| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Sabtu, 16 Juli 2016

Persoalan Pendidikan Kita dan Aliran Dasar Pemikiran Atasnya



Tulisan ini saya buat, sebagai reaksi dari diskusi yang baru saja saya ikuti di Maitreya. Sebagai peserta diskusi,  di tengah banyaknya peserta yang lain yang harus menyampaikan pendapatnya pula, ditambah ketertabasan waktu, membuat saya tidak bisa mengutarakan secara ‘utuh’ pendapat pribadi saya. Karena itu tulisan ini berusaha untuk menindaklanjuti hal itu.  Rencananya semoga beberapa hari ini saya bisa menurunkan tulisan yang berententan terkait hal ini: dua atau tiga tulisan terkait, mengingat pokok substansi pembahasan yang cukup luas dan menuntut kedalaman. Setidaknya saya menyebut ini sebagai bentuk ‘keberhasilan’ diskusi kemarin, karena setidaknya bisa memancing saya (sebagai peserta diskusi) untuk membuat tanggapan lebih lanjut atasnya.

Di sesi ini, saya hanya ingin fokus menggambarkan aliran-aliran paradigma dasar yang hingga hari ini berkembang sebagai wacana sekaligus alat analisis dalam melihat persoalan-persoalan pendidikan yang mencuat. Pembahasan akan hal ini berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mengelaborasi secara terlalu teoritis, namun berusaha untuk mengkonkretisasinya dari persoalan-persoalan keseharian yang terjadi di dunia pendidikan yang kita alami sehari-hari. 

Selain itu, keinginan saya untuk membahas paradigma dasar ini, tiada lain karena suatu hal yang menggangggu pikiran saya selepas diskusi kemarin. Salah satunya adalah, kekhawatiran saya atas pendapat-pendapat saya yang cenderung “liar” berpotensi disalahpahami. Kedua, menginginkan agar pernyataan-pernyataan saya atas diskusi ditempatkan sebagai pendapat pribadi semata, yang tidak menuntut sebuah afirmasi ‘benar atau salah’, melainkan lebih ke ‘sepakat atau tidak sepakat’ semata. Ketiga, selain keterbatasan waktu yang ada, tidak detailnya penjelasan saya juga dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat personal. Titik penjelasan saya yang berorientasi kritik struktural berpotensi melahirkan ‘ketersinggungan’, saya mahfum bahwa “tidak selamanya kita akan terus merasa baik-baik saja atas kritik”. Meskipun saya yakin akan kedewasaan kita bersama, bisa  menempatkan kritik dengan elegan (semoga!). 

Dan yang kelima, kenapa ini penting untuk dibahas, adalah saya melihat, lewat penafsiran-penafsiran pribadi saya, saya dan kita melihat masih terpola secara reaksioner terhadap persoalan pendidikan yang mencuat. “Persoalan ada dan solusi ada”, kurang lebih seperti itu, dan karena hal itu pula kita mengabaikan hal-hal yang bersifat history atasnya. Ketika saya terus menempatkan persoalan pendidikan di ruang hampa, yang saya persepsi kehadirannya ada begitu saja, dan menafikan hal di luar dari persoalan itu sendiri. Karena itu ide-ide segenap solusi yang ada kadang-kadang bersifat instan idealistik, yang hanya membuat saya lebih mudah membuat solusi ketimbang memahami dengan utuh (persoalan-persoalan yang ada). 

Atau lebih tepatnya, yang saya ingin katakan, bahwa membincangkan persoalan pendidikan yang ada, ada baiknya ketika kita merujuk hal-hal itu pada dimensi perdebatan substansial: yakni menggiringnya pada perdebatan-peredabatan epsitemologis dan ontologis. Saya dan kita, bisa dikata mengabaikan hal-hal substansial itu, akibatnya tidak ada struktur alur yang bisa membantu kita memahami persoalan pendidikan dengan lebih terang dan mendasar. Karena itu, tulisan ini akan berusaha memulai kembali diskusi tentang bagaimana persoalan-persoalan pendidikan yang kita bahas ditinjau dari sudut pandang perdebatan-perdebatan aliran pemikiran pendidikan yang ada, dengan harapan setidaknya kita bisa mengidentifikasi diri dalam aliran-aliran pemikiran pendidikan yang ada. Berharap hal itu bisa membantu, saya lebih khususnya, agar lebih jernih untuk melihat persoalan pendidikan yang kita alami sehari-hari dengan pendekatan-pendekatan yang holistik, terhindar dari ambigu dan kontradiksi-kontradiksi konseptual yang ada.

Kontradiksi dan ambigu ini sangat nampak dalam banyak hal (kebijakan). Nilai yang dianggap ideal masih terjebak dalam standar ganda penggunaannya, sehingga antar struktur tidak terjadi alur irama yang sama, justru kadang-kadang bertentangan. Misalnya saja antara metode pembelajaran dan sistem ujian. Terlalu nampak kontrakdiksi itu terjadi. Metode pembelajaran yang mengarah ke hal-hal demokratis justru berbenturan dengan sistem penilaian yang sangat feodal. Metode pembelajaran yang menekankan kemajemukan berpendapat, analisa, penalaran-penalaran subjektif, non-standardisasi, justru sistem penilaian (misalnya ujian yang ada) masih bertahan dengan pola struktur yang lama seperti pilihan ganda, dsbnya, yang dengan jelas mengebiri nilai-nilai yang ingin dikembangkan dalam metode pembelajaran sebelumnya. Sehingga yang terlihat justru kontradiksi, yang secara struktur menutup potensi dikembangkannya model pembelajaran demokratis itu sendiri.

Dan banyak lagi ---- tulisan-tulisan kedepannya akan berusaha mengarah pada proses mengidenfikasi dan membongkar ruang nilai untuk mempertanyakan struktur-struktur yang lama. Satu hal yang pasti, bahwa, sistem yang ideal haruslah lahir dan terbebas dari kontradiksi-kontradiksi yang ada.

Paradigma (aliran)  dalam pendidikan

Secara umum, sedikitnya dalam tulisan ini, saya hanya membagi tiga paradigma dalam pendidikan. Karena itu, kita lebih tepat menyebutnya paradigma dasar. Di antaranya: paradigma konservatif, paradigma liberal, dan paradigma kritis. 

Menjabarkan secara singkat tiga paradigma di atas, bukanlah sesuatu yang harus dilihat dalam kerangka absolut vertikal: benar-salah, atau sempurna-tidak sempurna, tapi sekali lagi lebih bijak melihatnya dalam kerangka relativitas: yang mana kita sepakati dan yang tidak kita sepakati, dan yang lebih idealistik lagi ketika kita mampu mengafirmasi dan melakukan telaah kritik atas tiga konsep tersebut. 

Meskipun dalam pembahasannya, penekanan-penekanan tertentu baik yang bersifat kritik ataupun hal-hal yang sifatnya keberpihakan, tidak lepas dari keterikatan penulis dengan pemikiran-pemikiran yang ada. Dalam konteks ini kita tentu memahami bahwa tidak ada hal yang bebas nilai, tidak ada hal yang terlepas dari subjektivitas, dan tidak ada hal yang sterill dari keberpihakan-keberpihakan, pun tak terkecuali dengan penulis sendiri dalam membahasnya. 

Tiga paradigma di atas, lahir dan berkembang sebenarnya tidak lepas dari realitas sosio pendidikan yang dinamis. Satu paradigma baru lahir adalah reaksi dari paradigma yang lama, begitu seterusnya. Pendekatan dialektik memahamkan bahwa setiap kelahiran konsep baru sebagai tesa, selalu ‘menuntut’ embrio bagi lahirnya antitesa, yang berdialeketik dalam mendorong lahirnya sintesa-sintesa baru. Dari konteks itu, kita mencoba memahami secara linear tiga paradigma di atas: konservatif, liberal, dan kritis. Meski dipahami secara linear, bukan berarti ia terlepas dari hal-hal dialektis atasnya, tak pula ia berarti hilangnya realitas yang lama atas kelahiran yang baru. Keberadaaanya ada dalam di saat yang sama dalam perdebatan-perdebatan konseptual dengan corak dan karakternya yang khas. Begitupun bahwa menempatkannnya secara linear, bukan pula bermakna bahwa yang baru lebih popular dari yang lama, dsbnya.

Paradigma konservatisme

Paradigma konservatif ini, bagi saya adalah paradigma yang paling purba. Pada titik tertentu paradigma ini cenderung anti terhadap segala hal yang baru. Ia mengandaikan perubahan sebagai sebuah ancaman. Dalam konteks pendidikan, paradigma ini mengasumsikan persoalan-persoalan pendidikan yang ada karena pengaruh dari perubahan itu sendiri. Apa yang dianggap ideal adalah mempertahankan realitas sebagai tradisi, memurnikan pendidikan dari pengaruh yang bisa mengancam tradisi pendidikan yang sudah ada. Karakter paradigma ini sangat feodal: mempertahankan nilai-nilai lama, berorientasi masa lalu bukan masa depan. 

Kita sangat mudah melihat guru dengan pengaruh paradigma ini (dengan sadar atau tidak), khususnya pada guru yang dilahirkan dari tatanan lama, namun hidup dengan segenap “kutukan-kutukannya” di tatanan baru. Mulai isu-isu anti Barat, liberal dan sebagainya diproduksi sebagai sebuah wacana untuk menolak pengaruh, dan kukuh bertahan dengan tradisi yang sudah ada, meskipun tradisi itu kadang-kadang sudah bertahun-tahun ---- berabad-abad, malahan

Misalnya dalam konteks hubungan guru-murid, paradigma konservatif akan menolak ide-ide kesetaraan guru-murid. Bagi mereka sudah dan memang seharusnya tatanan hubungan guru-murid itu bersifat hirarki. Otoritas adalah hal baik dan niscaya bagi mereka. Karena ia selalu mengandaikan bahwa murid tidak tahu apa-apa, dan bahkan berpotensi salah dan tersesat sebagai hal niscaya, karena itu guru harus meluruskan secara moral. Dan secara pengetahuan, guru adalah subjek pentrasnfer ilmu, sedangkan murid adalah wadah sebagai objek yang menampungnya. Kondisi-kondisi itu dianggap sebagai realitas alami dan karena itu juga sebagai realitas ideal.

Dalam hal moral, paradigma ini sangat merawat hubungan moralitas itu dalam hubungan paternalistik, suatu hubungan kebapakan (maskulin) yang sangat menekankan kepatuhan sang murid. Karena itu kritik dari murid bisa dianggap sebagai pelanggaran berat dalam konteks ini.  

Paradima konservatif selalu menekankan harmoni dan menolak segala bentuk perbedaan-perbedaan pendapat, dengan mengaggap hal-hal yang sifatnya konflik (pertentangan) sebagai ancaman atas harmoni. Dalam konteks hubungan guru-murid maka yang harus ada hanyalah kepatuhan semata. Begitupun dalam konteks pengelolaan sekolah, relasi guru dengan sekolah haruslah harmonis dalam konteks budaya bisu. Guru haruslah tentram, damai, dan tidak boleh mempunyai pendapat yang berbeda dengan sekolah. Tidak ada otonomi guru, sebagai simbol pendistribusian kekuasaan sekolah, kalaupun ada maka itu harus selaras dengan kebijakan sekolah. Pastinya perbedaan-perbedaan pendapat dianggap tidak ideal. Karena itu sekolah hampir semuanya dijalankan dengan penuh kalkulasi doktrin untuk konteks ini. 

Pardigma konservatif, selalu terjebak pada blaming victims, yakni bentuk-bentuk pelimpahan kesalahan kepada objek sebagai pangkal dari persoalan pendidikan yang ada. Objek yang dimaksud adalah pihak-pihak yang ditakdirkan dalam posisi lemah. Dalam konteks hubungan guru-murid, maka murid adalah objek yang dianggap selalu sebagai sumber persoalan itu sendiri. Misalnya banyak murid tidak lulus, maka yang bermasalah adalah murid itu sendiri, dengan penghakiman-penghakiman seperti: malas, bodoh, nakal, dsbnya. 

Dalam konteks hubungan sekolah dan guru, guru adalah objek yang dianggap sumber persoalan itu sendiri. Dalam konteks hubungan pemerintah dan sekolah, maka sekolah sebagai subjek yang lemah: karena itu dianggap sebagai sumber persoalan. Intinya akar persoalan pendidikan apapun, dalam paradigma ini akan mengarah pada relasi-relasi subjek yang lemah yang jadi pesakitan. Dan yang  paling lemah atas keseluruhan subjek yang ada dalam interaksi pendidikan itu adalah sang murid. Karena itu murid akan terus berada sebagai subjek dan objek yang dipersoalkan dan dipermasalahkan. Oleh karena itu,  aturan dan sistem yang dibuat dari paradigma ini, akan terus berakar pada upaya untuk menjadikan objek tadi sebagai objek dari aturan itu sendiri. Murid diatur ini, itu, harus begini, begitu dsbx. 

Paradigma liberalisme

Bisa dikatakan, di Indonesia, paradigma inilah (liberalis) sebagai ide-ide yang paling ‘popular’ dalam percaturan wacana-wacana pendidikan alternatif. Sudah banyak yang berusaha mengembangkan ide-ide diluar dari paradigma konservatif di atas, dengan menggunakan counter paradigma liberalisme sebagai sumber ide dan gagasan.

Banyak fasilitator menggunakan paradigma ini. Pengalaman penulis juga sewaktu terlibat di salah satu LSM yang bergerak di bidang pendidikan, memperlihatkan bahwa pengaruh paradigma ini sangat popular, dipakai sebagai alat analisis, sekaligus sebagai wacana atas metode pendidikan alternatif. Paradigma ini bisa dikatakan antitesa dari paradigma konservatif sebelumnya, karena itu ide-ide yang mendasari, sekaligus yang menjadi isu pendidikan dari paradigma ini adalah berangkat secara otokritik terhadap paradgima konservatif sebelumnya.

Filosofi dasar dari aliran pemikiran liberalisme ini adalah upaya untuk menempatkan realitas manusia sebagai subjek yang individual (kesadaran individu). Pemahaman ini cukup memiliki kesadaran dalam mengidentifikasi bahwa, ada realitas yang tidak ideal berjalan dalam pendidikan yang ada saat ini. Namun ia menempatkan, sekaligus memahami bahwa persoalan pendidikan yang ada terletak pada manusianya, dalam hal ini sumber daya manusia itu sendiri. Sekilas tampak bahwa gagasan ini, selangkah lebih maju dari paradigma konservatif. Setidaknya paradigma ini sudah berlepas diri dari perangkat akar dari paradigma konservatif, yang selama ini selalu menempatkan murid sebagai sumber persoalan. Paradigma liberalis dalam konteks ini menempatkan guru (Sumber Daya Manusia) sebagai akar pokok persoalannya. 

Karena itu, ide-ide solutif yang lahir dari paradigma ini adalah lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat metodologis. Karena ia menempatkan akar persoalan pendidikan pada SDM, maka solusinya bagi mereka adalah memperbanyak pelatihan-pelatihan bagi guru. Paradigma ini juga yang menguasai pikiran para pengambil kebijakan hari ini, karena itu tidak heran ketika kebijakan pendidikan lebih banyak bermuara ke hal-hal birokratis yang dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas SDM guru, seperti: sertifikasi, dan segudang pelatihan yang ada.

Bagi mereka, kualitas guru adalah sumber persoalannya. Analisa yang dipakai adalah kesadaran. Ia mengasumsikan kesadaran guru masih rendah dalam memahami realitas tuntutan pengajaran kekinian. Karena itu dalam pelatihan, model simulasi dipakai sebagai alternatif metode. Apa produk gagasan yang dilahirkan dari paradigma ini? Mungkin kita tidak asing lagi mendengar istilah-itilah: metode Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), metode learning to doing, group dynamic class, dll. Persoalan pendidikan tereduksi sebagai persoalan teknis dan metodologi semata dianggap sebagai solusi.

Dalam paradigma ini, tampak ada upaya untuk mengabaikan hal-hal yang bersifat struktural. Ia mengasumsikan bahwa kesadaran itu lahir di ruang hampa. Persoalan guru tidak kreatif misalnya, dianggap karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan, karena itu bagi mereka, guru harus disadarkan akan hal itu dan diberi pelatihan. Dalam konteks ini, guru adalah subjek otonom itu sendiri. Ia adalah sumber, sekaligus harapan atas perbaikan persoalan-persoalan pendidikan yang ada. 

Nampak, bahwa paradigma liberalis juga terjebak pada blaming victims, hanya saja bedanya dengan paradigma konservatif tadi, paradigma liberalis menempatkan guru secara otonom sebagai sumber persoalan. Asumsi yang dibangun dari paradigma ini adalah: tidak ada persoalan pada struktur, struktur yang ada sudah baik, tinggal menjalankannya, dan  yang perlu diperbaiki adalah kualitas individu itu sendiri (SDM), yang terdiri dari persoalan skill, mental, sikap dan pengetahuan. Begitupun dalam memandang murid, paradigma ini akan selalu fokus dan berorientasi pemberian dan perbaikan pada skill, mental, pengetahuan dan sikap pada murid.

Pemahaman liberal ini, sebenarnya merupakan pemahaman yang lahir dari tuntutan abad rasionalisme di Eropa saat itu. Ia juga menjadi nafas bagi bangkitnya paham kapitalisme global yang ada saat ini. Yang mengasumsikan persoalan kehidupan manusia sebagai persoalan kualitas SDM semata. Karena itu pengaruhnya dalam pendidikan, itu nampak pada segenap orientasi pendidikan yang ada saat ini, disetting untuk bisa menjawab tuntutan-tuntutan pasar industri. Karena itu tidak mengherankan ketika mereka yang menggunakan analisis ini dalam memandang pendidikan akan selalu melihat bahwa tujuan pendidikan adalah melahirkan anak didik yang siap bersaing dalam dunia industri. Pendidikan dijadikan pabrik untuk melahirkan lulusan yang siap diakomodasi dalam pasar. Karena itu pendidikan harus berorientasi kualitas skill yang nantinya dipakai untuk masuk dalam dunia kerja. 

Pendidikan adalah penyalur tenaga kerja untuk konteks ini. Nilai- nilai berupa skill, mental, pengetahuan, dan sikap, adalah nilai-nilai yang didefinisikan dari sudut pandang kapitalisme (pasar). Mental harus mental pasar, dan sikap pun harus distandardisasi seperti dengan nilai sikap yang berlaku pada industri (perusahaan). Untuk konteks yang lebih luas, pengelolaan pendidikan juga biasanya disetting, menyerap nilai korporasi, dilihat dari aturan, kebiasaan dan nilai norma yang ada.

Pengaruh paham ini, cukup bahkan untuk mengubah orientasi pendidikan dari konteks ideologi menuju konteks pasar---untuk hal ini, saya akan menuliskan tulisan khusus untuk menjabarkan lebih jauh. Indikator-indikator keberhasilan sekolah adalah sejauh mana produknya diserap dalam pasar. Ide-ide tentang kompetisi, skill teknik, menjadi prioritas dalam konteks ini. Karena itu, kualits guru yang dianggap tidak mumpuni adalah guru yang dianggap tidak memiliki sikll teknik dari sudut pandang kebutuhan-kebutuhan pasar. Arah dari keseluruhan proses yang ada dalam sekolah bermuara pada kebutuhan-kebutuhan pasar. Karena itu skill SDM lah pokok persoalan pendidikan!

Paradigma kritisisme

Bisa dikata bahwa pradigma kritis ini merupakan kritik terhadap paradigma konservatif dan paradigma liberalis. Sering disebut, aliran paradigma kritis dalam madzhab pengetahuan ini bermula pada sekelompok pemikir-pemikir sosial radikal di Jerman saat itu yang dikenal sebagai Mazhab Frankfurt. Titik tolak keberadaan paradigma ini adalah kritik itu sendiri yang berpangkal pada hal-hal yang bersifat struktural. Dalam konteks isu pendidikan, paradigma ini bisa dikata ikut membentuk aliran pemikiran dalam pendidikan yang khas yang sering dikenal dengan istilah pedagogi kritis. 

Apa yang menjadi inti pokok pendarasan persoalan-persoalan pendidikan dari paradigma kritis ini, adalah dengan melibatkan pembacaan struktural yang ada. Pendidikan sebagai produk kebudayaan tidak lahir di ruang yang hampa, melainkan terkondisikan oleh berbagai bias struktural yang ada. 

Menggunakan pembacaan struktural dalam melihat persoalan pendidikan, mengasumsikan bahwa kesadaran itu sebagai bagian dari keberadaan struktur yang bersifat deterministik. Seperti halnya kalau kita membaca persoalan kekerasan guru yang ada, paradigma konservatis mungkin akan memandang itu sebagai bukan persoalan, kalaupun ia adalah persoalan maka yang menjadi objek dipersalahkan adalah murid, sedangkan paradigma liberalis kemungkinan akan menggiring hal itu ke guru. Kedua-duanya sama dalam konteks mereduksi persoalan itu (kekerasan guru itu) dalam ranah moralitas dan personal. Dua paradigma itu bersepaham untuk tidak mengaitkan hal itu dengan struktur yang ada. Sebagai sebuah persoalan moral dan personal maka hal itu disebut sebagai persoalan kasuistik dan insendentil.

Sedangkan pendekatan kritis berusaha untuk membaca hal itu sebagai persoalan  yang tak terpisah dari persoalan struktural yang ada. Kekerasan guru terhadap murid, adalah bagian dari konstruksi struktural atas relasi hubungan guru-murid yang timpang, penuh otoritas. Setali dengan timpangnya hubungan kuasa antara sekolah dengan negara. Standardisasi yang juga adalah pemaksaan dari negara, akan selalu menciptakan celah pemaksaan dalam konteks hubungan otoritatif antara sekolah terhadap guru, dan hingga antara guru terhadap murid. Ini seperti sebuah spiral struktural. Karena itu, pendektan struktural akan selalu mendorong perbaikan di tingkat struktural.

Banyak hal dimana pendekatan struktural ini dapat dipakai untuk melakukan pembacaan atas realitas persoalan pendidikan yang mencuat. Paradigma kritis akan menghendaki perubahan struktur secara fundamental, menghindari hal-hal yang bersifat reformis seperti penggunaan standar ganda dari sebuah nilai. Standar ganda yang dimaksud cukup luas, seperti halnya: menerima prinsip demokrasi dalam sekolah tidaklah tepat ketika itu hanya dilihat secara aksiologi dari hubungannya antara guru dan murid, tetapi juga harus dilihat dari hubungan antara guru dengan guru, guru dan sekolah, bahkan hingga dari hubungan pemerintah dan sekolah. Karena struktur itu semua saling terkait secara nilai.

Paradigma kritis menghendaki bahwa orientasi dari pendidikan haruslah mengarah pada sebuah proses pembebasan. Pembebasan dari segala bentuk penindasan baik kulutral maupun struktural.  Ia menempatkan persoalan pendidikan yang ada berangkat dari sistem pendidikan yang tidak manusiawi, mendegradasi hal-hal manusiawi terhadap pendidik dan murid, karena itu paradigma kritis mendorong perubahan kepada prinsip emansipatoris, humanis dan demokratis di segala bidang pendidikan. 

Asumsi yang dibangun dari pendekatan ini adalah, bahwa, persoalan pendidikan sama dengan persoalan moral, merupakan perkara yang tidak lahir di ruang yang hampa begitu saja, ia merupakan bagian dialektis dari perkara-perkara struktural. Kalau misalnya ada pelajar yang selalu dianggap melanggar aturan sekolah, bukan berarti bahwa ia senang melanggar, mungkin saja ia adalah reaksi dari produk aturan yang terus hanya menjdikan sebagai objek aturan, bukan sebagai subjek aturan itu sendiri. Subjek aturan itu sendiri yang dimaksud disini, mengasumsikan adanya proses penglibatan murid dalam menentukan apa yang baik dan tidak baik yang muncul lewat kesepatakan-kesepakatan demokratis. Jadi ini adalah persoalan struktural, tidak melulu melihatnya sebagai persoalan personal, moralis, sikap dll seperti yang diajarkan oleh paradigma liberalis, apalagi konservatis.

Saya rasa, banyak hal yang harus direinterpretasi ulang atas tatanan lama yang berjalan hari ini. Tugas terberat sebenarnya bukan pada bagaimana memberi solusi atas persoalan-persoalan pendidikan yang mencuat, tetapi bagaimana memahami persoalan itu sendiri. (berlanjut)


Tabik..

Penulis
Muhammad Ruslan

Kamis, 23 Juni 2016

Dosa Sekolah dan Radikalisasi Agama

sumber gambar:



Radikalisasi agama yang marak terjadi belakangan ini, tentu membuat kita semua prihatin. Sebab radikalisasi ini tidak mengarah pada semagat militansi agama dalam menjawab persoalan sosial dan menubuhkan kesalehan sosial, tetapi sebaliknya justru mengarah pada semangat fundamentalisme yang sektarian. Penghakiman-penghakiman sepihak karena perbedaan pikiran, pendapat, agama maupun madzhab, hingga beberapa di antaranya berujung kekerasan.

Tahun yang lalu pembakaran masjid dan pembakaran gereja cukup menyita perhatian, belum kasus diusir dan dibakarnya perkampungan warga Syiah di Sampang. Melihat lebih belakang lagi hanya membuat kita semakin miris. Setali dengan hal itu, tindakan-tindakan intimidasi dan penutupan paksa diskusi hingga warung makan, bahkan pengusiran Ibu Sinta, Istri Almarhum Gusdur, lusa (17/6) tak luput dari seperangkat ironi intoleransi yang terjadi. Kejadian-kejadian ini semuanya berakar dari satu persoalan yakni: model keberagamaan yang fundamentalis anti-kemajemukan, melanda seperti penyakit (pseudo beragama). Ini adalah suatu ironi intoleransi yang selau berpotensi menyulut tragedi.

Bagi siapapun – termasuk penulis – yang terbiasa berinteraksi lintas agama, akan merasakan atmosfer kekesalan yang terpendam. Ruang-ruang sosial yang sedianya sudah seharusnya mencair justru selalu saja ada pihak yang menginginkannya membeku dalam suatu kotak-kotak simbolitas keberagamaan. Hal ini hanya justru berkontribusi dalam memupuk ketidakharmonisan dalam bermasyarakat. 

Dalam tulisan ini, saya hanya ingin melihat skop lingkup persoalan ini dari sudut padang pendidikan. Dan mencoba melihat isu fundamentalisme dalam skop yang lebih  luas dari sekadar agama. Dengan menarik suatu hipotesa bahwa pendidikan yang ada saat ini ikut berkontribusi dalam menyuplai energi bagi lahirnya semangat fundamentalisme dan menyemai benih intoleransi sejak dalam pikiran. Kenapa bisa?

Karl Henrich Marx, atau lebih lazim dikenal Marx, pernah mengatakan bahwa keseluruhan persoalan-persoalan ‘agama’ yang ada saat ini (saat itu, yang masih relevan dengan kekinian), haruslah dilihat sebagai persoalan-persoalan sosial itu sendiri. Itu berarti persoalan agama khususnya yang berpangkal pada isu sektarian ini, berakar pada persoalan sosial struktur yang ada. Tak terkecuali dalam hal ini adalah pendidikan sebagai salah satu elemen dari struktur sosial yang dimaksud. Meski pendidikan bukanlah penyebab primer, tetapi secara tidak langsung kultur pendidikan yang ada saat ini ikut andil untuk hal itu.

Pengkotak-kotakan sekolah

Kondisi kultur persekolahan yang terkotak-kotak oleh semangat primordialisme suku dan simbolitas agama saat ini ikut bertanggung jawab. Saat ini kita tidak sulit untuk melihat banyaknya sekolah yang bermunculan dengan ciri dan simbolitas kelompoknya yang khas. Baik simbolitas itu bersumber dari semangat kesukuan, agama, bahkan semangat madzhab sekalipun. Terlalu langka untuk melihat adanya sekolah yang betul-betul lahir dari cara padang majemuk melihat realitas majemuk sebagi sesuatu yang ideal. 

Saat ini kita hanya melihat dan mendorong isu persekolahan dalam kerangka keramahan sekolah terhadap anak/pelajar, agar ruang kekerasan fisik tidak terjadi. Tetapi masih meninggalkan hal lain, yakni keramahan sekolah terhadap perbedaan horizontal. Masih terlalu langka untuk melihat sekolah yang benar-benar lahir dari cara pandang majemuk. Sekolah yang ada justru dikondisikan dengan wataknya yang eksklusif.

Ada sekolah berbasis agama A, B, C, bahkan adapula sekolah dengan basis agama tapi khusus untuk madzhab tertentu saja. Selain itu, terdapat pula sekolah yang terlalu elitis untuk golongan tertentu saja, bahkan sekolah yang ‘dihuni’ oleh suku tertentu pun ada. 

Secara hukum tak ada yang salah dengan hal itu. Tapi secara sosial, kita mencoba meraba bahwa produk-produk sekolah yang lahir dari keterasingan berinteraksi secara majemuk akan membawa potensi-potensi lain, tak terkecuali bagi tersemainya kesadaran anti-kemajemukan. Secara politik pendidikan, desain sekolah yang seperti di atas, sebenarnya bertentangan dengan visi kemajemukan yang harus dirajut.

Semangat ketertutupan sekolah justru disemai. Padahal keberbauran itulah yang seharusnya dipupuk. Keberbauran bisa menangkal segala bentuk gejala radikalisme bersuku dan beragama secara sektarian.  

Saya pikir, tindakan sektarian yang lahir dari cara berpikir dogmatis, yang mengganggap diri dan keyakinannyalah paling benar atau mungkin satu-satunya yang benar di dunia, lahir bukan karena kurang piknik, atau kurang beribadah, tetapi karena kurangnya bergaul lintas agama. Semua orang memang lahir berpotensi terradikalisasikan oleh dogma agama, saya yakin dengan pergaulan akan membuka ruang kita untuk berpikir terbuka, hingga menemukan dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa kebaikan itu sangat universal. Kebaikan lahir dan muncul dari kalangan siapa saja, seperti halnya dengan keburukan itu sendiri.

Karena itu, para pengusung gerakan lintas iman atau lintas agama, sangat menekankan keterbukaan itu dan dialog sebagai salah satu alternatif dalam meredam isu sektarian ini. Dan ironisnya ketika sekolah yang justru seharusnya menjadi pranata sosial paling depan untuk membuka ruang itu, justru keburu terkena penyakit fundamen ketertutupan. Terlalu mudah melihat sekolah dengan karakter yang sangat eksklusif. Bahkan pengalaman penulis, pernah ditolak oleh salah satu sekolah agama, hanya karena saya berasal dari organisasi keagamaan yang dikenal sangat moderat (hehe).

Ini menjadi ironi yang cenderung diabaikan dalam kultur persekolahan yang ada. Salah seorang cendekiawan muslim, Cak Nur sudah memperkenalkan konsep keberagamaan inklusif ini, ide yang dikaji dari kondisi sosial masyarakat kita, sebenarnya telah mengingatkan kita akan hal itu. Hanya saja sepertinya kita terlambat untuk menindaklanjutinya di tingkat operasional sekolah.

Membiarkan pengkotak-kotakan dengan semangat ketertutupan yang ada dalam kultur persekolahan yang ada saat ini, sama halnya dengan mengkondisikan benih-benih fundamentalisme dan intoleransi tumbuh di lahan yang subur. Saat sekolah yang seharusnya berperan mencairkan perbedaan-perbedaan sosial yang ada, justru ikut mengungkung perbedaan-perbedaan itu dalam sangkar-sangkar simbolitas yang sempit. 

Ketertutupan hanya akan melahirkan streotipe, rasa curiga yang terus berangsur-angsur, hingga terlalu mudah dipolitisir, hingga berpotensi meledak dalam gesekan-gesekan horiozntal. Dan hal itu sudah sering kita alami sejak zaman kolonial hingga sekarang. Bahwa ketertutupan memudahkan segala bentuk kepentingan bisa menyulut konflik. Kita dengan mudah bisa berkaca pada kebijakan politik deivide et impera kolonial Belanda beberapa ratus tahun silam. Kebijakan pengkotak-kotakan dalam dunia pendidikan memang diciptakan untuk memangkal isu-isu solidaritas, persatuan dan sejenisnya.

Apalagi  saat ini, ketika negara justru ikut dalam proses pengkotak-kotakan sekolah itu. Sebagian sekolah di bawah kendali Kementerian Pendidikan, sebagian pula di bawah kendali Kementerian Agama. Ini seperti pemerintah juga gagal untuk mensinkronkan antara pembelahan itu dengan kurikulum 2013 yang ia susun sendiri yang menekankan keterpaduan. Belum lagi, perbedaan sekolah antara negeri dan swasta yang justru melahirkan pembedaan perlakuan pemerintah. Ini menjadi sebuah contoh dari wajah ganda perlakuan negara, serupa dengan kasus-kasus intoleransi yang ada: yang justru lebih banyak mengamankan korban daripada menghukum pelaku. 

Kurikulum pendidikan agama yang memalukan

Bukan hanya kualitas buku-buku sekolah yang kadang-kadang memalukan, tapi juga kurikulumnya. Di tingkat sekolah menengah misalnya, pelajaran-pelajaran agama sepertinya tidak pernah naik ke kelas yang lebih tinggi. Pelajaran agama diajarkan dibangku sekolah menegah, tidak ada bedanya dengan yang diajarkan dibangku menengah pertama dan sekolah dasar. Seolah-olah agama itu terlalu sempit untuk dibahas, dan pembahasannya seolah-olah hanya itu-itu saja. Agama dalam konteks ini diajarkan sebagai hal yang teknis semata, seperti tata cara beribadah, tata cara berdoa, dll.

Pelajaran agama hanya menjadi seperangkat paket doa-doa yang dijarkan secara dogmatis. Doa-doa yang harus dihafal dan dilafalakan seperti mantra untuk mendapatkan nilai praktik. Padahal kalau kita merujuk gagasan Bapak Pendidikan -- Ki Hadjar Dewantara  -- misalnya, sudah seharusya pendidikan agama di tingkat menengah haruslah menyesuaikan dengan tuntutan kodrat perkembangan psikologi dan kedewasaan pelajar.

Kalau saja pendidikan kita saat ini diframing dari kondisi-kondisi sosial masyarakat, maka seyogyanya pendidikan agama yang ada seharusnya membincangkan persoalan-persoalan intoleransi dan radikalisasi agama yang terjadi akhir-akhir ini. Seperti kata Ki Hadjar Dewantara: sistim pengajaran haruslah berfaedah, lahir dari kehidupan dan penghidupan sosial masyarakat, untuk kepentingan berbangsa!

Seyogyanya pendidikan agama ditingkat sekolah menengah memang haruslah berpradigma lebih luas dari sekadar pengteknikalisasian agama semata. Mengingat kondisi pikiran pelajar sudah memenuhi syarat untuk membincangkan agama dengan pendekatan yang lebih universal. Pemerintah khususnya lewat kementerian agama, harus mengambil tupoksi yang lebih besar akan hal ini: meramu pelajaran agama yang terpadu secara universal. Mengingat bahwa menangkal radikalisasi agama bukanlah proyek jangka pendek, melainkan jangka panjang karena terkait dengan pikiran manusia. Sebab pseudo beragama anti-kemajemukan ini, bukanlah suatu kenyataan insenditil dan personal, tetapi sebuah persoalan sosial yang mendaur lewat alam pikiran: mewarisi dan diwarisi yang berpotensi beranak-pinak lewat proses sosial pendidikan itu sendiri.

Melihat banyaknya kejadian  konflik sektarian yang pernah terjadi dalam catatan gelap sejarah bangsa kita ini hingga terus terjadi saat ini pun, baik yang berkarakter suku maupun agama, sudah seharusnya mendorong kita memikirkan bahwa virus anti-kamajemukan itu tidak terwarisi ke generasi selanjutnya. Proses waris mewarisi ini memang lebih tepat dan seharusnya dipikul oleh pranata pendidikan. Oleh karenanya, menciptakan suatu kultur pendidikan yang terbuka dan ramah terhadap kemajemukan adalah tantangan pendidikan kita ke depannya!


Penulis
Muhammad Ruslan

Kamis, 09 Juni 2016

Guru, Nasibmu Kini..


sumber gambar: www.kaskus.co.id

Kita kadang sering berlaku tidak adil terhadap guru. Guru yang diserahkan setumpuk tugas berat, ditukar dengan upah yang hanya bisa ditukar dngan odol dan sabun mandi—dan itu kita anggap wajar. Di saat yang sama kita menuntut guru dengan banyak tuntutan. Seolah-olah guru harus merebut sedikit kekuasaan Dewa untuk dapat menyulap anak kita seperti yang kita harapkan. 

Memang adil sejak dalam pikiran, apalagi tindakan, tidak mudah! Tak tanggung-tanggung, para orang tua “dengkul” yang hanya pandai mengoceh menyalahkan guru ketika anaknya berbuat buruk misalnya. Guru dengan kekuasaannya yang kecil itu, seperti menjadi satu-satunya tempat yang paling mudah untuk melampiaskan amarah. Seorang anak yang konvoi membentak polwan, siapa yang salah? Guru! Seorang siswa tidak lulus. Yang salah, ya guru! Anak bertindak asusila, yang salah tetap guru! Guru adalah orang yang ditakdirkan menampung segala musabab dari segala keburukan muridnya. 

Padahal kalau kita ingin jujur, beban moril berupa tugas moralitas yang “dibebankan” kepada guru sungguh tidak fair. Dengan setumpuk tuntutan kurikulum yang padat yang harus diraih, dengan jam sekolah yang sudah cukup padat untuk menampung hal itu. Guru masih harus dibebankan beban-beban moral, mendidik moral, dan bahkan konon meluruskan akhlak, dll. Karena itu, guru selalu bersiap-siap untuk menerima cercaan, kalau saja ada muridnya berbuat amoral meskipun di luar sekolah sekalipun. 

Padahal hipotesa— meski belum ada penelitian yang mengkuantifikasi dalam angka—“Benarkah siswa terbentuk secara moralitas dalam sekolah?”, adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Sebab dalam teori sosial sederhana sekalipun, dipahami bahwa moralitas adalah hal fundamen bagi manusia. Ia ada dan terberi dari proses interaksi primer yang paling intim, bernama keluarga—sedangkan sekolah dalam hal ini adalah pranata interaksi yang bersifat sekunder. Itu berarti anak yang datang ke sekoah, sebenarnya lebih dominan membawa karakternya yang dibentukkan dan diserap oleh keluarga, ketimbang terbentuk di sekolah. Dan ironisnya, para orang tua kadang cenderung cuci tangan untuk melihat hal ini. Jadilah guru yang sebagai objek yang terus dipersakitkan akan hal itu. 

Guru adalah pesakitan. Bukan hanya menjadi objek pesakitan dari masyarakat, tapi juga dipicu oleh perlakuan pemerintah yang bermuka ganda melihat guru. Kebijakan pensejahteraan yang jauh panggang dari api misalnya, hingga perlindungan guru yang minim. Alih-alih, berharap akan perlindungan guru, kebijakan yang hadir justru hanyalah kebijakan-kebijakan yang hanya menempatkan guru sebagai objek liar yang harus dikendalikan. Larangan guru merokok di sekolah contohnya, adalah kebijakan yang tidak terlalu signifikan dalam kaitannya mengangkat martabat guru. Kita paham bahwa ada kebijakan yang harusnya diprioritaskan: kesejahteraan misalnya. Kesejahteraan yang manusiawi adalah faktor penting yang bisa mengangkat kembali martabat guru yang hingga hari ini dipreteli.

Bahkan upaya pemerintah dalam menciptakan status perbedaan di antara guru seperti: guru bantu, guru honorer, guru tidak tetap, dan sebagainya. Bukan lagi dilihat dan ditempatkan berdasarkan fungsinya sekarang ini, tetapi lebih merupakan pembedaan-pembedaan berdasarkan standarisasi kelas sosialnya yang rendah atas upah yang tidak manusiawi. 

Guru, dengan kekuasaannya yang kecil itu, dan dengan kesejahteraan yang memilukan, membuatnya seperti dibuang dalam kasta paling rendah di masyarakat yang sedianya menuankan uang dan materi. Karena itu guru terlalu mudah dipreteli oleh banyak pihak termasuk orang tua murid sendiri. Di alam kapitalisme sekarang, materi adalah ukuran “kasta” seseorang, kehormatan yang dinilai dari materi ini sekonyong-konyong semakin mempreteli profesi kaum-kaum intelektual seperti guru. 

Di salah satu desa tepencil di Kalimantan Barat, yang bernama Sungai Radak, Kamis (19/5) seorang guru bernama Jamilah (39), dicukur oleh orang tua murid, lantaran tidak terima anaknya yang manja itu dicukur oleh sang guru karena dianggap melanggar tata tertib kerapian sekolah. Sebuah perilaku banal yang memalukan sekaligus mempermalukan guru sebagai profesi secara keseluruhan. Segala wujud kasus yang mempermalukan guru, mempreteli hak dan martabat guru seperti kasus di atas, sebenarnya tidak lepas dari buah kebijakan politik (keberpihakan) negara terhadap guru yang sangat lemah. 

Guru dengan ketidaksejahteraannya yang memilukan itu, ditambah dengan alphanya perlindungan negara terhadap guru, seperti sebuah legitimasi oleh pemerintah untuk menempatkan guru di dalam kasta paling rendah di masyarakat. Hidup di masyarakat kapitalis dengan kondisi ekonomi seperti itu, adalah sebuah aib dari sebuah kehormatan yang digadai oleh pandangn-pandangan congkak manusia-manusia yang mempertuankan materi. Sehingga yang terjadi: guru kadang dipandang sebelah mata, hingga diperlakukan dengan cara-cara yang tidak elegan. 

Guru adalah kaum paria baru yang diproduksi ulang di alam kapitalisme saat ini. Ia yang menaggung “paria” (pahit) hidup untuk menyanggah kehidupan sosial berjalan ideal. Guru sudah seperti budak---budak terdidik. Dengan upah 200 ribu-300 ribu perbulan, ia pun harus menanggung sisi-sisi manusiawinya yang dilecehkan. Memotong rambut guru adalah salah satu bentuk pelecehan purba itu. Hal yang sama terjadi pada kasus-kasus pemidanaan guru oleh orang tua murid yang notabene seorang polisi misalnya, terjadi di Bantaeng Sul-Sel, hanya karena guru bersangkutan mencubit siswanya. Hukum seperti jalan pintas dan paling mujarab untuk mengamputasi perlawanan guru, karena ia tahu guru tidak mampu “membeli” hukum itu sendiri. 

Melihat kejadiaan akhir-akhir ini, saya pikir—sepertinya kita terlalu cepat amnesia, untuk mengingat bahwa republik ini didirikan oleh guru. Soekarno dan Tan Malaka saja contohnya: ia seorang guru. Kebijakan yang semakin mempreteli guru, seperti halnya mempreteli para pendiri bangsa kita sendiri. Dari sabang sampai merauke, kita masih menyaksikan dengan mata telanjang nasib para guru yang diambang jauh dari batas perlakuan manusiawi. Secara kesejahteraan Ia bahkan lebih rendah dibanding dengan (saudaranya) para buruh. Kita terlampau mudah menyematkan dirinya sebagai “pahlawan”: pahlawan yang menaggung derita kebijakan yang congkak. 

Di tengah kondisi semakin dipretelinya profesi guru, satu-satunya harapan untuk itu semua adalah kehadiran organisasi-organisasi yang menghimpun guru dalam satu kekuatan. Seperti PGRI dan sebagainya. Organisasi-organisasi inilah yang harus mengambil langkah perlawanan atas sistem yang mempreteli guru. Organ ini harus berjalan lebih progressif. Ketika organ yang ada tidak mampu berbuat lebih untuk guru: segala agenda hanya berakhir dalam ritualitas, diplomasi meja makan para elit organisasi, maka kita guru—semua—sudah seharusnya berpikir selangkah lebih maju dari yang ada, berpikir alternatif mendorong lahirnya organisasi keguruan yang jauh lebih progresif dari yang ada-ada. Organisasi guru yang memang harus lahir, dibentuk, dijalankan bukan oleh pejabat, melainkan para-para guru itu sendiri: guru-guru yang sudah kenyang dengan penindasan! 


Penulis 
Muhammad Ruslan


sumber :  http://www.kompasiana.com/2220/guru-nasibmu-kini_5756d1ef957e61460f34b469