| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Minggu, 18 November 2018

Yang Abadi Adalah Kegelapan

Plukme.com
Seperti sebuah tatap kosong. Dua kelopak matanya tampak tidak lagi seimbang. Sebelah kiri begitu sayu. Asap meliup-liup dari puntung rokok di tangan kirinya. Seperti biasanya, hari itu terlalu melelahkan. Ia mengingat tadi siang. Beberapa teman yang ia temui menanyakan kesehatan dirinya. Pertanyaan-pertanyaan “Apakah Bung sehat?”. Seperti mengafirmasi bahwa dirinya memang sakit.

Lesu, murung. Begitulah temannya melihatnya. Kini ia baru 4 hari sejak meninggalkan kota yang ia tinggali 3 tahun silam. Pikirannya kembali ke belakang. Memunguti remah-rmah ingatan yang tersisa. Bukan karena rindu. Bukan. Karena rasa muak barangkali yang benar-benar tak pernah sudi meninggalkannya.

Ia mulai membatin:

Dulu ia punya prinsip. Katanya, dimanapun kaki berpijak di kolong langit ini, bau rumput tetap sama. Kebisingan tak pernah benar-benar pergi. Di alam kebisingan tak beraturan itulah umur manusia akan terus bergelut dengan kesia-siaan. Banyak yang berkata masa depan adalah gaib. Tapi tidak untuk dirinya. Baginya, kegaiban yang dipersepsi manusia banyakan muncul lantaran ia tidak pernah belajar dari kehidupan yang sesungguhnya.

Ini hanya soal waktu, batinnya. Sambil menunggu itu tiba. Kita semua akan menghibur diri dengan kesenangan palsu yang kita ciptakan untuk lari dari kenyataan. Dengan keangkuhan bercampur kebodohan, kita menghibur diri seolah manusia bisa merengkuh semua waktu.

Apa yang paling sial bagi seorang anak muda di usia dini adalah menemukan kebenaran hidup terlalu cepat. Kebenaran adalah kenyataan bahwa hidup itu tak berarti, kata Tolstoy. Hidup adalah lelucon bodoh yang dimainkan seseorang terhadap diri kita. ‘Seseorang’ yang terlalu abstrak untuk kita tahu keberadaannya.

Manusia begitulah dirinya. Ia seperti makhluk yang tersesat di hutan belantara diliputi ketakutan dan ketidakpastian, mengais-ngais harapan untuk keluar namun tak pernah punya jalan untuk menemukan pintu.

Mereka berdiri di atas ruang hampa tanpa pijakan. Kita sebagaimana umat manusia lainnya berada diambang keputusasaan hidup yang tak ada batasnya. Begitulah kenyataannya. Arketip gagasan yang mencoba menghidupkan harapan hanyalah penghiburan diri bagi mereka yang sudah tak tahan merasakan penindasan eksistensial hidup yang tak berkesudahan. Kita semua adalah orang-orang lari dengan berbagai cara yang kita pilih.

Dulu saya merasa terlalu terobsesi untuk memandang kehidupan ini dalam bilangan putih. Pengetahuan yang aku serap dibarengi dengan lokomotif ide-ide optimisme, aku memahami bahwa dunia ini tercipta dari cahaya kebaikan. Cahaya adalah esensi utama kehidupan, sedang kegelapan aku tempatkan sebagai konsekuesi sekuel dari ketiadaan cahaya, yang keberadaannya tergantung pada cahaya. Seperti anak polos yang meyakini bahwa kehidupan ini pada dasarnya baik, selebihnya hanyalah variabel-variabel kehidupan yang tercipta secara artifisial, yang kita sebut kegelapan.

Namun, sekarang rasanya tidak lagi demikian. Kehidupan sebagaimana kata orang adalah guru yang paling baik dalam mengajarkan banyak hal. Begitpun diriku. Dari kehidupan kita belajar bahwa kenyataan bahwa kegelapan barangkali adalah keabadian, sedangkan cahaya hanyalah realitas artifisial yang diciptakan manusia. Ruang kegelapan lebih luas. Sedang cahaya begitu relatif. Ia ada dan pada saat yang berbeda bisa meredup lalu hilang, setelah itu, ia menyisiakan kenyataan esensial kegelapan untuk kembali.

Cahaya itu diciptakan, sedangkan kegelapan tidak. Begitulah kebenaran kehidupan bagi kita yang ingin jujur untuk mengakui kehidupan apa adanya. Kehidupan seperti balon-balon sabun yang kita terbangkan ke udara. Begitu rapuh dan lemah, sebelum hilang tak berjejak.

Kita hidup dalam ketakutan, berjalan tergesa-gesa, meniupkan balon itu terus menerus, sembari berharap, namun tetap saja kita tak punya harapan untuk memenangkannya. Pengetahuan yang kita jadikan pegangan, tidak pernah benar-benar mampu memberikan kita jalan keluar hakiki untuk  keluar dari keptusasaan hidup. Sebaliknya, pengetahuan sebagaimana filsafat, ketimbah memberi jawaban lebih banyak hanya akan berkontribusi mempertegas dan memperjelas kebenaran bahwa hidup ini memang paradoks, palsu, dan sia-sia.

Sia-sia, seperti halnya seorang anak yang terus menerus meniupkan balon sabun itu, pecah lalu ditiup lagi, begitu seterusnya hingga tiba masanya ketika mereka sadar bahwa kenikmatan yang ia rasakan di sela-sela aktivitasnya itu adalah hal yang membosankan. Ketika kita mulai bertanya dititik kejenuhan dan kebosanan maka disitulah kita akan memahami hakikat terdalam dari kehidupan yang kita lalui. Ada banyak pertanyaan yang takkan pernah bisa kita temukan jawabannya, yang akhirnya melemparkan kita pada kekabungan hidup yang tak berkesudahan.  

Persis ketika Tolstoy berkata: “Pertanyaan yang memenuhi benakku diusia tua yang membuatku hampir bunuh diri adalah pertanyaan paling sederhana, yang tertanam di dalam jiwa setiap orang mulai anak yang paling bodoh sekalipun hingga orang dewasa yang paling bijak. Itu adalah pertanyaan tanpa yawaban yang tak bisa ditanggung seorangpun sebagaimana kuketahui dari pengalaman. Pertanyaan itu adalah, apa artinya semua ini dan apa yang akan terjadi dengan seluruh hidupku?”

Ia bangkit dari batinnya. Malam sudah larut. Ia mengambil sebuah buku kecil yang tergeletak di atas mejanya,lalu menuliskan: yang abadi adalah kegelapan, selebihnya palsu!