Matanya
sayu seperti biasa. Rasa-rasanya jiwanya benar-benar babak belur oleh
kehidupan. Tak ada hasrat, tak ada ide, tak ada lagi pengalaman hidup yang
menggugah semangat. Hidup bagaikan ranjau. Semakin kita menyelaminya, semakin
gelap, hingga tak ada lagi yang terlihat.
Bukankah
berjalan ke dalam kegelapan itu sangat melelahkan? Sampai pada titik ketika ia
benar-benar bertanya apa artinya tuhan menciptakan kehidupan demikian. Di bawah
cahaya terang ada banyak lika-liku hidup yang menyedihkan. Terpotret dalam
kegelisahan dan keputusasaan. Perjalanan panjang manusia mencari dan melawan
rasa sepi ini tak pernah menemukan ujung akhirnya. Tak ada yang benar-benar
sejati. Kemurnian hanyalah luapan hasrat dari kenginan mutlak untuk menyerah.
Aku
menemukan bahwa hati manusia itu hambar, seperti kata Sartre. Dan kita berjalan
dalam lingkar hidup demikian. Tak ada rasa sakit yang lebih pedih selain
kehilangan hasrat atas hidup. Kita semua berharap bahwa suatu saat kematian
kita lebih berarti dari seluruh kehidupan yang kita lalui. Kita menginginkan
ada yang berubah dari hidup ini. Tapi, kita nyaris lupa, bahwa inilah
kenyataanya. Kegembiraan hanyalah penundaan sementara akan kesedihan. Lalu
dimanakah zaman pencerahan itu. Dimanakah zaman yang melampaui kesepiaan itu!?
Manusia
tumbuh dengan keceriaan. Namun kehidupan perlahan-lahan merampasnya. Seperti anak
kecil yang bertumbuh dewasa diiringi oleh pudarnya keceriaan dalam dirinya. Semakin
kita dewasa, semakin kita menyadari banyak hal.
Hingga
suatu saat kita memilih untuk diam, membiarkan tubuh berkerut menanggung
pertanyaan-pertanyaan hidup yang tak pernah tuntas. Seberapapun kita kuat untuk
bangkit, pada akhirnya kita semua akan tersungkur dalam kekalahan. Apa yang
kita cari? Apa yang ingin kita menangkan sebenarnya? Tak ada. Kita nyaris
dibutakan oleh ritme hidup manusia yang berjalan tergesa-gesa namun pada
akhirnya juga tanpa tujuan.
Hidup
sudah seperti kematian itu sendiri. Kita perlahan berjalan keluar tapi akhirnya
juga kembali ke titik terdalam diri kita sendiri. Pada pertanyaan-pertanyaan
yang tak pernah menemukan jawabannya secara utuh.
Hasrat
dari kegelisahan seolah mengingatkan kita dengan kata-kata Kiekergard: bahwa
yang kita butuhkan dalam hidup ini hanyalah satu, yakni menemukan kebenaran.
Benar untuk diri kita sendiri. Suatu kebenaran yang dapat mengilhami kehidupan
dan kematian kita sekaligus. Pada titik tertentu, kita benar-benar merindukan
kematian kita sendiri. Dan berharap bahwa urusan hidup ini berakhir secepatnya.
Ini
bukan kontradiksi. Ketimbang meyebutnya sebai ekspresi pesimism, ini seperti
sebuah perwujudan rill dari kejujuran diri akan hidup. Persis seperti kata Tolstoy,
bahwa hidup adalah kemalangan itu sendiri. Kebahagiaan hanya milik mereka yang
tak pernah dilahirkan.
Barangkali
untuk ukuran manusia pada umumnya, ini sesuatu yang gila. Tapi untuk kita yang
terlanjur menyelami makna hidup ini. Itulah jawaban yang paling jujur yang kita
miliki.
Orang-orang
merayakan kedatangan sembari menyesali kepergian. Merayakan kelahiran lalu menangisi
kematian. Seperti sebuah siklus. Manusia hanya bisa mengais-ngais makna di antaranya,
lalu lupa. Pada prinsipnya tak ada yang murni, sekali lagi tak ada yang sejati.
Ketika manusia mati, tak satupun yang tersisa dari keseluruhan hidupnya. Kesenangan
maupun penderitaan akan hilang bersamaan dengan kematian itu sendiri. Kematian adalah
akhir. Akhir dari keseluruhan pertanyaan dan kebimbangan yang menemukan
muaranya.
Duduklah
disampingku. Kuceritakan padamu suatu kisah dari Tolstoy. Dengarkan baik-baik:
Dulu di India, di masa ketika
ajaran-ajaran kebijaksanaan mulai lahir di bumi. Ada seorang Sakya Muni,
seorang pangeran muda yang sangat bahagia. Ia hidup dalam lingkar tembok
kemewahan istana. Segala bentuk kesedihan dan penderitaan dihindarkan dari
hidupnya. Matanya tak pernah melihat gambaran orang-orang putus asa, kelaparan,
hingga orang-orang penyakitan. Ia hidup dalam gambaran kemewahan dan
kebahagiaan istana semata. Di dalam pengetahuannya, ia percaya bahwa hidup ini
sangat indah.
Suatu hari ia berjalan mengendarai kuda
keluar dari tembok istana sekadar untuk bersantai. Di jalan tiba-tiba ia
melihat orang tua lusuh, penyakitan, yang menyedihkan, dengan muka kusam, dan
tatapan hilang harapan. Ia sontak terkejut. Sebab ini pertama kalinya ia
melihat pemandangan semenyedihkan itu. Ia tak pernah membayangkan ada kehidupan
demikian berlangsung di bawah kolong langit ini.
Tak jauh itu, diperjalanan yang kedua ia
tak hanya melihat banyak tatapan hidup seperti itu, yang ia lihat sekarang
adalah seorang orang tua yang menggotong sesuatu. Yang tak lain adalah mayat. Ia
kaget, lalu menjumpai orang tersebut lalu membuka penutup mayat tersebut. Ia bertanya
kepada pengawalnya apa yang akan terjadi dengan orang ini (mayat tersebut)?
Pengawalnya pun menjawab: ia akan
dikubur tuan, lalu dimakan oleh cacing. “Inikah yang akan terjadi pada semua
orang?” tanya sang pangeran. “Iya tuan” jawab sang pengawal. “Akankah ini akan
terjadi pada diriku kelak? Dimana jasadku akan mmebusuk lalu dikubur ke dalam
tanah dan hilang?”, tanya kembali sang pangeran. “Benar tuan” jawab sang
pengawal.
“Pulang! Sekarang juga” tegas sang pangeran
dengan tubuh yang gemetar. Aku bersumpah—lanjutnya--bahwa aku takkan berjalan
untuk bersenang-senang lagi dan takkan menikmati lagi seluruh kemewahan yang
aku miliki.
Dan beigutlah sang sakya muni
memahaminya. Bahwa satu-satu akhir dari seluruh cerita komplit perjalanan
manusia di bawah kolong lanigt ini hanya satu, yakni kemalangan dan kesia-siaan,
dan pucaknya adalah kematian.
Karena
itu dik. Kubisikkan kedaun telingamu nasihat yang kupersembahkan untukmu. Hiduplah
sehidup-hidupnya. Fatum Brutum AMORFATI kata Nietzche. Hiduplah untuk diri dan
kebebasanmu. Makan dan minumlah dengan gembira untuk hidupmu. Hidup adalah
tempat kita berbagi tragedi, hanya itu. Usaplah air matamu, dan bangkitlah
untuk sisa-sisa kesenangan di antara lautan kesia-siaan dan kemalangan akan
hidup. Tegarlah dengan seluruh tenagamu hingga sebelum masa ketika partikel-partikel
tubuh kita melemah satu persatu, lalu tumbang. Dan ketika itu tiba, terimalah
itu sebagai kemenangan terakhir atas kekalahan bertubi-tubi atas hidup itu
sendiri.