| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Selasa, 24 Mei 2016

Pembacaan Struktural Atas Kasus Kekerasan Guru: Berkaca pada Kasus Nurmayani

sumber gambar: www.majalahkartini.co.id



Kasus pemukulan guru terhadap siswa yang berujung pada ancaman pidana, yang marak belakangan
ini terjadi, memunculkan kembali wajah ironi pendidikan yang berjalan saat ini. Kasus Nurmayani Salam, seorang guru SMP di Bantaeng Sul-Sel yang kini mendekam dalam bui (12/5). Hanya berselang hari setelah itu kasus yang sama kembali ter-publish, kejadian menimpa Muh Arsal, guru asal Bantaeng, juga tersandung kasus yang sama: pemukulan, yang berujung gugatan penyeleseian lewat hukum.

Membaca hal itu, setidaknya ada dua pokok persoalan dasar yang terjadi. Yang pertama adalah kasus pemukulan atau kekerasan terhadap siswa. Kasus ini bisa dianggap sebagai hal yang bukan kali ini saja terjadi, ia memiliki pertautan pola dengan banyaknya kasus-kasus yang pernah terjadi, hanya saja masyarakat melihatnya dari sudut pandang yang berbeda saat itu dengan ketika hal itu terjadi saat ini. Persoalan kedua adalah persoalan pidana. Kekerasan yang dipidanankan. Pendisiplinan dengan tangan oleh  guru terhadap siswa saat ini, sudah bisa terkategorikan sebagai praktik kekerasan. Hal ini tidak lepas dari perubahan cara pandang masyarakat dan tentunya negara lewat perangkat aturan yang mengatur hal ini, sebagai bagian dari dinamika politik pendidikan yang berjalan.

Membaca persoalan ini (kekerasan guru terhadap siswa yang berujung pidana), belum utuh ketika hanya sampai pembacaan lewat pendekatan personal apalagi pendekatan moral, tetapi harus melampaui hal itu, yakni masuk lewat pembacaan struktural atasnya. Tulisan ini mencoba menelisik lewat hal itu.

Produk kesadaran orde yang berbeda

Munculnya riak kekerasan yang berujung pada jalur hukum ini, bukan kali ini saja terjadi. Mungkin di masa-masa yang lalu, praktik yang sama lebih intens terjadi, akan tetapi upaya untuk “memperkasuskan” hal itu lewat jalur hukum, menjadi fenomena lain tersendiri saat ini di tengah alam demokrasi yang mengharuskan kesetaraan sebagai warisan nilai orde reformasi.

Ini menjadi  bentuk nyata terjadinya kontradiksi yang ada, berujung pada gesekan dari sebuah realitas pemahaman yang berbeda dengan realitas tuntutan kekinian. Guru yang merupakan  produk tatanan lama, dengan realitas pendidikan dan siswa yang hidup dalam tatanan budaya baru. Guru dengan kesadaran pedagogi orde baru yang serba militeristik, berbenturan dengan tuntutan kesadaran demokrasi dan egaliter ditubuh pendidikan yang menjadi warisan orde reformasi.

Memang tak mudah, seorang guru yang dibentuk dan dihasilkan oleh zaman orde baru untuk bisa menyesuaikan dengan tuntutan metode pendidikan yang dituntut di alam reformasi saat ini. Perubahan orde tersebut, juga ikut merubah tatanan hubungan guru-murid. Otoritas guru terhadap murid sedikit demi sedikit ditanggalkan. Ini seperti, sulitnya para militer yang pernah hidup di alam politik orde baru dengan segenap otoritasnya, untuk bisa menyesuaikan perannya di era reformasi yang menjunjung tinggi kekuatan sipil saat ini. Itu terbukti dari kisruh politik yang terjadi belakangan ini (isu kebangkitan PKI), yang melibatkan TNI akhir-akhir ini.

Saya sering kali bertemu guru-guru yang dididik di era orde baru, mengajar sampai saat ini. Dan saat saya ajak untuk berdiskusi dengan kondisi pendidikan saat ini, hampir semua berakhir dalam romantika masa lalu, suatu romantika otoritas atas tatanan pedagogi yang militeristik ala orde baru yang dianggap ideal. Gagasan pendidsiplinan yang paling dikedepankan itu, tidak lepas dan tidak pernah alpha dari definisi-definisi “kekerasaan” dari sudut pandang kekinian.

Karena itu, sangat nampak , para guru yang tejerat kasus yang sama dengan Guru Nurmayani, hampir didominasi oleh guru-guru yang secara pedagogi terbentuk di era orde baru, dijerat dengan aturan yang disemai di orde reformasi. Memang cukup mengundang empati sekaligus dilema.

Empati dan dilema
                                                                                                                                                                            
Empati, saat seorang guru “dipenjarakan” oleh siswanya sendiri. Kita, dengan masyarakat kita, yang masih kental dengan budaya paternalisme-nya, akan memandang hal itu sebagai ironi kalau bukan bentuk “kedurhakaan” siswa terhadap guru. Tetapi, di satu sisi perjalanan demokrasi dan emasipasi sebagai nilai yang harus dijunjung tinggi, termasuk di dunia pendidikan, seolah menafikan hal itu. Sebagai kaum terpelajar tentu kita akan melihat dan mengakui pula bahwa ada hak-hak siswa sekalipun yang harus dihormati. Konsep egalitarianisme ini, adalah pendobrakan atas tatanan feodalisme dalam pendidikan, dengan menempatkan anak pada tempat yang layak dan manusiawi, yang mana hak-haknya harus dijaga, termasuk keberadaan hukum yang harus melindunginya dari praktik kekerasan guru atas nama otoritas.

Dilema ini muncul sebenarnya merepresentasikan antara tuntutan nilai-nilai baru yang ingin dijunjung tinggi dalam pendidikan, bertautan dalam persinggungan dengan lambangnya penerimaan masyarakat atas nilai tersebut. Ini seperti demokrasi di segala bidang yang turun dari atas, masih terbentur dengan pemahaman dan penerimaan di tingkat masyarakat, yang masih berada dalam zona pikir yang lama (feodal). Termasuk di bidang pendidikan.

Kasus Nurmayani ini menggambarkan hal itu, masyarakat lebih banyak menyebut dan menimpakan kasus “dipenjarakannya guru” sebagai hal-hal yang keterlaluan bahkan dianggap tidak manusiawi. Meskipun dari sudut pandang “kesetaraan guru-murid” kekerasan guru juga adalah bentuk hal-hal tidak manusiawi terhadap siswa, karena itu kekerasan tidak bisa berpaling jauh dari pidana. Lagi-lagi, perbedaan pandang ini, mirip perdebatan-perdebatan kaum tradisionalis versus kaum modernis dalam memandang persoalan.

Politik pendidikan dalam hubungan guru dan siswa

Dalam upaya mengurai keterhubungan normatif antara guru dan siswa, kita tidak bisa melepaskan dari politik pendidikan yang berjalan lewat kebijakan-kebijakan pendidikan dalam rentang history yang berbeda. Kalau kita bandingkan hubungan guru-siswa di zaman Belanda (khsususnya sekolah-sekolah Eropa Belanda) saat itu, akan nampak hubungan guru-siswa merepresentasikan budaya Eropa yang penuh egaliter antara tuan guru dan tuan siswa. Terlepas dari politik diskriminatif yang terjadi dalam mengakses pendidikan saat itu.

Sedangkan pengelolaan pendidikan oleh pribumi, banyak tidaknya tidak bisa lepas dari tatanan budaya yang masih berkarakter hirarki. Hubungan guru-siswa terpola dalam garis otoritas, khususnya otoritas karena faktor budaya. Di surau-surau misalnya hubungan kiai-santri merepresentasikan hal itu.

Karakter hubungan hierarkisasi tersebut semakin menguat lewat pertautannya dengan budaya paternalisme masyarakat yang dikuatkan sejak orde baru. Orde baru berhasil mengkonstruksi hubungan guru-siswa dalam hubungan otoritas penjinakan yang paling intim dalam ikatan “orang tua-anak atau bapak-anak” dalam pendidikan.

Konstruksi ikatan “hubungan bapak-anak” yang melekat dalam pendidikan saat ini, tidak lepas dari atmosfir politik orde baru yang dihembuskan Soeharto saat itu. Suatu tatanan politik yang penuh dengan kebiajakan-kebijakan penjinakkan, hingga pembungkaman, tak terkecuali kebijakan politik itu masuk di ranah ruang kesadaran paling intim bernama pendidikan yang menciptakan hubungan guru-siswa sebagai representasi hubungan bapak-anak.

Seperti lazimnya bapak terhadap anak, anak menjadi objek yang dikuasai, dimana bapak dengan otoritas yang penuh, sedangkan anak direpresentasikan sebagai keberadaan yang harus patuh dan taat. Seperti halnya Soeharto yang merepresentasikan diri sebagai “bapak” pembangunan, dan memposisikan rakyat sebagai “anak” yang harus mengikut, tidak boleh membantah apalagi melawan sang bapak. Sebuah kebijakan politik penjinakkan atas nama stabilisasi, yang berujung pembungkaman hingga kekerasan (represif). Dan secara politik pendidikan, model-model ini disemai lewat tradisi pedagogi yang bertendensi maskulin, penuh dengan otoritas, penguasaan, dan pendisiplinan yang berbaur dengan budaya paternalisme (kebapakan), yang secara tidak langsung memberi pendasaran-pendasaran kultural terjadinya “legalisasi” praktik “kekerasan” dalam pendidikan.

Namun saat orde reformasi, dimana isu-isu tentang kesetaraan dan HAM sudah merembes, mempengaruhi segala bidang, tak terkecuali dalam pendidikan itu sendiri. Konstruksi kebapakan dalam relasi guru-siswa juga sepertinya mengalami perubahan penafsiran yang signifikan, seiring dengan disemainya ide-ide tentang kesetaran dan HAM itu sendiri. Guru dengan otoritasnya (khususnya dalam memberi sanksi) sedikit demi sedikit dilucuti. Berkaca pada kasus Nurmayani, cubitan sebagai upaya pendisiplinan, justru bisa berujung pada persoalan pidana, terkategorikan sebagai praktik kekerasan. Hal ini tiada lain merupakan upaya untuk menerjemahkan hubungan kesetaraan guru-murid itu sendiri.

Hubungan kesetaraan guru-murid, bukan hanya ada dalam ruang lingkup pemberian sanksi yang sangat dibatasi bentuknya, tapi juga memang sudah menjalar ke berbagai aspek sistem pendidikan itu sendiri. Seperti metode pembelajaran, dll. Tuntutan-tuntutan perubahan metode pembelajaran di sekolah sudah sangat menjauh dari praktik pembelajaran orde baru yang terus memposisikan siswa sebagai anak yang harus dikontrol dan dikuasai, atau dilucuti perangai kekuasaan siswa. Tuntutan itu mengarah, lagi-lagi pada lahirnya konsep pembelajaran yang memposisikan siswa dalam pola kesetaraan. Kesetaraan hubungan guru-siswa  yang terpola dalam hubungan subjek-subjek, bukan lagi subjek-objek.

Kegagalan memahami hingga kegagalan menerjemahkan konsep-konsep perubahan mendasar politik pendidikan ini bagi guru, bisa saja berujung sama dengan kasus-kasus Nurmayani untuk yang lain. Mendorong kembali lahirnya gesekan-gesekan yang hanya akan memperpanjang kasus kekerasan yang berujung pemidanaan guru oleh siswanya sendiri. Apalagi di saat sekolah dan kondisi pendidikan hari ini yang semakin kering secara ideologi, suatu ironi saat hubungan sekolah, guru, dan siswa semakin kehilangan dimensi hubungan ideologisnya. Hubungan ini semakin pragmatis, berkarakter transaksional. Ini tidak lepas sebagai sisi lain dari perjalanan arah pendidikan yang semakin mendekatkan diri pada pasar, yang justru menjauh dari hal-hal yang bersifat ideologis saat ini. Ikatan guru-siswa menjadi longgar, empati makin hilang, “tanpa rasa bersalah dari lubuk nurani” seorang guru bisa dengan mudahnya melakukan praktik kekerasan terhdap muridnya sendiri, di saat yang sama seorang anak yang juga “tanpa rasa bersalah dari lubuk nurani” dengan mudahnya menuntut gurunya sendiri lewat pidana.


Muhammad Ruslan


Kamis, 05 Mei 2016

Menulis dan Dosa Sosial Kita




 

“Dosa sosial terbesar kaum terpelajar, adalah membiarkan umurnya habis tanpa karya (tulisan)”. 

Begituah kira-kira, salah satu kritik cerdas yang pantas dilontarkan kepada siapapun yang mendaku diri sebagai kaum intelektual atau kaum terpelajar. Eksistensi tulisan seperti roda yang keberadaannya seperti menyambung “nyawa” dari sebuah harapan. Roda yang tak boleh sama sekali dibiarkan terputus. Membiarkannya terputus seperti membiarkan bangsa kita kehilangan diri sendiri.

Nenek moyang kita sudah cukup apik mewariskan nilai-nilai lewat tradisi bertutur. Banyak cerita-cerita yang syarat dengan nilai mengalir dari mulut ke mulut, yang sudah mulai pudar karena tradisi bertutur tidak lagi sesinkron dengan masa kini. Mengandalkan budaya berututur bukan hanya tidak efektif, tapi memang sudah saatnya bergeser arah.

Kalau saja fase kebudayaan kita pilah dalam tahap perkembangannya, maka kita memahami bahwa tradisi literasi adalah perkembangan lanjut dari tradisi bertutur lisan. Perkembangan sebuah peradaban bangsa, dapat dilihat dari seberapa cepat ia mampu menyesuaikan dan mengikuti pola perkembangan tersebut. Dan itu terbukti negara-negara yang selangkah lebih maju dalam hal peradaban, terkait erat dengan kemampuan mereka menyesuaikan dengan budaya literasi. Mirisnya, bangsa kita masih tergolong lambat, setali dengan rendahnya budaya literasi kita. Dalam beberapa penelitian, kita tergolong bangsa yang sangat rendah dalam tradisi literasi.

Mengikat pemahaman dan kesadaran
Menulis termasuk bukan sekadar perkara personal, tetapi juga persoalan kebangsaan. Tentang ilmu dan ideologi yang harus diwariskan. Tentang sejarah, tradisi ataupun budaya yang tak boleh dibiarkan hilang begitu saja atau dibiarkan diselewengkan. Kata Pram, menulis bukan hanya kewajiban personal, tapi juga kewajiban nasional. Dalam tangan Pram, menulis seperti media untuk mewariskan pemahaman tentang diri bangsa, tentang sejarah yang tak boleh diupakan.

Menulis adalah bentuk perlawanan nyata untuk menolak lupa!

Milan Kundera, seorang sastrawan dunia berkebangsaan Cekoslowakia, yang menulis “Kitab Lupa”, seperti ingin mengatakan, bahwa kematian sesungguhnya adalah “lupa” itu sendiri. Yang hilang sekalipun dalam kematian bukanlah tentang masa depan, tetapi tentang masa lalu. Ini bukanlah melakoli sastra semata, tetapi realitas untuk mendudukan bahwa manusia bergantung pada masa lalu. Tak peduli apakah itu adalah tragedi, apalagi ketika itu menyangkut tentang sejarah bangsa, kasus 1965 misalnya, ide-ide rekonsiliasi misalnya tentulah kita tidak bisa memahami sebagai komitmen untuk melupakan sejarah begitu saja. 

Dalam perjalanan bangsa kita, ada banyak realitas sejarah yang kabur dan sengaja dikaburkan. Tak cukup dengan kasus 1965, supersemar dll. Kita yang terlambat dan tak bisa belajar dari sejarah, akan terus berpotensi mengulang sejarah. Dengan menulis, mungkin bisa kembali mengarsipkan banyak memori yang tak boleh dilupakan. Sekali lagi, bahwa, menulis adalah bentuk perlawanan nyata untuk menolak lupa!

Ketika kita menempatkan, bahwa menulis sebagai wujud nyata perlawanan menolak lupa, maka hanya tulisanlah yang bisa menyadarkan kita tentang kita. Ketiadaan alat untuk mengikat nilai, berpotensi akan mempercepat krisis budaya, mendorong lahirnya kita sebagai bangsa yang kehilangan budaya. Hanya bangsa yang kehilangan budayalah, yang mudah didominasi oleh bangsa lain. Generasi masa depan yang kehilangan jati diri, adalah dosa sosial generasi masa kini yang gagal menghidupkan budaya literasi, gagap mengikat hal-hal penting yang harus diwariskan ataupun diluruskan.

Beberapa karya pernah menuliskan realitas “krisis” itu, dan Pramodeya lewat “Teatrologi Pulau Burunya”, secara tidak langsung bertutur tentang hal itu. Terlepas apakah kita sepakat atau tidak, bahwa mental-mental inlander yang melanda bangsa kita sejak dulu, seperti penyakit yang muncul saat kita berada dalam ambang krisis budaya, salah satunya akibat gagalnya kita memahami sejarah dan bangsa sendiri. Gagal memahami bukan hanya karena “keengganan” untuk memahami, tapi juga karena ketiadaan produk literasi yang mencerdaskan. Bahkan disebut-sebut, kalau bangsa kita baru menyadari dirinya terjajah, setelah karya “Max Havelar” Maltatuli sampai di tangan sebagian kaum terpelajar saat itu. 

Dalam konteks inilah, kita berusaha menempatkan pada tempat yang layak, bahwa hanya budaya literasi yang bisa mendorong kita kembali pada kemajuan. Literasi, bukan sekadar ditempatkan sebagai wadah untuk mewarisi pengetahuan semata, tetapi pemahaman, yang dapat mendorong budaya diskursus “mencari” dan menemukan realitas akan ide-ide baru. 

Sejarah bangsa sendiri, cukup apik menceritakan bagaimana pertautan perkenalan dunia literasi, menjadi momentum kebangkitan bangsa. Kita mengenal Tan Malaka, Kartini dll. Bahkan Pram dalam “Teatrologi Pulau Burunya” menempatkan kesadaran literasi sebagai titik tolak kebangkitan nasional. Lewat literasi kita berani dan memiliki kekuatan untuk bangkit. Ide-ide dan gagasan progresif, betul-betul beranak-pinak lewat literasi, menyebar dan membakar hingga ke ubun-ubun. Dari literasi berujung pada semangat agitasi.

Realitas
Namun, tak cukup hanya data statisitik untuk menunjukkan rendahnya budaya literasi kita. Sangat mudah dijumpai, disekolah-sekolah misalnya, tradisi bertutur tulis sangatlah rendah. Para pelajar lebih asyik untuk mendengarkan dan membicarakan ketimbang menuliskan. 

Sekolah belum mampu membangkitkan tradisi literasi. Setali dengan gagalnya untuk mebangkitkan budaya baca. 

Meski kita paham bahwa “Yang terucap akan hilang terbawa angin, hanya yang tertulislah yang abadi”.  Namun, kurikulum sekolah memang tidak mengarah pada hal-hal yang bisa melangkah dalam budaya literasi tersebut. Kita akui, bahwa ditingkat operasional pun, penddikan kita masih berlatar budaya bisu: mendengarkan dan patuh. Tak ada selain itu.

Pembelajaran-pembelajaran sejarah sekalipun di sekolah, hanya dipelajari penuh hafalan. Ia hanya ditempatkan sebgai pengetahuan akan peristiwa masa lalu, yang bahkan terpisah-pisah. Bukan sebagai pemahaman, yang memiliki keterkaitan dasar satu sama lain. Pembelajaran sejarah tidak mengajarkan pelajar untuk “belajar” dari sejarah, termasuk menemukan pertautan kebangkitan bangsa kita dengan tradisi literasi.

Aku menulis maka aku ada
Di tingkat kesadaran personal, ada banyak alasan untuk menulis. Tidak hanya belajar menstrukturkan pikiran, juga kebutuhan psikologi di tengah interkasi sosial yang serba pragmatis, “mengeringkan” kehidupan. Menulis menjadi jalan semedi bagi sebagian manusia. 

Selain itu, sebagian menempatkan menulis syarat untuk menegaskan realitas ke’aku’an. Apa lagi di era media sosial sekarang ini.

Kundera pernah berkata, “Setiap individu tanpa terkecuali mengandung penulis potensial dalam dirinya, dan seluruh umat manusia punya hak untuk bergega turun ke jalan dan menerikkan, ‘kami semua adalah penulis’! Alasannya adalah bahwa setiap orang sulit menerima kenyataan bahwa ia akan lenyap terdengar dari dan tak dihiraukan dalam dunia yang acuh tak acuh, dan setiap orang ingin mengubah dirinya menjadi alam kata-kata sebelum terlambat”.

Mengingat kata Pram, menulis untuk keabadian. Hanya dengan menulis manusia bisa memperpanjang umurnya. Kita tentu akan terus mengingat tokoh-tokoh seperti Pram atau Tan Malaka. Ia hidup dibenak banyak orang karena tulisan-tulisannya. Mereka telah merangkul segala zaman dalam genggamannya lewat tulisan. Mereka sudah terbebas dari “dosa sosial” untuk meluruskan dan mewariskan banyak hal. Kata-kata Tan Malaka, bahwa, suaranya lebih lantang dari dalam kubur dibanding di atas tanah, benar-benar terbukti!

Lagi-lagi, kita mesti belajar kembali lagi dari sejarah!
Kita menulis, karena kita semua adalah pelaku sejarah, masa kini untuk masa akan datang!


Muhammad Ruslan