| one article - one struggle |

Liberation is a praxis --Freire--

Pendidikan untuk rakyat --Tan Malaka--

"Tak cukup hanya dengan metode pedagogi revolusioner, kita perlu menjembataninya dengan ilmu berparadigma revolusiner pula" --Muhammad Ruslan/Ideologi Akuntansi Islam (2016)--

Senin, 03 Oktober 2016

MOS dan Sisa-sisa Feodalisme dalam Pendidikan

edisi repost

sumber gambar: www.dream.co.id


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan baru saja mengeluarkan Permen yang menghapus MOS. Permen No. 18 Tahun 2016 ini, menghapus MOS, yang selama ini dikenal dengan nama Masa Orientasi Siswa (baru), diganti menjadi pengenalan lingkungan sekolah. Isi Permen ini, kurang lebih merupakan penegasan pelimpahan tanggung jawab pengenalan siswa baru terhadap sekolah kepada sekolah itu sendiri, bukan lagi oleh siswa (senior). Seturut dengan ancaman sanksi bagi guru ataupun sekolah yang gagal menjalankan instruksi tersebut. Dengan Permen ini, diharapkan tidak ada lagi siswa baru menghitung semut, menghitung butir pasir, atau bertopi panci ke sekolah.

Kita tentu mengapresiasi Permen tersebut, tinggal menunggu aplikasi dan pengawasannya! Sisa-sisa feodalisme Setelah bertahun-tahun, warisan kultur kolonial ini (MOS) sekuat tenaga akhirnya dihapuskan juga secara resmi. Ingat secara resmi! Artinya penghapusan itu ditingkt struktur (aturan), di tingkat kultur hanya bisa dilihat dan dirasakan sebagai sebuah nilai. Butuh waktu yang cukup lama bagi kita untuk sedikit lebih maju -- kalau toh penghapusan MOS ini ingin dianggap kemajuan -- berusaha untuk meninggalkan sisa-sisa feodalisme dalam pendidikan. 

Terlihat seperti sebuah langkah yang sulit bangsa ini untuk melepas sisa feodalismenya, termasuk dalam pendidikan. Mos salah satunya. Dilihat dari sudut pandang perkembangan dunia pedagogi secara global, arah gerak perkembangan politik pendidikan kita menuju alam demokrasi, memang kita akui tergolong lambang. Seturut dengan lambangnya pendasaran penerimaan nilai-nilai demokrasi itu di tingkat pendidikan secara kultural. Sebagai bangsa yang hidup berabad-abad dalam sakralitas nilai-nilai feodal, ditambah dengan periodisasi sebagai bangsa jajahan berabad-abad, memang tak mudah untuk bangkit menanggalkan tatanan budaya lama yang sangat patenarlistik. 

Saya teringat istilah kebudayaan 1950-an, yang menyebut bangsa kita saat itu sebagai bangsa yang masih dalam tahap periodisasi menuju ketuntasan revolusi. Dalam arti revolusi belum selesei di tingkat kultural. Kita masih cemas melihat bangsa kita saat itu yang masih “setengah merdeka” sekaligus “setengah terjajah”, meskipun sudah merdeka secara politik. Karena itu, saat itu, para budayawan yang tergabung dalam berbagai organisasi kebudayaan “memproklamirkan” perlawanan mereka terhadap budaya-budaya feodal dan kolonial yang masih tersisia sejak kemerdekaan, sebagai tugas kebudayaan yang harus dituntaskan lewat pendidikan-pendidikan rakyat. Disinilah sebenarnya istilah revolusi mental itu pertama kali muncul, sebagai sebuah revolusi kebudayaan: membuang sisa-sisa feodalisme secara utuh. Dan pendidikan-pendidikan rakyat diyakini sebagai medium untuk dapat memobilisasi kesadaran itu secara massif. 

Dalam konteks ini, saya mencoba melihat bahwa MOS yang berkembang bertahun-tahun lamanya ini, adalah suatu budaya yang sebenarnya merupakan warisan dari nilai-nilai feodal dan kolonial, yang sadar atau tidak, justru dibiarkan disemai bertahun-tahun di tubuh pendidikan. Pun tak terkecuali di perguruan-perguruan tinggi yang ada saat ini. Lewat MOS, penjajahan mental itu direproduksi. Karena itulah tak butuh rasionalitas dalam MOS, yang dibutuhkan hanyalah otoritas dan ketundukan semata. 

Ini seperti miniatur dari kehidupan masyarakat yang mencoba diserap ke dalam dunia pendidikan saat itu. Suatu gambaran kehidupan masyarakat yang terbagi dalam penguasaan sebagian yang memiliki otoritas terhadap yang lain. Otoritas-otoritas yang hanya mengkhendaki kepatuhan, menumpulkan kesadaran untuk kritis terhadap kondisi sosial yang timpang, namun akut dipertahankan kemapanannya. Lewat MOS dan berbagai perangkat instrumen pendidikan lainnya, menjadi alat reproduksi nilai-nilai yang dapat mengafirmasi kondisi sosial yang ada saat itu.

Karena itu di tengah perubahan sosial yang berangsur ini, nilai feodalisme mau tak mau akan terus tergerus waktu, ini hanya persoalan lambat atau cepat saja. Demokrasi sebagai anti-tesa feodalisme terus menunggu di depan mata. Demokrasi dalam pendidikan? Demokrasi adalah anti-tesa terhadap feodalisme. Saya sendiri yakin, bahwa kondisi pendidikan ideal adalah pengelolaan pendidikan yang mampu berjalan ke arah demokrasi yang benar, baik di sektor birokrasi pengelolaan sekolah maupun di tingkat kultural. Seperti dalam konteks bernegara, hingga saat ini demokrasi adalah jalan bernegara dan bermasyarakat yang alternatif. Karena hanya di bawah payung ini: kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan di tempatkan pada tempat yang layak. Pendidikan adalah subsuprastruktur dari negara. Dalam arti kebijakan pendidikan adalah kebijakan politik itu sendiri. Demokrasi secara politik seharusnya diriingi dengan demokrasi di segala bidang termasuk dalam hal pendidikan. 

Namun apakah penghapusan MOS, dengan sendirinya sisa-sisa feodalisme dalam pendidikan terhapus? Tentu tidak. Karena nilai-nilai feodalisme tergolong masih sangat kental menjangkiti tubuh pendidikan yang ada saat ini. Karakter dasar dari nilai feodalisme ini adalah pengagungan terhadap kekuasaan otoritas, pun tak terkecuali terhadap hubungan guru-murid yang sampai saat ini masih bertahan. Penuh dengan intrik penguasaan. Bahkan slogan-slogan satire, bahwa, “guru tak pernah salah dan siswa selalu salah” masih kuat dipertahankan dalam ranah kultur pendidikan yang ada. 

Beberapa kasus ‘’kekerasan’’ guru terhadap siswa yang baru-baru cukup tenar, yang berujung pada pemidanaan guru oleh siswanya sendiri, menggambarkan realitas itu. Melihat respon mayoritas masyarakat, cukup menggmbarkan bahwa nilai-nilai feodalisme itu masih terlalu sulit ditinggalkan di tingkat masyarakat sekalipun. Anak yang bisa dikatakan “korban” kekerasan justru lebih banyak mendapat cemohan. 

Terlepas dari bagaimana kita menempatkan definisi kekerasan itu sendiri dalam konteks ini (misalnya apakah memukul dengan tangan atau dengan sapu, atau mencubit hingga meninggalkan luka kita sebut kekerasan atau tidak, terserah kita. Namun, sepakat atau tidak sepakat, secara hukum kita melihat bahwa hal itu sudah termasuk ranah kekerasan, dilihat dari keputusan pengadilan yang ada atas kasus tersebut). 

Kembali ke MOS. Bisa dikatakan MOS hanyalah salah satu dari sisa-sisa feodalisme dalam pendidikan, tentu masih banyak yang lain. Kalau saja pemerintah berangkat dari asumsi dan realitas ini sebagai dasar untuk menghapus MOS, maka bisa dikatakan tugas berat bagi pemeirntah masih menunggu ke depannya, yakni: menciptakan realitas pendidikan yang memang betul-betul demokratis di segala bidang. Baik dalam konteks kutural maupun struktural. Dalam arti, baik di tingkat hubungan guru-murid, murid-murid, maupun dalam konteks hubungan sekolah dengan pemerintah. 

Banyak perangkat-perangkat feodalisme yang masih bertahan di sekolah, hal ini membutuhkan proses identifikasi nilai tersendiri. Beberapa hal misalnya, dalam konteks hubungan guru-murid, tentu kita selayaknya menempatkan bahwa realitas hubungan ini adalah hubungan yang idealnya penuh egalitarianisme. Guru adalah kolega murid, ia adalah subjek yang sama. Karena itu, tidak ada alasan bagi kekerasan yang harus terjadi dalam konteks hubungan ini. 

Namun, persoalan sebenarnya adalah juga dari sisi pemerintah lewat kebijakan pendidikan yang ada. Kekerasan-kekerasan terhadap siswa oleh guru, sangat tidak lepas dari kebijakan pendidikan yang sangat kaku dan bersifat memaksa yang lahir dari pemerintah. Dengan segenap target dan standardisasi yang ditargetkan oleh pemerintah, lewat guru target dan standardisasi itu justru menjadi penyebab struktural lahirnya berbagai pola-pola paksaan, yang berujung pada kekerasan terhadap siswa. Ini mirip dengan analogi ujian nasional terhitung 2 tahun lampau ke atas, dimana paksaan target dan berbagai instrumen standardisasi dari pemerintah, memaksa sekolah dan guru banyak yang berbuat curang, misalnya memberi kunci dll. Hingga sebagian dari kasus itu juga berujung pidana.

Dalam konteks ini, negara secara tidak langsung lewat kebijakan yang ada juga menjadi pelaku kekerasan dalam konteks hubungannya dengan sekolah, guru dan murid. Ini seperti rantai setan dari suatu siklus kekerasan struktural yang terkait. Jadi, kekerasan yang marak belakangan ini, yang terus terjadi di tubuh pendidikan, tidak lepas dari arah kebijakan pendidikan yang masih melempung dengan feodalisme, dan terbilang jauh dari nilai-nilai demoratis. Baik dari pemerintah maupun sekolah, masih terus menjadikan anak/murid sebagai objek-objek yang dibebani banyak target. Dalam konteks ini tepat dikatakan kalau murid lebih banyak menjadi objek yang tereksploitasi dalam berbagai hal. 

Kita tentu menginginkan, lahirnya sebuah sekolah yang betul-betul meghormati hal-hal otonom dalam diri murid. Max Stirner, salah seorang filsuf, guru, pakar pendidikan, yang juga merupkan “lawan” debat tokoh besar Karl Marx, dalam tulisannya Ueber Schugesetze, dengan tegas mengatakan: Sudah seharusnya peran sekolah ditentukan sepenuhnya oleh hubungan guru dan murid. Ini mungkin cukup radikal secara ide, namun lagi-lagi upaya untuk menghormati khendak murid itu penting, dan bahkan menurut saya, hal itu seyogyanya juga harus berperan dalam menentukan kadar manusiawinya pendidikan yang ada! 

Penulis 
Muhammad Ruslan

sumber, reposthttp://www.kompasiana.com/2220/mos-dan-sisa-sisa-feodalisme-dalam-pendidikan_57794dfdf97a61880ce81d38 

Mitologi, Marwah Daud, dan Fenomena Bunuh Diri Intelektual

sumber gambar: batam.tribunnews.com
Pram pernah berkata: Semakin sedikit pengetahuan seseorang terhadap suatu realitas, maka semakin banyaklah mitos yang mengisi kesadarannya akan realitas itu.
Dulu ketika manusia melihat rintik-rintik hujan, kurangnya pengetahuan membuat manusia percaya bahwa hujan itu adalah realitas terjadi ketika Sang Dewa sedang menangis. Namun, lambat laun perkembangan pengetahuan membuat kita mengetahui kenyataan bahwa ada realitas alam yang bekerja di balik hujan yang bisa terjelaskan secara rasional, tanpa harus berapriori ‘melibatkan’ dewa.
Ketika terjadi gempa misalnya, sebagian masyarakat dahulu percaya bahwa seekor lembu (entah dari mana) sedang mengamuk. Itu terjadi katanya karena manusia tidak memberi makan (sesajen) sang lembu. Lembu dan simbol-simbol kekuatan lainnya akhirnya kemudian berkembang membentuk suatu kesadaran tersendiri tentang imajinasi-imajinasi tentang keberadaan kekuatan supranatural, di luar dari khendak manusia, yang nantinya diasosiasikan sebagai kekuatan Dewa (Tuhan). Namun lagi-lagi, kelahiran pengetahuan, akhirnya bisa menjelaskan sebab gempa secara ilmiah dan rasional tanpa mesti lagi melibatkan apriori kita tentang realitas yang lahir dari imajinasi liar.
Apa artinya? Bahwa pengetahun pada hakikatnya adalah terang cahaya yang membebaskan manusia dari segenap mitos dan tahayyul. Kepercayaan manusia terhadap kekeuatan pengetahuan inilah yang akhirnya mendorong terbentuknya insititusi-institusi pengetahuan modern. Pranata-pranata ilmu yang bernama lembaga pendidikan (sekolah/kampus) bermunculan.
Pendidikan secara inheren pada konteks ini lahir untuk menjelaskan secara ilmiah hal-hal mendasar terhadap kehidupan, tak terkecuali dalam upaya membebaskan manusia dari tahayyul/mitos. Karena itu, hal mendasar yang diterima sebagai kultur pendidikan adalah diterimanya tradisi intelektual dan sikap akademis. Menekankan rasionalitas, hipotesa dan pembuktian, serta segenap sikap kritis kita terhadap segala hal.  
Namun, pertanyaannya: Benarkah pendidikan yang ada (saat ini khususnya) benar-benar bisa disebut sebagai lembaga pegetahuan yang membebaskan? Sejauh mana sekolah atau kampus sekalipun benar-benar menjadi lembaga pembebas dari tahayyul/mitos? Upaya untuk mempertanyakan fungsi pembebasan lembaga pendidikan di tingkat rasio (akal) berupa pembebasan dari mitologi, menjadi penting dan mendasar sebelum akhirnya kita mempertanyakan--kalau bukan menuntut—tanggung jawab pembebasan lembaga pendidikan di tingkat praksis kehidupan sosial-politik.
Fenomena Marwah Daud Ibrahim
Tulisan ini mencoba masuk lewat fenomena Marwah Daud Ibrahim. Marwah Daud, Ketua Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, muncul di media dengan pembelaan yang mutlaknya terhdap Dimas Kanjeng Taat Pribadi atas kasus tuduhan pembunuhan dan penipuan berkedok agama yang menimpa dan menjerat sang gurunya (Dimas Kanjeng).
Nada-nada pembelaan yang terdengar, terkesan telah menanggalkan Marwah Daud sebagai seorang professor, dan bahkan seorang intelektual berpendidikan moncreng. Pernyataan-pernyataan yang dipenuhi balutan argumen-argumen yang lebih menyerupai tahayyul yang ia sebut sebagai karomah.
Pernyataan Marwah, yang mengakui ketertarikannya terhadap sang gurunya Dimas Kanjeng, karena Dimas dianggap seorang (atau memiliki kemiripan dengan) wali yang memiliki karomah, hanya karena Dimas dianggap mampu menggandakan uang secara ajaib sungguh mengejutkan (meskipun belakangan banyak yang menudingnya sebagai praktik tak ubahnya sebuah sulap).
Hal yang sulit dinalar dengan sehat oleh orang awam seperti penulis, bagaimana mungkin sosok professor ternama, tercatat sebagai dewan pakar organisasi intelektual ICMI, bahkan juga seorang yang didaku memiliki jejak rekam siswa dan mahasiswa teladan, dengan perjalanan pendidikan yang moncreng, akhirnya tetap terkulai dibawah mitologi dan tahayyul yang tak bisa dibuktikan dan dinalar dengan sikap-sikap akademis?
Fenomena Marwah Daud ini, adalah sebuah cerita seorang professor yang berguru pada seorang dukun. Ini menggelikan!
Atau bisa jadi, ini merupakan cerita-cerita lain, dari banyaknya ceirta-cerita pragmatisme kaum intelektual? Cerita-cerita tentang bagaimana pendidikan sekadar menjadi alat untuk mencapai dan melegitimasi hasrat yang berwujud kepentingan pragmatis. Rasionalitas yang tak memiliki batas yang berbeda dengan mitologi dan tahayyul, bercampur berbaur, dan saling menggantikan demi satu: selama ia bisa melegitimasi kepentingan?
Betapa menggelikan, ketika sosok professor, yang dinanti ide-ide progressifnya dalam mendorong perubahan, justru mempercayakan puncak kejayaan bangsa kepada sosok-sosok yang berkemampuan suprailmiah dan irasional, seperti Dimas Kanjeng dengan ‘keahliannya’ menggandakan uang. Mengandalkan karomah untuk perubahan ketimbang konsepsi kritis intelektual atas realitas.  
Marwah Daud, adalah (saya menyebutnya) sebagai suatu fenomena. Tentang dekadensi intelektualitas yang pupus dalam bayang-bayang gelap mitologi dan pragmatisme. Ini terjadi hampir di seluruh ruang-ruang pendidikan kita dari sekolah hingga kampus.
Betapa tidak sulit menemukan guru-guru dan bahkan dosen-dosen yang alih-alih melihat realitas persoalan secara kritis dan intelektual, justru banyak di antaranya hanya bisa menawarkan doktrin, dan dan menjejalkan harapan-harapan suprailmiah lainnya. Seolah-olah persoalan yang menjerat manusia hari ini adalah persoalan laten dan inheren terhadap kenyataan itu sendiri, sembari berharap adanya kekuatan-kekuatan suprailmiah yang bisa menjadi harapan solusi instan.
Kalau ada yang disebut bunuh diri kelas. Maka ini lebih tepat disebut sebagai bunuh diri intelektual. Bunuh diri intelektual tidak hanya menyisakan konsepsi-konspsi yang ngawur, juga telah memutus harapan akan adanya pertautan kausal akan lahirnya fungsi pendidikan yang progresif dalam melahirkan intelektual-intelektual organik yang bisa memainkan peran dalam membebaskan manusia di tingkat praksis.
Bunuh diri intelektual, seperti pohon yang mati dan layu sebelum kuncup, karena itu tak dapat diharapkan untuk berbuah, justru sebaliknya. Ia bisa menjadi adagium kontra atas harapan, dengan menjadi sekrup untuk melegitimasi ketidakbenaran.
Pendidikan dan mitologi
Pembebasan yang menjadi tujuan pendidikan tadi. Pada kenyataannya mengalami anemia sejarah. Ralitas bahwa pendidikan dengan kultur rasionalitasnya bukan dan tidak lagi mengarah dengan jelas pada upaya untuk “menggempur” tahayyul sebagai simbol segenap perbudakan pikiran lainnya. Karena itu pula ia menjadi kehilangan hubungan kausalnya saat kita menyaksikan bahwa pendidikan semakin melemah dalam memainkan peran pembebasan di tingkat sosial.
Itu terlihat saat teori-teori kritis ilmu pengetahuan semakin dipinggirkan keberadaannya dalam tubuh lembaga pendidikan. Upaya peminggiran teori-teori kritis adalah sama halnya dengan memberi ruang ilmu yang berkarater mitologi mengisi ruang-ruang pengetahuan. Mitologi merepresentasikan segala bentuk kebodohan, pembodohan, irasionalitas, penyelewengan ilmu, dan hegemoni lewat ilmu pengetahuan.
Dalam tubuh pendidikan, kita melihat hal itu nyata. Jangankan untuk membaca nama Karl Marx diajarkan sebagai salah satu madzhab pengetahuan ilmiah, apakah ia adalah disiplin ilmu ekonomi, sosiologi, politik dll misalnya. Mendengarkan nama itu saja (Marx), konsepsi-konsepsi mitos yang mengisi kesadaran pelajar sudah merangkak dengan penuh phobia.
Yang ujung-ujungnya--meminjam istilah penulis Zen Rs—menciptakan wabah anti-intelektualitas. Tidak sedikit wabah anti-intelektualitas itu tumbuh subur di lembaga-lembaga pendidikan, bahkan dengan tampakan paling vulgar sekalipun (intimidasi, pembungkaman, kekerasan dan sejenisnya).
Membiarkan mitologi intelektualitas dalam pendidikan, hanya akan terus memperlihatkan banyaknya kontradiksi-kontradiksi yang muncul melahirkan pseudo intelektualitas. Kita akan begitu mudah melihat, bagaimana misalnya seorang pelajar yang bertahun-tahun ditempa dalam proses pendidikan, mempelajari ilmu matematika dengan spkeluasi kedalaman pemahaman memadai, tapi tetap dengan kredo (kepercayaan) bahwa kemiskinan adalah persoalan takdir!? Hukum kausalitas, sebagai dasar dari keseluruhan prinsip berpikir semua ilmu pengetahuan, sepertinya sama sekali tidak berguna dalam konteks ini.
Apa koskeuensi dari epsitemologi seperti itu, selain hanya bisa melihat produk pendidikan yang hanya bisa menyarankan untuk merapal banyak doa (anti kesialan) sebagai jalan sekaligus jawaban atas persoalan-persoalan kemiskinan yang ada. Ini hanya satu contoh.
Mitologi intelektualitas dalam pendidikan seperti ini, tidak hanya menyesatkan dengan memadati pikiran-pikiran pelajar dengan kesadaran yang palsu, tapi juga ikut melegitimasi status quo keadaan yang mengenaskan dengan berlindung di balik bayang-bayang kekuatan supranatural, yang pada hakikatnya diproduksi tidak dalam keadaan bebas nilai.  
Banyak mitologi lainnya yang muncul, akibat dominasi sudut pandang, yang tak terpisahkan dari realitas sekolah atau pendidikan yang anti-kemajemukan. Dan hampir semua ilmu mengalami suatu persoalan yang sama. Dominasi satu sudut pandang yang positivistik, mekanistik, dan spekulatif. Yang ujung-ujungnya melumpuhkan daya kritis, penuh dengan mitologi dan hegemoni kekuasaan, yang pada akhirnya juga berjarak dengan persoalan yang kehidupan yang sebenarnya.
Dalam ilmu sejarah misalnya, seberapa banyak kebohongan yang dilegitimasi diajarkan sampai saat ini? Sejarah menjadi sesuatu yang kadangkala tidak menarik tanpa kebohongan yang membungkusnya. Dan ironisnya ketika lembaga pendidikan menunggalkan realitas itu, dengan ‘’memaksakan’’ penafsiran tunggal penguasa akan sejarah (termasuk untuk semua ilmu pengetahuan yang ada). Dan itu masih terjadi di sekolah-sekolah hingga saat ini.  
Dan realitas ini menjadi fenomena bunuh diri intelektual, ketika guru ataupun dosen dengan sadar merelakan kehilangan unsur-unsur independensi intelektualnya dalam memainkan perannya. Muncul  sekadar menjadi perpanjangan tanganan tuntutan kurikulum, teks, dan segenap tuntutan birokrasi.
Dan ini hampir terjadi pada di semua lini pengetahuan, bukan hanya ilmu sejarah. Fenomena bunuh diri intelektualitas dalam pendidikan, terkadang bukan hanya lahir dan diakukan dalam keadaan sadar. Tapi juga dalam keadaan tak sadar. Kegagalan kita meramu konsep alternatif berupa ilmu-ilmu kritis yang membebaskan, sama saja dengan melegitimasi mitologi ilmu yang menindas. Seperti kata Rendra dalam sajaknya: “Kita ini dididik untuk memihak yang mana?, ilmu-ilmu yang diajarkan disini: akan menjadi alat pembebasan? Ataukah alat penindasan?!”.
Saat ini, apa yang paling menyedihkan melihat realitas pendidikan, bukan hanya menjamurnya wabah anti-intelektualitas di lembaga-lembaga pendidikan, tapi juga massifnya bunuh diri intelektualitas. Bunuh diri intelektualitas, yang pada akhirnya ikut membiarkan pendidikan berjalan di atas pijakan-pijakan mitologi.

Penulis
Muhammad Ruslan