| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Senin, 01 Januari 2018

Dinding Biru


GESEKAN biola itu betul-betul menggugahnya. Pikirannya terasa tenang, seperti melampaui 2-3 masa yang lewat. Semua ingatan menyeruak satu persatu. Bus terus melaju kencang tak peduli. Anak muda itu menyandarkan tubuh menghela nafas. Matanya tak berkedip seperti menatap waktu. Lebih 1.000 Km ia berjalan, namun takpernah tahu sebabnya.

Ia merabah rompinya mengeluarkan kamera pocket memotret dari balik kaca bus. Sesekali mengeluarkan buku kecilnya mencatat entah apa yang ia catat. Ia sebenarnya ngantuk berat karena perjalanan panjang itu, namun enggan untuk memejamkan mata. Ada pertanyaan-pertanyaan yang mengganggunya.

Aura dinginnya malam telah tiba. Kondektur bus sudah memberi tanda, bahwa dirinya sudah harus bergegas. Ia akhirnya turun menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya di kota yang begitu asing bagi dirinya. Ia masuk ke terminal sembari menjinjing sehelai pakaian yang ia kemas dalam ranselnya yang bertumpukan bebrapa buku. Ditembok biru kusam ia menyandarkan diri, sendiri.

Di kota ini katanya dalam hati, ada banyak kisah pilu yang dipanggul oleh manusianya. Kepiluan atas kehilangan. Jejak darah dan air mata berseliweran di atas segala bencana. Perang hingga tsunami. Memupus seluruh kenangan menyisakan luka meringis. Barangkali itulah artinya dinginnya malam dan sunyinya waktu menyambut.

Jam sudah menunjukkan pukul 01.41, kota sudah sepi. Hanya beberapa proletar yang masih lalu-lalang menawarkan ojek. Anak muda itu, masih enggan beranjak, pikirannya masih tak selesai sejak mendengarkan biola di bus tadi. Biola tadi memang seperti tangisan anak kecil merengek-rengek. Ia tersentuh seperti baru saja ia dilanda kesedihan mendalam.

Ia termenung. Matanya mengarah kepada orang-orang terminal yang asyik main domino itu, namun pikirannya melayang-layang. Ia seperti tak percaya dirinya sudah terlampau jauh berjalan. Ia hanya percaya, dimanapun manusia hidup kehidupan akan tetap sama. Entah ia berada di kutub utara atau selatan sekalipun.

Ia merogoh rokok di rompinya, menghembuskan asapnya tebal-tebal. Jam sudah menujukkan pukul 02.36. Ia kembali mengambil catatannya mencatat entah apa.

Ah.. ia menyela meyakinkan diri. Barangkali GM ada benarnya:

senja pun jadi kecil
kota pun jadi putih
dari sayap langit yang beku
ketika burung-burung di rumput-rumput dingin
berhenti mempermainkan waktu
ketika kita berdiri sunyi
pada dinding biru ini
menghitung ketidakpastian
menunggu seluruh usia…

Ya... Barangkali tentang manusia yang meramu kenangan sebelum semuanya terkubur oleh usia… .Sepertinya tak ada yang berubah bagi manusia. Selain bahwa yang tua akan layu dan yang muda akan kuncup. Satu-satunya yang memperantarainya hanyalah kesunyian. Sisanya hanyalah tentang bagaimana manusia bermain-main dengan waktu menghabiskan seluruh usianya.

Ia lalu berdiri, beranjak. Menghilang di tengah kegelapan kota entah menuju kemana sembari membawa pertanyaan-pertanyaan yang selalu datang mengganggunya.*