| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Selasa, 03 Juli 2018

Laki-Laki dalam Perjalanan – [Part 1]



Ia duduk. Ini adalah persinggahan kedua bagi dirinya. Di sebuah tembok yang datar ia bersandar. Perjalanan hari ini begitu melelahkan, katanya. Diambilnya rokok, dihisapnya pelan-pelan. Dalam bayang-bayangnya ia meramu satu persatu ingatan yang lalu. Satu persatu rasa muak muncul kembali mengingat yang lalu-lalu. Ia mulai membatin:

Perjalanan ini mengajarkan banyak hal. Ada rasa bosan, terlebih rasa muak yang menggoncang tubuh dari dalam, menyaksikan kebenaran apa yang pernah dikatakan Nietzche bahwa manusia itu adalah binatang yang berpipih merah.

Kalau kau adalah gula maka semut akan mengerumunimu. Dan itu takkan terjadi ketika kau telah menjadi abu yang habis terbakar. Kau akan terbang, diterbangkan dengan mudahnya, dihempaskan oleh tiupan kecil sekalipun.

Dulu saya berpikir dunia ini begitu luas. Ada banyak rahasia kehidupan yang hampir tak terjamah oleh manusia kebanyakan. Rasa-rasanya semakin kita menyelaminya, yang terasa hanya lautan asing yang membekukan.

Ada irisan rasa muak yang tersisa kepada mereka yang telah terlanjur menempatkan kebebasan untuk menjadi manusia merdeka sebagai prinsip hidup. Tak ada sama sekali hasrat untuk memerintah begitupun untuk diperintah. Karena hidup terlampau sederhana untuk itu semua, kecuali untuk menjadi manusia merdeka, itu adalah keniscayaan.

Akhirnya, suatu saat kita semua akan tahu. Bahwa dimanapun bumi dipijak kehidupan tetap sama. Tak ada bedanya, kutub utara atau kutub selatan, sebab bagaimanapun bumi ini bergerak, manusia tetaplah manusia. Ia tetap sejenis binatang yang berpipih merah.

Bagaimana pun manusia memoles dirinya dengan rupa yang menggemaskan, ia tetap lah tidak bisa mengubah kegelapan yang tersembunyi dari jiwanya. Di dalam kegelapan itu ada hasrat, ada ambisi, ada rupa-rupa kenyataan untuk menaklukkan. Maka jangan heran, kalau dulu sejarah spesies kita memang hanyalah sejarah tentang perang. Sejarah tentang perbudakan, sejarah tentang kekejaman dan kejahatan—tak lebih dari itu.

Di sebuah lesung pipih dan rupa kemerah-merahan, di balik senyum ada taring yang begitu tajam tepat dirahang yang siap mengoyak. Membunuh, menghabisi harapan siapa saja yang enggan untuk takluk menjai santapan.

Dan kita pun paham, kenapa dalam sejarah manusia itu sendiri, selalu muncul orang perorang yang berusaha lari dari kehidupan manusia. Ada yang kita kenal dengan istilah samnyasin di belahan India kuno sama dengan istilah kaum sufi dalam tradisi Timur Tengah.

Mereka adalah golongan ‘penyendiri’ yang menjadikan kesendirian sebagai laku protes terhadap kehidupan manusia yang rusak, hipokrit, feodal yang memuakkan. Mereka bukanlah orang-orang lari, melainkan adalah orang-orang yang telah melancarkan protes yang sangat keras bagi kehidupan manusia itu sendiri. Mereka adalah orang-orang yang ingin menghancurkan samasara penderitaan, meretakkan segel kutukan yang tergembong rapat dijiwa manusia.

Manusia begitulah dirinya, semakin ia bangkit menuju terang, semakin dalam akarnya  ke bawah menuju gelap.

“Bis sudah harus berangkat, ayo cepat….!”

Ia terkejut. Mendengar teriakan kondektur bis. Ia bangkit. Bis yang ia tunggu sudah tiba, ia lalu bergegas meninggalkan batin yang belum selesai.

Ia  naik, duduk tepat di baris kelima dari sopir bus dekat jendela. Ia melihat kondektur bis itu berteriak-teriak mencari penumpang. Dalam bayangannya, teriakan kondektur bis itu mengingatkan teriakannya Zarathustra (dalam karyanya Nieeztsche), seolah berteriak:

Larilah kawanku… ke dalam kesendirianmu! Sebab kulihat engkau dipekakkan oleh suara bising orang-orang yang mendaku manusia! Larilah kawanku… ke dalam kesendiriamu! Aku melihat engkau disengat di sana-sini oleh lalat-lalat beracun yang mematikan! Larilah kawanku…..larilah….

“PAAANGGGG….”, bunyi klakson bis. Bis sudah berlari kencang.

Laki-laki itu berusaha memejamkan mata. Ia tahu, perjalanan yang harus ditempuh hari itu masih cukup jauh. Ia harus mengatur persediaan energi yang cukup. Ia tertidur. Di dalam tertidurnya ia bermimpi berdiri diatas panggung yang kosong, membaca puisi Chairil Anwar berulang-ulang dengan keras penuh emosi yang dalam:

Kami pejalan larut
Menembus kabut
Berkakuan kapal-kapal pelabuhan
Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat

Engkau tanya jam berapa?

Sudah larut sekali, gumamku
Hilang tenggelam segala makna
Dan gerak pun terhenti

***