| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Kamis, 23 Juni 2016

Dosa Sekolah dan Radikalisasi Agama

sumber gambar:



Radikalisasi agama yang marak terjadi belakangan ini, tentu membuat kita semua prihatin. Sebab radikalisasi ini tidak mengarah pada semagat militansi agama dalam menjawab persoalan sosial dan menubuhkan kesalehan sosial, tetapi sebaliknya justru mengarah pada semangat fundamentalisme yang sektarian. Penghakiman-penghakiman sepihak karena perbedaan pikiran, pendapat, agama maupun madzhab, hingga beberapa di antaranya berujung kekerasan.

Tahun yang lalu pembakaran masjid dan pembakaran gereja cukup menyita perhatian, belum kasus diusir dan dibakarnya perkampungan warga Syiah di Sampang. Melihat lebih belakang lagi hanya membuat kita semakin miris. Setali dengan hal itu, tindakan-tindakan intimidasi dan penutupan paksa diskusi hingga warung makan, bahkan pengusiran Ibu Sinta, Istri Almarhum Gusdur, lusa (17/6) tak luput dari seperangkat ironi intoleransi yang terjadi. Kejadian-kejadian ini semuanya berakar dari satu persoalan yakni: model keberagamaan yang fundamentalis anti-kemajemukan, melanda seperti penyakit (pseudo beragama). Ini adalah suatu ironi intoleransi yang selau berpotensi menyulut tragedi.

Bagi siapapun – termasuk penulis – yang terbiasa berinteraksi lintas agama, akan merasakan atmosfer kekesalan yang terpendam. Ruang-ruang sosial yang sedianya sudah seharusnya mencair justru selalu saja ada pihak yang menginginkannya membeku dalam suatu kotak-kotak simbolitas keberagamaan. Hal ini hanya justru berkontribusi dalam memupuk ketidakharmonisan dalam bermasyarakat. 

Dalam tulisan ini, saya hanya ingin melihat skop lingkup persoalan ini dari sudut padang pendidikan. Dan mencoba melihat isu fundamentalisme dalam skop yang lebih  luas dari sekadar agama. Dengan menarik suatu hipotesa bahwa pendidikan yang ada saat ini ikut berkontribusi dalam menyuplai energi bagi lahirnya semangat fundamentalisme dan menyemai benih intoleransi sejak dalam pikiran. Kenapa bisa?

Karl Henrich Marx, atau lebih lazim dikenal Marx, pernah mengatakan bahwa keseluruhan persoalan-persoalan ‘agama’ yang ada saat ini (saat itu, yang masih relevan dengan kekinian), haruslah dilihat sebagai persoalan-persoalan sosial itu sendiri. Itu berarti persoalan agama khususnya yang berpangkal pada isu sektarian ini, berakar pada persoalan sosial struktur yang ada. Tak terkecuali dalam hal ini adalah pendidikan sebagai salah satu elemen dari struktur sosial yang dimaksud. Meski pendidikan bukanlah penyebab primer, tetapi secara tidak langsung kultur pendidikan yang ada saat ini ikut andil untuk hal itu.

Pengkotak-kotakan sekolah

Kondisi kultur persekolahan yang terkotak-kotak oleh semangat primordialisme suku dan simbolitas agama saat ini ikut bertanggung jawab. Saat ini kita tidak sulit untuk melihat banyaknya sekolah yang bermunculan dengan ciri dan simbolitas kelompoknya yang khas. Baik simbolitas itu bersumber dari semangat kesukuan, agama, bahkan semangat madzhab sekalipun. Terlalu langka untuk melihat adanya sekolah yang betul-betul lahir dari cara padang majemuk melihat realitas majemuk sebagi sesuatu yang ideal. 

Saat ini kita hanya melihat dan mendorong isu persekolahan dalam kerangka keramahan sekolah terhadap anak/pelajar, agar ruang kekerasan fisik tidak terjadi. Tetapi masih meninggalkan hal lain, yakni keramahan sekolah terhadap perbedaan horizontal. Masih terlalu langka untuk melihat sekolah yang benar-benar lahir dari cara pandang majemuk. Sekolah yang ada justru dikondisikan dengan wataknya yang eksklusif.

Ada sekolah berbasis agama A, B, C, bahkan adapula sekolah dengan basis agama tapi khusus untuk madzhab tertentu saja. Selain itu, terdapat pula sekolah yang terlalu elitis untuk golongan tertentu saja, bahkan sekolah yang ‘dihuni’ oleh suku tertentu pun ada. 

Secara hukum tak ada yang salah dengan hal itu. Tapi secara sosial, kita mencoba meraba bahwa produk-produk sekolah yang lahir dari keterasingan berinteraksi secara majemuk akan membawa potensi-potensi lain, tak terkecuali bagi tersemainya kesadaran anti-kemajemukan. Secara politik pendidikan, desain sekolah yang seperti di atas, sebenarnya bertentangan dengan visi kemajemukan yang harus dirajut.

Semangat ketertutupan sekolah justru disemai. Padahal keberbauran itulah yang seharusnya dipupuk. Keberbauran bisa menangkal segala bentuk gejala radikalisme bersuku dan beragama secara sektarian.  

Saya pikir, tindakan sektarian yang lahir dari cara berpikir dogmatis, yang mengganggap diri dan keyakinannyalah paling benar atau mungkin satu-satunya yang benar di dunia, lahir bukan karena kurang piknik, atau kurang beribadah, tetapi karena kurangnya bergaul lintas agama. Semua orang memang lahir berpotensi terradikalisasikan oleh dogma agama, saya yakin dengan pergaulan akan membuka ruang kita untuk berpikir terbuka, hingga menemukan dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa kebaikan itu sangat universal. Kebaikan lahir dan muncul dari kalangan siapa saja, seperti halnya dengan keburukan itu sendiri.

Karena itu, para pengusung gerakan lintas iman atau lintas agama, sangat menekankan keterbukaan itu dan dialog sebagai salah satu alternatif dalam meredam isu sektarian ini. Dan ironisnya ketika sekolah yang justru seharusnya menjadi pranata sosial paling depan untuk membuka ruang itu, justru keburu terkena penyakit fundamen ketertutupan. Terlalu mudah melihat sekolah dengan karakter yang sangat eksklusif. Bahkan pengalaman penulis, pernah ditolak oleh salah satu sekolah agama, hanya karena saya berasal dari organisasi keagamaan yang dikenal sangat moderat (hehe).

Ini menjadi ironi yang cenderung diabaikan dalam kultur persekolahan yang ada. Salah seorang cendekiawan muslim, Cak Nur sudah memperkenalkan konsep keberagamaan inklusif ini, ide yang dikaji dari kondisi sosial masyarakat kita, sebenarnya telah mengingatkan kita akan hal itu. Hanya saja sepertinya kita terlambat untuk menindaklanjutinya di tingkat operasional sekolah.

Membiarkan pengkotak-kotakan dengan semangat ketertutupan yang ada dalam kultur persekolahan yang ada saat ini, sama halnya dengan mengkondisikan benih-benih fundamentalisme dan intoleransi tumbuh di lahan yang subur. Saat sekolah yang seharusnya berperan mencairkan perbedaan-perbedaan sosial yang ada, justru ikut mengungkung perbedaan-perbedaan itu dalam sangkar-sangkar simbolitas yang sempit. 

Ketertutupan hanya akan melahirkan streotipe, rasa curiga yang terus berangsur-angsur, hingga terlalu mudah dipolitisir, hingga berpotensi meledak dalam gesekan-gesekan horiozntal. Dan hal itu sudah sering kita alami sejak zaman kolonial hingga sekarang. Bahwa ketertutupan memudahkan segala bentuk kepentingan bisa menyulut konflik. Kita dengan mudah bisa berkaca pada kebijakan politik deivide et impera kolonial Belanda beberapa ratus tahun silam. Kebijakan pengkotak-kotakan dalam dunia pendidikan memang diciptakan untuk memangkal isu-isu solidaritas, persatuan dan sejenisnya.

Apalagi  saat ini, ketika negara justru ikut dalam proses pengkotak-kotakan sekolah itu. Sebagian sekolah di bawah kendali Kementerian Pendidikan, sebagian pula di bawah kendali Kementerian Agama. Ini seperti pemerintah juga gagal untuk mensinkronkan antara pembelahan itu dengan kurikulum 2013 yang ia susun sendiri yang menekankan keterpaduan. Belum lagi, perbedaan sekolah antara negeri dan swasta yang justru melahirkan pembedaan perlakuan pemerintah. Ini menjadi sebuah contoh dari wajah ganda perlakuan negara, serupa dengan kasus-kasus intoleransi yang ada: yang justru lebih banyak mengamankan korban daripada menghukum pelaku. 

Kurikulum pendidikan agama yang memalukan

Bukan hanya kualitas buku-buku sekolah yang kadang-kadang memalukan, tapi juga kurikulumnya. Di tingkat sekolah menengah misalnya, pelajaran-pelajaran agama sepertinya tidak pernah naik ke kelas yang lebih tinggi. Pelajaran agama diajarkan dibangku sekolah menegah, tidak ada bedanya dengan yang diajarkan dibangku menengah pertama dan sekolah dasar. Seolah-olah agama itu terlalu sempit untuk dibahas, dan pembahasannya seolah-olah hanya itu-itu saja. Agama dalam konteks ini diajarkan sebagai hal yang teknis semata, seperti tata cara beribadah, tata cara berdoa, dll.

Pelajaran agama hanya menjadi seperangkat paket doa-doa yang dijarkan secara dogmatis. Doa-doa yang harus dihafal dan dilafalakan seperti mantra untuk mendapatkan nilai praktik. Padahal kalau kita merujuk gagasan Bapak Pendidikan -- Ki Hadjar Dewantara  -- misalnya, sudah seharusya pendidikan agama di tingkat menengah haruslah menyesuaikan dengan tuntutan kodrat perkembangan psikologi dan kedewasaan pelajar.

Kalau saja pendidikan kita saat ini diframing dari kondisi-kondisi sosial masyarakat, maka seyogyanya pendidikan agama yang ada seharusnya membincangkan persoalan-persoalan intoleransi dan radikalisasi agama yang terjadi akhir-akhir ini. Seperti kata Ki Hadjar Dewantara: sistim pengajaran haruslah berfaedah, lahir dari kehidupan dan penghidupan sosial masyarakat, untuk kepentingan berbangsa!

Seyogyanya pendidikan agama ditingkat sekolah menengah memang haruslah berpradigma lebih luas dari sekadar pengteknikalisasian agama semata. Mengingat kondisi pikiran pelajar sudah memenuhi syarat untuk membincangkan agama dengan pendekatan yang lebih universal. Pemerintah khususnya lewat kementerian agama, harus mengambil tupoksi yang lebih besar akan hal ini: meramu pelajaran agama yang terpadu secara universal. Mengingat bahwa menangkal radikalisasi agama bukanlah proyek jangka pendek, melainkan jangka panjang karena terkait dengan pikiran manusia. Sebab pseudo beragama anti-kemajemukan ini, bukanlah suatu kenyataan insenditil dan personal, tetapi sebuah persoalan sosial yang mendaur lewat alam pikiran: mewarisi dan diwarisi yang berpotensi beranak-pinak lewat proses sosial pendidikan itu sendiri.

Melihat banyaknya kejadian  konflik sektarian yang pernah terjadi dalam catatan gelap sejarah bangsa kita ini hingga terus terjadi saat ini pun, baik yang berkarakter suku maupun agama, sudah seharusnya mendorong kita memikirkan bahwa virus anti-kamajemukan itu tidak terwarisi ke generasi selanjutnya. Proses waris mewarisi ini memang lebih tepat dan seharusnya dipikul oleh pranata pendidikan. Oleh karenanya, menciptakan suatu kultur pendidikan yang terbuka dan ramah terhadap kemajemukan adalah tantangan pendidikan kita ke depannya!


Penulis
Muhammad Ruslan

Kamis, 09 Juni 2016

Guru, Nasibmu Kini..


sumber gambar: www.kaskus.co.id

Kita kadang sering berlaku tidak adil terhadap guru. Guru yang diserahkan setumpuk tugas berat, ditukar dengan upah yang hanya bisa ditukar dngan odol dan sabun mandi—dan itu kita anggap wajar. Di saat yang sama kita menuntut guru dengan banyak tuntutan. Seolah-olah guru harus merebut sedikit kekuasaan Dewa untuk dapat menyulap anak kita seperti yang kita harapkan. 

Memang adil sejak dalam pikiran, apalagi tindakan, tidak mudah! Tak tanggung-tanggung, para orang tua “dengkul” yang hanya pandai mengoceh menyalahkan guru ketika anaknya berbuat buruk misalnya. Guru dengan kekuasaannya yang kecil itu, seperti menjadi satu-satunya tempat yang paling mudah untuk melampiaskan amarah. Seorang anak yang konvoi membentak polwan, siapa yang salah? Guru! Seorang siswa tidak lulus. Yang salah, ya guru! Anak bertindak asusila, yang salah tetap guru! Guru adalah orang yang ditakdirkan menampung segala musabab dari segala keburukan muridnya. 

Padahal kalau kita ingin jujur, beban moril berupa tugas moralitas yang “dibebankan” kepada guru sungguh tidak fair. Dengan setumpuk tuntutan kurikulum yang padat yang harus diraih, dengan jam sekolah yang sudah cukup padat untuk menampung hal itu. Guru masih harus dibebankan beban-beban moral, mendidik moral, dan bahkan konon meluruskan akhlak, dll. Karena itu, guru selalu bersiap-siap untuk menerima cercaan, kalau saja ada muridnya berbuat amoral meskipun di luar sekolah sekalipun. 

Padahal hipotesa— meski belum ada penelitian yang mengkuantifikasi dalam angka—“Benarkah siswa terbentuk secara moralitas dalam sekolah?”, adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Sebab dalam teori sosial sederhana sekalipun, dipahami bahwa moralitas adalah hal fundamen bagi manusia. Ia ada dan terberi dari proses interaksi primer yang paling intim, bernama keluarga—sedangkan sekolah dalam hal ini adalah pranata interaksi yang bersifat sekunder. Itu berarti anak yang datang ke sekoah, sebenarnya lebih dominan membawa karakternya yang dibentukkan dan diserap oleh keluarga, ketimbang terbentuk di sekolah. Dan ironisnya, para orang tua kadang cenderung cuci tangan untuk melihat hal ini. Jadilah guru yang sebagai objek yang terus dipersakitkan akan hal itu. 

Guru adalah pesakitan. Bukan hanya menjadi objek pesakitan dari masyarakat, tapi juga dipicu oleh perlakuan pemerintah yang bermuka ganda melihat guru. Kebijakan pensejahteraan yang jauh panggang dari api misalnya, hingga perlindungan guru yang minim. Alih-alih, berharap akan perlindungan guru, kebijakan yang hadir justru hanyalah kebijakan-kebijakan yang hanya menempatkan guru sebagai objek liar yang harus dikendalikan. Larangan guru merokok di sekolah contohnya, adalah kebijakan yang tidak terlalu signifikan dalam kaitannya mengangkat martabat guru. Kita paham bahwa ada kebijakan yang harusnya diprioritaskan: kesejahteraan misalnya. Kesejahteraan yang manusiawi adalah faktor penting yang bisa mengangkat kembali martabat guru yang hingga hari ini dipreteli.

Bahkan upaya pemerintah dalam menciptakan status perbedaan di antara guru seperti: guru bantu, guru honorer, guru tidak tetap, dan sebagainya. Bukan lagi dilihat dan ditempatkan berdasarkan fungsinya sekarang ini, tetapi lebih merupakan pembedaan-pembedaan berdasarkan standarisasi kelas sosialnya yang rendah atas upah yang tidak manusiawi. 

Guru, dengan kekuasaannya yang kecil itu, dan dengan kesejahteraan yang memilukan, membuatnya seperti dibuang dalam kasta paling rendah di masyarakat yang sedianya menuankan uang dan materi. Karena itu guru terlalu mudah dipreteli oleh banyak pihak termasuk orang tua murid sendiri. Di alam kapitalisme sekarang, materi adalah ukuran “kasta” seseorang, kehormatan yang dinilai dari materi ini sekonyong-konyong semakin mempreteli profesi kaum-kaum intelektual seperti guru. 

Di salah satu desa tepencil di Kalimantan Barat, yang bernama Sungai Radak, Kamis (19/5) seorang guru bernama Jamilah (39), dicukur oleh orang tua murid, lantaran tidak terima anaknya yang manja itu dicukur oleh sang guru karena dianggap melanggar tata tertib kerapian sekolah. Sebuah perilaku banal yang memalukan sekaligus mempermalukan guru sebagai profesi secara keseluruhan. Segala wujud kasus yang mempermalukan guru, mempreteli hak dan martabat guru seperti kasus di atas, sebenarnya tidak lepas dari buah kebijakan politik (keberpihakan) negara terhadap guru yang sangat lemah. 

Guru dengan ketidaksejahteraannya yang memilukan itu, ditambah dengan alphanya perlindungan negara terhadap guru, seperti sebuah legitimasi oleh pemerintah untuk menempatkan guru di dalam kasta paling rendah di masyarakat. Hidup di masyarakat kapitalis dengan kondisi ekonomi seperti itu, adalah sebuah aib dari sebuah kehormatan yang digadai oleh pandangn-pandangan congkak manusia-manusia yang mempertuankan materi. Sehingga yang terjadi: guru kadang dipandang sebelah mata, hingga diperlakukan dengan cara-cara yang tidak elegan. 

Guru adalah kaum paria baru yang diproduksi ulang di alam kapitalisme saat ini. Ia yang menaggung “paria” (pahit) hidup untuk menyanggah kehidupan sosial berjalan ideal. Guru sudah seperti budak---budak terdidik. Dengan upah 200 ribu-300 ribu perbulan, ia pun harus menanggung sisi-sisi manusiawinya yang dilecehkan. Memotong rambut guru adalah salah satu bentuk pelecehan purba itu. Hal yang sama terjadi pada kasus-kasus pemidanaan guru oleh orang tua murid yang notabene seorang polisi misalnya, terjadi di Bantaeng Sul-Sel, hanya karena guru bersangkutan mencubit siswanya. Hukum seperti jalan pintas dan paling mujarab untuk mengamputasi perlawanan guru, karena ia tahu guru tidak mampu “membeli” hukum itu sendiri. 

Melihat kejadiaan akhir-akhir ini, saya pikir—sepertinya kita terlalu cepat amnesia, untuk mengingat bahwa republik ini didirikan oleh guru. Soekarno dan Tan Malaka saja contohnya: ia seorang guru. Kebijakan yang semakin mempreteli guru, seperti halnya mempreteli para pendiri bangsa kita sendiri. Dari sabang sampai merauke, kita masih menyaksikan dengan mata telanjang nasib para guru yang diambang jauh dari batas perlakuan manusiawi. Secara kesejahteraan Ia bahkan lebih rendah dibanding dengan (saudaranya) para buruh. Kita terlampau mudah menyematkan dirinya sebagai “pahlawan”: pahlawan yang menaggung derita kebijakan yang congkak. 

Di tengah kondisi semakin dipretelinya profesi guru, satu-satunya harapan untuk itu semua adalah kehadiran organisasi-organisasi yang menghimpun guru dalam satu kekuatan. Seperti PGRI dan sebagainya. Organisasi-organisasi inilah yang harus mengambil langkah perlawanan atas sistem yang mempreteli guru. Organ ini harus berjalan lebih progressif. Ketika organ yang ada tidak mampu berbuat lebih untuk guru: segala agenda hanya berakhir dalam ritualitas, diplomasi meja makan para elit organisasi, maka kita guru—semua—sudah seharusnya berpikir selangkah lebih maju dari yang ada, berpikir alternatif mendorong lahirnya organisasi keguruan yang jauh lebih progresif dari yang ada-ada. Organisasi guru yang memang harus lahir, dibentuk, dijalankan bukan oleh pejabat, melainkan para-para guru itu sendiri: guru-guru yang sudah kenyang dengan penindasan! 


Penulis 
Muhammad Ruslan


sumber :  http://www.kompasiana.com/2220/guru-nasibmu-kini_5756d1ef957e61460f34b469

Minggu, 05 Juni 2016

Sepenggal Tentang Guru dalam “Bukan Pasar Malam”





…”sudah berapa tahun ayah Tuan jadi guru?”
Gembira paman menjawab:
“Tiga puluh tahun”
        “Alangkah kuatnya. Aku yang baru dinas delapanbelas tahun rasa-rasanya sudah tak kuat lagi. Tapi siapakah yang mau jadi guru selain kita-kita ini? Guru tetap jadi guru. Dalam dinasku itu pernah juga aku kena penyakit jantung. Kalau ayah Tuan kena penyakit paru-paru sesudah dinas tigapuluh tahun---itu suatu tanda kekuatan. Beliau sangat kuat.”
Ia diam dan memandang
Ia diam dan memandang ke jalan raya.
“Barangkali penyakitnya didapatkannya waktu jadi pengawas sekolah---tiap hari mengayuh sepeda
limabelas sampai duabelas kilometer,” paman berkata.
“tidak” kata tuan rumah. “aku yang sudah lama jadi guru bisa katakan---tidak. Sungguh, penyakitnya
bukan karena itu. Limabelas -  duapuluh kilometer mengayuh sepeda itu bukan perkara berat untuk seorang guru. Yang berat ialah mengajar, menelan pahit-getirnya kesalahan-kesalahan pendidikan orang tua si murid. Itulah yang gampang sekali menghancurkan seorang guru. Apaagi kalau di sekolah menengah seperti beliau. Sekolah menengah masih agak ringan bila tata tertib murid di kelasnya itu masih terpelihara. Cobalah kalau murid-murid di dalam kelasnya itu telah kehilangan tata tertib sama sekali, cobalah….”
Ia tak meneruskan. Ia diam-diam di kursinya seperti mengenang-ngenangkan salah seorang
muridnya yang telah begitu banyak menyakitkan hatinya. Kemudian ia meneruskan dengan irama ketua-tuaan:
“Sekali,” katanya pelahan-lahan, “kupukul seorang murid. Keesokan harinya ia minta permisi karena
ayahnya diangkat jadi bupati di rembang. O, alangkah kagetku waktu itu. Anak patih aku pukul. Sedang aku? Aku hanya anak petani biasa bukan main takutku waktu itu. Mestilah beliau akan datang untuk melabrak aku karena telah berani memukul puteranya. Dan seminggu kemudian….”
Ia memandangi kami. Terdengar ia mengeluh, seakan-akan ia masih dalam waktu ketakutannya
dulu, ketakutan menantikan tibanya surat onslah.
“… datanglah tuan bupati dari Rembang dengan mobil. Waktu mobil masuk ke halaman sekolah,
sudah terasa saja dalam hatiku. Sekarang datangnya pembalasan. Besok aku boleh tak masuk mengajar lagi. Dan aku boleh hidup dengan tiada mengharapkan gaji lagi. Dan waktu tuan bupati itu menginjakkan kakinya di ambang sekolah, langsung saja beliau menanyakanku. Dan aku menghadap dengan dada berdebaran. Tetapi….”
Ia mengeluh berat---mengeluh kelegaan. Meneruskan:
“Beliau bukanlah hendak melabrakku. Tidak. Sebaliknya, beliau mengucapkan terimah kasih karena
aku menghajar anaknya. Beliau sendiri sudah tak sanggup mendidik anaknya sendiri, katanya.”
Aku lihat ia tersenyum kelegaan. Dan kumis yang memayungi mulutnya itu turut tersenyum
kelegaan juga. Meneruskan:
“Dan waktu itu, tak adalah kegembiraan yang begitu besar ---yang terbesar dalam hidupku.”
Kami tertawa sedikit. Tuan rumah mengusap kumisnya. Akhirnya diteruskan ceritanya:
 “Karena itu waktu aku bertanya pada murid-murid yang akan meninggalkan bangku sekolah.
Siapakah yang akan meneruskan ke sekolah guru? Di antara murid yang limapuluh orang itu cuma tiga mengacungkan jarinya. Selain itu, semua mau meneruskan ke sekolah menengah. Alangkah sedihku waktu itu. Dan berkata pada mereka. Kalau di antara limapuluh orang cuma tiga orang yang ingin jadi guru, siapakah yang akan mengajar anak-anakmu nanti? Kalau sekiranya engkau kelak jadi jenderal, adakah senang hatimu kalau anakmu diajar oleh anak tukang sate?  Tak ada yang menjawab di antara mereka. Kemudian kunasihati mereka yang ingin jadi guru. Kalau engkau tidak yakin betul, lepaskan cita-citamu untuk jadi guru itu, kataku. Seorang guru adalah kurban---kurban untuk selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat---membuka sumber kebajikan tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa. Dan mereka yang tiga orang itu bilang dengan sungguh-sungguh, Kami bercita-cita jadi guru walau bagaimanapun sukarnya. Dan aku angguk-anggukkan kepalaku kepada tiga orang itu.”
Di kala itu juga terasa olehku, bahwa keturunan masih bersimarajalela di daerah Blora, dan bahwa
nasib guru---sekalipun dianggap bapak oleh rakyat---sangatlah mengecewakan. Tapi aku tak bertanya-tanya. Semua itu dapat kulihat dari rumah tangga keluargaku sendiri.


--------
*tulisan yang di-bold, di-bold oleh red---
*Roman Bukan Pasar Malam, merupakan salah satu di antara maha karya, sang sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. “Pram” begitu akrab disebut. Seperti biasa, Pram, dengan corak realisme sosialisnya, ornamen kemanusiaan begitu diolah dengan sangat lugas menggambarkan kenyatan. Lewat penokohan “aku” ia menceritakan pernak-pernik kehidupan pejuang pasca revolusi. Sosok “aku” yang merupakan guru di sebuah kota, bekas pejuang revolusi, yang pada akhirnya melunak dihadapkan pada kenyataan sehari-hari. Ia menyaksikan ayahnya yang juga seorang guru penuh bakti di desanya, tergolek tak berdaya lantaran sakit. Sumber hidup yang pas-pasan, harus terus bersitegang dengan kehidupan yang sedianya menuankan uang. Kemiskinan mendera seperti sebuah kenyataan bagi guru yang juga mantan pejuang, yang menolak merendahkan diri dengan secuil kekuasaan— tidak seperti rekannya yang lain.
“Ini semua merupakan kekesalan hatiku semata. Demokrasi sungguh suatu sistem yang indah. Engkau boleh jadi presiden. Engkau boleh memilih pekerjaan yang engkau sukai. Engkau mempunyai hak yang sama dengan orang-orang lainnya. Dan demokrasi itu membuat aku tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh---ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan engkau boleh berbuat sekhendak hatimu, bila saja masih berada dalam lingkup batas hukum. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau akan lumpuh tak bergerak. Di negara demokrasi engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi.”