| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Sabtu, 04 September 2021

Amorfati



Matanya sayu seperti biasa. Rasa-rasanya jiwanya benar-benar babak belur oleh kehidupan. Tak ada hasrat, tak ada ide, tak ada lagi pengalaman hidup yang menggugah semangat. Hidup bagaikan ranjau. Semakin kita menyelaminya, semakin gelap, hingga tak ada lagi yang terlihat.

Bukankah berjalan ke dalam kegelapan itu sangat melelahkan? Sampai pada titik ketika ia benar-benar bertanya apa artinya tuhan menciptakan kehidupan demikian. Di bawah cahaya terang ada banyak lika-liku hidup yang menyedihkan. Terpotret dalam kegelisahan dan keputusasaan. Perjalanan panjang manusia mencari dan melawan rasa sepi ini tak pernah menemukan ujung akhirnya. Tak ada yang benar-benar sejati. Kemurnian hanyalah luapan hasrat dari kenginan mutlak untuk menyerah.

Aku menemukan bahwa hati manusia itu hambar, seperti kata Sartre. Dan kita berjalan dalam lingkar hidup demikian. Tak ada rasa sakit yang lebih pedih selain kehilangan hasrat atas hidup. Kita semua berharap bahwa suatu saat kematian kita lebih berarti dari seluruh kehidupan yang kita lalui. Kita menginginkan ada yang berubah dari hidup ini. Tapi, kita nyaris lupa, bahwa inilah kenyataanya. Kegembiraan hanyalah penundaan sementara akan kesedihan. Lalu dimanakah zaman pencerahan itu. Dimanakah zaman yang melampaui kesepiaan itu!?

Manusia tumbuh dengan keceriaan. Namun kehidupan perlahan-lahan merampasnya. Seperti anak kecil yang bertumbuh dewasa diiringi oleh pudarnya keceriaan dalam dirinya. Semakin kita dewasa, semakin kita menyadari banyak hal.

Hingga suatu saat kita memilih untuk diam, membiarkan tubuh berkerut menanggung pertanyaan-pertanyaan hidup yang tak pernah tuntas. Seberapapun kita kuat untuk bangkit, pada akhirnya kita semua akan tersungkur dalam kekalahan. Apa yang kita cari? Apa yang ingin kita menangkan sebenarnya? Tak ada. Kita nyaris dibutakan oleh ritme hidup manusia yang berjalan tergesa-gesa namun pada akhirnya juga tanpa tujuan.

Hidup sudah seperti kematian itu sendiri. Kita perlahan berjalan keluar tapi akhirnya juga kembali ke titik terdalam diri kita sendiri. Pada pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah menemukan jawabannya secara utuh.

Hasrat dari kegelisahan seolah mengingatkan kita dengan kata-kata Kiekergard: bahwa yang kita butuhkan dalam hidup ini hanyalah satu, yakni menemukan kebenaran. Benar untuk diri kita sendiri. Suatu kebenaran yang dapat mengilhami kehidupan dan kematian kita sekaligus. Pada titik tertentu, kita benar-benar merindukan kematian kita sendiri. Dan berharap bahwa urusan hidup ini berakhir secepatnya.

Ini bukan kontradiksi. Ketimbang meyebutnya sebai ekspresi pesimism, ini seperti sebuah perwujudan rill dari kejujuran diri akan hidup. Persis seperti kata Tolstoy, bahwa hidup adalah kemalangan itu sendiri. Kebahagiaan hanya milik mereka yang tak pernah dilahirkan.

Barangkali untuk ukuran manusia pada umumnya, ini sesuatu yang gila. Tapi untuk kita yang terlanjur menyelami makna hidup ini. Itulah jawaban yang paling jujur yang kita miliki.

Orang-orang merayakan kedatangan sembari menyesali kepergian. Merayakan kelahiran lalu menangisi kematian. Seperti sebuah siklus. Manusia hanya bisa mengais-ngais makna di antaranya, lalu lupa. Pada prinsipnya tak ada yang murni, sekali lagi tak ada yang sejati. Ketika manusia mati, tak satupun yang tersisa dari keseluruhan hidupnya. Kesenangan maupun penderitaan akan hilang bersamaan dengan kematian itu sendiri. Kematian adalah akhir. Akhir dari keseluruhan pertanyaan dan kebimbangan yang menemukan muaranya.

Duduklah disampingku. Kuceritakan padamu suatu kisah dari Tolstoy. Dengarkan baik-baik:

Dulu di India, di masa ketika ajaran-ajaran kebijaksanaan mulai lahir di bumi. Ada seorang Sakya Muni, seorang pangeran muda yang sangat bahagia. Ia hidup dalam lingkar tembok kemewahan istana. Segala bentuk kesedihan dan penderitaan dihindarkan dari hidupnya. Matanya tak pernah melihat gambaran orang-orang putus asa, kelaparan, hingga orang-orang penyakitan. Ia hidup dalam gambaran kemewahan dan kebahagiaan istana semata. Di dalam pengetahuannya, ia percaya bahwa hidup ini sangat indah.

Suatu hari ia berjalan mengendarai kuda keluar dari tembok istana sekadar untuk bersantai. Di jalan tiba-tiba ia melihat orang tua lusuh, penyakitan, yang menyedihkan, dengan muka kusam, dan tatapan hilang harapan. Ia sontak terkejut. Sebab ini pertama kalinya ia melihat pemandangan semenyedihkan itu. Ia tak pernah membayangkan ada kehidupan demikian berlangsung di bawah kolong langit ini.

Tak jauh itu, diperjalanan yang kedua ia tak hanya melihat banyak tatapan hidup seperti itu, yang ia lihat sekarang adalah seorang orang tua yang menggotong sesuatu. Yang tak lain adalah mayat. Ia kaget, lalu menjumpai orang tersebut lalu membuka penutup mayat tersebut. Ia bertanya kepada pengawalnya apa yang akan terjadi dengan orang ini (mayat tersebut)?

Pengawalnya pun menjawab: ia akan dikubur tuan, lalu dimakan oleh cacing. “Inikah yang akan terjadi pada semua orang?” tanya sang pangeran. “Iya tuan” jawab sang pengawal. “Akankah ini akan terjadi pada diriku kelak? Dimana jasadku akan mmebusuk lalu dikubur ke dalam tanah dan hilang?”, tanya kembali sang pangeran. “Benar tuan” jawab sang pengawal.

“Pulang! Sekarang juga” tegas sang pangeran dengan tubuh yang gemetar. Aku bersumpah—lanjutnya--bahwa aku takkan berjalan untuk bersenang-senang lagi dan takkan menikmati lagi seluruh kemewahan yang aku miliki.

Dan beigutlah sang sakya muni memahaminya. Bahwa satu-satu akhir dari seluruh cerita komplit perjalanan manusia di bawah kolong lanigt ini hanya satu, yakni kemalangan dan kesia-siaan, dan pucaknya adalah kematian.

Karena itu dik. Kubisikkan kedaun telingamu nasihat yang kupersembahkan untukmu. Hiduplah sehidup-hidupnya. Fatum Brutum AMORFATI kata Nietzche. Hiduplah untuk diri dan kebebasanmu. Makan dan minumlah dengan gembira untuk hidupmu. Hidup adalah tempat kita berbagi tragedi, hanya itu. Usaplah air matamu, dan bangkitlah untuk sisa-sisa kesenangan di antara lautan kesia-siaan dan kemalangan akan hidup. Tegarlah dengan seluruh tenagamu hingga sebelum masa ketika partikel-partikel tubuh kita melemah satu persatu, lalu tumbang. Dan ketika itu tiba, terimalah itu sebagai kemenangan terakhir atas kekalahan bertubi-tubi atas hidup itu sendiri.