| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Jumat, 16 Juni 2017

Sekolah untuk Siapa?

Edisi Re-post* sumber: https://news.detik.com/kolom/d-3536580/sekolah-untuk-siapa 
Para pelajar bersiap eskul di salah satu sekolah di Batam

Kemendikbud telah mengeluarkan Permendikbud  No. 23 Tahun 2017 di tengah pro-kontra yang tak usai. Peraturan yang nantinya mengatur secara teknis pelaksanaan sekolah 5 hari/sekolah 8 jam sehari atau lazim kita kenal Full Day School (FDS). Sampai sebelum peraturan ini dilaksanakan tuntutan agar penolakan FDS ini masih belum usai, bahkan semakin menggelinding. Penolakan datang tidak hanya dari kota-kota besar, tapi juga dari masyarakat di banyak daerah.

Kita tentu saja tidak ingin melihat praktik otoriter dan bebal anti-aspirasi ditunjukkan oleh Menteri Pendidikan kita. Mengingat (dalam pengamatan saya), jumlah penolakan terhadap ide ini (FDS) jauh lebih banyak ketimbang mereka yang bersepakat. Sebagai Menteri Pendidikan sungguh tak elegan kelihatan ketika sikap anti-demokrasi justru ingin diperlihatkan aparat institusi pendidikan, dengan mengabaikan suara (khendak) masyarakat?

Dialog?
Hampir di setiap perkara kebijakan publik, para pemangku kebijakan selalu mengulang kebiasaan buruk yang sama yang selalu menjadi sumber persoalan nantinya, yakni dilahirkannya kebijakan publik tanpa dilalui dialog terlebih dahulu, tak terkecuali terhadap ide FDS ini. Padahal esensi dari setiap kebijakan yang terpaut dengan publik, semestinya harus melibatkan publik itu sendiri untuk ikut menentukan apa yang baik dan apa yang tidak mesti dilakukan. Bukan justru mengandalkan imajinasi satu orang yang dijadikan satu-satunya sumber keputusan untuk melahirkan kebijakan publik yang mesti dipaksakan kepada publik.

Melihat rentang histori ide FDS ini, kita melihat hal itu. Hanya menjelang beberapa hari setelah pelantikan menteri baru (hasil resuffle), tanpa ada proses dialog terlebih dahulu, kita justru sudah disodorkan dengan ide ini, Full Day School. Seolah-olah terkesan bahwa ide ini adalah produk instan dari ketiadaan kesiapan yang memadai. Yang penting baru, dengan prinisip “menteri baru kebijakan baru”, agar terlihat berbeda. Yang akhirnya, mengabaikan hal-hal substansial. Dibanding dengan FDS, saya rasa ada banyak persoalan pendidikan lain saat ini yang menuntut reformasi kebijakan pendidikan yang mestinya diprioritaskan.

Pangkal dari ketidakdalaman asumsi atau pemahaman terhadap apa yang mesti diprioritaskan sebenarnya berpangkal pada keengganan pemangku kebijakan untuk memulai proses perumusan kebijakan publik dengan dialog. Pengabaian keberadaan masyarakat, hingga mengabaikan khendak siswa yang seharusnya menjadi pihak utama yang berkepentingan terhadap kebijakan pendidikan ini. Kepada Freire kita boleh belajar. Salah seorang aktivis pendidikan Brazil yang pada saat diangkat menjadi Sekertaris Pendidikan Nasional Brazil (1986). Apa yang dilakukan pertama kali Freire ketika kekuasaan itu berada di tangannya? Dialog! Dialog sebagai awal mula untuk merumuskan kebijakan publik.

Ia berkeliling bukan sekadar datang secara ceremony untuk menggunting pita-pita acara lalu pergi. Tidak. Tidak pula ia datang sebagai supervisi, datang untuk menunjukkan kesalahan lalu menunjukkan di publik untuk mencari popularitas. Ia (Freire) datang sebagai seorang peneliti untuk berdialog, berdiskusi, serta ingin memahami sudut pandang masyarakatnya tentang pendidikan, yang nantinya ia serap dalam bentuk kebijakan.

Menariknya, subjek yang ia ajak berdialog oleh Freire, di tingkat internal bukan hanya pengawas sekolah, kepala sekolah, orang tua murid, bahkan siswa hingga petugas-petugas kantin dan kebersihan pun diajak berdialog. Di tingkat eksternal pun demikian, Freire sangat memprioritaskan berdialog dengan gerakan-gerakan akar rumput di setiap daerah yang bergerak di bidang pendidikan untuk memahami ide-ide mereka tentang bagaimana persoalan pendidikan dan model-model pendidikan yang ideal dari sudut pandang aktivis.  Melibatkan publik dalam merumuskan gagasan adalah kuncinya. Kalau saja sebelum ditelurkannya kebijakan sekolah 5 hari ini dilakukan dialog, saya yakin kekisruhan ini tidak bakal terjadi. Bahkan mungkin sebaliknya, pemangku kebijakan bisa menemukan prioritas persoalan-persoalan fundamental yang mendesak mesti diselesaikan di tingkat persekolahan.

Untuk siapa?
Kita masih berharap agar rencana kebijakan ini sebaiknya dipertimbangkan ulang untuk diterapkan dengan memperhatikan secara cermat aspirasi dan kritik-kritik yang lahir dari kalangan publik. Ada kesan yang sangat kuat bahwa ide FDS ini sangat mengabaikan kepentingan siswa. Tampak bahwa yang paling dirugikan dari kebijakan ini adalah siswa.

Sejak awal ide ini diperkenalkan, alasan yang dijadikan back up argumen hanya berkutat pada alasan orang tua (pekerja kantoran) sedang bekerja. Karena itu FDS praktis bisa menjadikan juga sekolah sebagai tempat pentipan anak sementara hingga orang tua yang segmennya pekerja kantoran itu pulang kerja. Begitupun alasan lain, yang kemudian diutarakan menjelang dikeluarkannya aturan tersebut adalah alasan dari sudut pandang keberadaan guru. Sekolah 5 hari ini yang sebenarnya ingin menyasar guru-guru yang sudah bersertifikasi/yang mendapat tunjangan profesi agar lebih lama melakukan pengajaran di sekolah, dengan menetapkan batas minimal mengajar dalam seminggu sebanyak 40 jam.

Tentu saja alasan-alasan ini benar-benar menegaskan bahwa kebijakan ini tidak digagas dari sudut pandang kepentingan siswa. Tapi justru hanya mentok pada kepentingan pemerintah yang diframing dari sudut pandang kepentingan guru dan orang tua. Dan disinilah persoalan utamanya, pengabaian kepentingan siswa dalam konteks ini adalah bentuk cacat pikir yang paling dasar dari sebuah kebijakan publik. Sebab praktis kita paham bahwa siswalah yang menjadi stakeholders paling sentral dalam dunia persekolahan. Merekalah yang paling utama dan pertama yang akan merasakan dampak dari kebijakan persekolahan.

Dengan kecakapan pedagogi guru kita yang masih rendah hingga saat ini, di tengah jam panjang sekolah yang terlalu lama, apa yang dihasilkan dari kenyataan ini? Alih-alih ingin menghasilkan lulusan yang penuh keajaiban, paling dekat adalah depresi dan stress yang menghantui siswa. Memang dikatakan bahwa waktu yang ada tidak mesti dihabiskan dalam ruang kelas, namun bisa dalam bentuk ekstrakurikuler. Tetap saja bahwa ekstrakurikuler maupun intrakurikuler tidak bisa dipisahkan dari kecakapan pedagogis itu sendiri. Pertanyaan sudahkah kita memiliki kecakapan pedagogi yang membebaskan itu di kalangan guru?


Ada banyak hal yang dibentur dari kebijakan ini dari meningkatnya rentan beban kerja guru yang nantinya juga berpengaruh pada anak, hingga direnggutnya waktu bermain anak dengan lingkungannya (khususnya untuk anak bukan dari kalangan pekerja kantoran). Praktis bahwa kebijakan ini hanya akan berakhir pada anak yang akan menjadi korban kebijakan pendidikan yang tak berpihak pada mereka. Lantas sekolah sebenarnya untuk siapa?


-Muhammad Ruslan-


*untuk tujuan arsip dan pendidikan