| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Selasa, 21 Maret 2017

RINE


MATANYA terlampau sayu, namun tajam. Gerak-geriknya terlampau sedikit, hampir-hampir datar. Di mata manusia kebanyakan, ia biasa-biasa saja, bahkan-bahkan tak masuk hitungan jari. Manusia-manusia yang dalam sekejap waktu dengan mudahnya menguap dalam ingatan dan kenangan orang kebanyakan.

Untuk ukuran gestur pun demikian. Gestur muka yang hampir-hampir menyamai manusia kebanyakan. Dengan struktur muka yang agak melonjong, dengan kulit kekuning-kunigan. Ia ketika ditempatkan di tempat kerumunan. Butuh berkali-kali untuk melihatnya, untuk baru kemudian orang akan mengingat bahwa ia pernah bertemu dengan dirinya. Memori manusia kebanyakan tak cukup untuk mengingatnya hanya dengan melihatnya sekejap, karena lagi-lagi tak ada sesuatu yang berbeda dari dirinya dari manusia kebanyakan.

Tak ada sesuatu yang menonjol dari dirinya. Pun secara pengetahuan pun demikian. “Rata-rata”, kata orang. Tak berlebih tak pula terlihat berkekurangan. Ya. Mereka tipe-tipe yang tak lama bertahan dalam kenangan orang-orang. Eksistensi hidupnya berada dalam himpitan antara ada dan tiada. Keberadaan dan ketiadaannya tidak mengubah apapun dalam ingatan orang-orang. Ia seperti air dan angin. Mengalir dan berhembus begitu saja.

Tapi, untuk orang aneh demikian---meminjam peyorasi Camus. Bagi manusia-manusia bermata aneh. Ia menarik. ada yang unik sekaligus aneh dari dirinya. Ada potensi terpendam. Sejenis kompleksitas pikir dan pengalaman hidup yang terasa ia pahami dari kehidupannya.

Dari tatapannya ia terlihat berhati-hati, meresapi, dan memahami sudut-sudut pengalaman yang ia lalui. Suatu pengalaman-pengalaman hidup yang diabaikan orang kebanyakan, namun ia tidak. Cara ia merangkul dan mendalami secara dalam akan fenomena-fenomena hidup di sekelilingnya, menjadi menarik. Ia untuk ukuran-ukuran itu selangkah bahkan dua langkah lebih maju ketimbang orang kebanyakan. Karena itu pula ia kadang-kadang terlihat aneh, namun tak teridentifikasi bagi orang kebanyakan.

Lihat.. Cara ia memandang orang lain. Cara ia memandang persoalan. Cara ia mendengar. Cara ia menangkap sesuatu. Dan cara ia bertindak di hadapan orang lain. Tampak kalem begitu saja. Praktis bagi orang kebanyakan, itu biasa-biasa saja. Dan memang benar, tak ada ukuran sensorik yang mampu mendiagnosa keunikan itu. Kecuali untuk ukuran-ukuran dengan sudut pandang yang khusus.

Cara ia memandang sesuatu. Hampir-hampir menembus ketebalan atmosfer paling tebal sekalipun. Kalau manusia kebanyakan rata-rata hanya mampu menembus tirai dengan ketebalan 1 cm, maka ia bisa menembus 3 hingga 4 cm. Ia mememendam potensi humanisme yang menarik. Hanya saja, tembok-tembok sekolah yang terlampau mengkilat menyilaukan potensi-potensi itu. Tembok itu tak mampu memantul-aktualkan potensi itu. Ia hanya bisa terpendam, membeku bersama dinginya pendingin ruangan, hanyut dalam lampu-lampu kepalsuan ruang-ruang suci pengetahuan. Bersama dengan ketulian khotbah-khortbah minggu yang tidak waras.

Beberapa kali suara-suara sumbang itu meluncur. Namun justru berkali-kali pula suara-suara itu membungkamkan diri sendirinya, saat suara nyaring otoritas menghalau segala bentuk suara-suara yang ada dengan labelisasi bak kebisingan-kebisingan subversif. Ia diam. Berdiam diri, seperti manusia yang bersemedi di tengah himpitan kebisingan yang tak beraturan. Mata boleh menyorot ke depan tak berkedip, tapi siapakah yang mampu menghalau imajinasi yang bernak-pinak bebas tak karuan kemana-mana?

Ya. Namanya Rine. Salah satu di antara spesies-spesies yang langka itu. Ia katakan saja seperti badak bercula satu yang keberadaannya hampir-hampir punah. Ia duduk tepat di bangku tengah-tengah dua orang kawan yang menghimpitnya. Dua himpitan manusia dengan kepribadian yang tidak kalah aneh dari dirinya.

Di samping kiri ia diapit seorang yang terlampau datar bahkan hampir-hampir tak ada ekspresi lain selain itu-itu saja. Orang ini saking anehnya. Sedih dan bahagia sama-sama memancarkan ekpsresi yang sama; datar! Sedatar kotak asbak rokok yang sudah penuh dengan abu. Nyaris tanpa ekspresi!

Seorang lagi, seorang penganut nihilisme tingkat dewa. Tak ada semangat apa-apa, selain memancarkan wajah absurdisme hidup yang penuh kesedihan, frustasi, dengan segenap simbol-simbol rasa putus asa lainnya. Suatu pancaran ekspresi dari wajah-wajah manusia-manusia yang sakit akibat rindu tak tertara kepada bantal guling dan kasur yang tak tertara.

Bagi manusia penganut nihilisme tingkat dewa ini, mendengarkan ceramah yang diklaim sebagai belajar itu, dalam benaknya tak lain dan tak bukan dari semacam pihak ketiga yang merampas ia dengan bantal guling! Ini baginya sejenis bentuk penindasan yang paling kejam! Sebab ia percaya bahwa hanya kepada tidurlah manusia benar-benar bebas. Mereka-mereka yang merampas tidur adalah mereka-mereka yang merampas kebebasan!

Kembali ke Rine. Anda boleh bayangkan. Seonggok manusia seperti Rine, mampu berkawan dengan dua orang sebelumnyakan? Dua serpihan orang-orang aneh sebelumnya, hanya mampu diterima keberadaannya kepada orang-orang yang mampu mendamaikan keanehan-keanehan itu. Dan dia adalah Rine.

Dalam satu kesempatan. Ia, Rine, pernah berucap dalam teriakan suara yang tersendat-sendat. Inilah waktu ketika ia tidak lagi dipandang sekadar sebagai air dan angin oleh sekitarnya, melainkan seperti api. Seperti api yang membakar ketulian dan kebutaan manusia waras. Namun tak kunjung orang memahaminya. Ia pernah berteriak dihadapan tembok, ketika suasana sunyi sepi tak seorang pun di sekelilingnya terlihat. Ia berteriak dengan keras sekali;

“Kepada masa depan atau masa silam, kepada suatu masa ketika pikiran benar-benar bebas. Kepada masa ketika belenggu telah dihancurkan. Ketika tembok-tembok otoritas pengetahuan diruntuhkan. Ketika manusia yang tak dianggap bangkit berdiri dan mengayuhkan tuntutan. Ketika orang-orang aneh memberontak merebut takhta dan kekuasaan. Ketika mereka yang yang diabaikan menggenggam batu. Ya.. kepada masa dimana kebenaran dipangku dengan keringat dan rasa mual yang tak tertahan. Kepada masa dimana manusia-manusia seperti kami yang diperkakukan seperti sampar, berteriak; hancurkan otority, bangun egalitarinisme, liberty dan humanitary----inilah masa yang dijanjikan kepada orang-orang sampar, ketika pengetahuan benar-benar menjadi ruang-ruang suci yang memakzulkan penindasan dan kepalsuan. Suatu zaman yang melampaui dari zaman kesepian!!!!”


Waktu hening. Keramaian tiba-tiba berhenti. Beberapa saling pandang mencari arah suara bersumber. Dua orang petugas keamanan, menerobos masuk. Rine dibekuk. Atas dugaan; SAKIT (jiwa)!?***




[Muhammad Ruslan]

Rabu, 01 Maret 2017

Education, It Test Our Memory not Intelligence


DALAM sistem pendidikan seperti foto di atas, pendidikan sekadar menjadi sarana melatih ingatan. Ingatan ditempatkan sebagai bentuk tertinggi dari pencapaian intelektualitas. Bukan pemahaman, apalagi untuk memahami bahwa pendidikan sebagai alat untuk mencipta pengetahuan.
Para pelajar hanya 'diwajibkan' untuk mengingat. Melakukan aktivitas pengulangan-pengulangan dari apa yang dikatakan orang lain sebagai sesuatu yang benar. Mereka (para pelajar) seperti apa yg dikatakan Neil Postman, hampir tidak pernah diminta melakukan apa yang disebut pembedahan intelektual (intelectual operation).

Tak ada penglibatan subjektif dari diri pelajar untuk melakukan pengamatan-pengamatan atau merumuskan definisi-definisi tersendiri terhadap realitas. Selain menerima segala sesuatunya sebagai sesuatu yang terberi (given).
Mereka (para pelajar) diharamkan untuk mempertanyakan hal-hal penting dan mendasar dari proses kehidupan dan belajar itu sendiri. Tabu, subversif, nakal, tidak hormat, pemberontak, adalah label destruktif yang dilekatkan kepada pelajar yang kritis. Pun ketika ada ruang bertanya, maka dengan sendirinya pertanyaan-pertanyaan yang dianggap sebagai pertanyaan hanyalah hal-hal yang terkait dengan persoalan2 administratif dan teknis semata. Itupun harus diterima sebagai sebuah kebenaran doktrinal--diterima apa adanya tanpa perlu dipertanyakan kembali.
Karena itu dengan model persekolahan yang dogmatis seperti ini, mengandalkan memori/ingatan sebagai alat sekaligus pencapaian intelektual. Dengan sistem ujian yang padat dan birokratif, dengan setumpuk tuntutan dan paksaan, tidak heran ketika tingkat stress dan frustasi menjadi penyakit yang inheren dalam tubuh pendidikan kita.
Coba tengok, menjelang banyaknya ujian sekolah atau ujian akhir misalnya (seperti sekarang ini), dengan setumpuk mata pelajaran yang banyak itu, diakhir-akhir tahun seperti ini sekolah praktis berubah menjadi sekadar lembaga bimbingan test. Dengan mengandalkan aktualitas memori yang dipaksakan. Praktis yang lahir dari proses ini hanyalah tekanan bercampur frustasi, stress dan depresi.
Tidak mengherankan, ketika dipenghujung tahun 1978 di AS, sekolah justru dipersamakan dengan pabrik dan barak-barak militer. Ia salah satu lembaga selain pabrik dan barak-barak militer, yang terus menerus dipantau keberadaannya oleh tim-tim psikologi khusus. Sekolah, pabrik, dan barak-barak militer dianggap memiliki pertautan kultural yg sama, dalam menyuplai penyakit-penyakit frustasi, depresi, stress, dan masalah2 kejiwaan yang lain.
Dan ironisnya, sampai sekarang ini yang disebut-sebut sebagai abad milenium (abad kecerdasan), masih banyak diantara kita-kita yang bahkan masih percaya bahwa sekolah ya memang seperti itu! Hehe

[Muhammad Ruslan]