GESEKAN biola itu betul-betul menggugahnya. Pikirannya terasa
tenang, seperti melampaui 2-3 masa yang lewat. Semua ingatan menyeruak satu
persatu. Bus terus melaju kencang tak peduli. Anak muda itu menyandarkan tubuh
menghela nafas. Matanya tak berkedip seperti menatap waktu. Lebih 1.000 Km ia
berjalan, namun takpernah tahu sebabnya.
Ia merabah rompinya mengeluarkan kamera pocket memotret dari balik kaca bus. Sesekali mengeluarkan buku
kecilnya mencatat entah apa yang ia catat. Ia sebenarnya ngantuk berat karena
perjalanan panjang itu, namun enggan untuk memejamkan mata. Ada pertanyaan-pertanyaan
yang mengganggunya.
Aura dinginnya malam telah tiba. Kondektur bus sudah memberi
tanda, bahwa dirinya sudah harus bergegas. Ia akhirnya turun menginjakkan
kakinya untuk pertama kalinya di kota yang begitu asing bagi dirinya. Ia masuk
ke terminal sembari menjinjing sehelai pakaian yang ia kemas dalam ranselnya yang
bertumpukan bebrapa buku. Ditembok biru kusam ia menyandarkan diri, sendiri.
Di kota ini katanya dalam hati, ada banyak kisah pilu yang
dipanggul oleh manusianya. Kepiluan atas kehilangan. Jejak darah dan air mata
berseliweran di atas segala bencana. Perang hingga tsunami. Memupus seluruh
kenangan menyisakan luka meringis. Barangkali itulah artinya dinginnya malam
dan sunyinya waktu menyambut.
Jam sudah menunjukkan pukul 01.41, kota sudah sepi. Hanya beberapa
proletar yang masih lalu-lalang menawarkan ojek. Anak muda itu, masih enggan beranjak, pikirannya masih tak
selesai sejak mendengarkan biola di bus tadi. Biola tadi memang seperti
tangisan anak kecil merengek-rengek. Ia tersentuh seperti baru saja ia dilanda
kesedihan mendalam.
Ia termenung. Matanya mengarah kepada orang-orang terminal
yang asyik main domino itu, namun pikirannya melayang-layang. Ia seperti tak
percaya dirinya sudah terlampau jauh berjalan. Ia hanya percaya, dimanapun
manusia hidup kehidupan akan tetap sama. Entah ia berada di kutub utara atau
selatan sekalipun.
Ia merogoh rokok di rompinya, menghembuskan asapnya tebal-tebal. Jam sudah menujukkan pukul 02.36. Ia kembali mengambil catatannya mencatat entah apa.
Ah.. ia menyela meyakinkan diri. Barangkali
GM ada benarnya:
senja pun jadi kecil
kota pun jadi putih
dari sayap langit yang beku
ketika burung-burung di rumput-rumput dingin
berhenti mempermainkan waktu
ketika kita berdiri sunyi
pada dinding biru ini
menghitung ketidakpastian
menunggu seluruh usia…
Ya... Barangkali tentang
manusia yang meramu kenangan sebelum semuanya terkubur oleh usia… .Sepertinya
tak ada yang berubah bagi manusia. Selain bahwa yang tua akan layu dan yang
muda akan kuncup. Satu-satunya yang memperantarainya hanyalah kesunyian. Sisanya
hanyalah tentang bagaimana manusia bermain-main dengan waktu menghabiskan
seluruh usianya.
Ia lalu berdiri, beranjak. Menghilang di tengah kegelapan kota entah menuju kemana sembari membawa pertanyaan-pertanyaan yang selalu datang mengganggunya.*