| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Jumat, 23 Maret 2018

Di Bawah Altar



MATANYA sayu namun tajam. Di dalam bola matanya tersimpang iba. Ia adalah satu diantara mereka yang berjuang melawan takdir. Ketika sebagian orang mengeluh panasnya terik matahari siang. Ia tidak. Tubuhnya sudah kenyang akan panas dan dingin. Kulitnya menghitam terbakar terik. Pagi sampai malam adalah kehidupan ia lalui. Tanpa pernah barangkalai mengeluh. Di jalan mereka hidup. Berdiri tegar bersama kerasnya hidup di tengah keramaian banyak orang yang ingin menyembah tuhan, sembari menjajakan koran penyambung hidupnya.

Umurnya barangkali baru 6 tahun. Waktunya yang mudah untuk bermain, bersekolah sebayanya. Namun begitulah hidup yang datang menghampirinya tanpa pernah diberi pilihan. Barangkali dalam ingatannya apa yang ia lihat anak sebayanya adalah dunia yang begitu asing bagi dirinya. Mereka mungkin tak pernah berpikir layaknya para anak sekolahan yang bercita-cita ingin jadi dokter, ilmuwan, atau pengusaha. Yang ia bayangkan hanya apakah koran dijinjinan tangannya hari itu laku atau tidak. Suatu hidup yang terlampaui sederhana ia lalui dengan tegar.

Saya benar-benar tersentak. Entah perasaan apa yang membuncah ini. Perasaan yang sama pada anak paruh baya yang sempat kujumpai sebelumnya di pinggir lampu merah dua hari sebelumnya. Berbekal lap kain di tangannya, anak kecil itu mengusap kaca mobil yang berhenti dipersimpangan lampu merah itu, dengan harap bisa mendapatkan receh dari para puan-puan penggunan mobil dijalan, tanpa pernah memaksa.

Dua anak yang kujumpai ini seperti mengentak iba yang tak tertara dalam diri. Dalam perjalanan pulang di atas motor, terasa ada hal yang benar-benar menguap dalam batinku, yang tak bisa aku simpulkan. Suatu perasaan yang barangkali bisa aku katakan sebagai perjalanan spritual tersendiri. Di jalan rasa-rasanya aku menemukan hal-hal berharga tentang hidup ini lebih dari yang kudapatkan dimanapun. Kepedihan hati yang bercampur-campur yang tak pernah bisa aku mengerti. Suatu perasaan yang bahkan tidak pernah aku temukan di ruang-ruang dimana manusia lazim menyembah tuhan sekalipun.

Barangkali Gandhi benar. Tuhan selalu hadir di wajah orang-orang kecil. Wajah-wajah yang bahkan selama ini diabaikan di tempat dimana manusia merayakan keberadaan tuhan sekalipun.

Barangkali, seandainya tuhan mengutus kembali para nabinya yang telah kembali ke sisinya melihat ini semua. Saya yakin ia akan geleng-geleng kepala, menyaksikan betapa bodoh para umat-umatnya ini. Ia membangunkan tuhan tempat-tempat yang mewah, tanpa pernah menemukan tuhan di dalamnya. Mereka ingin mengkarangkeng tuhan di altar sempit yang ia cipta, sembari terus menerus menafikan manifestasi-manifestasi tuhan pada orang-orang kecil di sekelilingnya.

Mereka kagum dengan hasil cipta karya tangan mereka sendiri, lalu mengkapling-kapling klaim ketuhanan atas kebenaran mereka sendiri menjadi identitas, lalu memuja dan memujinya dalam keadaan yang penuh kegilaan, sembari berlindung dalam ketenangan-ketenagngan yang tak ada bedanya dengan menghirup heroin di bar-bar malam. Lalu pulang, dengan segala ketenagan palsu yang dimilikinya, tanpa pernah berpikir bahwa dibalik istana kekayaannya ada wajah-wajah tuhan yang mengibaskan tembikar menghitung hari untuk bertahan hidup, tepat disamping istana tuhannya yang mewah itu.

Aku berpikir, bahwa tempat-tempat ibadah suatu saat akan menjadi museum sejarah yang mengingatkan kebodohan manusia masa lalu. Persis ketika para arkeolog menemukan purbakala-purbakala manusia-manusia lampau. Melihat para orang-orang beragama lebih sibuk bertengkar pada urusan pendirian tempat ibadah daripada memperbaiki kondisi sosialnya yang sudah sekarat senjang.

Aku muak dengan kemegahan palsu,” kata Iqbal—Sang filsuf penyair. “Padamkan lampu di semua kelenteng dan mesjid,” lanjutnya. “Sebab mereka mencoba menipu tuhan dengan berhala-berhala. Dengan sujud bicara tanpa makna. Kemudian arahkan pandang kepada semua pemuka agama. Sebab mereka berdiir bagai tirai besi yang memisahkan manusia dan tuhan…”

Kebenaran dalam agama seperti mendayung-dayung layaknya balon udara yang kosong, terbang lalu hilang sekejap tanpa jejak. Seperti halnya dengan tuhan di mata manusia. Ia datang sejenak lalu hilang dalam waktu yang lama yang bahkan tak pernah ditemukan sama sekali dalam kehidupan.

Hidup semakin jalang. Di tengah-tengahnya dimana agama perlahan-lahan lapuk dimakan usia yang lumpuh dalam mengambil peran sosial. Para beton-beton tembok-tembok tempat ibadah dibongkar, dibangun kembali, dibongkar lagi, dibangun kembali dan seterusnya; terus diperkilat dan dimewahkan, sekadar untuk menghabiskan uang sumbangan milik umatnya.

Namun disudut-sudut sana, para orang-orang kecil yang terbuang duduk termangu-mangu dalam keadaan lapar, memanggul beban di pundaknya, menyaksikan tepat di samping kotak sumbangan yang tergembok rapat; betapa kayanya tuhan yang meminggirkan dirinya. Seolah ingin berkata; Pandanglah ke bawah. Tak ada tuhan di atas. Tuhan yang baik. Hanya neraka di bawah sini…