Salah satu film pendidikan yang kritis, menawarkan suatu model pengajaran alternatif, kritik bernas terhadap sistem pendidikan selama ini yang berjalan dengan wataknya yang teknokratis, yang cenderung 'membunuh' imajinasi, khendak, dan karsa kemanusiaan.
''Carpie diem'', rebutlah harimu, buatlah hidupmu lebih berarti. Kata-kata yang merupakan ajakan langka, penuh subversif dan agitasi, melawan rasa takut dalam diri, melihat dunia dengan sudut pandang kemanusiaan yang dalam.
Film ini secara tidak langsung mengajukan suatu koreksi sosial atas realitas keilmuan humaniora, sastra dan filosofi yang selama ini dipandang sebelah mata dalam berbagai institusi pendidikan. Institusi pendidikan yang acap melahirkan 'robot' dengan segenap keterampilan, tapi gagap melahirkan manusia dengan segenap realitas kemanusiaan itu sendiri.
Sang guru memulai proses penyadaran secara simbolik lewat agitasi merobek pengantar suatu buku sastra yang berbicara tentang puisi. Sebagai sebuah kritik terhadap formalitas pengajaran sastra selama ini, yang mana sastra ditulis dalam buku dengan cara-cara dan penjelasan 'ilmiah' yang kaku. Ia memperkenalkan suatu model pengajaran sastra dan seni yang bertumpu pada realitas manusia itu sendiri: refleksi dan internalisasi. Bersamaan dengan proses 'menemukan' dan menghidupkan realitas 'aku' untuk mengada.
Film ini menggunakan dan menggambarkan Puisi sebagai senjata pengajaran yang dipakai untuk menggali realitas kmanusiaan terdalam, yang cenderung terpendam, ditenggelamkan oleh realitas pengajaran yang 'menindas', dipertahankan bertahun-tahun, atas nama tradisi.
"Kita tidak menulis dan membaca puisi karena ia manis, tapi kita melakukan semua itu karena kita sadar bahwa kita manusia"
Puisi sebagai representasi humaniora dan sastra ditempatkan sebagai alat pembebasan dalam pengajaran. Kata-kata filosofi digambarkan mengalir tak terbendung, menemui sela, memecahkan kebekuan sadar ynag selama ini berkarat dalam benak pikir pelajar, hingga akhirnya kebebasan menuai kesadaran baru yang berwujud 'pemberontakan'. 'Pemberontakan' kultur, yang sebenarnya hanya sekadar upaya meluapkan kesadaran seni lewat study club 'dead poets', namun itu sudah cukup mengusik birokrasi pendidikan mapan.
Pertentangan akan ide-ide baru dan tradisi pun mengemuka. Suatu ide-ide yang tidak menghasilkan prestise, melainkan mensyaratkan pengorbanan: Sang murid bunuh diri karena tekanan, sebagian dikeluarkan, dan sang guru dipecat oleh birokrasi pendidikan yang gamang. Tapi satu hal bahwa, mereka tetap melangkah dengan penuh kehormatan. Suatu penagalaman penghormatan penuh terhadap pengetahuan dan kebebasan secara bersamaan. Melawan dan menaklukkan rasa takut, menanggalkan 'diri', demi wujud penghormatan terhadap kebebasan, kemanusiaan diri, nurani, dan keyakinan, sambil berdiri menghiraukan hal yang tabu.
singkatnya, film ini mengesankan bahwa, pendidikan sejati hadir dalam diri, saat kita berani mengatakan 'ya' atau 'tidak' dengan penuh hormat atas nurani dan keyakinan.
Muhammad Ruslan
x