesenangan adalah belenggu.Barangkali benar kata orang, bahwa sebanyak apapun waktu kita habiskan untuk beristirahat, tidak akan bisa mengobati keletihan, kalau yang lelah adalah jiwa kita. Suatu waktu, menjelang eksekusi mati sang filsuf besar Socrates, di kerumunan sahabatnya ia melontarkan pernyataan menjawab kerisauan dan kesedihan sahabatnya di sekitarnya, ia berkata; kebijaksanaan itu adalah pembebasan, yang paling dekat dari itu semua adalah kematian. Ketika hidup adalah belenggu, bagaimana mungkin seorang filsuf bisa bersedih atas kematian?

Para sahabatnya terdiam. Jelang kematian sang guru di depannya, membuatnya semakin sulit untuk menempatkan perasaannya. Kesedihan karena kematian bercampur dengan kesenangan karena pembebasan. Ia benar-benar kesulitan untuk mengontrol perasaannya yang tercampur itu. Sesekali ia tertawa sesekali ia kembali bersedih.

Kebenaran menjadi kumpulan-kumpulan absurditas-absurditas hidup. Manusia adalah narapidana yang tidak punya hak untuk membuka pintu penjaranya dan lari. Inilah kebenarannya, kata Socrates. Setiap kesenangan dan kesakitan adalah sejenis paku yang memaku jiwa dengan tubuh. Ketika jiwa telah terpesona oleh tubuh disitulah awal mula penderitaan lahir. Ketakutan akan rasa sakit adalah wujud dari hidup dimana jiwa hanya menjadi pelayan bagi tubuh. Dan ini adalah titik terendah dari hidup di mata filsuf.

Tak lama setelah itu, Socrates mati. Dia  dihukum dengan cara dipaksa meminum racun oleh penguasa Athena saat itu. Ia menghadapi itu tanpa rasa takut. Dunia berkabung. Rasa hormat atas keberaniannya terurai hingga kini. Kalau saja ia menyerah dan takluk, saya rasa sejarah akan berkata lain.

Dalam kehidupan ini, meski kita terpaut ratusan tahun dengan Socrates. Namun kisah-kisah tentang racun itu sangat terpaut dengan kehidupan kita dalam rupa bentuk yang berbeda . Aku melihat racun-racun yang membunuh Socrates itu berseliweran dimana-mana. Racun-racun yang diproduksi oleh kekuasaan menindas,  tidak hanya membunuh manusia, tapi lebih dari itu ia ikut membunuh nalar dan pengetahuan.

Namun begitulah hukumnya. Keadilan boleh kalah oleh ketidakadilan. Kebenaran boleh dilumpuhkan oleh kekuasaan. Tapi tak ada yang abadi untuk itu. Seperti dengan kata-kata Socrates; Orang jahat tak akan mampu menyakiti orang lain kecuali dirinya sendiri.