MATANYA terlampau sayu, namun
tajam. Gerak-geriknya terlampau sedikit, hampir-hampir datar. Di mata manusia kebanyakan,
ia biasa-biasa saja, bahkan-bahkan tak masuk hitungan jari. Manusia-manusia
yang dalam sekejap waktu dengan mudahnya menguap dalam ingatan dan kenangan
orang kebanyakan.
Untuk ukuran gestur pun demikian.
Gestur muka yang hampir-hampir menyamai manusia kebanyakan. Dengan struktur
muka yang agak melonjong, dengan kulit kekuning-kunigan. Ia ketika ditempatkan
di tempat kerumunan. Butuh berkali-kali untuk melihatnya, untuk baru kemudian
orang akan mengingat bahwa ia pernah bertemu dengan dirinya. Memori manusia
kebanyakan tak cukup untuk mengingatnya hanya dengan melihatnya sekejap, karena
lagi-lagi tak ada sesuatu yang berbeda dari dirinya dari manusia kebanyakan.
Tak ada sesuatu yang menonjol
dari dirinya. Pun secara pengetahuan pun demikian. “Rata-rata”, kata orang. Tak
berlebih tak pula terlihat berkekurangan. Ya. Mereka tipe-tipe yang tak lama
bertahan dalam kenangan orang-orang. Eksistensi hidupnya berada dalam himpitan antara
ada dan tiada. Keberadaan dan ketiadaannya tidak mengubah apapun dalam ingatan
orang-orang. Ia seperti air dan angin. Mengalir dan berhembus begitu saja.
Tapi, untuk orang aneh
demikian---meminjam peyorasi Camus. Bagi manusia-manusia bermata aneh. Ia menarik.
ada yang unik sekaligus aneh dari dirinya. Ada potensi terpendam. Sejenis kompleksitas
pikir dan pengalaman hidup yang terasa ia pahami dari kehidupannya.
Dari tatapannya ia terlihat
berhati-hati, meresapi, dan memahami sudut-sudut pengalaman yang ia lalui. Suatu
pengalaman-pengalaman hidup yang diabaikan orang kebanyakan, namun ia tidak. Cara
ia merangkul dan mendalami secara dalam akan fenomena-fenomena hidup di sekelilingnya,
menjadi menarik. Ia untuk ukuran-ukuran itu selangkah bahkan dua langkah lebih
maju ketimbang orang kebanyakan. Karena itu pula ia kadang-kadang terlihat
aneh, namun tak teridentifikasi bagi orang kebanyakan.
Lihat.. Cara ia memandang orang
lain. Cara ia memandang persoalan. Cara ia mendengar. Cara ia menangkap
sesuatu. Dan cara ia bertindak di hadapan orang lain. Tampak kalem begitu saja.
Praktis bagi orang kebanyakan, itu biasa-biasa saja. Dan memang benar, tak ada ukuran
sensorik yang mampu mendiagnosa keunikan itu. Kecuali untuk ukuran-ukuran
dengan sudut pandang yang khusus.
Cara ia memandang sesuatu. Hampir-hampir
menembus ketebalan atmosfer paling tebal sekalipun. Kalau manusia kebanyakan
rata-rata hanya mampu menembus tirai dengan ketebalan 1 cm, maka ia bisa
menembus 3 hingga 4 cm. Ia mememendam potensi humanisme yang menarik. Hanya
saja, tembok-tembok sekolah yang terlampau mengkilat menyilaukan
potensi-potensi itu. Tembok itu tak mampu memantul-aktualkan potensi itu. Ia hanya
bisa terpendam, membeku bersama dinginya pendingin ruangan, hanyut dalam lampu-lampu
kepalsuan ruang-ruang suci pengetahuan. Bersama dengan ketulian khotbah-khortbah
minggu yang tidak waras.
Beberapa kali suara-suara sumbang
itu meluncur. Namun justru berkali-kali pula suara-suara itu membungkamkan diri
sendirinya, saat suara nyaring otoritas menghalau segala bentuk suara-suara yang
ada dengan labelisasi bak kebisingan-kebisingan subversif. Ia diam. Berdiam diri,
seperti manusia yang bersemedi di tengah himpitan kebisingan yang tak beraturan.
Mata boleh menyorot ke depan tak berkedip, tapi siapakah yang mampu menghalau
imajinasi yang bernak-pinak bebas tak karuan kemana-mana?
Ya. Namanya Rine. Salah satu di
antara spesies-spesies yang langka itu. Ia katakan saja seperti badak bercula
satu yang keberadaannya hampir-hampir punah. Ia duduk tepat di bangku tengah-tengah
dua orang kawan yang menghimpitnya. Dua himpitan manusia dengan kepribadian yang
tidak kalah aneh dari dirinya.
Di samping kiri ia diapit seorang
yang terlampau datar bahkan hampir-hampir tak ada ekspresi lain selain itu-itu
saja. Orang ini saking anehnya. Sedih dan bahagia sama-sama memancarkan
ekpsresi yang sama; datar! Sedatar kotak asbak rokok yang sudah penuh dengan
abu. Nyaris tanpa ekspresi!
Seorang lagi, seorang penganut
nihilisme tingkat dewa. Tak ada semangat apa-apa, selain memancarkan wajah
absurdisme hidup yang penuh kesedihan, frustasi, dengan segenap simbol-simbol
rasa putus asa lainnya. Suatu pancaran ekspresi dari wajah-wajah
manusia-manusia yang sakit akibat rindu tak tertara kepada bantal guling dan
kasur yang tak tertara.
Bagi manusia penganut nihilisme
tingkat dewa ini, mendengarkan ceramah yang diklaim sebagai belajar itu, dalam
benaknya tak lain dan tak bukan dari semacam pihak ketiga yang merampas ia
dengan bantal guling! Ini baginya sejenis bentuk penindasan yang paling kejam! Sebab
ia percaya bahwa hanya kepada tidurlah manusia benar-benar bebas. Mereka-mereka
yang merampas tidur adalah mereka-mereka yang merampas kebebasan!
Kembali ke Rine. Anda boleh
bayangkan. Seonggok manusia seperti Rine, mampu berkawan dengan dua orang
sebelumnyakan? Dua serpihan orang-orang aneh sebelumnya, hanya mampu diterima
keberadaannya kepada orang-orang yang mampu mendamaikan keanehan-keanehan itu. Dan
dia adalah Rine.
Dalam satu kesempatan. Ia, Rine,
pernah berucap dalam teriakan suara yang tersendat-sendat. Inilah waktu ketika
ia tidak lagi dipandang sekadar sebagai air dan angin oleh sekitarnya,
melainkan seperti api. Seperti api yang membakar ketulian dan kebutaan manusia
waras. Namun tak kunjung orang memahaminya. Ia pernah berteriak dihadapan tembok,
ketika suasana sunyi sepi tak seorang pun di sekelilingnya terlihat. Ia
berteriak dengan keras sekali;
“Kepada masa
depan atau masa silam, kepada suatu masa ketika pikiran benar-benar bebas. Kepada
masa ketika belenggu telah dihancurkan. Ketika tembok-tembok otoritas pengetahuan
diruntuhkan. Ketika manusia yang tak dianggap bangkit berdiri dan mengayuhkan
tuntutan. Ketika orang-orang aneh memberontak merebut takhta dan kekuasaan. Ketika
mereka yang yang diabaikan menggenggam batu. Ya.. kepada masa dimana kebenaran
dipangku dengan keringat dan rasa mual yang tak tertahan. Kepada masa dimana
manusia-manusia seperti kami yang diperkakukan seperti sampar, berteriak;
hancurkan otority, bangun egalitarinisme, liberty dan humanitary----inilah masa
yang dijanjikan kepada orang-orang sampar, ketika pengetahuan benar-benar
menjadi ruang-ruang suci yang memakzulkan penindasan dan kepalsuan. Suatu zaman
yang melampaui dari zaman kesepian!!!!”
Waktu hening. Keramaian tiba-tiba
berhenti. Beberapa saling pandang mencari arah suara bersumber. Dua orang
petugas keamanan, menerobos masuk. Rine dibekuk. Atas dugaan; SAKIT (jiwa)!?***
[Muhammad Ruslan]