| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Rabu, 04 Oktober 2017

"DO"



Matanya berkaca-kaca. Saya melihat persis. “Ingin rasanya menangis, sedih, kecewa, dan marah, semua bercampur,” keluhnya padaku sebelum benar-benar menghilang. Saat ia mengatakan hal itu kepadaku, ia terlihat begitu berat untuk menahan agar ia tak menangis. Bukan karena hadiah surat DO yang tiba-tiba datang seperti kabar buruk langit tentang akhir ia mengenakan pakaian yang lebih sepuluh tahu ia kenakan sejak masih kanak-kanak. bukan. Hanya saja pikirannya tak mampu membendung, nuraninya tersentak mengingat ibunya yang lagi berduka akan kepulangan keluarga dekatnya yang cintai, ditimpali lagi dengan kabar buruk darinya sebagai anak bungsu yang dirudah paksa dari tempat ia menuntut ilmu bertahun-tahun. Lebih mengoyaknya lagi, bahwa ia ditimpali kenyataan itu untuk alasan sepele. Tanpa diberi hak untuk membela diri. Apalagi ujian akhir yang ia tunggu tinggal hitungan bulan pun. Sungguh terlalu rasanya, menyaksikan  kekuasaan, selalu datang di saat yang tidak dibutuhkan, namun kadang lalai di saat-saat genting.

“Tak bisakah kita semua bertahan atas amarah sedikitpun?” Tanyaku dalam hati. Mengingat bahwa di saat waktu keterbebasan mereka yang ia tunggu-tunggu yang tak lama lagipun akan datang jua. Saat itu tiba, entah kita atau siapapun yang menagis darah untuk menahannya pun takkan lagi bermakna apa-apa. Ia tetap akan pergi. Ya pergi, pergi untuk selamanya. Tak bisakah kita sedikit menunggu sedikit saja, waktu itu tiba? Saat dimana lambang seragam ia pakai lebih sepuluh tahun pun ia akan lepaskan untuk selamanya dalam keadaan sebagai orang yang berhasil dalam berjuang? Sekarang, berpuluh tahun ia habiskan usianya dalam sangkar itu, akhirnya harus dipaksa pergi sebelum waktunya, sembari membawa kenangan buruk;  satu hari mengubur sepuluh tahun kenangan, yang tersisa hanya rasa pahit dan beban kekecewaan yang menumpuk datang tiba-tiba.

Saya tak bisa berpikir, bagaimana lembaga yang disucikan secara moral bisa menimpali beban berat yang begitu besar kepada orang lemah. Psikologi sebagai orang terbuang, itu menyakitkan. Persis ketika Chairil menyebut hal demikian sebagai binatang jalang yang terbuang, dalam konteks ini lebih tepat menyebtunya binatang jalang yang dibuang dari kumpulannya dengan cara-cara paksaan. Mereka yang terbuang adalah mereka yang menanggung keburaman jalan dalam godaan kekandasan. Surat sakti itu tidak hanya menggerogoti sang korban, bahkan ikut menjadi racun bagi keluarga sendiri untuk berpikir sama. Mengafirmasi bahwa seolah tidak ada tempat yang layak diberikan pada orang yang dituduh “nakal, bodoh, amoralis” di dunia ini?

Saya melihat, bahwa pelajaran agama, kebijaksanaan, pancasila, demokrasi, dan segala rasionalitas dan nurani pengetahuan benar-benar tidak bermakna apa-apa. Apa arti berpuluh tahun mendengarkan cermah langit tentang pengetahuan dan wejangan moralitas? Ketika kekritisan untuk bertanya dibungkam lalu dituduh subversif atas nama moralitas, sembari menimpakan segala dosa kepada mereka yang kita akui sebagai “anak didik sendiri”? Sembari mengafirmasi diri untuk cuci tangan sebagai orang suci yang memiliki hak tunggal legitimasi untuk menghakimi dan menghukum? Tapi memang aku akui, bahwa sudah menjadi tabiat manusia yang selalu menuntut ketimbang melakukan. Manusia punya kecenderungan naluri menuntut akan kebajikan, kearifan orang lain, namun sulit untuk mengafirmasi ke diri untuk melakukan serupa. Itulah kenyataannya.

Inilah saat-saat dimana apa yang paling menakutkan itu datang. Yakni bercampurnya antara amarah, kekuasaan, otoritas, bersekutu dalam ruang-ruang ketika demokrasi untuk berpendapat kehilangan ruang. Itu menakutkan kawan. Ia tidak hanya mewakili gambaran dimana lidah orang berbicara dipotong dengan pisau kekuasaan, lebih dari itu, ruang untuk berbicara itu memang hilang lebih tepatnya dihilangkan. Kita semua patut menangisi hal demikian. Aku berkali-kali menemukan banyak situasi demikian di masyarakat bahkan sudah mual dengan demikian. Ketika demokrasi, kebajikan, dikoyak-koyak oleh otoritas yang berdiri dalam penafsiran subjektif atas kebenaran. Ironisnya bahwa kondisi demikian selalu menuntut adanya korban. Ada tangis dan derita bahkan mungkin titipan rasa benci yang kita tanam kepada korban. Dan kita semua ditempat dimana ilmu pengetahuan dan moralitas disembah, telah melakukan praktik demikian. Saya tak ingin mengatakan kalau kita telah ikut meneruskan dan mewariskan cara berpikir demikian kepada banyak anak. Lewat sistem yang kita bangun, kita telah ikut menanggung dosa sosial sejak dalam pikiran!

Rest in peace. Damailah dalam ketiadaan. Engkau beruntung telah menyadari hal penting dalam hidup mendahului banyak orang sezamanmu. Aku menulis ini sebagai bentuk pengakuan dosa sebagai orang lemah yang tidak bisa berbuat banyak. Kata-kata adalah perlawanan terakhir orang-orang lemah seperti kita. Nyo, engkau telah berjuang, sehormat-hormatnya!

x

Jumat, 16 Juni 2017

Sekolah untuk Siapa?

Edisi Re-post* sumber: https://news.detik.com/kolom/d-3536580/sekolah-untuk-siapa 
Para pelajar bersiap eskul di salah satu sekolah di Batam

Kemendikbud telah mengeluarkan Permendikbud  No. 23 Tahun 2017 di tengah pro-kontra yang tak usai. Peraturan yang nantinya mengatur secara teknis pelaksanaan sekolah 5 hari/sekolah 8 jam sehari atau lazim kita kenal Full Day School (FDS). Sampai sebelum peraturan ini dilaksanakan tuntutan agar penolakan FDS ini masih belum usai, bahkan semakin menggelinding. Penolakan datang tidak hanya dari kota-kota besar, tapi juga dari masyarakat di banyak daerah.

Kita tentu saja tidak ingin melihat praktik otoriter dan bebal anti-aspirasi ditunjukkan oleh Menteri Pendidikan kita. Mengingat (dalam pengamatan saya), jumlah penolakan terhadap ide ini (FDS) jauh lebih banyak ketimbang mereka yang bersepakat. Sebagai Menteri Pendidikan sungguh tak elegan kelihatan ketika sikap anti-demokrasi justru ingin diperlihatkan aparat institusi pendidikan, dengan mengabaikan suara (khendak) masyarakat?

Dialog?
Hampir di setiap perkara kebijakan publik, para pemangku kebijakan selalu mengulang kebiasaan buruk yang sama yang selalu menjadi sumber persoalan nantinya, yakni dilahirkannya kebijakan publik tanpa dilalui dialog terlebih dahulu, tak terkecuali terhadap ide FDS ini. Padahal esensi dari setiap kebijakan yang terpaut dengan publik, semestinya harus melibatkan publik itu sendiri untuk ikut menentukan apa yang baik dan apa yang tidak mesti dilakukan. Bukan justru mengandalkan imajinasi satu orang yang dijadikan satu-satunya sumber keputusan untuk melahirkan kebijakan publik yang mesti dipaksakan kepada publik.

Melihat rentang histori ide FDS ini, kita melihat hal itu. Hanya menjelang beberapa hari setelah pelantikan menteri baru (hasil resuffle), tanpa ada proses dialog terlebih dahulu, kita justru sudah disodorkan dengan ide ini, Full Day School. Seolah-olah terkesan bahwa ide ini adalah produk instan dari ketiadaan kesiapan yang memadai. Yang penting baru, dengan prinisip “menteri baru kebijakan baru”, agar terlihat berbeda. Yang akhirnya, mengabaikan hal-hal substansial. Dibanding dengan FDS, saya rasa ada banyak persoalan pendidikan lain saat ini yang menuntut reformasi kebijakan pendidikan yang mestinya diprioritaskan.

Pangkal dari ketidakdalaman asumsi atau pemahaman terhadap apa yang mesti diprioritaskan sebenarnya berpangkal pada keengganan pemangku kebijakan untuk memulai proses perumusan kebijakan publik dengan dialog. Pengabaian keberadaan masyarakat, hingga mengabaikan khendak siswa yang seharusnya menjadi pihak utama yang berkepentingan terhadap kebijakan pendidikan ini. Kepada Freire kita boleh belajar. Salah seorang aktivis pendidikan Brazil yang pada saat diangkat menjadi Sekertaris Pendidikan Nasional Brazil (1986). Apa yang dilakukan pertama kali Freire ketika kekuasaan itu berada di tangannya? Dialog! Dialog sebagai awal mula untuk merumuskan kebijakan publik.

Ia berkeliling bukan sekadar datang secara ceremony untuk menggunting pita-pita acara lalu pergi. Tidak. Tidak pula ia datang sebagai supervisi, datang untuk menunjukkan kesalahan lalu menunjukkan di publik untuk mencari popularitas. Ia (Freire) datang sebagai seorang peneliti untuk berdialog, berdiskusi, serta ingin memahami sudut pandang masyarakatnya tentang pendidikan, yang nantinya ia serap dalam bentuk kebijakan.

Menariknya, subjek yang ia ajak berdialog oleh Freire, di tingkat internal bukan hanya pengawas sekolah, kepala sekolah, orang tua murid, bahkan siswa hingga petugas-petugas kantin dan kebersihan pun diajak berdialog. Di tingkat eksternal pun demikian, Freire sangat memprioritaskan berdialog dengan gerakan-gerakan akar rumput di setiap daerah yang bergerak di bidang pendidikan untuk memahami ide-ide mereka tentang bagaimana persoalan pendidikan dan model-model pendidikan yang ideal dari sudut pandang aktivis.  Melibatkan publik dalam merumuskan gagasan adalah kuncinya. Kalau saja sebelum ditelurkannya kebijakan sekolah 5 hari ini dilakukan dialog, saya yakin kekisruhan ini tidak bakal terjadi. Bahkan mungkin sebaliknya, pemangku kebijakan bisa menemukan prioritas persoalan-persoalan fundamental yang mendesak mesti diselesaikan di tingkat persekolahan.

Untuk siapa?
Kita masih berharap agar rencana kebijakan ini sebaiknya dipertimbangkan ulang untuk diterapkan dengan memperhatikan secara cermat aspirasi dan kritik-kritik yang lahir dari kalangan publik. Ada kesan yang sangat kuat bahwa ide FDS ini sangat mengabaikan kepentingan siswa. Tampak bahwa yang paling dirugikan dari kebijakan ini adalah siswa.

Sejak awal ide ini diperkenalkan, alasan yang dijadikan back up argumen hanya berkutat pada alasan orang tua (pekerja kantoran) sedang bekerja. Karena itu FDS praktis bisa menjadikan juga sekolah sebagai tempat pentipan anak sementara hingga orang tua yang segmennya pekerja kantoran itu pulang kerja. Begitupun alasan lain, yang kemudian diutarakan menjelang dikeluarkannya aturan tersebut adalah alasan dari sudut pandang keberadaan guru. Sekolah 5 hari ini yang sebenarnya ingin menyasar guru-guru yang sudah bersertifikasi/yang mendapat tunjangan profesi agar lebih lama melakukan pengajaran di sekolah, dengan menetapkan batas minimal mengajar dalam seminggu sebanyak 40 jam.

Tentu saja alasan-alasan ini benar-benar menegaskan bahwa kebijakan ini tidak digagas dari sudut pandang kepentingan siswa. Tapi justru hanya mentok pada kepentingan pemerintah yang diframing dari sudut pandang kepentingan guru dan orang tua. Dan disinilah persoalan utamanya, pengabaian kepentingan siswa dalam konteks ini adalah bentuk cacat pikir yang paling dasar dari sebuah kebijakan publik. Sebab praktis kita paham bahwa siswalah yang menjadi stakeholders paling sentral dalam dunia persekolahan. Merekalah yang paling utama dan pertama yang akan merasakan dampak dari kebijakan persekolahan.

Dengan kecakapan pedagogi guru kita yang masih rendah hingga saat ini, di tengah jam panjang sekolah yang terlalu lama, apa yang dihasilkan dari kenyataan ini? Alih-alih ingin menghasilkan lulusan yang penuh keajaiban, paling dekat adalah depresi dan stress yang menghantui siswa. Memang dikatakan bahwa waktu yang ada tidak mesti dihabiskan dalam ruang kelas, namun bisa dalam bentuk ekstrakurikuler. Tetap saja bahwa ekstrakurikuler maupun intrakurikuler tidak bisa dipisahkan dari kecakapan pedagogis itu sendiri. Pertanyaan sudahkah kita memiliki kecakapan pedagogi yang membebaskan itu di kalangan guru?


Ada banyak hal yang dibentur dari kebijakan ini dari meningkatnya rentan beban kerja guru yang nantinya juga berpengaruh pada anak, hingga direnggutnya waktu bermain anak dengan lingkungannya (khususnya untuk anak bukan dari kalangan pekerja kantoran). Praktis bahwa kebijakan ini hanya akan berakhir pada anak yang akan menjadi korban kebijakan pendidikan yang tak berpihak pada mereka. Lantas sekolah sebenarnya untuk siapa?


-Muhammad Ruslan-


*untuk tujuan arsip dan pendidikan

Jumat, 28 April 2017

PUISI API




puisiku bukan tentang keindahan tata bahasa
puisiku berbicara tentang ketajaman bahasa

puisiku adalah api yang meletuh-letup membakar apa saja
puisiku adalah anak panah yang lurus menghantam siapa saja yang bimbang untuk bertanya

puisiku bukan tentang kisah romeo dan juliet
puisiku adalh tentang tragedi yang menyayat

tentang kabar-kabar buruk yang menganggu pikiran orang banyak
puisiku tidak bertutur tentang burung-burung gereja yang hinggap di ranting pohon dengan mengibas-ngibaskan sayapnya
puisiku adalah elang yang terbang bebas dalam kata-kata anti sangkar kemapanan

sebab puisiku bukan syair yang berbicara tentang bintang-bintang
puisiku adalah sajak yang bertutur tentang kegelapan malam

puisiku adalah nyanyian bimbang orang-orang yang diam
bukan sekadar bisik-bisik kasak-kusuk tak beraturan orang-orang lupa

puisiku bukan jawaban yang tersusun dalam kata-kata yang indah
puisiku adalah kata-kata yang berdesak-desakan dalam gugatan-gugatan

puisiku adalah sajak tentang bumi
ia tidak berbicara tentang langit
puisiku bertutur tentang manusia
ia tidak bertutur tentang tuhan

di bawah terik di atas padang yang gersang puisiku lahir
ia tumbuh bersama fragmen-fragmen kerisauan

karena itu puisiku tidak bisa ditahan-tahan
ia akan terus berbaris di atas kata-kata yang tak mengenal tanda titik

kebenaran, kenyataan, penindasan, ketidakadilan, dan keputusaaan
puisiku adalah rentetan lingkar-lingkar kata-kata itu!

-----------



Senin, 10 April 2017

Kepergian Para Burung Rantau

sumber gambar: http://werdi-iir.blogspot.co.id
PAGI tadi ada yang berbeda. Sekawanan burung yang biasanya bertengger dan berikcau di ranting pohon ini, sudah tak ada. Aku hampir lupa, tentang kemarin.

Kemarin. Aku menyaksikan. Sekawanan burung itu telah terbang pergi. Ia sudah berlepas dari sangkar suci yang mengungkungnya selama ini. Ada senyum kebebasan yang terpancar. Rasa terbebas dari sangkar yang sudah lama dinanti-nantikannya selama ini.

Tapi, tunggu…

Aku melihat ada satu-dua pasang air mata yang menetes. Ada jejak kesedihan yang tersisa bercampur ketakutan menanti.

Kesedihan dan ketakutan pada mereka yang paham. Bahwa hidup adalah sangkar. Manusia berlepas dari sangkar satu ke sangkar yang lainnya. Suatu sangkar yang bernama kehidupan. Yang di dalamnya ada kesedihan yang terselip dari proses mencari kebahagiaan.

Kemarin. Burung-burung itu telah berkumpul merayakan kepergiaannya. Berpencar untuk melanjutkan perjalanan masing-masing. Perjalanan tentang pencarian garis kehidupan masa depan. Siapa dan kemana mesti berlabuh dan bertengger untuk kehidupan yang baru..

Mereka-mereka yang tak terkecuali, adalah burung-burung yang diistilahkan sebagai burung rantau oleh Romo Mangun. Mereka yang lahir untuk pergi selamanya.

Beberapa di antaranya mengabadikan kenangan. Suatu kenangan akan ingatan masa lalu yang dikemas rapi. Jawaban saat-saat tiba masanya ketika kesadaran membuat dirinya kembali jatuh cinta pada masa lalunya.

Suatu jedah sebeum tiba suatu waktu di masa akan datang. Ketika masing-masing dari mereka akan menyadari. Bahwa semuanya telah berubah.

Semuanya telah berganti dengan rasa canggung. Semuanya sudah membisu. Ada jarak yang merentang lebar yang siap memisahkan semuanya.

Saat itu tiba. Benarlah kata CA,  “Nasib adalah kesunyiaan masing-masing”.


Selasa, 21 Maret 2017

RINE


MATANYA terlampau sayu, namun tajam. Gerak-geriknya terlampau sedikit, hampir-hampir datar. Di mata manusia kebanyakan, ia biasa-biasa saja, bahkan-bahkan tak masuk hitungan jari. Manusia-manusia yang dalam sekejap waktu dengan mudahnya menguap dalam ingatan dan kenangan orang kebanyakan.

Untuk ukuran gestur pun demikian. Gestur muka yang hampir-hampir menyamai manusia kebanyakan. Dengan struktur muka yang agak melonjong, dengan kulit kekuning-kunigan. Ia ketika ditempatkan di tempat kerumunan. Butuh berkali-kali untuk melihatnya, untuk baru kemudian orang akan mengingat bahwa ia pernah bertemu dengan dirinya. Memori manusia kebanyakan tak cukup untuk mengingatnya hanya dengan melihatnya sekejap, karena lagi-lagi tak ada sesuatu yang berbeda dari dirinya dari manusia kebanyakan.

Tak ada sesuatu yang menonjol dari dirinya. Pun secara pengetahuan pun demikian. “Rata-rata”, kata orang. Tak berlebih tak pula terlihat berkekurangan. Ya. Mereka tipe-tipe yang tak lama bertahan dalam kenangan orang-orang. Eksistensi hidupnya berada dalam himpitan antara ada dan tiada. Keberadaan dan ketiadaannya tidak mengubah apapun dalam ingatan orang-orang. Ia seperti air dan angin. Mengalir dan berhembus begitu saja.

Tapi, untuk orang aneh demikian---meminjam peyorasi Camus. Bagi manusia-manusia bermata aneh. Ia menarik. ada yang unik sekaligus aneh dari dirinya. Ada potensi terpendam. Sejenis kompleksitas pikir dan pengalaman hidup yang terasa ia pahami dari kehidupannya.

Dari tatapannya ia terlihat berhati-hati, meresapi, dan memahami sudut-sudut pengalaman yang ia lalui. Suatu pengalaman-pengalaman hidup yang diabaikan orang kebanyakan, namun ia tidak. Cara ia merangkul dan mendalami secara dalam akan fenomena-fenomena hidup di sekelilingnya, menjadi menarik. Ia untuk ukuran-ukuran itu selangkah bahkan dua langkah lebih maju ketimbang orang kebanyakan. Karena itu pula ia kadang-kadang terlihat aneh, namun tak teridentifikasi bagi orang kebanyakan.

Lihat.. Cara ia memandang orang lain. Cara ia memandang persoalan. Cara ia mendengar. Cara ia menangkap sesuatu. Dan cara ia bertindak di hadapan orang lain. Tampak kalem begitu saja. Praktis bagi orang kebanyakan, itu biasa-biasa saja. Dan memang benar, tak ada ukuran sensorik yang mampu mendiagnosa keunikan itu. Kecuali untuk ukuran-ukuran dengan sudut pandang yang khusus.

Cara ia memandang sesuatu. Hampir-hampir menembus ketebalan atmosfer paling tebal sekalipun. Kalau manusia kebanyakan rata-rata hanya mampu menembus tirai dengan ketebalan 1 cm, maka ia bisa menembus 3 hingga 4 cm. Ia mememendam potensi humanisme yang menarik. Hanya saja, tembok-tembok sekolah yang terlampau mengkilat menyilaukan potensi-potensi itu. Tembok itu tak mampu memantul-aktualkan potensi itu. Ia hanya bisa terpendam, membeku bersama dinginya pendingin ruangan, hanyut dalam lampu-lampu kepalsuan ruang-ruang suci pengetahuan. Bersama dengan ketulian khotbah-khortbah minggu yang tidak waras.

Beberapa kali suara-suara sumbang itu meluncur. Namun justru berkali-kali pula suara-suara itu membungkamkan diri sendirinya, saat suara nyaring otoritas menghalau segala bentuk suara-suara yang ada dengan labelisasi bak kebisingan-kebisingan subversif. Ia diam. Berdiam diri, seperti manusia yang bersemedi di tengah himpitan kebisingan yang tak beraturan. Mata boleh menyorot ke depan tak berkedip, tapi siapakah yang mampu menghalau imajinasi yang bernak-pinak bebas tak karuan kemana-mana?

Ya. Namanya Rine. Salah satu di antara spesies-spesies yang langka itu. Ia katakan saja seperti badak bercula satu yang keberadaannya hampir-hampir punah. Ia duduk tepat di bangku tengah-tengah dua orang kawan yang menghimpitnya. Dua himpitan manusia dengan kepribadian yang tidak kalah aneh dari dirinya.

Di samping kiri ia diapit seorang yang terlampau datar bahkan hampir-hampir tak ada ekspresi lain selain itu-itu saja. Orang ini saking anehnya. Sedih dan bahagia sama-sama memancarkan ekpsresi yang sama; datar! Sedatar kotak asbak rokok yang sudah penuh dengan abu. Nyaris tanpa ekspresi!

Seorang lagi, seorang penganut nihilisme tingkat dewa. Tak ada semangat apa-apa, selain memancarkan wajah absurdisme hidup yang penuh kesedihan, frustasi, dengan segenap simbol-simbol rasa putus asa lainnya. Suatu pancaran ekspresi dari wajah-wajah manusia-manusia yang sakit akibat rindu tak tertara kepada bantal guling dan kasur yang tak tertara.

Bagi manusia penganut nihilisme tingkat dewa ini, mendengarkan ceramah yang diklaim sebagai belajar itu, dalam benaknya tak lain dan tak bukan dari semacam pihak ketiga yang merampas ia dengan bantal guling! Ini baginya sejenis bentuk penindasan yang paling kejam! Sebab ia percaya bahwa hanya kepada tidurlah manusia benar-benar bebas. Mereka-mereka yang merampas tidur adalah mereka-mereka yang merampas kebebasan!

Kembali ke Rine. Anda boleh bayangkan. Seonggok manusia seperti Rine, mampu berkawan dengan dua orang sebelumnyakan? Dua serpihan orang-orang aneh sebelumnya, hanya mampu diterima keberadaannya kepada orang-orang yang mampu mendamaikan keanehan-keanehan itu. Dan dia adalah Rine.

Dalam satu kesempatan. Ia, Rine, pernah berucap dalam teriakan suara yang tersendat-sendat. Inilah waktu ketika ia tidak lagi dipandang sekadar sebagai air dan angin oleh sekitarnya, melainkan seperti api. Seperti api yang membakar ketulian dan kebutaan manusia waras. Namun tak kunjung orang memahaminya. Ia pernah berteriak dihadapan tembok, ketika suasana sunyi sepi tak seorang pun di sekelilingnya terlihat. Ia berteriak dengan keras sekali;

“Kepada masa depan atau masa silam, kepada suatu masa ketika pikiran benar-benar bebas. Kepada masa ketika belenggu telah dihancurkan. Ketika tembok-tembok otoritas pengetahuan diruntuhkan. Ketika manusia yang tak dianggap bangkit berdiri dan mengayuhkan tuntutan. Ketika orang-orang aneh memberontak merebut takhta dan kekuasaan. Ketika mereka yang yang diabaikan menggenggam batu. Ya.. kepada masa dimana kebenaran dipangku dengan keringat dan rasa mual yang tak tertahan. Kepada masa dimana manusia-manusia seperti kami yang diperkakukan seperti sampar, berteriak; hancurkan otority, bangun egalitarinisme, liberty dan humanitary----inilah masa yang dijanjikan kepada orang-orang sampar, ketika pengetahuan benar-benar menjadi ruang-ruang suci yang memakzulkan penindasan dan kepalsuan. Suatu zaman yang melampaui dari zaman kesepian!!!!”


Waktu hening. Keramaian tiba-tiba berhenti. Beberapa saling pandang mencari arah suara bersumber. Dua orang petugas keamanan, menerobos masuk. Rine dibekuk. Atas dugaan; SAKIT (jiwa)!?***




[Muhammad Ruslan]