Ia duduk. Ini adalah persinggahan kedua bagi dirinya. Di sebuah
tembok yang datar ia bersandar. Perjalanan hari ini begitu melelahkan, katanya.
Diambilnya rokok, dihisapnya pelan-pelan. Dalam bayang-bayangnya ia meramu satu
persatu ingatan yang lalu. Satu persatu rasa muak muncul kembali mengingat yang
lalu-lalu. Ia mulai membatin:
Perjalanan
ini mengajarkan banyak hal. Ada rasa bosan, terlebih rasa muak yang menggoncang
tubuh dari dalam, menyaksikan kebenaran apa yang pernah dikatakan Nietzche
bahwa manusia itu adalah binatang yang berpipih merah.
Kalau
kau adalah gula maka semut akan mengerumunimu. Dan itu takkan terjadi ketika
kau telah menjadi abu yang habis terbakar. Kau akan terbang, diterbangkan
dengan mudahnya, dihempaskan oleh tiupan kecil sekalipun.
Dulu
saya berpikir dunia ini begitu luas. Ada banyak rahasia kehidupan yang hampir
tak terjamah oleh manusia kebanyakan. Rasa-rasanya semakin kita menyelaminya,
yang terasa hanya lautan asing yang membekukan.
Ada
irisan rasa muak yang tersisa kepada mereka yang telah terlanjur menempatkan
kebebasan untuk menjadi manusia merdeka sebagai prinsip hidup. Tak ada sama
sekali hasrat untuk memerintah begitupun untuk diperintah. Karena hidup terlampau
sederhana untuk itu semua, kecuali untuk menjadi manusia merdeka, itu adalah
keniscayaan.
Akhirnya,
suatu saat kita semua akan tahu. Bahwa dimanapun bumi dipijak kehidupan tetap
sama. Tak ada bedanya, kutub utara atau kutub selatan, sebab bagaimanapun bumi
ini bergerak, manusia tetaplah manusia. Ia tetap sejenis binatang yang berpipih
merah.
Bagaimana
pun manusia memoles dirinya dengan rupa yang menggemaskan, ia tetap lah tidak
bisa mengubah kegelapan yang tersembunyi dari jiwanya. Di dalam kegelapan itu
ada hasrat, ada ambisi, ada rupa-rupa kenyataan untuk menaklukkan. Maka jangan
heran, kalau dulu sejarah spesies kita memang hanyalah sejarah tentang perang. Sejarah
tentang perbudakan, sejarah tentang kekejaman dan kejahatan—tak lebih dari itu.
Di
sebuah lesung pipih dan rupa kemerah-merahan, di balik senyum ada taring yang
begitu tajam tepat dirahang yang siap mengoyak. Membunuh, menghabisi harapan
siapa saja yang enggan untuk takluk menjai santapan.
Dan
kita pun paham, kenapa dalam sejarah manusia itu sendiri, selalu muncul orang
perorang yang berusaha lari dari kehidupan manusia. Ada yang kita kenal dengan
istilah samnyasin di belahan India kuno sama dengan istilah kaum sufi dalam
tradisi Timur Tengah.
Mereka
adalah golongan ‘penyendiri’ yang menjadikan kesendirian sebagai laku protes terhadap
kehidupan manusia yang rusak, hipokrit, feodal yang memuakkan. Mereka bukanlah
orang-orang lari, melainkan adalah orang-orang yang telah melancarkan protes
yang sangat keras bagi kehidupan manusia itu sendiri. Mereka adalah orang-orang
yang ingin menghancurkan samasara penderitaan, meretakkan segel kutukan yang
tergembong rapat dijiwa manusia.
Manusia
begitulah dirinya, semakin ia bangkit menuju terang, semakin dalam akarnya ke bawah menuju gelap.
“Bis sudah harus berangkat, ayo cepat….!”
Ia terkejut. Mendengar teriakan kondektur bis. Ia bangkit. Bis
yang ia tunggu sudah tiba, ia lalu bergegas meninggalkan batin yang belum
selesai.
Ia naik, duduk tepat
di baris kelima dari sopir bus dekat jendela. Ia melihat kondektur bis itu
berteriak-teriak mencari penumpang. Dalam bayangannya, teriakan kondektur bis
itu mengingatkan teriakannya Zarathustra (dalam karyanya Nieeztsche), seolah
berteriak:
Larilah
kawanku… ke dalam kesendirianmu! Sebab kulihat engkau dipekakkan oleh suara
bising orang-orang yang mendaku manusia! Larilah kawanku… ke dalam kesendiriamu!
Aku melihat engkau disengat di sana-sini oleh lalat-lalat beracun yang
mematikan! Larilah kawanku…..larilah….
“PAAANGGGG….”, bunyi klakson bis. Bis sudah berlari kencang.
Laki-laki itu berusaha memejamkan mata. Ia tahu, perjalanan
yang harus ditempuh hari itu masih cukup jauh. Ia harus mengatur persediaan
energi yang cukup. Ia tertidur. Di dalam tertidurnya ia bermimpi berdiri diatas
panggung yang kosong, membaca puisi Chairil Anwar berulang-ulang dengan keras
penuh emosi yang dalam:
Kami pejalan larut
Menembus kabut
Berkakuan kapal-kapal pelabuhan
Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat
Engkau tanya jam berapa?
Sudah larut sekali, gumamku
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak pun terhenti
***