| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Rabu, 31 Agustus 2016

Materialitas Pendidikan yang Mendeskreditkan Kemanusiaan

Refleksi atas perjalanan pendidikan kita hingga hari ini membawa kita pada simpul pokok persoalan. Yakni pada peredabatan-perdebatan konsepsional dan paradigmatik akan kemana pendidikan harus berdaras. Konsepsi yang ada kemudian terlihat seperti berjalan pincang karena ketidakmampuan untuk meramu hal-hal yang cenderung bertentangan dalam satu konsepsi utuh. Yang kemudian pada akhirnya hanya melahirkan produk pendidikan dengan karakter ganda. Personalitas ganda yang lahir akibat ketidakjelasan konsepsi utuh yang teramu. 

Ilmu yang ada misalnya tidak mampu menyentuh sisi terintim kemanusiaan, akibat terbentur di titik dasar kenaluriaan. Dalam arti bahwa pendidikan tidak mampu mendamaikan titik-titik pragmatisme dan altruisme manusia. Sistem persekolahan yang ada saat ini lebih dominan hanya mampu memantik kesadaran naluri manusia ketimbang kesadaran terintim ia sebagai manusia dengan segenap realitas kemanusiaannya yang dalam. Kesadaran-kesadaran yang diproduksi hanya mentok pada kesadaran pasar, dengan segenap pragmatisme dan individualisme yang angkuh. 

Apa yang menjadi gambaran ideal tentang bayangan masa depan dalam benak pelajar misalnya selain masa depan yang penuh akumulasi materialistik. Hal itu lahir sebagai hasil konstruksi dari sistem dan arah pendidikan yang berjalan.  Pendidikan yang mahal, dan sistem pendidikan yang menuankan materi secara berangsur-angsur muncul secara rill, secara tidak langsung mengajari pelajar dalam suatu kesadaran tertinggi tentang tujuan hidup yang materialistik dan pragmatis. Sangat sering saya mendengar ungkapan klasik dari pelajar berkata: “Uang yang orang tua keluarkan untuk sekolah sudah sangat banyak, masa nanti cuma digaji seperti buruh?”. 

Di masa muda seperti inilah anak didik hidup dalam pola pikir timbal balik. Doktrin-doktrin bahwa pendidikan adalah investasi untuk mendatangakan materi dalam logika bisnis mengisi ruang idealisme yang terlanjur dibiarkan kosong. Pandangan-pandangan kesadaran yang memilah dan mendiskreditkan manusia berdasarkan indikator-indikator materialistik, yang pada akhirnya memisahkan ia dari persoalan-persoalan kemanusiaan.  Sungguh ironis. Ilmu yang ada ternyata tidak cukup mampu menubuhkan kesadaran-kesadaran sosial yang membebaskan, justru sebaliknya . Pendidikan seperti ini hanya menciptakan cara pandang yang mendiskreditkan manusia, bukannya memantik suatu empati akan khendak untuk membebaskan manusia. Teringat kata Tan Malaka: “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali” . 

Dalam konteks ini lantas kita bertanya: Apa guna pendidikan?, kalau toh kesadaran tertinggi yang ia sajikan hanyalah kesadaran naluri seperti ini? Untuk berpikir tentang akumulasi, materialistik, dan segenap kebahagiaan individu yang dikejar, saya rasa tak perlu dengan pendidikan, kehidupan ini sudah cukup untuk membangkitkan pragmatisme seperti ini. Sama halnya kalau kita bilang: Tak perlu ada seseorang yangmengajari kita tentang keburukan dan penderitaan, kehidupan ini sudah cukup menyajikan hal itu! 

Kesadaran materialistik, mencari kebahagiaan individu semata, asosialis, yang memenuhi kepala pelajar bukan karena pilihan mereka dalam keadaaan sadar, melainkan hasil konstruksi dari sistem pendidikan dan sistem persekolahan yang menjadi akar persoalan. Sekolah dan segena p sistem pendidikan yang ada saat ini bertanggung jawab akan hal ini.  Saya begitu mudah melihat bagaimana aturan sekolah itu diframing dari ide-ide materialistik seperti ini. Bukan hanya iuran sekoah yang mahal, biaya masuk, biaya pembangunan (yang tak ada habisnya), dan sejenisnya, bahkan banyak sekolah yang menetapkan aturan sanksi dalam bentuk denda (uang) bagi siswanya yang melanggar.  

Sanksi sekolah dalam bentuk denda (sejumlah uang) ini, menurut saya adalah salah satu praktik purba yang mengandung absurditas nilai yang fatal dalam sekolah. Selain bias kelas, dalam arti mendiskreditkan siswa dalam kelas-kelas sosial, model ini juga secara tidak langsung menfatwakan seolah-olah bahwa hukum itu bisa dibeli: Dengan mengeluarkan segopoh uang, maka orang bisa terbebas dari sanksi hukum. 

Karena itu kembali lagi, sistem seperti itulah yang harus bertanggung jawab dalam mengalienasikan manusia dari sifat kemanusiaan terintim yang seharusnya menjadi tujuan pendidikan. Sistem yang hanya bisa membangkitkan kesadaran yang membentur naluri.  Dalam konteks lebih luas wacana pendidikan, Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy yang menginginkan penghapusan sekolah gratis, justru semakin menebalkan pesimisme akan nasib pendidikan kita yang semakin materialistik dan menindas ini. Atas nama partisipasi dan logika “gotong royong” yang diwawacanakan Menteri Muhadjir, terkandung logika pasar yang mendiskreditkan hakikat pendidikan dan tanggung jawab negara terhadp pencerdasan kehidupan bangsa itu sendiri. 

Pragmatisme yang melanda produk pendidikan kita hingga hari ini seharusnya dipandang sebagai sebuah persoalan yang serius. Apakah karena pendidikan kita yang berjalan ini memang terlalu lemah untuk bisa diframing dalam satu settingan ideologis? Sehingga kemudian begitu mudahnya pragmatisme dan materialisme ini mengisi relung kesadaran produknya? Dalam konteks ini persoalan pendidikan memang harus kembali mempertanyakan hal-hal mendasar: “Kemana pendidikan ini akan mengarah?”. Apakah ingin maju menemukan formula kemanusiaan baru terhadap pendidikan, ataukah justru mundur mengangkangi kemanusiaan itu sendiri? Dengan segenap pengteknikalisasian dan industrialisasi pendidikan yang terus dijajalkan sebagai konsep ‘baru’. 

Untuk sampai kesana, tidak tepat ketika pendidikan hanya terus dipandang sebagai sebuah pranata birokratis semata. Pendidikan haruslah berlepas diri dari cara pandang birokratis yang mengungkungnya. Memandang pendidikan dalam kerangka birokratis hanya melahirkan konsepsi-konsepsi permukaan, yang sekadar memandang pendidikan sebagai suatu proses formal, namun justru di titik inilah persoalaan-persolan manusiawi dalam pendidikan justru terus terdiskreditkan. Yang pada akhirnya konsep wacana yang ditawarkan hanya mampu berhasil memantik riak pro-kontra, hingga akhirnya berlalu begitu saja. Seperti pada wacana full day school sebelumnya. 

Penulis 
Muhammad Ruslan

Repost: dari: http://www.kompasiana.com/2220/materialitas-pendidikan-yang-mendiskreditkan-kemanusiaan_57c5b8b4bd22bd8c5219c5eb 

Senin, 08 Agustus 2016

Surat dari Seorang Siswa


Kawan-kawan, izinkan saya membagikan surat ini. Surat ini dari seorang siswa, yang ditemukan di kotak saran sebuah sekolah. Membaca surat ini, membuat saya tak habis berpikir: bahwa anak ini cerdas, dan punya kurosiotas yang tinggi. Ia juga kritis. Menurut saya ia seperti sebuah gambaran dari siswa yang meronta menolak belenggu. Suatu realitas yang terjadi akibat pertumbuhan kemanusiaan diri tak mampu diimbangi oleh sistem yang dibangun oleh sekolah.
-------------

(disebar oleh seorang kawan)

Senin 08 Agustus 2016
Kepada ibu (anonym)
Dan guru-guru,

Dengan hormat,

Salam kasih kepada ibu guru, guru-guru, dan siapapun yang membaca surat ini. Tujuan saya menulis surat ini, karena saya memiliki pertanyaan-pertanyaan yang saya bingungkan selama ini. Dan saya juga ingin memberikan saran kepada sekolah.
Saya kerapkali berpikir, kenapa sekolah-sekolah mengajar hanya pada patokan teori buku saja? Padahal teori itu belum tentu benar dan fakta adanya. Terlalu sering saya menemukan buku pelajaran, terutama ekonomi dan sejarah yang mengajarkan fakta yang salah. Mungkin untuk lebih jelasnya lagi saya akan memberikan contoh:
1.      Kisah soekarno
Yang seringkali kita dengar, dia meninggal dengan meninggalkan nama (besar-red) pahlawan Indonesia, tapi tidak ada buku sejarah sekolah yang menjelaskan bahwa soekarno meninggal di tangan rakyat sendiri dengan hukuman sekap (bisa dikatakan penjara) dan tidak boleh menjenguk, kecuali bung hatta.
2.      Perang dunia I dan II yang kita ketahui adalah karena kematian franz Ferdinand, kegagalan LBB, perlombaan Negara maju, politik aliansi, padahal itu adalah hasil propaganda elite global.
3.      Yang kita pelajari NASA, PBB, World Bank adalah organisasi dunia yang berpengaruh, tapi faktanya semua dibuat demi mencapai keuntungan dan membuatnya kembali ke elite global.

Menurut saya banyak teori-teori menyimpang yang saya pelajari di sekolah. Saya tidak berani mengatakan bahwa itu adalah salah karena kekuasaan yang mendefinisikan teori itu benar atau salah. Saya sebagai murid hanya menyarankan agar guru-guru dapat mengajar fakta bukan teori (yang dicetuskan kekuasaan). Karena sama saja hanya mempelajari dan memahami ilmu yang salah.
Saya sebagai murid juga mengerti bahwa kita tidak dapat melawan apa yang telah ditetapkan dan ditulis oleh buku, tapi alangkah baiknya jika dalam pelajaran kita mengetahui yang sebenarnya. Saya juga menyarankan kepada sekolah agar tidak terlalu focus dan tidak melatih murid hanya untuk menghafal buku dan menciptakan system scanner pada kami. Dan menurut peajaran seperti itu hanya ada di sekolah, tidak ada di luar. Jadi, jika kami keluar dari sekolah dengan kata lain lulus, kami bisa dikatakan tidak mendapat apa-apa.
Sekian saran dari saya, sebelumnya saya ingin meminta maaf jika ada kesalahan. Terimah kasih.***



Full Day School

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. sumber foto: www.blajar.co.id

Full day school, begitulah istilah sekaligus kebijakan yang diperkenalkan dan direcanakan Menteri Pendidikan yang baru pasca resufle, Muhadjir Effendy. Apa arti, tak lain adalah upaya untuk menambah durasi sekolah hingga satu hari full. Katanya, berlaku untuk SD dan SMP.
Apakah karena tuntutan kecerdasan yang mendesak? Tentu tidak. Alasannya sederhana, "orang tua anak sibuk kerja, anak tidak terawasi pasca sekolah", begitu kurang lebih jawaban Pak Menteri baru. Agar lebih ilmiah, dibubuhinya dengan lagu lama: "Kualitas pendidikan kita masih sangat lemah, untuk meningkatkan, ya tambah jam sekolah". Kalau masalah ini jangan tanya Pak Menteri tentang data apalagi hasil kajian (?).
"Tidak terawasinya anak pasca sekolah berpotensi terjadi tindakan yang tidak diinginkan". Begitulah gambaran potret buram, gambaran buruk masyarakat di kepala Pak Menteri. Karena itu, full day school semacam safety bagi anak.
Terus, kalau lembaga pendidikan disetting sudah jadi tempat penitipan anak seperti itu, maka apa arti dari proses belajar yang sebenarnya? Sekolah sudah dipersepsi sebagai lingkungan suci untuk terhindar dari realitas luar yang penuh penyimpangan--- dengan menafikan secara total keberadaan sekolah yang juga kadang-kadang menjadi perangkat yang menindas. Atas nama moralitas, ia mengkonstruk pendidikan untuk benar-benar berpisah dari realitasnya. Bagaimana dengan anak, yang orang tuanya bukan pekerja kantoran? Kenapa kebijakan ini seperti hanya mengakomodir pola dan rutinitas hidup kelompok masyarakat tertentu saja?
Bahkan, digadang-gadang oleh Pak Menteri untuk mengatakan bahwa inilah kurang lebih gambaran "restorasi pendidikan" yang ia kata. Suatu ide-ide romantik, yang tak lebih merupakan retorika baru dengan ide lama yang dikonstruksi ulang. Ini hanya menebalkan pesimisme akan nasib pendidikan di tangan produk sistem lama. Bahwa ide-ide lama, seperti full day school tak lebih merupakan ide-ide yang notabene seharusnya lahir dari masyarakat 1 abad lampau. Yang tak senafas lagi dengan tuntutan pendidikan abad kekinian.
Kenapa? Apa yang kita pahami tentang sekolah hari ini? Selain bahwa sekolah harus bekerja secara mekanik, seperti sebuah mesin produksi. Menyerap nilai-nilai pasar, dengan mengukur efektivitas lewat jam produksi yang panjang. Dengan menempatkan target pencapaian sebagai arah dan tujuan, target yang tak lebih merupakan kebutuhan pemerintah bukan kebutuhan anak.
Tapi ada hal yang lupa untuk dilihat, bahwa, kita tidak bisa lagi terus berorientasi hanya melihat pendidikan dari sudut pandang hasil, yakni seprangkat target pengetahuan yang distandardisasi untuk diraih secara paksa. Tapi juga melihat sisi proses: sisi manusiawi dari proses pendidikan yang ada. Dengan realitas pendidikan yang semakin pengap hari ini, dengan setumpuk target dan aturan yang membelenggu anak hari ini, bukankah dengan ide-ide full day school hanya akan menambal belenggu "pengkandangan" anak yang justru memperlebar tergerusnya sisi manusiawi anak. Pendidikan semakin tampak dengan wajah tidak manusiawi dalam konteks ini.
Di tengah kondisi pendidikan kita yang sangat kaku sekarang ini: penuh dengan tuntutan, target, standar, aturan, hingga paksaan yang berujung belenggu, kita justru menambah jam lebih lama untuk menjalani hal itu. Coba, Pak Menteri bertanya: berapa sih anak yang merasa senang dengan jam belajar terlalu lama hari ini? Bahkan Indonesia yang tergolong sebagai negara dengan jam belajar yang lama di dunia, pun tidak juga menghasilkan anak dengn kecerdasan luar biasa. Justru kemungkinan dengan hal itu, sebaliknya ikut menumpulkan kreativitas anak, karena salah satunya ia kehilangan ruang untuk berinteraksi secara luas, karena sistem persekolahan demikian.
Saat ini, arah perjalanan pendidikan, tak melulu harus dilihat dari pencapaian mercusuar atasnya, apalagi kalau hanya dilihat dari target pencapaian positivistik yang diraih. Tetapi juga harus dilihat dan dikonstruksi pada ranah kemanusiaan: "Apakah proses dan sistem pendidikan yang dikonstruk, sudah benar-benar mengakomodasi sisi- sisi manusiawi sang anak?"
Selain itu, karena sekolah dalam konteks ini sudah berfungsi sebagai tempat penitipan anak, maka tak heran kalau Pak Menteri punya ide brilian akan hal itu: Naikkan iuran! "Masyarakat harus tetap berpartisipasi dalam pendidikan," ujarnya bersemangat. Memang ide Pak Menteri sangat demokratis: tak ada yang menyanggah hal itu. Kata "partisipasi" menggambarkan hal itu. Meskipun kata " partisipasi" ini, tak lebih tak kurang bermakna pelibatan masyarakat dalam membiayai pendidikan! Ane buat konsep: lu yang biayai!

penulis
Muhammad Ruslan

repost: catatan facebook (mohammed roeslank)