![]() |
Plukme.com |
Seperti
sebuah tatap kosong. Dua kelopak matanya tampak tidak lagi seimbang. Sebelah
kiri begitu sayu. Asap meliup-liup dari puntung rokok di tangan kirinya.
Seperti biasanya, hari itu terlalu melelahkan. Ia mengingat tadi siang.
Beberapa teman yang ia temui menanyakan kesehatan dirinya.
Pertanyaan-pertanyaan “Apakah Bung sehat?”. Seperti mengafirmasi bahwa dirinya
memang sakit.
Lesu,
murung. Begitulah temannya melihatnya. Kini ia baru 4 hari sejak meninggalkan
kota yang ia tinggali 3 tahun silam. Pikirannya kembali ke belakang. Memunguti
remah-rmah ingatan yang tersisa. Bukan karena rindu. Bukan. Karena rasa muak
barangkali yang benar-benar tak pernah sudi meninggalkannya.
Ia
mulai membatin:
Dulu ia punya
prinsip. Katanya, dimanapun kaki berpijak di kolong langit ini, bau rumput
tetap sama. Kebisingan tak pernah benar-benar pergi. Di alam kebisingan tak
beraturan itulah umur manusia akan terus bergelut dengan kesia-siaan. Banyak
yang berkata masa depan adalah gaib. Tapi tidak untuk dirinya. Baginya,
kegaiban yang dipersepsi manusia banyakan muncul lantaran ia tidak pernah
belajar dari kehidupan yang sesungguhnya.
Ini hanya soal
waktu, batinnya. Sambil menunggu itu tiba. Kita semua akan menghibur diri
dengan kesenangan palsu yang kita ciptakan untuk lari dari kenyataan. Dengan
keangkuhan bercampur kebodohan, kita menghibur diri seolah manusia bisa
merengkuh semua waktu.
Apa yang paling
sial bagi seorang anak muda di usia dini adalah menemukan kebenaran hidup
terlalu cepat. Kebenaran adalah kenyataan bahwa hidup itu tak berarti, kata Tolstoy.
Hidup adalah lelucon bodoh yang dimainkan seseorang terhadap diri kita. ‘Seseorang’
yang terlalu abstrak untuk kita tahu keberadaannya.
Manusia begitulah
dirinya. Ia seperti makhluk yang tersesat di hutan belantara diliputi ketakutan
dan ketidakpastian, mengais-ngais harapan untuk keluar namun tak pernah punya
jalan untuk menemukan pintu.
Mereka berdiri
di atas ruang hampa tanpa pijakan. Kita sebagaimana umat manusia lainnya berada
diambang keputusasaan hidup yang tak ada batasnya. Begitulah kenyataannya.
Arketip gagasan yang mencoba menghidupkan harapan hanyalah penghiburan diri
bagi mereka yang sudah tak tahan merasakan penindasan eksistensial hidup yang
tak berkesudahan. Kita semua adalah orang-orang lari dengan berbagai cara yang
kita pilih.
Dulu saya merasa
terlalu terobsesi untuk memandang kehidupan ini dalam bilangan putih.
Pengetahuan yang aku serap dibarengi dengan lokomotif ide-ide optimisme, aku memahami
bahwa dunia ini tercipta dari cahaya kebaikan. Cahaya adalah esensi utama kehidupan,
sedang kegelapan aku tempatkan sebagai konsekuesi sekuel dari ketiadaan cahaya,
yang keberadaannya tergantung pada cahaya. Seperti anak polos yang meyakini
bahwa kehidupan ini pada dasarnya baik, selebihnya hanyalah variabel-variabel
kehidupan yang tercipta secara artifisial, yang kita sebut kegelapan.
Namun, sekarang
rasanya tidak lagi demikian. Kehidupan sebagaimana kata orang adalah guru yang
paling baik dalam mengajarkan banyak hal. Begitpun diriku. Dari kehidupan kita
belajar bahwa kenyataan bahwa kegelapan barangkali adalah keabadian, sedangkan
cahaya hanyalah realitas artifisial yang diciptakan manusia. Ruang kegelapan
lebih luas. Sedang cahaya begitu relatif. Ia ada dan pada saat yang berbeda
bisa meredup lalu hilang, setelah itu, ia menyisiakan kenyataan esensial
kegelapan untuk kembali.
Cahaya itu
diciptakan, sedangkan kegelapan tidak. Begitulah kebenaran kehidupan bagi kita
yang ingin jujur untuk mengakui kehidupan apa adanya. Kehidupan seperti
balon-balon sabun yang kita terbangkan ke udara. Begitu rapuh dan lemah, sebelum
hilang tak berjejak.
Kita hidup dalam
ketakutan, berjalan tergesa-gesa, meniupkan balon itu terus menerus, sembari
berharap, namun tetap saja kita tak punya harapan untuk memenangkannya.
Pengetahuan yang kita jadikan pegangan, tidak pernah benar-benar mampu
memberikan kita jalan keluar hakiki untuk
keluar dari keptusasaan hidup. Sebaliknya, pengetahuan sebagaimana
filsafat, ketimbah memberi jawaban lebih banyak hanya akan berkontribusi
mempertegas dan memperjelas kebenaran bahwa hidup ini memang paradoks, palsu,
dan sia-sia.
Sia-sia, seperti
halnya seorang anak yang terus menerus meniupkan balon sabun itu, pecah lalu
ditiup lagi, begitu seterusnya hingga tiba masanya ketika mereka sadar bahwa
kenikmatan yang ia rasakan di sela-sela aktivitasnya itu adalah hal yang
membosankan. Ketika kita mulai bertanya dititik kejenuhan dan kebosanan maka
disitulah kita akan memahami hakikat terdalam dari kehidupan yang kita lalui. Ada
banyak pertanyaan yang takkan pernah bisa kita temukan jawabannya, yang
akhirnya melemparkan kita pada kekabungan hidup yang tak berkesudahan.
Persis ketika
Tolstoy berkata: “Pertanyaan yang memenuhi benakku diusia tua yang membuatku
hampir bunuh diri adalah pertanyaan paling sederhana, yang tertanam di dalam jiwa
setiap orang mulai anak yang paling bodoh sekalipun hingga orang dewasa yang
paling bijak. Itu adalah pertanyaan tanpa yawaban yang tak bisa ditanggung
seorangpun sebagaimana kuketahui dari pengalaman. Pertanyaan itu adalah, apa
artinya semua ini dan apa yang akan terjadi dengan seluruh hidupku?”
Ia bangkit dari batinnya. Malam sudah larut. Ia mengambil
sebuah buku kecil yang tergeletak di atas mejanya,lalu menuliskan: yang abadi
adalah kegelapan, selebihnya palsu!