| one article - one struggle |

Kamis, 05 Mei 2016

Menulis dan Dosa Sosial Kita




 

“Dosa sosial terbesar kaum terpelajar, adalah membiarkan umurnya habis tanpa karya (tulisan)”. 

Begituah kira-kira, salah satu kritik cerdas yang pantas dilontarkan kepada siapapun yang mendaku diri sebagai kaum intelektual atau kaum terpelajar. Eksistensi tulisan seperti roda yang keberadaannya seperti menyambung “nyawa” dari sebuah harapan. Roda yang tak boleh sama sekali dibiarkan terputus. Membiarkannya terputus seperti membiarkan bangsa kita kehilangan diri sendiri.

Nenek moyang kita sudah cukup apik mewariskan nilai-nilai lewat tradisi bertutur. Banyak cerita-cerita yang syarat dengan nilai mengalir dari mulut ke mulut, yang sudah mulai pudar karena tradisi bertutur tidak lagi sesinkron dengan masa kini. Mengandalkan budaya berututur bukan hanya tidak efektif, tapi memang sudah saatnya bergeser arah.

Kalau saja fase kebudayaan kita pilah dalam tahap perkembangannya, maka kita memahami bahwa tradisi literasi adalah perkembangan lanjut dari tradisi bertutur lisan. Perkembangan sebuah peradaban bangsa, dapat dilihat dari seberapa cepat ia mampu menyesuaikan dan mengikuti pola perkembangan tersebut. Dan itu terbukti negara-negara yang selangkah lebih maju dalam hal peradaban, terkait erat dengan kemampuan mereka menyesuaikan dengan budaya literasi. Mirisnya, bangsa kita masih tergolong lambat, setali dengan rendahnya budaya literasi kita. Dalam beberapa penelitian, kita tergolong bangsa yang sangat rendah dalam tradisi literasi.

Mengikat pemahaman dan kesadaran
Menulis termasuk bukan sekadar perkara personal, tetapi juga persoalan kebangsaan. Tentang ilmu dan ideologi yang harus diwariskan. Tentang sejarah, tradisi ataupun budaya yang tak boleh dibiarkan hilang begitu saja atau dibiarkan diselewengkan. Kata Pram, menulis bukan hanya kewajiban personal, tapi juga kewajiban nasional. Dalam tangan Pram, menulis seperti media untuk mewariskan pemahaman tentang diri bangsa, tentang sejarah yang tak boleh diupakan.

Menulis adalah bentuk perlawanan nyata untuk menolak lupa!

Milan Kundera, seorang sastrawan dunia berkebangsaan Cekoslowakia, yang menulis “Kitab Lupa”, seperti ingin mengatakan, bahwa kematian sesungguhnya adalah “lupa” itu sendiri. Yang hilang sekalipun dalam kematian bukanlah tentang masa depan, tetapi tentang masa lalu. Ini bukanlah melakoli sastra semata, tetapi realitas untuk mendudukan bahwa manusia bergantung pada masa lalu. Tak peduli apakah itu adalah tragedi, apalagi ketika itu menyangkut tentang sejarah bangsa, kasus 1965 misalnya, ide-ide rekonsiliasi misalnya tentulah kita tidak bisa memahami sebagai komitmen untuk melupakan sejarah begitu saja. 

Dalam perjalanan bangsa kita, ada banyak realitas sejarah yang kabur dan sengaja dikaburkan. Tak cukup dengan kasus 1965, supersemar dll. Kita yang terlambat dan tak bisa belajar dari sejarah, akan terus berpotensi mengulang sejarah. Dengan menulis, mungkin bisa kembali mengarsipkan banyak memori yang tak boleh dilupakan. Sekali lagi, bahwa, menulis adalah bentuk perlawanan nyata untuk menolak lupa!

Ketika kita menempatkan, bahwa menulis sebagai wujud nyata perlawanan menolak lupa, maka hanya tulisanlah yang bisa menyadarkan kita tentang kita. Ketiadaan alat untuk mengikat nilai, berpotensi akan mempercepat krisis budaya, mendorong lahirnya kita sebagai bangsa yang kehilangan budaya. Hanya bangsa yang kehilangan budayalah, yang mudah didominasi oleh bangsa lain. Generasi masa depan yang kehilangan jati diri, adalah dosa sosial generasi masa kini yang gagal menghidupkan budaya literasi, gagap mengikat hal-hal penting yang harus diwariskan ataupun diluruskan.

Beberapa karya pernah menuliskan realitas “krisis” itu, dan Pramodeya lewat “Teatrologi Pulau Burunya”, secara tidak langsung bertutur tentang hal itu. Terlepas apakah kita sepakat atau tidak, bahwa mental-mental inlander yang melanda bangsa kita sejak dulu, seperti penyakit yang muncul saat kita berada dalam ambang krisis budaya, salah satunya akibat gagalnya kita memahami sejarah dan bangsa sendiri. Gagal memahami bukan hanya karena “keengganan” untuk memahami, tapi juga karena ketiadaan produk literasi yang mencerdaskan. Bahkan disebut-sebut, kalau bangsa kita baru menyadari dirinya terjajah, setelah karya “Max Havelar” Maltatuli sampai di tangan sebagian kaum terpelajar saat itu. 

Dalam konteks inilah, kita berusaha menempatkan pada tempat yang layak, bahwa hanya budaya literasi yang bisa mendorong kita kembali pada kemajuan. Literasi, bukan sekadar ditempatkan sebagai wadah untuk mewarisi pengetahuan semata, tetapi pemahaman, yang dapat mendorong budaya diskursus “mencari” dan menemukan realitas akan ide-ide baru. 

Sejarah bangsa sendiri, cukup apik menceritakan bagaimana pertautan perkenalan dunia literasi, menjadi momentum kebangkitan bangsa. Kita mengenal Tan Malaka, Kartini dll. Bahkan Pram dalam “Teatrologi Pulau Burunya” menempatkan kesadaran literasi sebagai titik tolak kebangkitan nasional. Lewat literasi kita berani dan memiliki kekuatan untuk bangkit. Ide-ide dan gagasan progresif, betul-betul beranak-pinak lewat literasi, menyebar dan membakar hingga ke ubun-ubun. Dari literasi berujung pada semangat agitasi.

Realitas
Namun, tak cukup hanya data statisitik untuk menunjukkan rendahnya budaya literasi kita. Sangat mudah dijumpai, disekolah-sekolah misalnya, tradisi bertutur tulis sangatlah rendah. Para pelajar lebih asyik untuk mendengarkan dan membicarakan ketimbang menuliskan. 

Sekolah belum mampu membangkitkan tradisi literasi. Setali dengan gagalnya untuk mebangkitkan budaya baca. 

Meski kita paham bahwa “Yang terucap akan hilang terbawa angin, hanya yang tertulislah yang abadi”.  Namun, kurikulum sekolah memang tidak mengarah pada hal-hal yang bisa melangkah dalam budaya literasi tersebut. Kita akui, bahwa ditingkat operasional pun, penddikan kita masih berlatar budaya bisu: mendengarkan dan patuh. Tak ada selain itu.

Pembelajaran-pembelajaran sejarah sekalipun di sekolah, hanya dipelajari penuh hafalan. Ia hanya ditempatkan sebgai pengetahuan akan peristiwa masa lalu, yang bahkan terpisah-pisah. Bukan sebagai pemahaman, yang memiliki keterkaitan dasar satu sama lain. Pembelajaran sejarah tidak mengajarkan pelajar untuk “belajar” dari sejarah, termasuk menemukan pertautan kebangkitan bangsa kita dengan tradisi literasi.

Aku menulis maka aku ada
Di tingkat kesadaran personal, ada banyak alasan untuk menulis. Tidak hanya belajar menstrukturkan pikiran, juga kebutuhan psikologi di tengah interkasi sosial yang serba pragmatis, “mengeringkan” kehidupan. Menulis menjadi jalan semedi bagi sebagian manusia. 

Selain itu, sebagian menempatkan menulis syarat untuk menegaskan realitas ke’aku’an. Apa lagi di era media sosial sekarang ini.

Kundera pernah berkata, “Setiap individu tanpa terkecuali mengandung penulis potensial dalam dirinya, dan seluruh umat manusia punya hak untuk bergega turun ke jalan dan menerikkan, ‘kami semua adalah penulis’! Alasannya adalah bahwa setiap orang sulit menerima kenyataan bahwa ia akan lenyap terdengar dari dan tak dihiraukan dalam dunia yang acuh tak acuh, dan setiap orang ingin mengubah dirinya menjadi alam kata-kata sebelum terlambat”.

Mengingat kata Pram, menulis untuk keabadian. Hanya dengan menulis manusia bisa memperpanjang umurnya. Kita tentu akan terus mengingat tokoh-tokoh seperti Pram atau Tan Malaka. Ia hidup dibenak banyak orang karena tulisan-tulisannya. Mereka telah merangkul segala zaman dalam genggamannya lewat tulisan. Mereka sudah terbebas dari “dosa sosial” untuk meluruskan dan mewariskan banyak hal. Kata-kata Tan Malaka, bahwa, suaranya lebih lantang dari dalam kubur dibanding di atas tanah, benar-benar terbukti!

Lagi-lagi, kita mesti belajar kembali lagi dari sejarah!
Kita menulis, karena kita semua adalah pelaku sejarah, masa kini untuk masa akan datang!


Muhammad Ruslan


0 komentar:

Posting Komentar