| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Senin, 06 November 2023

BOIKOT

"Saat seseorang mengambil alih ladang tempat seseorang lain membuatmu terusir, siapapun itu kalian harus menghindar darinya saat bertemu di jalan! Kalian harus menghindar darinya di jalan-jalan kota! kalian harus menghindar darinya di toko! Kalian harus menghidar darinya di ladang dan di tempat umum! Dan bahkan di tempat ibadah sekalipun dengan membiarkannya sendiri, memberinya pengucilan, mengasingkannya dari tempat ini! Kalian harus menunjukkan padanya sikap benci terhadap tindak kejahatan yang dia lakukan terhadapmu."

Salah satu penggalan dari narasi pidato Stewart Parnel, yang menyerukan aksi pemboikotan, yang akhirnya dikenal dengan istilah aksi "boikot".

Parnel adalah pemimpin Liga Lahan Irlandia, yang memimpin pemboikotan-perlawanan terhadap kebijakan tuan tanah Lord Erne lewat kaki tangannya yang bernama Kapten Boycott (Charles Boycott), 1880.

Istilah boikot ini awal mulanya adalah adaptasi sarkas dari nama Kapten Boycott itu sendiri, yang sempat popular di media-media Inggris saat itu. 

Ketika tuan tanah Lord Erne lewat tangan kanannya Charles Boycott menolak permintaan petani untuk menurunkan harga sewa lahan hingga 25%, hal itu memantik marah para petani yang tercekik oleh sewa lahan yang tinggi ditambah panen yang buruk. Sebagai reaksi para buruh tani mengorganisir diri untuk secara bersama-sama melakukan boikot, lewat aksi pengucilan, penolakan untuk bekerja, dan penolakan untuk bekerjasama dengan Kapten Boycott.

Hasilnya, ketiadaan orang yang ingin bekerja untuk Kapten Boycott membuatnya kesulitan mengontrol dan memanen hasil panennya, hingga akhirnya keputusan mendatangkan pekerja dari luar yang membuat ongkos produksinya membengkak drastis membuatnya bangkrut.

Dari situ sejarah tentang pemboikotan dan kemenangan orang-orang kecil inilah yang kemudian membuat aksi boikot menjalar ke banyak negara berkembang sebagai alternatif perlawanan orang-orang kecil melawan elit-elit kolonial yang berkuasa.

Tentang bagaimana kaum Republik pada masa perjuangan kemerdekaan menemukan dan menggunakan boikot sebagai alat perlawanan, novel Pramoedya Jejak Langkah cukup apik menuliskan hal itu. "Bukan golongan kuat saja punya kekuatan, juga golongan lemah. Tuan, golongan lemah bisa menunjukkan kekuatan diri sebenarnya. Boikot, Tuan, perwujudan kekuatan dari golongan lemah!".

Di tengah situasi sosial politik kolonial yang menjarah banyak negara-negara kecil tak terkecuali Indonesia pada masa kolonial Belanda, boikot muncul sebagai senjata yang dianggap berkemajuan pada saat itu seturut dengan "berorganisasi". Dengan boikot rakyat kecil seperti menemukan alat yang tepat untuk menggebuk sekali pukul . Itu cukup untuk membuat Belanda pada saat itu keteteran karena pabrik-pabrik perkebunan dan gula mereka benar-benar kandas.

Ketika tangan-tangan pekerja berhenti, maka dengan sendirinya arus perputaran akumulasi modal produksi juga berhenti. Boikot dan mogok, seperti menjadi perwujudan praktis dari kata-kata Tan Malaka yang mengatakan: "Sesungguhnya bukanlah kaum pekerja yang bergantung pada kaum modal, tapi kaum modallah yang bergantung pada kaum pekerja". Dan itu terbukti bagaimana para elit meradang ketika tangan kasar pekerja itu berhenti.

Pada titik ini, Boikot menjadi alat politik kaum tertindas dalam sejarah perlawanan yang paling ampuh untuk memaksa para elit kolonial untuk membuat keputusan politik penting. Arus modal yang tergerus bahkan terhenti, tidak hanya sanggup menghentikan dan menghancurkan akumulasi kapital, tapi juga bisa membuat tank-tank lapis baja berhenti, pabrik-pabrik senjata menjadi redup.

 

#BoikotProduk yang mendukung zionisme israel

#FreePalestine