| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Selasa, 10 Oktober 2017

Orang-Orang Kesepian Berseragam


“Kalian sebenarnya adalah orang-orang kesepian yang menjadikan sekolah sebagai tempat pelarian. Bukan begitu? Karena itu, terlalu sulit untuk berbicara hal-hal serius dihadapan kalian,” begitulah pendeta ilmu berujar sebelum menutup ruang belajar yang ia mampu, disambut tawa dengan berbagai ekspresi oleh muridnya.

Ada yang mungkin menganggap kata-kata itu hanya lelucon menyembunyikan amarah sang pendeta ilmu melihat tingkah laku sang murid. Ada juga yang mungkin merasa baru kali ini mendengar kata yang terlalu puitis untuk ukuran telinga mereka. Sang pendeta ilmu tidak yakin kalau satu kalimat yang ia sampaikan tersebut terpahami. Yang jelas bagi sang pendeta ilmu, lebih baik mengkonversi amarah lewat untaian kata yang lebih bijak ketimbang mengekspresikan begitu saja secara frontal.

Tapi aku melihat dari muka mereka bahwa ia mengamini itu benar. Mereka memang adalah kumpulan orang-orang kesepian yang selalu mencari cara untuk melawan hal itu. Kebisingan adalah hasilnya. Karena itu ada hal dimana sang pendeta ilmu akan meletimasi pengwajaran lalu-lalang kebisingan kelas itu dengan mempersepsi bahwa murid-murid di depannya ini adalah kumpulan orang-orang terpaksa mengikuti autran yang ia tak ingini.  Mereka sebenarnya adalah orang-orang tertindas oleh struktur, lalu larut dalam doktrin-doktrin imajinasi ancaman akan masa depan untuk berdamai dengan kenyataan buruk yang mengikatnya.

Mereka adalah manusia yang telah berhasil dirubah menjadi orang-orangan. Dikontrol dengan mudah lewat apa saja, selama itu terkait dengan nilai yang bagi mereka sangat penting itu. Mereka menghabiskan waktunya dengan basa-basi yang tak penting. Mengerjakan sesuatu yang sama sekali tidak terikat oleh kebutuhan mereka.

Benar-benar, hampir 12 tahun kesadaran mereka dikoyak-koyak oleh sistem yang bernama sekolah, kehilangan unsur kekritisan selain sekadar mengikuti apa yang sudah pakem. Mereka adalah orang-orang yang tak butuh alasan untuk melakukan sesuatu selama itu adalah perintah. Ini benar-benar menyedihkan. Bagaimana mungkin kita menganggap ada tujuan manusiawi yang ingin dicapai oleh sistem demikian?

“Waktu saya sudah habis. Tugas yang kamu kerjakan tadi tak usah dikumpul,” kata sang pendeta ilmu. Sang murid diam, bingung, dalam pikir ia berkata: gila! Capek-capek bikin tak dinilai pulak! Dari ekspresinya nampak kalau ia menuntut alasan, kenapa?

“Menurut kalian tugas demikian itu penting atau tidak?” tanya sang pendeta ilmu.

“Penting pak…. .,” jawabnya.

“Penting untuk apa?” Untuk nilai pak.

“Ada yang menganggap tugas demikian tidak penting?” tanya sang pendeta. Suasana jadi hening. Tak ada yang bersuara. Dari ekspresinya ia takut.

“Kalau begitu menurut saya itu sama sekali tidak penting!”, simpul sang Pendeta memancing. Mereka tampak sumringah mengangguk mengafirmasi sepakat. “Kami sebenarnya berpikir demikian, cuma takut bilang tidak penting,” sanggahnya.

Begitulah basa-basi dilakukan. Para murid yang diklaim seabgai kaum terpelajar tak perlu butuh alasan untuk mengetahui, cukup melakukan. Bagaimana mungkin ada sesuatu yang penting ketika ia menulis ulang sesuatu yang ia pindahkan dari buku paketnya sendiri, tanpa ia tahu apa yang ia tulis? Demi sekadar untuk memenuhi keinginan sang empunya otoritas?

Ada hal yang terasa gila, ketika kita melihat bagaimana mungkin orang bisa menikmati basa-basi yang tidak perlu demikian? Persis seperti gambar di atas. Para murid yang kita sebut pelajar demikian berada dalam lingkaran absurditas seperti itu. Ia adalah kumpulan-kumpulan orang-orang yang menikmati basa-basi dan ketertindasan mereka sendiri demi sebongkah otoritas kecil yang menindih mereka dari atas sembari tersenyum-senyum.

Mereka-mereka yang seperti dikatakan oleh Tan Malaka, adalah pelajar-pelajar inlader yang dicipta laku penakut oleh politik pendidikan kolonial. Penakut bahkan untuk sekdar bertanya sekalipun. Tepat, ketika Tan menyebut pendidikan pendiaman demikian adalah racun bagi kesadaran anak bangsa.

Yang tersisa dari aktivitas yang diklaim belajar demikian hanyalah rutinitas sembari menunggu waktu berlalu, menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja dengan sia-sia. Tak ada yang lebih berguna sekolah bagi mereka selain tempat untuk mengobrol. Hal yang mereka tak dapatkan di luar. Pada titik tertentu mereka adaah orang-orang kesepian yang terselamatkan oleh sekolah, namun juga kembali ditindih oleh budaya pendiaman yang sistematis yang datang dari sekolah itu sendiri.*



Minggu, 08 Oktober 2017

Sekolah? dan Lelucon yang tak Selesai-Selesai

Tulisan ini diawali dengan bertanya. Sekolah? Mungkin banyak diantara kita yang balik bertanya, bukankah ini pertanyaan konyol basa-basi? Kenapa sih mesti mempertanyakan ulang apa itu sekolah? Bukankah definisi sekolah itu sangat sederhana dan sudah jelas? Sebuah gedung dimana anak-anak belajar, di dalamnya ada pengajar yang kita sebut guru? Coba apalagi. Ini tambahin: Ada buku paket, ada meja, ada bangku, ada aturan, ada hukuman, ada otoritas, dan tentu saja ada SPP (nah, ini yang super penting), dan lain sebagainya. Lantas buat apa nanya lagi tentang apa itu sekolah?

Bagi mereka yang memandang sekolah sebagai kenyataan apa adanya, mungkin pertanyaan ini terkesan konyol. Bagaimana tidak konyolnya, siapa yang tak bisa memberi definisi apa itu sekolah? Anak TK aja tahu.

Kalau saja pertanyaan ini adalah pertanyaan ujian, maka jawabannya pun mungkin hanya bisa dijawab dengan hitungan menit. Lantas apa signifikansinya mempertanyakan ini?

Mari kita melihat bagaimana banyak orang mendefiniskan apa itu sekolah. Sekolah adalah:

Suatu bangunan yang dikelilingi pagar runcing. Dijaga sipir semi-militer. Dikontrol oleh polisi moral. Di dalamnya, semua orang yang terlibat dikungkung dalam ruang yang terbatas. Aturan adalah segalanya. Menerima, melaksanaken, adalah normativitas moral yang paling tinggi derajatnya.

Datang pada jam tertentu, istirahat pada jam tertentu, dan pulang pada jam tertentu. Mendengarkan apa saja yang sudah ditentukan, berbicara pada batas yang sudah ditentukan, dasar kebenarannya adalah apa yang telah ditentukan. Semuanya harus berdasarkan ketentuan.

Para anak yang disebut pelajar ini. Mesti datang dengan seragam. Pakaian seragam, sepatu mesti sesuai dengan ketentuan seragam, kaos kaki, bahkan bentuk rambut pun juga mesti seragam, gaya salam harus seragam. Bahkan konon, isi kepala pun kalau bisa juga harus seragam.

Dengan keseragaman itu, tanpa memandang umur, mereka mesti berbaris seperti unggas di pematang sawah. Kuku, rambut, baju, kaos kaki, ikat pinggang semua diperiksa.  Sebelum masuk kandang tempat apa yang diklaim sebagai ruang belajar. Setelah itu duduk dengan sigap bak tentara. Mata tak boleh berkedip, kentut tak boleh bunyi, eh.. .Tak ada yang mesti luput intinya.

Inilah tempat dimana semua orang melihatnya sebagai tempat suci. Tempat pencucian diri untuk memenangkan apa yang disebut masa depan dan cita-cita. Sekolah. Sekolah. Sekolah. Sudah seperti mantra masa depan yang menjanjikan untuk bisa menjadi apapun.

Kadang-kadang orang juga mempersepsinya sebagai bengkel. Tempat untuk memperbaiki kerusakan. Anak-anak masuk dipersepsi sebagai orang rusak yang mesti diperbaiki. Anak-anak yang tanpa aktivitas (nganggur), nakal, pemberontak dimasukkan. Ini seperti kamp, tempat untuk menghukum anak-anak seperti itu.

Disini pula kita akan melihat banyak keanehan. Seorang anak bisa menghafal berlembar-lembar susunan kata-kata seperti burung beo. Melafalkan dan melafaskan apapun untuk nantinya dilupakan begitu saja.

Anda harus bisa segalanya. Menjadi manusia super adalah tujuannya. Anda tidak boleh hanya harus bisa berhitung cepat tangkas dan tepat, tapi juga berbahasa dengan banyak bahasa, berkesenian dengan banyak kesenian, punya kemampuan atlit yang bagus dari melempar bola hingga melempar apa saja. Punya kemampuan teknologi yang bagus, punya kepercayaan kepada Tuhan yang mantap, memiliki pengetahuan undang-undang dan nasionalisme yang tinggi, dan semuanya.  Dan juga harus punya kemapuan sastra level Nuruddin Pituin. Singkatnya, Anda harus bisa segalanya!

Tiap hari Anda harus datang ke sekolah mendengar omelan yang disebut ceramah. Lalu mengerjakan tugas. Pulang pun bahkan mesti mengerjakan pekerjaan yang sama. Dengan jumlah jenis pekerjaan yang sangat banyak itu. Target-target adalah segalanya. Mencapai angka yang telah ditetapkan sekolah dan pemerintah adalah keharusan sebab kalau tidak, siap-siap anda akan dicongkel posisinya begitu saja; dipaksa hengkang sebagai produk gagal.

Angka? Inilah yang paling sakral. Nasib Anda ada dalam hitungan angka-angka ini. Bahkan bukan hanya bahwa pengetahuan mesti diukur dengan angka, bahkan sikap Anda, bahkan yang lebih ekstrim lagi, adalah tingkat kedekatan Anda dengan Tuhan dan hal-hal abstrak lainnya akan diukur dengan angka-angka ini. Angka ini sungguh ajaib!

Angka adalah ancaman sekaligus iming-iming. Ia seperti racun dan permen. Karena angka ini, para pelajar tak perlu belajar untuk mencintai aktivitas belajar dan membaca. Membaca atau lebih tepatnya lebih penting; menghafal demi angka.

Seolah ingin berkata, buanglah semua buku novel yang tak ada hubungannya dengan nilai mata pelajaranmu! Bahkan tidak sedikit memang sekolah memberlakukan ini, dengan cara-cara sweeping buku-buku yang tak terkait dengan buku sekolah.

Angka adalah segalanya, ia adalah simbol prestasi. Tak peduli bagaimana cara Anda belajar. Yang jelas target pencapaian angka mesti teraih. Dan ketika angka ini yang menjadi tujuan telah tercapai, maka dengan sendirinya semuanya telah selesai dan beres. Di setiap selesai ujian seperti ujian semester atau ujian kenaikan kelas, Anda akan mudah melihat bagaimana buku-buku paket siswa itu berceceran dimana saja, lebih tepatnya ia buang. Alasannya sederhana, untuk apa lagi buku? Bukankah ujian telah usai. Angka itu sudah muncul. Untuk apa lagi buku?

Ketika pemerintah selalu berkampanye mendorong “Ayo Membaca”, mereka hampir tak melihat kenyataan seperti ini, sebagai ekses dari kebijakan pendidikan yang tak karuan yang ia buat.

Apa yang tersisa selain lahirnya produk sekolah dengan kepribadian angka seperti ini. Seorang yang terbentuk dengan kepribadian yang fetisisme terhadap angka. Suatu jenis ketergila-gilaan terhadap angka dan selembar kertas pengakuan.

Suatu lembar pengakuan yang di dalamnya tersusun banyak angka secara akumulasi. Mendapat lembaran kertas pengakuan ini adalah segala-galanya. Bahkan saya berpikir, tanpa lembaran-lembar kertas pengakuan ini, maka tempat/lembaga ini sama sekali tidak ada artinya lagi bagi penghuninya.

Setiap tahun ada semacam ritual pengukuhan akan kesakralan kertas pengakuan ini. Dari fase yang kita sebut ujian dengan berbagai macam banyaknya itu, hingga kepersoalan-persoalan penilaian akan standarisasi apa yang disebut moralitas. Mereka yang bisa melewati tangga-tangga ini, dengan sendirinya dikukuhkan secara simbol pengakuan-pengakuan dalam bentuk kertas pengakuan. Anda dianggap telah berhasil! Lulus!

Kertas pengkauan ini sangat sakral. Sekolah berhasil memahamkan bahwa tanpa selembar kertas pengakuan ini, maka masa depanmu akan kelam. Engkau takkan bisa berarti apapun tanpa selembar kertas ini. Apalagi di era dimana manusia hidup dalam ring kompetisi yang sangat ekstrim ini, katanya.

Orang-orang yang kita sebut siswa itu benar-benar melongo hampir-hampir tak berkedip ketika mendengarkan ancaman-ancaman seperti itu. Bagi mereka ini seperti wahyu, seperti petunjuk-petunjuk langit untuk benar-benar serius. Mengikuti segala perintah dan larangan sekolah dengan penuh kekhusukan.

Sekolah berhasil membentuk image, bahwa mereka-mereka yang melanggar adalah mereka-mereka yang nakal. Nakal (meski banyak akal) adalah suatu gambaran dari semiotika masa depan yang kelam. Ada neraka kehidupan yang menanti bagi para pelanggar, pembangkang, dan tentu saja juga berlaku bagi mereka yang tidak memiliki kecerdasan yang layak. Tugas Anda adalah mengikuti segala perintah. Cukup mengikuti. Maka dengan sendirinya nasib terbaik akan mengiringi kalian. Begitulah kurang lebih, entah bisa disebut doa ataupun sekadar ancaman berbalut halusinasi. Entahlah..

Sekolah adalah panggung ring. Dimana anak adalah pemain sedangkan guru adalah wasit/tim penilai. Ada pertarungan, ada kompetisi, karena itu mesti ada yang menang, ada yang kalah.

Yang menang akan diranking (kadang-kadang di ranking sembunyi-sembunyi) dalam suatu peringkat dari atas hingga terbawah. Mereka yang tidak beruntung, yang menempati posisi terbawah siap-siap akan dipantau. Salah-salah bisa drop out bisa pula tinggal kelas.

Dan celakanya, standarisasi yang dipakai untuk melakukan perankingan ini sangat sempit. Umumnya menggunakan indikator yang hampir tunggal. Anda yang hanya mengandalkan bakat musik hampir-hampir tidak akan bisa masuk dalam rangking yang tinggi. Umumnya mereka yang menempati posisi teratas diukur dengan satu ukuran dominan; sains. Yang disempitkan pada angka-angka yang tertera di lembar-lembar ujian.

Selama rentang waktu yang lama, bisa hingga 12 tahun Anda akan hidup dalam suasana ini; kompetisi. Dengan jam belajar yang panjang setiap harinya. Tidak kalah lama dari jam kerja para pekerja pabrik. Konon dalam kondisi inilah, apa yang disebut skill, kognitif, kepribadian Anda akan dibentuk. Demi masa depan Anda yang super lebih baik! Suatu  janji yang melebihi janji surga memang!

Sekolah seolah ingin berkata; penuhilah dirimu dengan skill. Berkompetisilah karena skill. Tak ada masa depan bagi mereka yang tak memiliki skill. Persaingan di luar semakin tinggi, satu-satunya alat untuk bertahan adalah skill. Skill adalah segalanya, tak peduli apakah Anda ingin bekerjasama atau tidak.

Inilah sekolah. Dimana di dalam ruang dan waktu yang berbeda, etika moralitas diperdengarkan sedang di ruang yang lain, potensialitas diri sebagai hewan pragmatis yang mengakumulasi terus menerus didoktrinkan. Masa depan sebagai masa kesuksesan adalah masa dimana doktrin-doktrin akumulasi materialitas ini mesti diwujudkan. Dan alatnya adalah skill.

Bahkan saya pernah membaca year book suatu sekolah, yang di dalamnya salah seorang guru ekonomi memberikan pesan kepada siswanya yang ingin tamat. Kesan dan pesannya sederhana, kurang lebih berkata: ada sisi lain dari persamaan antara ilmu yang engkau pelajari dengan teori ekonomi. Ia memiliki sifat keabadian yang bisa dipertukarkan. Persamaanya adalah bahwa ilmu yang engkau pelajari saat ini adalah uang di masa akan datang. Ngeri-negeri sedaap!

Uang. Uang. Dan uang. Adalah tujuan dan payung dari segalanya. Untuk mendapatkan apa yang disebut sekolah ini, orang tua mesti mengeluarkan kocek yang tak sedikit. Karena itu ia relevan dengan materi ajar yang bahkan diajarkan sejak SD. Yang lahir di era yang sama dengan saya (90-an), tentu tidak akan asing dengan pepatah ini yang tertulis besar di buku cetak versi pemerintah; waktu adalah uang!

Iya. Waktu adalah uang. Ketika di SD diajarkan waktu adalah uang,maka di sekolah menengah, konsepsi itu kembali diperbarui dengan pengembangan yang sedikit lebih meyakinkan. Pendidikan adalah investasi masa depan! Begitu slogannya. Ada hukum (doktrin) pasar yang berlaku. Dengan menggunakan ancaman ‘ketidakberuntungan’ sebagai alat untuk menjinakkan kesadaran untuk meyakini hal demikian.

Uang dan investasi adalah arus yang menjadi penyangga sekaligus arah dari kesadaran yang disemai. Kesuksesan yang dijanjikan seperti tiket surga oleh sekolah tak lain adalah hidup berkalang materi. Menjadi pegawai kantoran, dokter, polisi, pengusaha, dan profesi-profesi yang secara elitis bisa mendatangkan fulus yang banyak. Jangan tanya apakah ada anak yang ingin jadi petani? Itu hampir-hampir terdengar seperti lelucon!

Berpendidikan bukan soal berkepribadian. Bukan pula soal kualitas kemanusiaan, tapi ini soal pekerjaan, begitulah kira-kira. Rasionalitas-rasionalitas instrumental seperti ini terus dipupuk. Ilmu adalah alat, alat, dan alat. Pada titik tertentu ia akan menjadi alat untuk mengeksploitasi apa dan siapa saja.

Dan ironisnya, engkau mesti harus merogoh kocek yang tak murah untuk mendapatkan hal itu semua! 

Rabu, 04 Oktober 2017

"DO"



Matanya berkaca-kaca. Saya melihat persis. “Ingin rasanya menangis, sedih, kecewa, dan marah, semua bercampur,” keluhnya padaku sebelum benar-benar menghilang. Saat ia mengatakan hal itu kepadaku, ia terlihat begitu berat untuk menahan agar ia tak menangis. Bukan karena hadiah surat DO yang tiba-tiba datang seperti kabar buruk langit tentang akhir ia mengenakan pakaian yang lebih sepuluh tahu ia kenakan sejak masih kanak-kanak. bukan. Hanya saja pikirannya tak mampu membendung, nuraninya tersentak mengingat ibunya yang lagi berduka akan kepulangan keluarga dekatnya yang cintai, ditimpali lagi dengan kabar buruk darinya sebagai anak bungsu yang dirudah paksa dari tempat ia menuntut ilmu bertahun-tahun. Lebih mengoyaknya lagi, bahwa ia ditimpali kenyataan itu untuk alasan sepele. Tanpa diberi hak untuk membela diri. Apalagi ujian akhir yang ia tunggu tinggal hitungan bulan pun. Sungguh terlalu rasanya, menyaksikan  kekuasaan, selalu datang di saat yang tidak dibutuhkan, namun kadang lalai di saat-saat genting.

“Tak bisakah kita semua bertahan atas amarah sedikitpun?” Tanyaku dalam hati. Mengingat bahwa di saat waktu keterbebasan mereka yang ia tunggu-tunggu yang tak lama lagipun akan datang jua. Saat itu tiba, entah kita atau siapapun yang menagis darah untuk menahannya pun takkan lagi bermakna apa-apa. Ia tetap akan pergi. Ya pergi, pergi untuk selamanya. Tak bisakah kita sedikit menunggu sedikit saja, waktu itu tiba? Saat dimana lambang seragam ia pakai lebih sepuluh tahun pun ia akan lepaskan untuk selamanya dalam keadaan sebagai orang yang berhasil dalam berjuang? Sekarang, berpuluh tahun ia habiskan usianya dalam sangkar itu, akhirnya harus dipaksa pergi sebelum waktunya, sembari membawa kenangan buruk;  satu hari mengubur sepuluh tahun kenangan, yang tersisa hanya rasa pahit dan beban kekecewaan yang menumpuk datang tiba-tiba.

Saya tak bisa berpikir, bagaimana lembaga yang disucikan secara moral bisa menimpali beban berat yang begitu besar kepada orang lemah. Psikologi sebagai orang terbuang, itu menyakitkan. Persis ketika Chairil menyebut hal demikian sebagai binatang jalang yang terbuang, dalam konteks ini lebih tepat menyebtunya binatang jalang yang dibuang dari kumpulannya dengan cara-cara paksaan. Mereka yang terbuang adalah mereka yang menanggung keburaman jalan dalam godaan kekandasan. Surat sakti itu tidak hanya menggerogoti sang korban, bahkan ikut menjadi racun bagi keluarga sendiri untuk berpikir sama. Mengafirmasi bahwa seolah tidak ada tempat yang layak diberikan pada orang yang dituduh “nakal, bodoh, amoralis” di dunia ini?

Saya melihat, bahwa pelajaran agama, kebijaksanaan, pancasila, demokrasi, dan segala rasionalitas dan nurani pengetahuan benar-benar tidak bermakna apa-apa. Apa arti berpuluh tahun mendengarkan cermah langit tentang pengetahuan dan wejangan moralitas? Ketika kekritisan untuk bertanya dibungkam lalu dituduh subversif atas nama moralitas, sembari menimpakan segala dosa kepada mereka yang kita akui sebagai “anak didik sendiri”? Sembari mengafirmasi diri untuk cuci tangan sebagai orang suci yang memiliki hak tunggal legitimasi untuk menghakimi dan menghukum? Tapi memang aku akui, bahwa sudah menjadi tabiat manusia yang selalu menuntut ketimbang melakukan. Manusia punya kecenderungan naluri menuntut akan kebajikan, kearifan orang lain, namun sulit untuk mengafirmasi ke diri untuk melakukan serupa. Itulah kenyataannya.

Inilah saat-saat dimana apa yang paling menakutkan itu datang. Yakni bercampurnya antara amarah, kekuasaan, otoritas, bersekutu dalam ruang-ruang ketika demokrasi untuk berpendapat kehilangan ruang. Itu menakutkan kawan. Ia tidak hanya mewakili gambaran dimana lidah orang berbicara dipotong dengan pisau kekuasaan, lebih dari itu, ruang untuk berbicara itu memang hilang lebih tepatnya dihilangkan. Kita semua patut menangisi hal demikian. Aku berkali-kali menemukan banyak situasi demikian di masyarakat bahkan sudah mual dengan demikian. Ketika demokrasi, kebajikan, dikoyak-koyak oleh otoritas yang berdiri dalam penafsiran subjektif atas kebenaran. Ironisnya bahwa kondisi demikian selalu menuntut adanya korban. Ada tangis dan derita bahkan mungkin titipan rasa benci yang kita tanam kepada korban. Dan kita semua ditempat dimana ilmu pengetahuan dan moralitas disembah, telah melakukan praktik demikian. Saya tak ingin mengatakan kalau kita telah ikut meneruskan dan mewariskan cara berpikir demikian kepada banyak anak. Lewat sistem yang kita bangun, kita telah ikut menanggung dosa sosial sejak dalam pikiran!

Rest in peace. Damailah dalam ketiadaan. Engkau beruntung telah menyadari hal penting dalam hidup mendahului banyak orang sezamanmu. Aku menulis ini sebagai bentuk pengakuan dosa sebagai orang lemah yang tidak bisa berbuat banyak. Kata-kata adalah perlawanan terakhir orang-orang lemah seperti kita. Nyo, engkau telah berjuang, sehormat-hormatnya!

x