| one article - one struggle |

PEDAGOGI KRITIS, -Refleksi-

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Senin, 06 November 2023

BOIKOT

"Saat seseorang mengambil alih ladang tempat seseorang lain membuatmu terusir, siapapun itu kalian harus menghindar darinya saat bertemu di jalan! Kalian harus menghindar darinya di jalan-jalan kota! kalian harus menghindar darinya di toko! Kalian harus menghidar darinya di ladang dan di tempat umum! Dan bahkan di tempat ibadah sekalipun dengan membiarkannya sendiri, memberinya pengucilan, mengasingkannya dari tempat ini! Kalian harus menunjukkan padanya sikap benci terhadap tindak kejahatan yang dia lakukan terhadapmu."

Salah satu penggalan dari narasi pidato Stewart Parnel, yang menyerukan aksi pemboikotan, yang akhirnya dikenal dengan istilah aksi "boikot".

Parnel adalah pemimpin Liga Lahan Irlandia, yang memimpin pemboikotan-perlawanan terhadap kebijakan tuan tanah Lord Erne lewat kaki tangannya yang bernama Kapten Boycott (Charles Boycott), 1880.

Istilah boikot ini awal mulanya adalah adaptasi sarkas dari nama Kapten Boycott itu sendiri, yang sempat popular di media-media Inggris saat itu. 

Ketika tuan tanah Lord Erne lewat tangan kanannya Charles Boycott menolak permintaan petani untuk menurunkan harga sewa lahan hingga 25%, hal itu memantik marah para petani yang tercekik oleh sewa lahan yang tinggi ditambah panen yang buruk. Sebagai reaksi para buruh tani mengorganisir diri untuk secara bersama-sama melakukan boikot, lewat aksi pengucilan, penolakan untuk bekerja, dan penolakan untuk bekerjasama dengan Kapten Boycott.

Hasilnya, ketiadaan orang yang ingin bekerja untuk Kapten Boycott membuatnya kesulitan mengontrol dan memanen hasil panennya, hingga akhirnya keputusan mendatangkan pekerja dari luar yang membuat ongkos produksinya membengkak drastis membuatnya bangkrut.

Dari situ sejarah tentang pemboikotan dan kemenangan orang-orang kecil inilah yang kemudian membuat aksi boikot menjalar ke banyak negara berkembang sebagai alternatif perlawanan orang-orang kecil melawan elit-elit kolonial yang berkuasa.

Tentang bagaimana kaum Republik pada masa perjuangan kemerdekaan menemukan dan menggunakan boikot sebagai alat perlawanan, novel Pramoedya Jejak Langkah cukup apik menuliskan hal itu. "Bukan golongan kuat saja punya kekuatan, juga golongan lemah. Tuan, golongan lemah bisa menunjukkan kekuatan diri sebenarnya. Boikot, Tuan, perwujudan kekuatan dari golongan lemah!".

Di tengah situasi sosial politik kolonial yang menjarah banyak negara-negara kecil tak terkecuali Indonesia pada masa kolonial Belanda, boikot muncul sebagai senjata yang dianggap berkemajuan pada saat itu seturut dengan "berorganisasi". Dengan boikot rakyat kecil seperti menemukan alat yang tepat untuk menggebuk sekali pukul . Itu cukup untuk membuat Belanda pada saat itu keteteran karena pabrik-pabrik perkebunan dan gula mereka benar-benar kandas.

Ketika tangan-tangan pekerja berhenti, maka dengan sendirinya arus perputaran akumulasi modal produksi juga berhenti. Boikot dan mogok, seperti menjadi perwujudan praktis dari kata-kata Tan Malaka yang mengatakan: "Sesungguhnya bukanlah kaum pekerja yang bergantung pada kaum modal, tapi kaum modallah yang bergantung pada kaum pekerja". Dan itu terbukti bagaimana para elit meradang ketika tangan kasar pekerja itu berhenti.

Pada titik ini, Boikot menjadi alat politik kaum tertindas dalam sejarah perlawanan yang paling ampuh untuk memaksa para elit kolonial untuk membuat keputusan politik penting. Arus modal yang tergerus bahkan terhenti, tidak hanya sanggup menghentikan dan menghancurkan akumulasi kapital, tapi juga bisa membuat tank-tank lapis baja berhenti, pabrik-pabrik senjata menjadi redup.

 

#BoikotProduk yang mendukung zionisme israel

#FreePalestine


Sabtu, 04 September 2021

Amorfati



Matanya sayu seperti biasa. Rasa-rasanya jiwanya benar-benar babak belur oleh kehidupan. Tak ada hasrat, tak ada ide, tak ada lagi pengalaman hidup yang menggugah semangat. Hidup bagaikan ranjau. Semakin kita menyelaminya, semakin gelap, hingga tak ada lagi yang terlihat.

Bukankah berjalan ke dalam kegelapan itu sangat melelahkan? Sampai pada titik ketika ia benar-benar bertanya apa artinya tuhan menciptakan kehidupan demikian. Di bawah cahaya terang ada banyak lika-liku hidup yang menyedihkan. Terpotret dalam kegelisahan dan keputusasaan. Perjalanan panjang manusia mencari dan melawan rasa sepi ini tak pernah menemukan ujung akhirnya. Tak ada yang benar-benar sejati. Kemurnian hanyalah luapan hasrat dari kenginan mutlak untuk menyerah.

Aku menemukan bahwa hati manusia itu hambar, seperti kata Sartre. Dan kita berjalan dalam lingkar hidup demikian. Tak ada rasa sakit yang lebih pedih selain kehilangan hasrat atas hidup. Kita semua berharap bahwa suatu saat kematian kita lebih berarti dari seluruh kehidupan yang kita lalui. Kita menginginkan ada yang berubah dari hidup ini. Tapi, kita nyaris lupa, bahwa inilah kenyataanya. Kegembiraan hanyalah penundaan sementara akan kesedihan. Lalu dimanakah zaman pencerahan itu. Dimanakah zaman yang melampaui kesepiaan itu!?

Manusia tumbuh dengan keceriaan. Namun kehidupan perlahan-lahan merampasnya. Seperti anak kecil yang bertumbuh dewasa diiringi oleh pudarnya keceriaan dalam dirinya. Semakin kita dewasa, semakin kita menyadari banyak hal.

Hingga suatu saat kita memilih untuk diam, membiarkan tubuh berkerut menanggung pertanyaan-pertanyaan hidup yang tak pernah tuntas. Seberapapun kita kuat untuk bangkit, pada akhirnya kita semua akan tersungkur dalam kekalahan. Apa yang kita cari? Apa yang ingin kita menangkan sebenarnya? Tak ada. Kita nyaris dibutakan oleh ritme hidup manusia yang berjalan tergesa-gesa namun pada akhirnya juga tanpa tujuan.

Hidup sudah seperti kematian itu sendiri. Kita perlahan berjalan keluar tapi akhirnya juga kembali ke titik terdalam diri kita sendiri. Pada pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah menemukan jawabannya secara utuh.

Hasrat dari kegelisahan seolah mengingatkan kita dengan kata-kata Kiekergard: bahwa yang kita butuhkan dalam hidup ini hanyalah satu, yakni menemukan kebenaran. Benar untuk diri kita sendiri. Suatu kebenaran yang dapat mengilhami kehidupan dan kematian kita sekaligus. Pada titik tertentu, kita benar-benar merindukan kematian kita sendiri. Dan berharap bahwa urusan hidup ini berakhir secepatnya.

Ini bukan kontradiksi. Ketimbang meyebutnya sebai ekspresi pesimism, ini seperti sebuah perwujudan rill dari kejujuran diri akan hidup. Persis seperti kata Tolstoy, bahwa hidup adalah kemalangan itu sendiri. Kebahagiaan hanya milik mereka yang tak pernah dilahirkan.

Barangkali untuk ukuran manusia pada umumnya, ini sesuatu yang gila. Tapi untuk kita yang terlanjur menyelami makna hidup ini. Itulah jawaban yang paling jujur yang kita miliki.

Orang-orang merayakan kedatangan sembari menyesali kepergian. Merayakan kelahiran lalu menangisi kematian. Seperti sebuah siklus. Manusia hanya bisa mengais-ngais makna di antaranya, lalu lupa. Pada prinsipnya tak ada yang murni, sekali lagi tak ada yang sejati. Ketika manusia mati, tak satupun yang tersisa dari keseluruhan hidupnya. Kesenangan maupun penderitaan akan hilang bersamaan dengan kematian itu sendiri. Kematian adalah akhir. Akhir dari keseluruhan pertanyaan dan kebimbangan yang menemukan muaranya.

Duduklah disampingku. Kuceritakan padamu suatu kisah dari Tolstoy. Dengarkan baik-baik:

Dulu di India, di masa ketika ajaran-ajaran kebijaksanaan mulai lahir di bumi. Ada seorang Sakya Muni, seorang pangeran muda yang sangat bahagia. Ia hidup dalam lingkar tembok kemewahan istana. Segala bentuk kesedihan dan penderitaan dihindarkan dari hidupnya. Matanya tak pernah melihat gambaran orang-orang putus asa, kelaparan, hingga orang-orang penyakitan. Ia hidup dalam gambaran kemewahan dan kebahagiaan istana semata. Di dalam pengetahuannya, ia percaya bahwa hidup ini sangat indah.

Suatu hari ia berjalan mengendarai kuda keluar dari tembok istana sekadar untuk bersantai. Di jalan tiba-tiba ia melihat orang tua lusuh, penyakitan, yang menyedihkan, dengan muka kusam, dan tatapan hilang harapan. Ia sontak terkejut. Sebab ini pertama kalinya ia melihat pemandangan semenyedihkan itu. Ia tak pernah membayangkan ada kehidupan demikian berlangsung di bawah kolong langit ini.

Tak jauh itu, diperjalanan yang kedua ia tak hanya melihat banyak tatapan hidup seperti itu, yang ia lihat sekarang adalah seorang orang tua yang menggotong sesuatu. Yang tak lain adalah mayat. Ia kaget, lalu menjumpai orang tersebut lalu membuka penutup mayat tersebut. Ia bertanya kepada pengawalnya apa yang akan terjadi dengan orang ini (mayat tersebut)?

Pengawalnya pun menjawab: ia akan dikubur tuan, lalu dimakan oleh cacing. “Inikah yang akan terjadi pada semua orang?” tanya sang pangeran. “Iya tuan” jawab sang pengawal. “Akankah ini akan terjadi pada diriku kelak? Dimana jasadku akan mmebusuk lalu dikubur ke dalam tanah dan hilang?”, tanya kembali sang pangeran. “Benar tuan” jawab sang pengawal.

“Pulang! Sekarang juga” tegas sang pangeran dengan tubuh yang gemetar. Aku bersumpah—lanjutnya--bahwa aku takkan berjalan untuk bersenang-senang lagi dan takkan menikmati lagi seluruh kemewahan yang aku miliki.

Dan beigutlah sang sakya muni memahaminya. Bahwa satu-satu akhir dari seluruh cerita komplit perjalanan manusia di bawah kolong lanigt ini hanya satu, yakni kemalangan dan kesia-siaan, dan pucaknya adalah kematian.

Karena itu dik. Kubisikkan kedaun telingamu nasihat yang kupersembahkan untukmu. Hiduplah sehidup-hidupnya. Fatum Brutum AMORFATI kata Nietzche. Hiduplah untuk diri dan kebebasanmu. Makan dan minumlah dengan gembira untuk hidupmu. Hidup adalah tempat kita berbagi tragedi, hanya itu. Usaplah air matamu, dan bangkitlah untuk sisa-sisa kesenangan di antara lautan kesia-siaan dan kemalangan akan hidup. Tegarlah dengan seluruh tenagamu hingga sebelum masa ketika partikel-partikel tubuh kita melemah satu persatu, lalu tumbang. Dan ketika itu tiba, terimalah itu sebagai kemenangan terakhir atas kekalahan bertubi-tubi atas hidup itu sendiri.

 

 

 


Senin, 25 Februari 2019

Baju Wisuda

Wisuda, Wincung, dan Wisatawan Sekolah. hahaha.

Tidak seperti foto-foto perpisahan siswa-siswa di Barat pada umumnya. Biasanya, dalam sesi foto, maka para siswa biasanya berbaris sesuai dengan urutan perangkingan. Tempat duduk paling depan disamping kiri kanan sang guru biasanya diisi oleh siswa-siswa yang dianggap terbaik.  Dan itu sangat sakral.

Berbeda dari itu semua. foto di atas tidak demikian. Mereka yang mengapit saya sebaliknya, kadang-kadang saya ingin mengatakan, bahwa mereka adalah anak-anak juara juga. Tapi juaranya dalam hal buku hitam, tiada tandingannya. haha.

foto ujian kenaikan sabuk. wkwkw. dari kiri Vinky Taekwondo, yang baju putih Pelatih dari Padepokan Silat, Egan Wincung, Steven kungfu. haha.

Coba lihat. Betapa aura bakat terpendam mereka sangat nampak. Anak-anak yang sangat terobsesi dalam dunia persilatan itu, tahu-tahunya mengambil jurusan yang membosankan; akuntansi. Hahaha. Coba lihat, ditengah sesi fotopun mereka tetap mengacungkan tangan silat wincung. Hahaha.

Waktu ingin memulai sesi foto, ketika  para siswa dipersilahkan untuk menempati kursi di depan. Dengan sigap anak-anak dengan bakat buku hitam dan persilatannya itu, begitu cepat tak tertandingi mengambil posisi di depan. Lihat foto pertama. hehe. Saya mahfum dan hanya bisa tertawa melihatnya.

Mereka adalah anak-anak yang dikaruniai bakat dan kepercayaan diri yang sangat tinggi. Hanya saja  barangkali ia salah jurusan. Ckckck. Di kelas pun demikian. Saya kadang-kadang menyebut mereka seabgai wisatawan sekolah. Datang mau-mau dia, duduk, saling mengerjai, ribut, makan-minum, bermain sampai puas, lalu pulang. Begitu seterusnya. Sesekali dapat SP itu uda biasa. Paradoksnya bahwa mereka tetap bahagia dengan itu semua. hahaha.

Sekarang tiga tahun, ia lewati. Baginya kayaknya, ya biasa-biasa aja. Toh, silat wincung tetap dihati ketimbang menghitung harga pokok produksi. Hehe. Itupun, jangan tanya silat uda sabuk berapa? Hmm. Semua hanya ada dilevel imajinasi.

Wajah sumringah mereka pun berbeda dari kawan-kawannya yang lain. Para siswa yang lain, bahagia karena telah berhasil menuntaskan jenjang pendidikan menengah kejuruan. Kalau mereka, kayaknya bukan itu soalnya. Bagi mereka wisuda adalah puncak pembebasan tertinggi dari belenggu sekolah. Mereka barangkali mengaggap wisuda adalah perayaan atas keterbebasan dari ketidakbetahan hidup di alam sekolah.

Berbeda dengan siswaku, para laki-laki yang dibelakang. Dalam hal penerimaan terhadap budaya dan aturan persekolahan, mereka cukup kompromistis. Begitupun dalam pelajaran. Tak banyak tingkah pokoknya. Dan beberapa di antaranya cukup lumayan untuk ukuran akademik. Meski beberapa juga diantaranya mirip wisatawan sekolah tadi. Ya….menganggap sekolah sebagai tempat menghbaiskan umur, menghabiskan sisa-sisa remaja barangkali. Bedanya, bahwa ia tidak banyak bertingkah. Tidak pernah melanggar. Proud!. Hahaha.


bersama Tio, dan seorang penyusup bernama A Li

Sedangkan para srikandi-srikandinya. Rata-rata sudah pandai buat alis pokoknya. Wkwkw. Saya kurang tahu, hal itu ia pelajari dimana, kurang tahu juga. Sebab setahu saya, kami tak pernah mengajarkan hal itu di sekolah. Tapi, bagus loh, alis buatannya pun emang keren-keren. Sangat balance layaknya balance sheet dalam akuntansi. Hahaha.

Waktu sesi foto tadi, saya berujar ke photographer-nya agar dipercepat. Takutnya baju wisuda yang membuat gerah itu, bisa-bisa membuat bedak mereka pada luntur. Kan kasian, waktu berdandang yang dihabiskan tidak singkat loh…

vina, charlene, dkk. foto sehabis merampungkan lingkaran alis dengan perfect. haha

caption sama dengan yang di atas. hehe.

Dan tidak seperti dengan siswa laki-laki pada umumnya malu-malu untuk berfoto. Para siswa srikandi-srikandi millenial ini, sangat aktif. Hehe. Seperti mengafirmasi bahwa inovasi ponsel berkamera depan memang diciptakan untuk kaum perempuan. Haha. Untungnya tadi, mereka tidak melakukan boomerang di tengah-tengah sesi foto. Ampun, itu barangkali akan jadi pengalaman memalukan bagi saya ketika saya harus ikut hal demikian. Hahahaha.

Veno sang gigi harimau, asisten dan ketua kelas, bersama teman-temannya mengabadikan fungsi kamera depan handphone..haha.

Tapi apapun itu. melihat mereka memakai baju wisuda itu. Sangat membanggakan. Entah, itu baju wisuda yang ke berapa yang ia pakai. Bisa jadi itu yang ketiga ataupun keempat. Sejak TK hingga SMK. Jauh lebih baik, ketimbang saya. Yang sejak sekolah sampai sarjana tidak pernah punya pengalaman memakai baju seperti itu. hahaha.

Dan apapun itu. Doa terbaik untuk kalian semua. _/\_

Terakhir. saatnya mengabsen satu-satu....
dari kiri belakang ke kanan. yogi, djaya, joy, salim, tio, ricky, rudy, miko, john, whisly, sherina, haryana, eju, veno, dewi, eve, vina, charlene, wenny, devih, shella, Jeje, Marthi, sunarti, risma, jollyn, longli, aurel, steven, saya?, eagan, vinky. XII Akuntansi SMK Maitreyawira Batam.




Selasa, 19 Februari 2019

RACUN


Selalu ada yang berbeda saat menepi. Setelah didera penyakit yang membuat tubuh tak mampu beroperasi seperti biasanya, barulah arketip-arketip kesadaran kembali. Ingatan, bahkan imajinasi-imajinasi hidup perlahan-lahan muncul.

Setelah jiwa ditelan habis oleh rutinitas. Penyakit yang datang seperti pembebasan dari itu semua. Menengok kembali ke dalam dan menemukan diri yang hilang. Di saat-saat manusia kehilangan energi untuk memapah tubuh, disitulah kita akan kembali tersentak pada kesadaran bahwa manusia itu pada dasarnya lemah.

Kesakitan adalah pembebasan dan kesenangan adalah belenggu.Barangkali benar kata orang, bahwa sebanyak apapun waktu kita habiskan untuk beristirahat, tidak akan bisa mengobati keletihan, kalau yang lelah adalah jiwa kita. Suatu waktu, menjelang eksekusi mati sang filsuf besar Socrates, di kerumunan sahabatnya ia melontarkan pernyataan menjawab kerisauan dan kesedihan sahabatnya di sekitarnya, ia berkata; kebijaksanaan itu adalah pembebasan, yang paling dekat dari itu semua adalah kematian. Ketika hidup adalah belenggu, bagaimana mungkin seorang filsuf bisa bersedih atas kematian?

Para sahabatnya terdiam. Jelang kematian sang guru di depannya, membuatnya semakin sulit untuk menempatkan perasaannya. Kesedihan karena kematian bercampur dengan kesenangan karena pembebasan. Ia benar-benar kesulitan untuk mengontrol perasaannya yang tercampur itu. Sesekali ia tertawa sesekali ia kembali bersedih.

Kebenaran menjadi kumpulan-kumpulan absurditas-absurditas hidup. Manusia adalah narapidana yang tidak punya hak untuk membuka pintu penjaranya dan lari. Inilah kebenarannya, kata Socrates. Setiap kesenangan dan kesakitan adalah sejenis paku yang memaku jiwa dengan tubuh. Ketika jiwa telah terpesona oleh tubuh disitulah awal mula penderitaan lahir. Ketakutan akan rasa sakit adalah wujud dari hidup dimana jiwa hanya menjadi pelayan bagi tubuh. Dan ini adalah titik terendah dari hidup di mata filsuf.

Tak lama setelah itu, Socrates mati. Dia  dihukum dengan cara dipaksa meminum racun oleh penguasa Athena saat itu. Ia menghadapi itu tanpa rasa takut. Dunia berkabung. Rasa hormat atas keberaniannya terurai hingga kini. Kalau saja ia menyerah dan takluk, saya rasa sejarah akan berkata lain.

Dalam kehidupan ini, meski kita terpaut ratusan tahun dengan Socrates. Namun kisah-kisah tentang racun itu sangat terpaut dengan kehidupan kita dalam rupa bentuk yang berbeda . Aku melihat racun-racun yang membunuh Socrates itu berseliweran dimana-mana. Racun-racun yang diproduksi oleh kekuasaan menindas,  tidak hanya membunuh manusia, tapi lebih dari itu ia ikut membunuh nalar dan pengetahuan.

Namun begitulah hukumnya. Keadilan boleh kalah oleh ketidakadilan. Kebenaran boleh dilumpuhkan oleh kekuasaan. Tapi tak ada yang abadi untuk itu. Seperti dengan kata-kata Socrates; Orang jahat tak akan mampu menyakiti orang lain kecuali dirinya sendiri.

Minggu, 18 November 2018

Yang Abadi Adalah Kegelapan

Plukme.com
Seperti sebuah tatap kosong. Dua kelopak matanya tampak tidak lagi seimbang. Sebelah kiri begitu sayu. Asap meliup-liup dari puntung rokok di tangan kirinya. Seperti biasanya, hari itu terlalu melelahkan. Ia mengingat tadi siang. Beberapa teman yang ia temui menanyakan kesehatan dirinya. Pertanyaan-pertanyaan “Apakah Bung sehat?”. Seperti mengafirmasi bahwa dirinya memang sakit.

Lesu, murung. Begitulah temannya melihatnya. Kini ia baru 4 hari sejak meninggalkan kota yang ia tinggali 3 tahun silam. Pikirannya kembali ke belakang. Memunguti remah-rmah ingatan yang tersisa. Bukan karena rindu. Bukan. Karena rasa muak barangkali yang benar-benar tak pernah sudi meninggalkannya.

Ia mulai membatin:

Dulu ia punya prinsip. Katanya, dimanapun kaki berpijak di kolong langit ini, bau rumput tetap sama. Kebisingan tak pernah benar-benar pergi. Di alam kebisingan tak beraturan itulah umur manusia akan terus bergelut dengan kesia-siaan. Banyak yang berkata masa depan adalah gaib. Tapi tidak untuk dirinya. Baginya, kegaiban yang dipersepsi manusia banyakan muncul lantaran ia tidak pernah belajar dari kehidupan yang sesungguhnya.

Ini hanya soal waktu, batinnya. Sambil menunggu itu tiba. Kita semua akan menghibur diri dengan kesenangan palsu yang kita ciptakan untuk lari dari kenyataan. Dengan keangkuhan bercampur kebodohan, kita menghibur diri seolah manusia bisa merengkuh semua waktu.

Apa yang paling sial bagi seorang anak muda di usia dini adalah menemukan kebenaran hidup terlalu cepat. Kebenaran adalah kenyataan bahwa hidup itu tak berarti, kata Tolstoy. Hidup adalah lelucon bodoh yang dimainkan seseorang terhadap diri kita. ‘Seseorang’ yang terlalu abstrak untuk kita tahu keberadaannya.

Manusia begitulah dirinya. Ia seperti makhluk yang tersesat di hutan belantara diliputi ketakutan dan ketidakpastian, mengais-ngais harapan untuk keluar namun tak pernah punya jalan untuk menemukan pintu.

Mereka berdiri di atas ruang hampa tanpa pijakan. Kita sebagaimana umat manusia lainnya berada diambang keputusasaan hidup yang tak ada batasnya. Begitulah kenyataannya. Arketip gagasan yang mencoba menghidupkan harapan hanyalah penghiburan diri bagi mereka yang sudah tak tahan merasakan penindasan eksistensial hidup yang tak berkesudahan. Kita semua adalah orang-orang lari dengan berbagai cara yang kita pilih.

Dulu saya merasa terlalu terobsesi untuk memandang kehidupan ini dalam bilangan putih. Pengetahuan yang aku serap dibarengi dengan lokomotif ide-ide optimisme, aku memahami bahwa dunia ini tercipta dari cahaya kebaikan. Cahaya adalah esensi utama kehidupan, sedang kegelapan aku tempatkan sebagai konsekuesi sekuel dari ketiadaan cahaya, yang keberadaannya tergantung pada cahaya. Seperti anak polos yang meyakini bahwa kehidupan ini pada dasarnya baik, selebihnya hanyalah variabel-variabel kehidupan yang tercipta secara artifisial, yang kita sebut kegelapan.

Namun, sekarang rasanya tidak lagi demikian. Kehidupan sebagaimana kata orang adalah guru yang paling baik dalam mengajarkan banyak hal. Begitpun diriku. Dari kehidupan kita belajar bahwa kenyataan bahwa kegelapan barangkali adalah keabadian, sedangkan cahaya hanyalah realitas artifisial yang diciptakan manusia. Ruang kegelapan lebih luas. Sedang cahaya begitu relatif. Ia ada dan pada saat yang berbeda bisa meredup lalu hilang, setelah itu, ia menyisiakan kenyataan esensial kegelapan untuk kembali.

Cahaya itu diciptakan, sedangkan kegelapan tidak. Begitulah kebenaran kehidupan bagi kita yang ingin jujur untuk mengakui kehidupan apa adanya. Kehidupan seperti balon-balon sabun yang kita terbangkan ke udara. Begitu rapuh dan lemah, sebelum hilang tak berjejak.

Kita hidup dalam ketakutan, berjalan tergesa-gesa, meniupkan balon itu terus menerus, sembari berharap, namun tetap saja kita tak punya harapan untuk memenangkannya. Pengetahuan yang kita jadikan pegangan, tidak pernah benar-benar mampu memberikan kita jalan keluar hakiki untuk  keluar dari keptusasaan hidup. Sebaliknya, pengetahuan sebagaimana filsafat, ketimbah memberi jawaban lebih banyak hanya akan berkontribusi mempertegas dan memperjelas kebenaran bahwa hidup ini memang paradoks, palsu, dan sia-sia.

Sia-sia, seperti halnya seorang anak yang terus menerus meniupkan balon sabun itu, pecah lalu ditiup lagi, begitu seterusnya hingga tiba masanya ketika mereka sadar bahwa kenikmatan yang ia rasakan di sela-sela aktivitasnya itu adalah hal yang membosankan. Ketika kita mulai bertanya dititik kejenuhan dan kebosanan maka disitulah kita akan memahami hakikat terdalam dari kehidupan yang kita lalui. Ada banyak pertanyaan yang takkan pernah bisa kita temukan jawabannya, yang akhirnya melemparkan kita pada kekabungan hidup yang tak berkesudahan.  

Persis ketika Tolstoy berkata: “Pertanyaan yang memenuhi benakku diusia tua yang membuatku hampir bunuh diri adalah pertanyaan paling sederhana, yang tertanam di dalam jiwa setiap orang mulai anak yang paling bodoh sekalipun hingga orang dewasa yang paling bijak. Itu adalah pertanyaan tanpa yawaban yang tak bisa ditanggung seorangpun sebagaimana kuketahui dari pengalaman. Pertanyaan itu adalah, apa artinya semua ini dan apa yang akan terjadi dengan seluruh hidupku?”

Ia bangkit dari batinnya. Malam sudah larut. Ia mengambil sebuah buku kecil yang tergeletak di atas mejanya,lalu menuliskan: yang abadi adalah kegelapan, selebihnya palsu!