MATANYA sayu namun tajam. Di dalam bola matanya tersimpang
iba. Ia adalah satu diantara mereka yang berjuang melawan takdir. Ketika sebagian
orang mengeluh panasnya terik matahari siang. Ia tidak. Tubuhnya sudah kenyang
akan panas dan dingin. Kulitnya menghitam terbakar terik. Pagi sampai malam
adalah kehidupan ia lalui. Tanpa pernah barangkalai mengeluh. Di jalan mereka
hidup. Berdiri tegar bersama kerasnya hidup di tengah keramaian banyak orang
yang ingin menyembah tuhan, sembari menjajakan koran penyambung hidupnya.
Umurnya barangkali baru 6 tahun. Waktunya yang mudah untuk
bermain, bersekolah sebayanya. Namun begitulah hidup yang datang menghampirinya
tanpa pernah diberi pilihan. Barangkali dalam ingatannya apa yang ia lihat anak
sebayanya adalah dunia yang begitu asing bagi dirinya. Mereka mungkin tak
pernah berpikir layaknya para anak sekolahan yang bercita-cita ingin jadi
dokter, ilmuwan, atau pengusaha. Yang ia bayangkan hanya apakah koran
dijinjinan tangannya hari itu laku atau tidak. Suatu hidup yang terlampaui
sederhana ia lalui dengan tegar.
Saya benar-benar tersentak. Entah perasaan apa yang
membuncah ini. Perasaan yang sama pada anak paruh baya yang sempat kujumpai sebelumnya
di pinggir lampu merah dua hari sebelumnya. Berbekal lap kain di tangannya, anak
kecil itu mengusap kaca mobil yang berhenti dipersimpangan lampu merah itu,
dengan harap bisa mendapatkan receh dari para puan-puan penggunan mobil
dijalan, tanpa pernah memaksa.
Dua anak yang kujumpai ini seperti mengentak iba yang tak
tertara dalam diri. Dalam perjalanan pulang di atas motor, terasa ada hal yang
benar-benar menguap dalam batinku, yang tak bisa aku simpulkan. Suatu perasaan
yang barangkali bisa aku katakan sebagai perjalanan spritual tersendiri. Di jalan
rasa-rasanya aku menemukan hal-hal berharga tentang hidup ini lebih dari yang
kudapatkan dimanapun. Kepedihan hati yang bercampur-campur yang tak pernah bisa
aku mengerti. Suatu perasaan yang bahkan tidak pernah aku temukan di
ruang-ruang dimana manusia lazim menyembah tuhan sekalipun.
Barangkali Gandhi benar. Tuhan
selalu hadir di wajah orang-orang kecil. Wajah-wajah yang bahkan selama ini
diabaikan di tempat dimana manusia merayakan keberadaan tuhan sekalipun.
Barangkali, seandainya tuhan mengutus kembali para nabinya
yang telah kembali ke sisinya melihat ini semua. Saya yakin ia akan
geleng-geleng kepala, menyaksikan betapa bodoh para umat-umatnya ini. Ia membangunkan
tuhan tempat-tempat yang mewah, tanpa pernah menemukan tuhan di dalamnya. Mereka
ingin mengkarangkeng tuhan di altar sempit yang ia cipta, sembari terus menerus
menafikan manifestasi-manifestasi tuhan pada orang-orang kecil di
sekelilingnya.
Mereka kagum dengan hasil cipta karya tangan mereka sendiri,
lalu mengkapling-kapling klaim ketuhanan atas kebenaran mereka sendiri menjadi
identitas, lalu memuja dan memujinya dalam keadaan yang penuh kegilaan, sembari
berlindung dalam ketenangan-ketenagngan yang tak ada bedanya dengan menghirup
heroin di bar-bar malam. Lalu pulang, dengan segala ketenagan palsu yang
dimilikinya, tanpa pernah berpikir bahwa dibalik istana kekayaannya ada
wajah-wajah tuhan yang mengibaskan tembikar menghitung hari untuk bertahan
hidup, tepat disamping istana tuhannya yang mewah itu.
Aku berpikir, bahwa tempat-tempat ibadah suatu saat akan
menjadi museum sejarah yang mengingatkan kebodohan manusia masa lalu. Persis
ketika para arkeolog menemukan purbakala-purbakala manusia-manusia lampau. Melihat
para orang-orang beragama lebih sibuk bertengkar pada urusan pendirian tempat
ibadah daripada memperbaiki kondisi sosialnya yang sudah sekarat senjang.
“Aku muak dengan kemegahan palsu,” kata Iqbal—Sang filsuf
penyair. “Padamkan lampu di semua kelenteng dan mesjid,” lanjutnya. “Sebab mereka
mencoba menipu tuhan dengan berhala-berhala. Dengan sujud bicara tanpa makna. Kemudian
arahkan pandang kepada semua pemuka agama. Sebab mereka berdiir bagai tirai
besi yang memisahkan manusia dan tuhan…”
Kebenaran dalam agama seperti mendayung-dayung layaknya
balon udara yang kosong, terbang lalu hilang sekejap tanpa jejak. Seperti halnya
dengan tuhan di mata manusia. Ia datang sejenak lalu hilang dalam waktu yang
lama yang bahkan tak pernah ditemukan sama sekali dalam kehidupan.
Hidup semakin jalang. Di tengah-tengahnya dimana agama
perlahan-lahan lapuk dimakan usia yang lumpuh dalam mengambil peran sosial. Para
beton-beton tembok-tembok tempat ibadah dibongkar, dibangun kembali, dibongkar
lagi, dibangun kembali dan seterusnya; terus diperkilat dan dimewahkan, sekadar
untuk menghabiskan uang sumbangan milik umatnya.
Namun disudut-sudut sana, para orang-orang kecil yang
terbuang duduk termangu-mangu dalam keadaan lapar, memanggul beban di pundaknya,
menyaksikan tepat di samping kotak sumbangan yang tergembok rapat; betapa
kayanya tuhan yang meminggirkan dirinya. Seolah ingin berkata; Pandanglah ke bawah. Tak ada tuhan di
atas. Tuhan yang baik. Hanya neraka di bawah sini…