| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Selasa, 19 Januari 2016

Memahami Pembelajaran Kontekstual




Aku bertanya,
Tetapi pertanyaanku,
Membenturi meja-meja kekuasaan yang macet
Dan papan tulis - papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan

Sajakku, pamflet masa darurat
Apalah artinya renda-renda kesenian
Bila terpisah dari derita lingkungan
Apalah artinya berfikir
Bila terpisah dari masalah kehidupan

Kepadamu, aku bertanya..(?)

(WS. Rendra: 1977)
---------

Berbicara pembelajaran kontekstual, dapat dipahami sebagai suatu konsep yang lahir, sebagai anti-tesa, kritik atas model pembelajaran tekstual. Dalam konteks ini, penulis menyederhanakan perihal konsep pembelajaran ini, dalam dua kerangka konsep yang berbeda, yakni pembelajaran tekstual dan pembelajaran kontekstual.

Perbedaan dasarnya
Saat ini, metode yang mendominasi pengajaran-pengajaran konvensional umumnya masih berkutat pada metode pembelajaran tekstual. Pembelajaran tekstual ini, berpangkal pada kekuasaan otoritas. Otoritas tertinggi adalah teks, dan di bawahnya adalah penerjemah teks. Metode ini mengandalkan teks (buku-buku) sebagai sumber primer referensi, dan bahkan sebagai satu-satunya alat pembelajaran. Pengetahuan dipahami sebagai sesuatu  yang statis, kebenarannya bertumpu pada teks. Dalam proses pembelajaran, guru memegang peran sentral sebagai satu-satunya titah penerjemah teks. Oleh karenanya, pengetahuan dalam konteks ini bukan sebagai sesuatu yang dialami ataupun dirasakan, tetapi sebagai realitas terberikan (oleh teks).  Pembelajaran tekstual memposisikan proses belajar-mengajar sebagai proses transformasi distribusi teks, dari teks kepada siswa lewat perantara guru. 

Berbeda dengan metode pembelajaran kontekstual, metode ini melibatkan pengalaman praktis sebagai sarana memahami dan menemukan ilmu. Teks hanya  referensi, yang harus didialogkan dengan pengalaman praktis. Pengalaman praktis dapat berupa pengalaman yang dialami secara langsung hingga dengan melibatkan realitas persoalan praktis yang nyata terjadi. 

Metode pembelajaran kontekstual, melibatkan penalaran siswa terhadap realitas kekinian. Siswa dilibatkan sebagai subjek yang mengalami, menemukan dan menganalisis.  Oleh karena itu, metode ini mensyaratkan wacana yang dibedah adalah representasi dari persoalan-persoalan hidup sehari-hari, yang dialami secara bersama. Ilmu diproduksi bukan sesuatu yang terberi (given), dan memutlakkan pembuktian secara empirik, bertitik tolak pada realitas kehidupan itu sendiri. Secara metodologi, aksiologi, ontolgi, dan epistemologi, semuanya bersandar pada konteks kehidupan itu sendiri, tidak terpisah atau tidak memisahkan diri dari persoalan kehidupan. 

Perspektif sejarah
Dalam konteks sejarah, Pembelajaran kontekstual maupun tekstual ini, tergolong sulit untuk dilacak dengan pasti keberadaannya -- yang mana yang mendahului yang mana. Namun, karakter dua konsep tersebut, sangat mudah dipisah dan dipahami perbedaannya, kalau saja ia ditarik keluar dari perdebatan sejarah, masuk dalam ranah kajian filosofis. 

Kalaupun ingin disinggung pokok-pokok sejarahnya, alat analisis yang mudah dipakai pun tetap dengan menggunakan pendekatan filsafat, yakni filsafat sejarah. Yakni melihat kecenderungan pola, karakter suatu konsep, dan menemukan relevansinya dengan kondisi-kondisi sosial masyarakat lampau, untuk mengidentifikasi suatu kondisi-kondisi sejarah yang objektif yang mengkondisikannya. 

Kalau saja, perbedaan pembelajaran tekstual dan kontekstual, disederhanakan dalam ranah keberadaan teks, yang menjadi kriteria utama pembelajaran tekstual, maka kita menyimpulkan bahwa model pembelajaran kontesktuallah pertama dikenal, dengan memantik suatu asumsi bahwa, manusia, pertama kali belajar dan memahami realitas, langsung dengan konteks kehidupan, bergelut tanpa perntara teks[1]. Akan tetapi kalau ditinjau dari kriteria normativitas otoritas, yang menjadi karakter pembelajaran tekstual, maka kesimpulannya pun bisa berbanding terbalik dari kesimpulan sebelumnya. Kemungkinan ketiga adalah dua-duanya dipakai, tercampur antar satu sama lain, tanpa ada ruang untuk melihatnya sebagai dua konsep yang cenderung dipertentangkan sebagai suatu konsep pada zaman sebelumnya, tidak seperti sekarang ini.

Meninjau dari sudut pandang kekinian
Metode pembelajaran tekstual, cenderung dominan saat ini, disebabkan banyak faktor, salah satunya adalah faktor sejarah dan faktor sosial. Karakter dari masyarakat yang masih sulit bertransformasi meninggalkan pola kehidupan feodalisme, atau lebih tepatnya sisa-sisa feodalisme masa lalu, yang masih bercokol dibenak masyarakat, yang membuat metode pembelajaran tekstual ini menemukan ladangnya. Jadi ada pertautan  sejarah yang khas, antara model pembelajaran tekstual dengan sistem sosial masyrakat. 

Selain itu, karakter “keber-agama-an” yang gamang, kaku, rigid, penuh otoritas dan sangat skriptualis, yang hampir menjadi ciri kebergamaan masyarakat dari dulu sampai sekarang, ikut mengkondisikan metode pembelajaran tekstual ini diterima dan bertahan. Masyarakat yang hidup bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, dalam tradisi bergama seperti ini, kesulitan untuk memisahkan pola pembelajaran agama dan ilmu. 

Namun, yang paling menghambat pembelajaran kontekstual ini, dan semakin membuat model pembelajaran tekstual ini bertahan, tidak lepas dari peran kekuasaan yang membungkam, lewat segenap aturan persekolahan dan kurikulum. Model top to bottom, yang menjadi tipikal karakter  pembelajaran tekstual, juga selaras, dan merupakan alat kekuasaan itu sendiri, yang nyata hadir untuk menjinakkan dan mengontrol kesadaran, bukan menyadarkan. Itu sepertinya sudah menjadi karakter kekuasaan, dimanapun. 

Berbeda dengan  pembelajaran kontekstual yang menuntut adanya proses penyadaran, refleksi kritis yang harus  berangkat dari persoalan nyata (bottom to up). Karena itu sangat sulit untuk memahami model pembelajaran kontekstual ini disemai dan diharapkan tumbuh dari bilik-bilik temboh kokoh sistem persekolahan formal yang dibangun oleh kekuasaan sekarang ini. Terdapat kontradiksi, antara struktur yang ada. 

Meyakini dan mengharapkan model pembelajaran kontekstual, mensyaratkan adanya alternatif sistem “persekolahan” di luar kaidah formal yang ada. Itu berarti, hanya ada satu kalimat, BANGUN PEDAGOGI ALTERNATIF!


Penulis
Muhammad Ruslan


[1] Pembelajaran yang dimaksud disini, tidak diterjemahkan dalam konteks persekolahan formal semata.

Kamis, 14 Januari 2016

Sayap Patah Zun


source picture: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=753380801451742&set=a.426142184175607.1073741825.100003394888897&type=3&theater




Zun, panggilan akrabnya. 


Zunnn….!!!, panggilan spontan yang sering ia dengar. Jeritan “emosi” sang pendidik dalam kelas, di sela-sela pengajaran berlangsung. 


Mata bulat berdiameter sempit itu tiba-tiba membelalak terkejut. Spontan berhenti, selang, cerita yang tak jelas berlanjut. Atmosfer kelas yang sama kembali berlangsung. Atmosfer yang penuh kebisingan, lalu-lalang cerita, dan ekspresi suara-suara sumbang yang terselip “menuntut” kebebasaan, ekspresi khendak untuk keluar dari belenggu suci yang bernama sekolah. 


Di ujung tengah baris meja-kursi, tempat Zun bersama segerombol rekannya, asyik dan selalu asyik dengan dunianya, dunia penuh cerita, seperti tak ada akhir. Dalam benak, baginya rutinitas ini tidak rill (false), hanya sarana untuk menghabiskan waktu. Cerita menjadi sarana untuk berkompromi dengan belenggu dan waktu disaat yang sama. 


Deru kata yang selalu meluncur dari lisan Sang Pendidik, mengalir seperti air yang tak menemui sela untuk berhenti, berlalu begitu saja. Kalimat-kalimat bijak yang meluncur tak mampu menyentuh sedikitpun keluaasan hati Sang Murid untuk mendengar. Seperti dengan Zun, Bukan karena ia tuli, tetapi petuah-petuah yang selalu bercampur dengan emosi, mewujud dalam ancaman dan peringatan, membuat dirinya kebal untuk mendengar. Dalam benaknya, waktu 16 tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk mendengar, ‘’Saatnyalah untuk berlisan,” ujarnya tiba-tiba, spontan dan insidentil dalam hati.  


Namun saat masa-masa puberitas bicara itu kuncup,  tak pula terakomodasi, maka bicara itu menjadi tak beraturan, tereskpresi lewat cerita liar, sekadar untuk mengakui eksistensinya. Potensi yang tak terwadahi, atau salah dimaknai, seperti pertumbuhan pohon yang terhambat dalam pot sempit. Akibat dari perkembangan kemanusiaan yang  tidak sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan sistem yang terbangun. 


Ekspresi yang muncul terkadang meletup-letup tanpa sebab yang nampak. Ekspresi natural, respon dari pembungkaman struktural bertahun-tahun ia alami, mengubahnya menjadi pribadi yang tak mudah berdamai dengan realitas persekolahan. Sikap apatis menjadi jawaban baginya, “melawan” tradisi klasik lewat pembangkangan kultural. 


Ia sadar betul, rumah dan sekolah, dipenuhi dengan target. Beban untuk memenuhi harapan orang tua dan guru, agar dapat menjadi ‘’pekerja mumpuni’’, merenggut kodrat dasar kemanusiaannya sebagai manusia. Ia perlahan-lahan kehilangan sifat manusiawinya, terkadang larut dalam pengkondisian kehidupan yang penuh kompetisi dan semangat individualistik, yang terkondisikan dalam ring kelas. 

Pikiran terasa disetting dengan paksa, dengan fitur-fitur teknis yang kaku yang bekerja otomatis. “Itulah yang dibutuhkan dunia sekarang ini!”, ujar gurunya, berulang-ulang, saat ia mempertanyakan realitas itu berulang-ulang.


Ada rasa pengap ia rasakan dalam benak dan pikirannya. Nilai-nilai angka yang dipertuankan dalam sekolah, sama sekali tak menarik perhatiaannya. Hatinya pun terasa dikunci dengan gembok rapat dengan moralitas kepatuhan dan pengtaqlikan terhadap otoritas. Kadang ia perihatin melihat rekannya merangkak-rangkak dan merengek demi sebilah pengakuan kepandaian dalam wujud angka. Bagi Zun, ia akui, kalau kepercayaannya terhadap penilaian orang terhadp orang lain sangat tipis. Baginya itu subjektif, dan manusia yang mempertuankan otoritas untuk menjinakkan, takkan bisa menilai objektivitas kemanusiaan yang sesungguhnya.


Saat ia menyadari hal itu, mulailah dunianya berubah. Terjadi tarik-menarik antara eksistensinya dengan sistem yang mengancamnya kehilangan dirinya, berujung pada persinggungan antara khendaknya dan khendak sistem nilai dan norma sekolah. Apa boleh buat kekuatan struktur jauh lebih kuat dari dirinya, “pelanggaran dan sanksi” selalu menjadi hadiah permanen sebelum pulang.


Sang pendidik, sebenarnya mengerti. Hanya saja, sebagai produk penddidikan yang lahir dari zaman lampau, membuatnya seperti kikuk, tak mampu menyelami zaman terkini untuk berinteraksi. Sebagai sarjana pendidik, yang dididik lewat penataran P4, dan doktrin-doktrin “Pagar Besi” Orde Baru, tak ada yang ia warisi secara natural dari gelar kesarjanaannya, selain melihat persoalan dengan kacamata militer. Penuh dengan penentraman dan penertiban!


----


Menjelang sore, waktu pulang. Hanya dalam hitungan menit setelah bel pulang berbunyi, keramaian sekolah cepat seperti kilat  berubah sunyi dan sepi. Batang hidup Zun pun sudah tak nampak. Mungkin ia sudah mengepakkan sayapnya yang “patah” dengan bebas. 




Muhammad Ruslan

Jumat, 08 Januari 2016

Saat Sang Ketua Terancam Digulingkan



Beberapa menit yang lalu, percakapan dengan seorang kawan, masih terngiang. Ia seorang guru SMA di salah satu sekolah formal, di daerah yang tergolong pinggiran. 

Ia bercerita banyak kejadian seputar kehidupan sekolah. Salah satunya, nasib apes “Seorang Ketua” Organisasi Intra Sekolah, yang terancam dirudah paksa, digulingkan oleh otoritas sekolah--tanpa alasan rasional. Seorang ketua yang dipilih secara demokratis oleh seluruh siswa, terancam dilengserkan oleh otoritas tanpa persetujuan siswa sebagai pemilik suara. Logika yang dipaksakan jelas menyalahi prinsip berdemokrasi yang benar. 

Organisasi Intra Sekolah, atau, akrab dikenal OSIS, yang seharusnya menjadi wadah berkumpulnya siswa, tempat para siswa megorganisir diri, memperjuangkan kepentingannya, pada kenyataan menjadi sekadar perpanjangan tangan otoritas sekolah. sehingga, peran bottom to up, bergeser menjadi up to bottom.

Mirisnya, sepertinya tak sedikit pun pikiran kritis terbetik dalam benak Sang Ketua, kecuali sekadar rasa kecewa, dan tak secuil pun kesadaran yang muncul dari ratusan siswa dan pengurus, dalam melihat hal tersebut sebagai sebuah kebijakan janggal, yang tersisa hanya pengwajaran. Menerima kenyataan yang tak lebih seperti takdir yang jatuh dari langit, menimpa.

Muncul pertanyaan, lantas, kemana kesadaran pengetahuan-pengetahuan siswa terkait pelajaran PPKn, tentang prinsip berdemokrasi?, kemana pengetahuan: Undang-Undang, pemilu dan segenap hak-hak politik yang melekat pada pemilih, yang dihafal menjelang ujian?. Kemana pula pengetahuan sejarah kebangsaan, yang penuh pernak-pernik politik dan berdemokrasi, yang didengar seperti lagu dalam kelas?

Nyatanya, produk pendidikan yang dihasilkan dalam proses belajar panjang tersebut, sama sekali tak membuahkan hasil internalisasi pengetahuan yang sesungguhnya dalam ranah praktis. Ini seperti, seorang siswa yang belajar rumus perhitungan lewat software canggih otomatis, tapi menghitung manual dengan tangan saat berhadapan dengan realitas. Belajar tentang hak dan kewajiban dalam kelas, tapi terlena dalam ketaksadaraan saat hak-hak politiknya terampas tanpa jejak. 

Kesadaran palsu?

Berkaca pada kasus tersebut, kita memahami, saat ini pendidikan yang didaku sebagai lembaga “pencipta” kesadaran, terkadang tak lebih hanya menciptakan kesadaran yang palsu. Kontradiksi-kontradiksi terus terjadi di sekolah. Prinsip berdemokrasi diajarkan dengan cara-cara yang sangat tidak demokratis, diterima dengan lapang dada atas nama etika. Alih-alih mendekatkan pelajar pada realitas yang ideal dan  yang sebenarnya, yang terjadi justru mengasingkannya dari realitas ideal dan yang sebenarnya. 

Terjadi proses pembungkaman kolektif, suara-suara yang harus meringkih saat ditekan, terselip dalam-ketakberdayaan. Ilmu disuguhkan telah bercampur dengan pil jahat yang menenangkan, menghilangkan kesadaran yang nyata, menyisakan halusinasi kesenangan sesat tentang mimpi dan cita-cita. Cita-cita, yang tak bisa dinalar dan ditemukan dasar berpikirnya, selain sekadar impian yang muncul begitu saja. "Mimpi" satu-satunya produk yang ditawarkan sekolah untuk tetap bisa menarik perhatian--mempertahankan kredo tentang sekolah

Mimpi memang adalah alat otoritas, sekaligus adalah jawaban yang paling mudah menguasai, dari realitas tekanan yang melembaga sebagai nilai.

Struktur yang membungkam

Kita patut prihatin, produk pendidikan yang hanya bisa diam, adalah gambaran buruk potret generasi  akan datang. Struktur pendidikan, sepertinya bertahan karena pembungkaman. Kemarin (6/1), salah seorang ketua BEM Universitas Negeri di Jakata, karena sikap kritisnya atas penyimpangan yang terjadi di kampusnya, dihadiahi dengan surat DO (Drop Out) dari sang rektor. 

Sungguh sangat mengkhawatirkan, lembaga ilmu sekalipun memperlihatkan sikap bernasnya yang anti-kritik. Pertanyaannya, sampai kapan produk pendidikan yang lahir dari pembungkaman terus menerus akan membungkam. Membungkam suara-suara manusia yang datang untuk bertanya?

Apa yang harus diperbuat, selain terus bertaruh, memperjuangkan kondisi-kondisi pengkondisian yang memungkinkan kesadaran kritis bisa muncul. “Konflik” kampus/sekolah versus birokrasi otoritas kampus/sekolah, maupun mahasiswa versus pemerintah, adalah gambaran nyata yang memang harus terus ada. Ketika itu hilang, justru patut dipertanyakan. Kutukan pantas dilontarkan kalau organisasi mahasiswa/pelajar justru berbulan madu dengan birokrasi dan pemeritnah, di tengah kondisi sosial, pendidikan dan masa depan bangsa yang tidak menentu sekarang ini. 

Romantika hanya menjadi pertanda buruk pembungkaman sudah diambang stadium kronis, dampaknya adalah mempercepat lahirnya bangsa yang tejerat dalam budaya bisu, dibisukan oleh otoritas yang membungkam. Dan celakanya, kita tak berharap, kalau diam yang tak lain adalah bisu, suatu saat sudah dianggap sebgai nilai yang harus dijunjung tinggi. 


Muhammad Ruslan