
“Dosa sosial terbesar kaum terpelajar, adalah membiarkan
umurnya habis tanpa karya (tulisan)”.
Begituah kira-kira, salah satu kritik cerdas yang pantas dilontarkan
kepada siapapun yang mendaku diri sebagai kaum intelektual atau kaum
terpelajar. Eksistensi tulisan seperti roda yang keberadaannya seperti
menyambung “nyawa” dari sebuah harapan. Roda yang tak boleh sama sekali
dibiarkan terputus. Membiarkannya terputus seperti membiarkan bangsa kita
kehilangan diri sendiri.
Nenek moyang kita sudah cukup apik mewariskan nilai-nilai
lewat tradisi bertutur. Banyak cerita-cerita yang syarat dengan nilai mengalir
dari mulut ke mulut, yang sudah mulai pudar karena tradisi bertutur tidak lagi
sesinkron dengan masa kini. Mengandalkan budaya berututur bukan hanya tidak
efektif, tapi memang sudah saatnya bergeser arah.
Kalau saja fase kebudayaan kita pilah dalam tahap
perkembangannya, maka kita memahami bahwa tradisi literasi adalah perkembangan
lanjut dari tradisi bertutur lisan. Perkembangan sebuah peradaban bangsa, dapat
dilihat dari seberapa cepat ia mampu menyesuaikan dan mengikuti pola
perkembangan tersebut. Dan itu terbukti negara-negara yang selangkah lebih maju
dalam hal peradaban, terkait erat dengan kemampuan mereka menyesuaikan dengan
budaya literasi. Mirisnya, bangsa kita masih tergolong lambat, setali dengan
rendahnya budaya literasi kita. Dalam beberapa penelitian, kita tergolong
bangsa yang sangat rendah dalam tradisi literasi.
Mengikat pemahaman
dan kesadaran
Menulis termasuk bukan sekadar perkara personal, tetapi juga
persoalan kebangsaan. Tentang ilmu dan ideologi yang harus diwariskan. Tentang sejarah,
tradisi ataupun budaya yang tak boleh dibiarkan hilang begitu saja atau
dibiarkan diselewengkan. Kata Pram, menulis bukan hanya kewajiban personal,
tapi juga kewajiban nasional. Dalam tangan Pram, menulis seperti media untuk
mewariskan pemahaman tentang diri bangsa, tentang sejarah yang tak boleh
diupakan.
Menulis adalah bentuk perlawanan nyata untuk menolak lupa!
Milan Kundera, seorang sastrawan dunia berkebangsaan Cekoslowakia,
yang menulis “Kitab Lupa”, seperti ingin mengatakan, bahwa kematian
sesungguhnya adalah “lupa” itu sendiri. Yang hilang sekalipun dalam kematian
bukanlah tentang masa depan, tetapi tentang masa lalu. Ini bukanlah melakoli
sastra semata, tetapi realitas untuk mendudukan bahwa manusia bergantung pada
masa lalu. Tak peduli apakah itu adalah tragedi, apalagi ketika itu menyangkut
tentang sejarah bangsa, kasus 1965 misalnya, ide-ide rekonsiliasi misalnya
tentulah kita tidak bisa memahami sebagai komitmen untuk melupakan sejarah
begitu saja.
Dalam perjalanan bangsa kita, ada banyak realitas sejarah
yang kabur dan sengaja dikaburkan. Tak cukup dengan kasus 1965, supersemar dll.
Kita yang terlambat dan tak bisa belajar dari sejarah, akan terus berpotensi
mengulang sejarah. Dengan menulis, mungkin bisa kembali mengarsipkan banyak
memori yang tak boleh dilupakan. Sekali lagi, bahwa, menulis adalah bentuk
perlawanan nyata untuk menolak lupa!
Ketika kita menempatkan, bahwa menulis sebagai wujud nyata
perlawanan menolak lupa, maka hanya tulisanlah yang bisa menyadarkan kita
tentang kita. Ketiadaan alat untuk mengikat nilai, berpotensi akan mempercepat
krisis budaya, mendorong lahirnya kita sebagai bangsa yang kehilangan budaya. Hanya
bangsa yang kehilangan budayalah, yang mudah didominasi oleh bangsa lain. Generasi
masa depan yang kehilangan jati diri, adalah dosa sosial generasi masa kini
yang gagal menghidupkan budaya literasi, gagap mengikat hal-hal penting yang
harus diwariskan ataupun diluruskan.
Beberapa karya pernah menuliskan realitas “krisis” itu, dan Pramodeya
lewat “Teatrologi Pulau Burunya”, secara tidak langsung bertutur tentang hal
itu. Terlepas apakah kita sepakat atau tidak, bahwa mental-mental inlander yang melanda bangsa kita sejak
dulu, seperti penyakit yang muncul saat kita berada dalam ambang krisis budaya,
salah satunya akibat gagalnya kita memahami sejarah dan bangsa sendiri. Gagal memahami
bukan hanya karena “keengganan” untuk memahami, tapi juga karena ketiadaan
produk literasi yang mencerdaskan. Bahkan disebut-sebut, kalau bangsa kita baru
menyadari dirinya terjajah, setelah karya “Max Havelar” Maltatuli sampai di
tangan sebagian kaum terpelajar saat itu.
Dalam konteks inilah, kita berusaha menempatkan pada tempat
yang layak, bahwa hanya budaya literasi yang bisa mendorong kita kembali pada
kemajuan. Literasi, bukan sekadar ditempatkan sebagai wadah untuk mewarisi
pengetahuan semata, tetapi pemahaman, yang dapat mendorong budaya diskursus “mencari”
dan menemukan realitas akan ide-ide baru.
Sejarah bangsa sendiri, cukup apik menceritakan bagaimana
pertautan perkenalan dunia literasi, menjadi momentum kebangkitan bangsa. Kita mengenal
Tan Malaka, Kartini dll. Bahkan Pram dalam “Teatrologi Pulau Burunya” menempatkan
kesadaran literasi sebagai titik tolak kebangkitan nasional. Lewat literasi
kita berani dan memiliki kekuatan untuk bangkit. Ide-ide dan gagasan progresif,
betul-betul beranak-pinak lewat literasi, menyebar dan membakar hingga ke
ubun-ubun. Dari literasi berujung pada semangat agitasi.
Realitas
Namun, tak cukup hanya data statisitik untuk menunjukkan
rendahnya budaya literasi kita. Sangat mudah dijumpai, disekolah-sekolah
misalnya, tradisi bertutur tulis sangatlah rendah. Para pelajar lebih asyik untuk
mendengarkan dan membicarakan ketimbang menuliskan.
Sekolah belum mampu membangkitkan tradisi literasi. Setali dengan
gagalnya untuk mebangkitkan budaya baca.
Meski kita paham bahwa “Yang terucap akan hilang terbawa angin,
hanya yang tertulislah yang abadi”. Namun,
kurikulum sekolah memang tidak mengarah pada hal-hal yang bisa melangkah dalam
budaya literasi tersebut. Kita akui, bahwa ditingkat operasional pun, penddikan
kita masih berlatar budaya bisu: mendengarkan dan patuh. Tak ada selain itu.
Pembelajaran-pembelajaran sejarah sekalipun di sekolah,
hanya dipelajari penuh hafalan. Ia hanya ditempatkan sebgai pengetahuan akan
peristiwa masa lalu, yang bahkan terpisah-pisah. Bukan sebagai pemahaman, yang
memiliki keterkaitan dasar satu sama lain. Pembelajaran sejarah tidak
mengajarkan pelajar untuk “belajar” dari sejarah, termasuk menemukan pertautan
kebangkitan bangsa kita dengan tradisi literasi.
Aku menulis maka aku
ada
Di tingkat kesadaran personal, ada banyak alasan untuk menulis.
Tidak hanya belajar menstrukturkan pikiran, juga kebutuhan psikologi di tengah
interkasi sosial yang serba pragmatis, “mengeringkan” kehidupan. Menulis menjadi
jalan semedi bagi sebagian manusia.
Selain itu, sebagian menempatkan menulis syarat untuk
menegaskan realitas ke’aku’an. Apa lagi di era media sosial sekarang ini.
Kundera pernah berkata, “Setiap individu tanpa terkecuali
mengandung penulis potensial dalam dirinya, dan seluruh umat manusia punya hak
untuk bergega turun ke jalan dan menerikkan, ‘kami semua adalah penulis’! Alasannya
adalah bahwa setiap orang sulit menerima kenyataan bahwa ia akan lenyap terdengar
dari dan tak dihiraukan dalam dunia yang acuh tak acuh, dan setiap orang ingin
mengubah dirinya menjadi alam kata-kata sebelum terlambat”.
Mengingat kata Pram, menulis untuk keabadian. Hanya dengan
menulis manusia bisa memperpanjang umurnya. Kita tentu akan terus mengingat
tokoh-tokoh seperti Pram atau Tan Malaka. Ia hidup dibenak banyak orang karena
tulisan-tulisannya. Mereka telah merangkul segala zaman dalam genggamannya
lewat tulisan. Mereka sudah terbebas dari “dosa sosial” untuk meluruskan dan
mewariskan banyak hal. Kata-kata Tan Malaka, bahwa, suaranya lebih lantang dari
dalam kubur dibanding di atas tanah, benar-benar terbukti!
Lagi-lagi, kita mesti belajar kembali lagi dari sejarah!
Kita menulis, karena kita semua adalah pelaku sejarah, masa kini untuk masa akan datang!
Kita menulis, karena kita semua adalah pelaku sejarah, masa kini untuk masa akan datang!
Muhammad Ruslan
sumber: repost: http://www.kompasiana.com/2220/menulis-dan-dosa-sosial-kita_572b71628223bd1009100233
0 komentar:
Posting Komentar